ASBAB AN-NUZUL
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang Masalah
Asbab
An-Nuzul merupakan salah satu ilmu yang harus dipelajari seseorang untuk bisa
memudahkan menafsirkan Al-qur’an. Karena dengan memperlajari asbab an-nuzul
akan menghindarkan seseorang terhindar dari kesalahan dalam menafsirkan ayat-ayat
Allah. Bahkan pemahaman terhadap ilmu tersebut juga mampu memperkaya para
penafsir dalam menggali berbagai mukjizat yang ada dalam Al-qur’an.
Sedangkan
menurut Ibnu Taimiyyah, pengetahuan tentang sebab turunnya ayat akan membantu
seseorang untuk memahami terhadap kandungan ayat tersebut. Sebab mengetahui
sebab turunnya ayat juga bisa menjadikan seseorang mengetahui sebab turunnya
ayat yang merupakan buah dari sebab tersebut. Sebagaimana beberapa kalangan
ulama salaf tidak jarang mengalami kesulitan dalam memahami makna-makna ayat
al-Qur’an. Akan tetapi ketika mereka telah menemukan asbab an-nuzulnya, maka
kesulitan yang selama ini mereka temukan menjadi sirna.[1]
Sementara
itu, mayoritas ulama sepakat bahwa konteks kesejarahan yang terakumalasi dalam
riwayat-riwayat asbab an-nuzul merupakan satu hal yang signifikan dalam
memahami pesan-pesan yang terkandung dalam Al-Qur’an. Sehingga dalam satu statemennya,
Ibnu Daqiq Al-‘ied mengatakan; penjelasan terhadap asbab an-nuzul merupakan
metode kondusif untuk menginterpretasikan makna-makna Al-Qur’an.[2]
2.1 Rumusan
Masalah
A.
Definisi Asbab An-Nuzul
B.
Urgensi Mengetahui Asbab An-Nuzul
C.
Cara-cara mengetahui Asbab An-Nuzul
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Definisi Asbab An-Nuzul
Sebelum
membahas tentang definis asbab an-nuzul perlu diketahui bahwa ayat-ayat yang
terdapat dalam Al-Qur’an terbagi menjadi dua bagian yaitu:[3]
1.
Ayat-ayat yang diturunkan untuk
memberikan hidayah dan pendidikan serta pencerahan, tanpa didahului dengan
adanya kejadian dan sebab tertentu pada masa wahyu diturunkan yang menyebabkan
ayat itu diturunkan.
2.
Ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan
karena didahului dengan adanya sebab berupa kejadian-kejadian yang terjadi pada
saat wahyu diturunkan.
Pedoman
dasar para ulama dalam mengetahui asbab an-nuzul adalah riwayat shahih yang
berasal dari Rasulullah atau dari shahabat. Hal itu disebabkan karena
pemberitahuan seorang sahabat mengenai hal seperti ini, bila jelas, maka hal
itu bukan sekedar pendapat (ra’y), tetapi ia mempunyai hukum marfu’ (disandarkan
pada Rasulullah). Oleh karena itu, para penyidik ilmu-ilmu Qur’an menaruh
perhatian besar terhadap pengetahuan tentang asbab an-nuzul. Hal demikian
dilakukukan untuk menafsirkan Al-Qur’an secara benar.[4]
Sedangkan
Asbab an-nuzul terdiri dari dua kata; asbab (jamak dari sabab) berarti sebab
atau latar belakang dan nuzul berarti turun. Sedangkan menurut Az-Zarqani, asbab
an-nuzul adalah keterangan mengenai suatu ayat atau rangkaian ayat yang berisi
sebab-sebab turunnya atau menjelaskan hukum suatu kasus pada waktu kejadiannya.
Bahkan menurut Subhi Shalih, asbab an-nuzul itu sangat bertautan dengan sesuatu
yang menjadi sebab turunnya sebuah ayat atau beberapa ayat, atau suatu
pertanyaan yang menjadi sebab turunnya ayat sebagai jawaban, atau sebagai
penjelasan yang diturunkan pada waktu terjadinya suatu peristiwa. Meskipun
demikian, asbab an-nuzul tidak berhubungan secara kausal dengan materi yang
bersangkutan. Dengan kata lain, tidak bisa diterima pernyataan bahwa jika suatu
sebab tidak ada, maka ayat al-Qur’an itu tidak akan turun.[5]
Karena
pada dasarnya, Asbab An-Nuzul adalah kejadian atau peristiwa yang
melatarbelakangi turunnya ayat Al-Qur’an. Az-Zarqani dan As-Suyuthi mensinyalir
adanya kalangan yang berpendapat bahwa mengetahui asbab an-nuzul merupakan hal
yang sia-sia dalam memahami Al-qur’an. Karena mereka beranggapan bahwa
pemahaman Al-Qur’an dengan memahami konteks historis sama dengan membatasi
pesan-pesan yang ada di dalamnya pada ruang dan waktu tertentu. Hal tersebut
tentunya tidaklah berdasar, karena tidak mungkin menguniversalkan pesan
Al-Qur’an di luar masa dan tempat pewahyuan, kecuali melalui pemahaman yang
semestinya terhadpa makna Al-Qur’an dalam konteks kesejarahannya.[6]
Dengan
demikian, ada beberapa definisi asbab an-nuzul menurut beberapa ulama, definisi
tersebut antara lain:
1.
Al-Zarqani mendefinisikan asbab
an-nuzul sebagai berikut:[7]
هُوَ
مَا نَزَلَت الأَيَةُ أَوِالأَيَاتُ مُتَحَدِّثَةً عَنْهُ أَوْمُبَيِّنَةً
لِحُكْمِهِ أَيَّامَ وُقُوْعِهِ
(Sebab
an-nuzul adalah sesuatu yang turun satu ayat atau beberapa ayat yang berbicara
tentangnya (seuatu itu) atau menjelaskan ketentuan-ketentuan hukum yang terjadi
pada waktu terjadinya peristiwa tersebut).
2.
Mannȃ’ al-Qaththȃn:[8]
هُوَ
مَا نُزِّلَ قُرْآنٌ بِشَأْنِهِ وَقْتَ وُقُوْعِهِ كَحَادِثَةٍ أَوْسُؤَالٍ
(Sebab
An-Nuzul adalah sesuatu, yang turunnya Al-Qur’an berkenaan dengannya pada waktu
terjadinya seperti suatu peristiwa yang terjadi atau ada pertanyaan).
3.
Subẖȋ as-Shȃliẖ mendefinisikan pula:[9]
هُوَ مَا
نُزِلَت الأَيَةُ أَوِالأَيَاتُ بِسَبَبِهِ مُتَضَمِّنَةً أَوْمُجِيْبَةً عَنْهُ
أَوْمُبَيِّنَةً لِحُكْمِهِ زَمَنَ وُقُوْعِهِ
(Sebab
an-Nuzul adalah sesuatu, yang oleh karenanya turunlah satu ayat atau beberapa
ayat yang mengandung sebuah peristiwa tersebuat atu menjawab terhadap
pertanyaan darina atau pun menjelaskan terhadap hukum yang terjadi pada
zamannya).
4.
Al-Qȃsimi mendefinisikan asbab
an-nuzul adalah sebuah pengetahuan tentang sebab turunnya ayat, yaitu
pengetahuan yang berkenaan dengan keadaan atau situasi dan kondisi ketika ayat
tersebut turun.[10]
5.
M. Quraisy Shihab memperjelas
terhadap definisi asbab an-nuzul al-Qur’an dengan cara memilah peristiwanya. Ia
mengatakan bahwa yang dimaksud dengan asbab an-nuzul adalah:[11]
a.
Peristiwa-peristiwa yang menjadi
sebab turunnya ayat, dimana ayat tersebut menjelaskan pandangan Al-Qur’an
tentang peristiwa tadi atau mengomentarinya.
b.
Peristiwa-peristiwa yang terjadi
sesudah turunnya suatu ayat, dimana
adanya peristiwa tersebut telah mencakup pengertiannya atau dijelaskan hukumnya
oleh ayat tadi.
2.2 Urgensi
Mengetahui Asbab An-Nuzul
Memahami dan mempelajarai terhadap asbab an-nuzul tentunya
mempunyai beberapa urgensi. Terkait tentang urgensinya mengetahui asbab
an-nuzul, para ulama berbeda pendapat, sebagaimana berikut:[12]
1.
Sebagian ulama menyatakan, bahwa
pengetahuan tersebut tidak penting karena hal itu termasuk pengetahuan terhadap
sejarah Al-Qur’an.
2.
Sebagian ulama yang lain menyatakan,
bahwa pengetahuan tentang asbab an-nuzul sangat perlu sekali. Bahkan menurut
az-Syâthibî, pengetahuan asbab an-nuzul merupakan kemestian bagi orang yang
ingin mengetahui kandungan Al-Qur’an.
Sedangkan urgensi mengetahui asbab an-nuzul menurut Az-Zarqani
antara lain:
1.
Membantu dalam meahami sekaligus
mengatasi ketidakpastian dalam mengungkap pesan ayat-ayat Al-Qur’an.
Sebagaimana dalam surat Al-Baqarah (2) ayat 115 dinyatakan bahwa Timur dan
Barat merupakan kepunyaan Allah. Sehingga dalam masalah shalat, dengan melihat
dhahir yang di atas, seseorang boleh menghadap kearah mana saja sesuai dengan
kehendak hatinya. Meskipun ia seakan-akan tidak berkewajiban untuk menghadap
kiblat ketika ia shalat. Akan tetapi, setelah melihat asbab an-nuzul-nya, interpretasi
tersebut keliru sebab ayat di atas menjelaskan tentang seseorang yang sedang
berada dalam perjalanan dan melakukan shalat di atas kendaraan, atau
menjelaskan tentang orang yang berjihad dalam menentukan arah kiblat.[13]
2.
Untuk mengetahui hikmah dan rahasia
dibalik legislasi hukum.
3.
Menghindarkan prasangka arti ayat
hanya pada batas tertentu (hasr) karena arti dhahir ayat itu memang
menunjukkan hasr (terbatas). Padahal arti yang sebenarnya bukanlah
berhenti pada apa yang ditunjuk ayat itu.[14]
4.
Solusi mengatasi keraguan ayat yang
diduga mengandung pengertian umum. Sebagaimana dalam surat Al-An’am (6) ayat
145 dijelaskan:[15]
@è%Hw߉É`r&’Îû!$tBzÓÇrré&¥’n<Î)$·B§ptèC4’n?tã5OÏã$sÛÿ¼çmßJyèôÜtƒHwÎ)br&šcqä3tƒºptGøŠtB÷rr&$YByŠ
%·nqàÿó¡¨B÷rr&zNóss99ƒÍ”\Åz¼çm¯RÎ*sùê[ô_Í‘÷rr&$¸)ó¡Ïù¨@Ïdé&ÎŽötóÏ9«!$#¾ÏmÎ/4Ç`yJsù§äÜôÊ$#
uŽöxî8ø$t/Ÿwur7Š$tã¨bÎ*sùš/u‘Ö‘qàÿxîÒO‹Ïm§‘ÇÊÍÎÈ
Katakanlah:
"Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang
diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu
bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - karena Sesungguhnya semua
itu kotor - atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa
yang dalam Keadaan terpaksa, sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula)
melampaui batas, Maka Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang".
Sementara menurut Asy-Syafi’i, pesan ayat ini tidak
bersifat umum (hasr). Sehingga untuk mengatasi kemungkinan adanya
keraguan dalam memahami ayat di atas, Asy-Syafi’i menggunakan alat bantu asbab
an-nuzul. Karena ayat tersebut
diturunkan sehubungan dengan orang-orang kafir yang tidak mau memakan sesuatu
kecuali yang mereka halalkan sendiri. Oleh karena itu, tradisi orang-orang
kafir mengharamkan apa yang telah
dihalalkan Allah dan menghalalkan apa yang diharamkan Allah menjadi asbab
an-nuzulnya ayat tersebut.
5.
Menjadikan
khusus terhadap hukum yang terkandung dalam ayat Al-Qur’an, bagi ulama yang
berpendapat bahwa yang menjadi pegangan adalah sebab yang bersifat khusus
(khusus as-bab) dan bukan lafadz yang bersifat umum (umum al-lafadz). Oleh
karena itu, ayat “zihar” dalam permulaan surat Al-Mujadalah (58), yang
turun berkenaan dengan Aus Ibnu Samit yang mengzihar istrinya (Khaulah Binti
Hakim Ibnu Tsa’labah), hanya berlaku bagi kedua orang tersebut. Hukum zihar
yang berlaku bagi selain kedua orang itu, ditentukan dengan jalan analogi
(qiyas).[16]
6.
Mengidentifikasikan
pelaku yang menyebabkan ayat Al-Qur’an turun. Sebagaimana ‘Aisyah pernah
menjernihkan kekeliruan Marwan yang menunjuk Abdul Ar-Rahman Ibnu Abu Bakar
sebagai orang yang menyebabkan turunnya ayat: “Dan orang yang mengatakan
kepada orang tuanya “Cis kamu berdua...”(Al-Ahqaf {46}: 17). Sehingga untuk
meluruskan persoalan, ‘Aisyah berkata kepada Marwan, “Demi Allah, bukan dia
yang menyebabkan ayat ini turun. Dan aku sanggup untuk menyebutkan siapa orang
yang sebenarnya.”[17]
7.
Memudahkan
dalam menghafal dan memahami ayat, serta untuk memantapkan wahyu ke dalam hati
orang yang mendengarnya. Karena hubungan sebab akibat (musabab), hukum, peristiwa
dan perilaku, masa dan tempat merupakan satu jalinan yang dapat mengikat hati.[18]
Selain itu, ada beberapa argumen yang dikemukakan oleh
para ulama yang menganggap pentingnya mengetahui asbab an-nuzul tersebut, dapat
dilihat dalam pernyataan-pernyataan berikut ini:
1.
Kata
Al-Wahidî, tidak mungkin dapat mengetahui tafsir ayat Al-Qur’an
tanpa terlebih dahulu kisahnya dan keterangan sebab turunnya ayat yang
bersangkutan. Tentu ayat-ayat yang dimaksudkan itu adalah ayat-ayat yang memang
memiliki asbab an-nuzul.
2.
Kata
Ibn Daqȋq al-‘ȋd, adanya
keterangan sebab turunnya ayat merupakan jalan (cara yang tepat untuk dapat
memahami makna-makna Al-Qur’an khususnya ayat-ayat yang memiliki aabab
an-nuzul.
3.
Kata
Ibn Taymiyah, keberadaan sebab turunnya ayat membantu memahami ayat Al-Qur’an.
Karena adanya pengetahuan tentang sebab akan mewariskan pengetahuan tentang
akibat dari turunnya ayat.
4.
Kata
as-Suyuthȋ, bahwa segolongan ulama telah mengalami kesulitan memahami ayat-ayat
Al-Qur’an dan barulah teratasi kesulitan tersebut ketika sebab turunnya ayat
yang bersangkutan sebagaimana yang dialami oleh Marwȃn bin al-Hakam seperti
yang diriwayatkan al-Bukhȃrȋ; ia (Marwȃn bin al-Hakam pernah mengalami
kesulitan memahami ayat 188 dari Ali Imran yang berbunyi:
Ÿw¨ûtù|¡øtrBtûïÏ%©!$#tbqãmtøÿtƒ!$yJÎ/(#qs?r&tbq™6Ït䆨rbr&(#r߉yJøtä†$oÿÏ3öNs9(#qè=yèøÿtƒŸxsùNåk¨]u;|¡øtrB
;oy—$xÿyJÎ/z`ÏiBÉ>#x‹yèø9$#(öNßgs9urë>#x‹tãÒOŠÏ9r&ÇÊÑÑÈ
“ Janganlah sekali-kali kamu menyangka, hahwa orang-orang yang
gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji
terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan janganlah kamu menyangka bahwa
mereka terlepas dari siksa, dan bagi mereka siksa yang pedih”(Ali Imran: 188).
Kesulitan yang dialami oleh Marwan adalah bagaimana
mungkin orang yang gembira dengan apa yang telah diperbuatnya dan senang dipuji
atas apa yang tidak diperbuatnya, lalu disiksa oleh Allah. Maka Marwan bertanya
kepada Ibn ‘Abbȃs. Ibn ‘Abbȃs menjawab bahwa ayat itu turun berkenaan dengan
orang-orang Yahudi yang ditanya oleh Rasul Allah. Mereka tidak mau menjawab
pertanyaan Rasul dan bahkan mereka menceritakan apa yang yang tidak
ditanyakannya. Mereka menyangka bahwa perbuatannya itu telah menimbulkan respek
Rasul Allah kepada mereka. Kemudian mereka merasa gembira karenanya. Dengan
adanya keterangan asbab an-nuzul ayat tersebut, maka Marwan menjadi paham
maksud ayat yang tadinya tidak dipahami
itu.[19]
Sedangkan ulama yang menganggap sangat penting
mengetahui asbab an-nuzul Al-Qur’an telah merinci kegunaan pengetahuan itu.
Diantaranya adalah sebagai berikut:[20]
1.
Memberikan
petunjuk tentang hikmah yang dikehendaki Allah atas apa yang telah ditetapkan
hukumnya.
2.
Memberikan
petunjuk tentang adanya ayat-ayat tertentu yang memiliki kekhususan hukum
tertentu. Hal ini lebih dirasakan perlu oleh golongan yang menyatakan:
العِبْرَةُ
بِخُصُوْصِ السَّبَبِ لاَبِعُمُوْمِ الّلفْظِ
(Yang menjadi
ibarat (pegangan) adalah kekhususan sebab bukan keumuman lafadz)
3.
Merupakan cara yang efisien untuk memahami makna
yang terkandung dalam ayat-ayat Al-Qur’an.
4.
Menghindarkan keraguan tentang ketentuan
pembatasan (al-hashr) yang terdapat dalam Al-Qur’an, seperti dalam ayat
145 dari al-An’am berikut ini:
@è%Hw߉É`r&’Îû!$tBzÓÇrré&¥’n<Î)$·B§ptèC4’n?tã5OÏã$sÛÿ¼çmßJyèôÜtƒHwÎ)br&šcqä3tƒºptGøŠtB÷rr&$YByŠ
%·nqàÿó¡¨B÷rr&zNóss99ƒÍ”\Åz¼çm¯RÎ*sùê[ô_Í‘÷rr&$¸)ó¡Ïù¨@Ïdé&ÎŽötóÏ9«!$#¾ÏmÎ/4Ç`yJsù§äÜôÊ$#uŽöxî8ø$t/
Ÿwur7Š$tã¨bÎ*sùš/u‘Ö‘qàÿxîÒO‹Ïm§‘ÇÊÍÎÈ
Katakanlah:
"Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang
diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu
bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - karena Sesungguhnya semua
itu kotor - atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa
yang dalam Keadaan terpaksa, sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula)
melampaui batas, Maka Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang".
Secara
kontekstual, keberadaan ayat tersebut mengandung pembatasan (al-ẖashr).
Sebagaimana menurut as-Syafi’i, sebelum ayat ini turun, orang-orang kafir
mengharamkan apa yang dihalalkan dan menghalalkan apa yang telah diharamkan
Allah. Kemudian ayat tersebut turun seolah –olah menyatakan: “Tidaklah haram
hukumnya terkecuali apa yang telah dihalalkan oleh orang-orang kafir, yakni
bangkai....”dan seterusnya. Ayat tersebut tidak dimaksudkan sebagai
pernyataan, bahwa selain dari apa yang tersebut didalam ayat, hukumnya halal
semua. Jadi titik tekannya adalah keharaman sesuatu dan bukan kehalalan
sesuatu.
5.
Menghilangkan
kemusykilan memahami ayat, seperti yang telah dialami oleh Marwan bin al-Hakam
tersebut.
6.
Membantu
memudahkan penghafal ayat dan pengungkapan makna yang terkandung didalam ayat.
Sementara itu, ulama yang tidak menganggap penting
mengetahui asbab an-nuzul sebagaimana Al-Syaikh Muhammad Abduh memiliki
beberapa prinsip-prinsip pokok tingkatan tafsir yang memiliki:[21]
1.
Tujuh
prinsip pokok dalam menafsirkan Al-Qur’an yang ditempuhnya, sama sekali tidak
menyinggung asbab-an-nuzul.[22]
2.
Lima
tingkatan tafsir yang dinyatakan berkategori
tinggi (al-martabat al-‘Ula), sama sekali tidak menyinggung asbab
an-nuzul.[23]
Berdasarkan hal tersebut tentunya dapat diketahui bahwa
Muhammad Abduh tidak menyinggung terhadap asbab an-nuzul karena keberadaan
asbab an-nuzul sumbernya adalah hadis. Begitu pula dengan muridnya yaitu Rasyid
Ridha, sebagaimana dikemukakan oleh M.Quraisy Syihab, bahwa tidaklah mudah
menerima riwayat-riwayat hadis-hadis Nabi, walaupun hadis itu diriwayatkan oleh
Bukhari dan Muslim.
Meskipun demikian, beberpa ulama yang secara tegas
menolak pentingnya dan kegunaaan asbab an-nuzul diantaranya adalah Sayyid
Muhammad Husayn al-Thabȃthȃba’ȋ
memiliki tiga alasan dari bentuk penolakannya. Sedangkan tiga alasan tersebut
meliputi:
1. Hadis-hadis yang
berkenaan dengan asbab an-nuzul tidak ada yang mempunyai sanad, olehkarena
itu tidaklah sah.
2. Periwayatan hadis tidak
dilakukan secara berhadapan muka antara pemberi dan penerima riwayat, dan juga
tidak dengan taẖammul dan
hafalan. Para perawi hanya mengaitkan ayat dengan kisah-kisah tertentu. Jadi,
pada hakikatnya asbab- an-nuzul itu hanyalah hasil ijtihad semata. Maka banyak sekali riwayat yang saling
bertentangan.
3. Sampai akhir abad I
Hijriyah, penulisan hadis tetap dilarang. Karena itu, orang-orang yang
menemukan catatan hadis segera dibakar catatan tersebut. Akhirnya periwayatan
hadis tentang asbab an-nuzul hanya dalam bentuk makna saja. Hal demikian ini
mengakibatkan terjadinya perubahan kandungan hadis itu sendiri.
Meskipun demikian, pendapat Muhammad Husayn al-Thabȃthȃba’ȋ seluruhnya tidaklah kuat, karena beberapa
faktor yaitu:[24]
1.
Hadis-hadis
tentang asbab an-nuzul ternyata cukup banyak yang memiliki sanad lengkap
dan secara kritil ekstern ada yag berkualitas
shahih, sekurang-kurangnya menurut jumhȋr ulama sunnȋ.
2.
Ketidak benaran tentang periwayatan hadis dilakukan tidak
berhadapan muka, tidak memenuhi kategori tahammul, dan tidak secara
hafalan. Karena para ulama sunni dalam penelitian hadis selalu
menggunakan jarẖ wa ta’dȋl terhadap para perawi termasuk didalamnya hubungan antara pemberi
dengan penerima riwayat. Sebagaimana yang dilakukan Imam Al-Bukhȃri yang tidak
memasukkan suatu riwayat kedalam kategori shahih apabila nata pemberi dan
penerima riwayat dari sanad hadis itu tidak bertemu.
3.
Adanya periwayatan hadis memang pernah dilarag, akan tetapi ada
orang-orang tertentu yang dibolehkan membuat catatan dan menyampaikan riwayat
hadis. Sebagaimana yang terjadi pada masa khalifah Abu Bakar, tidak ada
orang-orang yang memiliki dan membuat catatan hadis, termasuk Abu Bakar sendiri
membakar semua catatan-catatan milik pribadinya. Meskipun demikian, larangan
tersebut adalah larangan dalam usaha pembukuan secara massal dan resmi,
sehingga yang bersifat pribadi tidak dilarang. Sedangkan periwayatan bi
al-mana memang terjadi dalam periwayatan hadis, tetapi hal ini sangat ketat
syarat-syaratnya dan sangat memungkinkan untuk diteliti lebih lanjut tentang
kualitas hadisnya.
2.3
Cara-cara Mengetahui Asbab An-Nuzul
Menurut Syah Walȋ Allah al-Dahlawi, untuk mengetahui asbab an-nuzul
suatu ayat termasuk pekerjaan yang sangat sulit. Karena sering terjadi
perselisihan pendapat dikalangan ulama mutaqaddimȋn dan ulama mutaakhirȋn
tentang berapa riwayat yang berkenaan dengan maslah asbab an-nuzul
tersebut. Sebagaimana menurut al-Dahlawi bahwa sumber kesulitan tersebut antara
lain:[25]
1. Dikalangan
sahabat dan tabi’ȋn telah mengemukakan suatu kisah ketika menjelaskan suatu
ayat. Tetapi mereka tidak secara tegas menyatakan bahwa kisah itu merupakan
asbab an-nuzul . Padahal setelah diteliti ternyata kisah itu merupakan sebab
turunnya ayat tersebut.
2. Adakalanya
kalangan sahabat dan tabi’ȋn mengemukakan hukum suatu kasus dengan mengemukakan
ayat tertentu, kemudian mereka menyatakan dengan kalimat: ...نُزِلَتْ فِيْ
كَذَا seolah-olah mereka
menyatakan bahwa peristiwa itu merupakan penyebab turunnya ayat tersebut.
Padahal boleh jadi pernyataan itu sekedar istinbȃath hukum dari Nabi
tentang ayat yang dikemukakan tadi.
Sedangkan susunan atau bentuk redaksi yang dapat memberi petunjuk
secara tegas tentang asbab an-nuzul adalah:[26]
1. Bentuk
redaksi yang tegasnya begini:....سَبَبُ نُزُلِ الأَيَةِ كَذَا
2. Adanya
huruf al-fa’ al-sababiyah yang masuk pada riwayat yang dikaitka dengan
turunnya ayat, misalnya:..... الأَيَةُفَنُزِلَتِ
3. Adanya
keterangan yang menjelaskan bahwa Rasul ditanya sesuatu kemudian diikuti dengan
turunnya ayat sebagai jawabannya. Dalam hal ini tidak digunakan pertanyaan
tertentu.
Meskipun demikian, bentuk-bentuk
redaksi yang berbunyi: .....الأَيَةُنُزِلَتِ atau .....نُزِلَتْ
هَذِهِ الأَيَةُ فِيْ, para ulama berbeda pendapat, sebagaimana
pendapat ulama dibawah ini:[27]
1. Az-Zarkasyȋ
dan as-Suyuthȋ mengatakan bahwa redaksi tersebut menunjukkan bahwa ayat yang
disebutkan itu berkenaan dengan hukum tertentu yang disinggung dalam pembahasan
ayat dan bukanlah sebagai sebab turunnya ayat.
2. Ibn
Taimiyah, bentuk tersebut mengandung dua kemungkinan petunjuk: a) sebagai sebab
turunnya ayat; b) sebagai keterangan tentang maksud ayat dan bukan sebagai
sebab turunnya ayat; hal ini sama dengan pertanyaan yang berbunyi: عُنِيْ بِهَذِهِ
الأَيَةِ (yang dimaksud dengan
ayat ini....).
3. Penelitian
al-Qasimi, para sahabat dan tabi’ȋn sering menggunakan susunan redaksi itu,
dengan maksud memberikan gambaran tentang apa yang dibenarkan oleh ayat. Dalam
hal ini perlu dilakukan ijtihad. Sehingga menjadi jelas apakah riwayat itu
sebagai asbab an-nuzul atau sekedar penjelasan tentang kandungan suatu ayat.
4. Menurut
al-Zarqani, bentuk redaksi itu tidaklah secara pasti menunjukkan sebab turunnya
ayat, karena dapat saja berarti sebagai petunjuk tentang kandungan ayat. Dalam
hal ini harus diteliti qarȋnah (indikator) nya. Bila ternyata ada qarȋnah
yang menunjukkan sebab turunnya ayat, maka barulah dipahami bahwa redaksi
itu menunjukkan tentang peristiwa sebab turunnya ayat.
Selain itu, Apabila terjadi seputar dua atau beberapa riwayat yang
tidak memiliki redaksi tegas sedikitpun, misalnya sebagian mufassir mengatakan;
ayat ini turun mengenai hal ini, sedang yang lain mengatakan ; ayat ini turun
mengenai hal ini, juga tidak ada indikator yang menunjukkan salah satunya
kepada makna sebab nuzul, maka kedua riwat itu dipahami sebagai penjelasan
kandungan hukum ayat yang bersangkutan, serta tidak ada alasan sedikit pun
untuk memahami salah satunya sebagai sesuatu yang menunjukkan makna sebab.
Sedangkan apabila perbedaan itu berkisar pada dua atau beberapa
redaksi, yang semuanya mengandung ungkapan yang tegas dalam menunjukkan sabab,
maka pembahasannya bercabang. Sehingga bisa saja terjadi beberapa hal yang
meliputi:[28]
1. Keberbilangan
sabab, sedang ayat yang turun hanya satu
Dalam masalah ini juga ada ketentuan tersendiri yang perlu dipahami
yaitu:
a. Salah
satu riwayatnya saja yang shahih, ketentuannya adalah menggunakan yang shahih
itu untuk menjelaskan sebab nuzul dan menolak yang tidak shahih.
Sebagaimana dalam Surat Ad-Dhuha ayat 1-3:
4ÓyÕ‘Ò9$#urÇÊÈÈ@ø‹©9$#ur#sŒÎ)4ÓyÖy™ÇËÈ$tBy7t㨊ury7•/u‘$tBur4’n?s%ÇÌÈ
Demi waktu
matahari sepenggalahan naik, dan demi malam apabila telah sunyi (gelap),Tuhanmu
tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu.
Maksudnya: ketika turunnya wahyu kepada Nabi Muhammad
s.a.w. terhenti untuk Sementara waktu, orang-orang musyrik berkata:
"Tuhannya (Muhammad) telah meninggalkannya dan benci kepadaNya". Maka
turunlah ayat ini untuk membantah Perkataan orang-orang musyrik itu.
b. Kedua
riwayat berstatus shahih, dan ada yang menguatkan salah satunya, sehingga
ketentuannya adalah kita mengambil riwayat yang memiliki penguat untuk
menjelaskan sebab nuzul, bukan lainnya.
Sebagaimana dalam Surat Al-Isra’ ayat 85:
štRqè=t«ó¡o„urÇ`tãÇyr”9$#(È@è%ßyr”9$#ô`ÏBÌøBr&’În1u‘!$tBurOçFÏ?ré&z`ÏiBÉOù=Ïèø9$#žwÎ)WxŠÎ=s%ÇÑÎÈ
“Dan mereka bertanya
kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu Termasuk urusan Tuhan-ku, dan
tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit".
Dari riwayat yang ditakhrij oleh Imam Atirmidziy dan
dinilainya shahih, dari IbnAbbas, katanya; Kaum Quraisy berkata kepada kaum
Yahudi: berilah kami sesuat, tentu kami akan tanyakan kepada laki-laki ini.
Mereka berkata: tanyakan kepadanya tentang ruh. Mereka pun bertanya tentang
ruh, dan Allah menurunkan ayat di atas.
c.
Kedua riwayat shahih, tidak ada yang menguatkan salah satunya dan
mungkin digabungkan, maka ketentuannya adalah bahwa salah satu sebab itu
terjadi, dan ayat yang bersangkutan baru turun setelah ada kedua sebab
tersebut.
Sebagaimana dalam surat An-Nur ayat 6:
tûïÏ%©!$#urtbqãBötƒöNßgy_ºurø—r&óOs9ur`ä3tƒöNçl°;âä!#y‰pkàHwÎ)öNßgÝ¡àÿRr&äoy‰»ygt±sùóOÏdωtnr&ßìt/ö‘r&
¤Nºy‰»uhx©«!$$Î/ ¼çm¯RÎ)z`ÏJs9šúüÏ%ω»¢Á9$#ÇÏÈ
“Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), Padahal
mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka
persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya
Dia adalah Termasuk orang-orang yang benar”.
d. Kesamaan
dua riwayat dalam keshahihan, tanpa ada yang menguatkan salah satunya dan
mungkil diambil bersama-sama karena jauhnya waktu antar sebab, maka
ketentuannya adalah mengartikannya sebagai keberulangan turunnya ayat dengan
keragaman sebab.
Sebagaimana dalam surat An-Nahl 126:
÷bÎ)uróOçGö6s%%tæ(#qç7Ï%$yèsùÈ@÷VÏJÎ/$tBOçFö6Ï%qãã¾ÏmÎ/(ûÈõs9ur÷Län÷Žy9|¹uqßgs9׎öyzšúïÎŽÉ9»¢Á=Ïj9ÇÊËÏÈ
“ Dan jika kamu memberikan balasan, Maka balaslah dengan Balasan
yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu, akan tetapi jika kamu
bersabar, Sesungguhnya Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar”.
Maksudnya pembalasan yang dijatuhkan atas
mereka janganlah melebihi dari siksaan yang ditimpakan atas kita.
2. Keberbilangan
ayat yang turun dan sebabnya satu
Sebagaimana dalam surat At-Taubah ayat 74:
šcqàÿÎ=øts†«!$$Î/$tB(#qä9$s%ô‰s)s9ur(#qä9$s%spyJÎ=x.Ìøÿä3ø9$#(#rãxÿŸ2ury‰÷èt/ö/ÏSÏJ»n=ó™Î)(#q‘Jydur$yJÎ/
óOs9(#qä9$oYtƒ4$tBur(#þqßJs)tRHwÎ)÷br&ãNßg9uZøîr&ª!$#¼ã&è!qß™u‘ur`ÏB¾Ï&Î#ôÒsù4bÎ*sù(#qç/qçGtƒà7tƒ#ZŽöyz
öNçl°;(bÎ)ur(#öq©9uqtGtƒãNåkö5Éj‹yèリ!$#$¹/#x‹tã$VJŠÏ9r&’Îû$u‹÷R‘‰9$#ÍotÅzFy$#ur4$tBuröNçlm;’ÎûÄßö‘F{$#
`ÏB<c’Í<urŸwur9ŽÅÁtRÇÐÍÈ
“Mereka (orang-orang munafik itu) bersumpah dengan (nama) Allah,
bahwa mereka tidak mengatakan (sesuatu yang menyakitimu). Sesungguhnya mereka
telah mengucapkan Perkataan kekafiran, dan telah menjadi kafir sesudah Islam
dan mengingini apa yang mereka tidak dapat mencapainya[650], dan mereka tidak
mencela (Allah dan Rasul-Nya), kecuali karena Allah dan Rasul-Nya telah
melimpahkan karunia-Nya kepada mereka. Maka jika mereka bertaubat, itu adalah
lebih baik bagi mereka, dan jika mereka berpaling, niscaya Allah akan mengazab
mereka dengan azab yang pedih di dunia dan akhirat; dan mereka sekali-kali
tidaklah mempunyai pelindung dan tidak (pula) penolong di muka bumi”.
Maksudnya: mereka ingin
membunuh Nabi Muhammad s.a.w.
3. Keumuman
dan kekhususan antara lafadz syar’i dan sebabnya
Sebagaimana dalam surat
Al-Lail ayat 17-18:
$pkâ:¨Zyfã‹y™ur’s+ø?F{$#ÇÊÐÈ“Ï%©!$#’ÎA÷sーã&s!$tB4’ª1u”tItƒÇÊÑÈ
“Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari neraka
itu, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkannya”.
4. Keumuman
lafadz dan kekhususan sebab
Sebagaimana dalam surat An-Nur ayat 6:
tûïÏ%©!$#urtbqãBötƒöNßgy_ºurø—r&óOs9ur`ä3tƒöNçl°;âä!#y‰pkàHwÎ)öNßgÝ¡àÿRr&äoy‰»ygt±sùóOÏdωtnr&
ßìt/ö‘r&¤Nºy‰»uhx©«!$$Î/ ¼çm¯RÎ)z`ÏJs9šúüÏ%ω»¢Á9$#ÇÏÈ
“Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), Padahal
mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka
persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya
Dia adalah Termasuk orang-orang yang benar”.
5. Serupa
dengan sabab khusus beserta lafadz umum
Sebagaimana dalam surat An-Nisa’ ayat 51:
öNs9r&ts?’n<Î)šúïÏ%©!$#(#qè?ré&$Y7ŠÅÁtRz`ÏiBÉ=»tGÅ6ø9$#tbqãYÏB÷sãƒÏMö6Éfø9$$Î/ÏNqäó»©Ü9$#urtbqä9qà)tƒur
tûïÏ%©#Ï9(#rãxÿx.ÏäIwàs¯»yd3“y‰÷dr&z`ÏBtûïÏ%©!$#(#qãYtB#uä¸x‹Î6y™ÇÎÊÈ
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi
bahagian dari Al kitab? mereka percaya kepada jibt dan thaghut[309], dan
mengatakan kepada orang-orang kafir (musyrik Mekah), bahwa mereka itu lebih
benar jalannya dari orang-orang yang beriman”.
Jibt dan Thaghut
ialah syaitan dan apa saja yang disembah selain Allah s.w.t.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Mempelajari dan memahami Asbab an-nuzul sangat penting sekali untuk
menafsirkan Al-Qur’an secara baik dan benar serta sesuai dengan disiplin ilmu
Al-Qur’an dan tafsir. Sebab Asbab an-nuzul merupakan peristiwa yang terjadi
pada masa Rasulullah atau rangkaian pertanyaan kepada Rasulullah, lalu turun
ayat atau beberapa ayat dari Allah untuk menjelaskan sesuatu yang berkaitan
dengan peristiwa tersebut atau menjawab pertanyaan tersebut, baik peristiwa itu
merupakan petikaian yang berkembang saat itu.
Sedangkan urgensi dari mengetahui asbab an-nuzul di antaranya
adalah untuk mengetahui kebijaksanaan Allah secara lebih rinci mengenai
syari’at yang diturunkannya dan membantu memahami ayat yang bersangkutan dan
mengenyahkan problem berkenaan dengannya.
Sehingga dengan mengetahui asbab an-nuzul seseorang akan mengetahui kisah dan penjelasan turunnya ayat
dan memahami makna Al-Quran. Oleh karena itu, salah satu cara untuk mengetahi
asbab an-nuzul dari ayat Al-Quran adalah memahami dari beberapa riwayat yang
ada dan mencari qarinah (tanda) yang mengarah pada asbab an-nuzul dari
ayat tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Hayyie, Tim Abdul,2008Sebab Turunnya Ayat Al-Qur’anTerjemah
Lubaabun Nuquul fii Asbaabin Nuzul, Jakarta: Gema Insani.
Anwar, Rosihon, 2009, Pengantar Ulumul Qur’an, Bandung:
Pustaka Setia.
Nasrul Haq, dkk, 2006, Terjemah ‘Ulum Al-Qur’an, Jakarta:
Al-Huda.
Mudzakir, 2011, Terjemah Mabahis Fi Ulum Al-Qur’an, Bogor:Pustaka
Litera Antarnusa,
Chirzin, Muhammad, 2015, Mengerti
Asbabun Nuzul, Jakarta: Zaman.
Baidan, Nashruddin,2011,
Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
al-Qaththȃn, Mannȃ’, 1980, Mabȃẖits fi ‘Ulum al-Qur’an, Bairut:
Mu’assasaṯ ar-Risȃlah.
as-Shȃliẖ, Subẖȋ,
1997, Mabȃẖits fi ‘Ulum al-Qur’an, Bairut:
Dȃr al-‘Ilm li al-Malȃyȋn.
Al-Qȃsimi, 1957, Maẖasin at-Ta’wil, t.tp: Dȃr Iẖyȃ’ al-Kutub
al-‘Arabiyah.
Al-Azhim Az-Zarqani, Muhammad Abd, t.t, Manahil Al-Irfan, Dar Al-Fikr.
Umar,
Nasaruddin, 2014, Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur’an dan Hadis, Jakarta:
Elex Media Komputindo.
Adzim
Az-Zarqani, Muhammad Abdul, 2011, Manahil
Al-Qur’an Fi Ulum Al-Qur’an, Jakarta: Gaya Media Pratama.
[1] Tim Abdul
Hayyie, Sebab Turunnya Ayat Al-Qur’anTerjemah Lubaabun Nuquul fii Asbaabin
Nuzul, (Jakarta: GEMA INSANI, 2008), hlm. 9.
[2] Rosihon Anwar,
Pengantar Ulumul Qur’an, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), hlm. 118.
[3] Nasrul Haq,
dkk, Terjemah ‘Ulum Al-Qur’an, (Jakarta: Al-Huda, 2006), hlm. 35-36.
[4] Mudzakir, Terjemah
Mabahis Fi Ulum Al-Qur’an, (Bogor:Pustaka Litera Antarnusa, 2011), hlm.
106-107.
[5] Muhammad
Chirzin, Mengerti Asbabun Nuzul, (Jakarta: Zaman, 2015), hlm. 17-18.
[6] Rosihon Anwar,
Pengantar Ulumul Qur’an,......, hlm. 118.
[7] Nashruddin
Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011),
hlm.132-133.
[8] Mannȃ’
al-Qaththȃn, Mabȃẖits fi ‘Ulum al-Qur’an, (Bairut: Mu’assasaṯ
ar-Risȃlah, 1980), hlm. 93-94.
[9] Subẖȋ as-Shȃliẖ,
Mabȃẖits fi ‘Ulum al-Qur’an, (Bairut: Dȃr al-‘Ilm li al-Malȃyȋn, 1997),
hlm. 132.
[10] Al-Qȃsimi, Maẖasin
at-Ta’wil, (t.tp: Dȃr Iẖyȃ’ al-Kutub al-‘Arabiyah, 1957),Juz I, hlm. 28.
[11] Nashruddin
Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, ....., hlm.132-135.
[12] Nashruddin
Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, ....., hlm.136.
[13] Muhammad Abd
Al-Azhim Az-Zarqani, Manahil Al-Irfan, (Dar Al-Fikr, t.t), Jilid I, hlm.
109.
[14] Nasaruddin
Umar, Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur’an dan Hadis, (Jakarta: Elex Media
Komputindo, 2014), hlm. 28-29.
[15] Rosihon Anwar,
Pengantar Ulumul Qur’an,......, hlm. 120.
[16] Rosihon Anwar,
Pengantar Ulumul Qur’an,......, hlm. 121.
[17] Rosihon Anwar,
Pengantar Ulumul Qur’an,......, hlm. 121.
[18] Rosihon Anwar,
Pengantar Ulumul Qur’an,......, hlm. 121.
[19] Nashruddin
Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, ....., hlm.136-137.
[20]Nashruddin
Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, ....., hlm.138-139.
[21] Nashruddin
Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, ....., hlm. 139.
[22] Ketujuh
prinsip pokok tersebut adalah : 1) Setiap surat Al-Qur’an merupakan satu
kesatuan bagi ayat-ayatnya yang serasi; 2) Ayat Al-Qur’an berisi umum, tidak
dibatasi oleh waktu dan orang-orang tertentu; 3)Al-Qur’an sumber akidah dan
hukum; 4)Penggunaan akal yang bebas untuk memahami Al-Qur’an; 5) Menentang dan
memberantas taqlid; 6) Tidak merinci masalah-masalah yang disinggung secara mubham,
atau sepintas oleh Al-Qur’an; 7) Sangat hati-hati terhadap pendapat sahabat dan
menolak kisah-kisah Isrȃiliyȃt. Lebih lanjut lihat M. Quraish Shihab, Metode
Penyusunan Tafsir yang Berorientasi Pada
Sastera, Budaya dan Kemasyarakatan, Ujung Pandang, IAIN “Alauddin”, 1984,
h.10-14, 26, 28, 30.
[23] Kelima tafsir
yang berkategori tinggi tersebut adalah: 1) Paham akan arti hakikat setiap kata
yang dipakai oleh Al-Qur’an; 2) Paham akan bentuk susunan kalimat yang dipakai
oleh Al-Qur’an; 3) Berpengetahuan tentang manusia; 4) Berpengetahuan tentang
petunjuk Al-Qur’an yang ditujukan kepada manusia; 5) Berpengetahuan tentang sejarah
Nabi dan para sahabatnya. Lebih lanjut lihat, Muhammad Abduh, Fȃtiẖaṯ
al-Kitȃb, Kairo DȃrnalTaẖrȋr, 1382 H, h. 9-12.
[24] Nashruddin
Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, ....., hlm.140-141.
[25] Nashruddin
Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, ....., hlm.142-143.
[26] Nashruddin
Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, ....., hlm.143.
[27] Nashruddin
Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, ....., hlm.143-144.
[28] Muhammad Abdul
Adzim Az-Zarqani, Manahil Al-Qur’an Fi Ulum Al-Qur’an, (Jakarta: Gaya
Media Pratama, 2011), hlm. 123-143.