Senin, 18 September 2017



ASBAB AN-NUZUL
BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Masalah
Asbab An-Nuzul merupakan salah satu ilmu yang harus dipelajari seseorang untuk bisa memudahkan menafsirkan Al-qur’an. Karena dengan memperlajari asbab an-nuzul akan menghindarkan seseorang terhindar dari kesalahan dalam menafsirkan ayat-ayat Allah. Bahkan pemahaman terhadap ilmu tersebut juga mampu memperkaya para penafsir dalam menggali berbagai mukjizat yang ada dalam Al-qur’an.
Sedangkan menurut Ibnu Taimiyyah, pengetahuan tentang sebab turunnya ayat akan membantu seseorang untuk memahami terhadap kandungan ayat tersebut. Sebab mengetahui sebab turunnya ayat juga bisa menjadikan seseorang mengetahui sebab turunnya ayat yang merupakan buah dari sebab tersebut. Sebagaimana beberapa kalangan ulama salaf tidak jarang mengalami kesulitan dalam memahami makna-makna ayat al-Qur’an. Akan tetapi ketika mereka telah menemukan asbab an-nuzulnya, maka kesulitan yang selama ini mereka temukan menjadi sirna.[1]
Sementara itu, mayoritas ulama sepakat bahwa konteks kesejarahan yang terakumalasi dalam riwayat-riwayat asbab an-nuzul merupakan satu hal yang signifikan dalam memahami pesan-pesan yang terkandung dalam Al-Qur’an. Sehingga dalam satu statemennya, Ibnu Daqiq Al-‘ied mengatakan; penjelasan terhadap asbab an-nuzul merupakan metode kondusif untuk menginterpretasikan makna-makna Al-Qur’an.[2]
2.1 Rumusan Masalah
A. Definisi Asbab An-Nuzul
B. Urgensi Mengetahui Asbab An-Nuzul
C. Cara-cara mengetahui Asbab An-Nuzul


BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Definisi Asbab An-Nuzul
Sebelum membahas tentang definis asbab an-nuzul perlu diketahui bahwa ayat-ayat yang terdapat dalam Al-Qur’an terbagi menjadi dua bagian yaitu:[3]
1.      Ayat-ayat yang diturunkan untuk memberikan hidayah dan pendidikan serta pencerahan, tanpa didahului dengan adanya kejadian dan sebab tertentu pada masa wahyu diturunkan yang menyebabkan ayat itu diturunkan.
2.      Ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan karena didahului dengan adanya sebab berupa kejadian-kejadian yang terjadi pada saat wahyu diturunkan.
Pedoman dasar para ulama dalam mengetahui asbab an-nuzul adalah riwayat shahih yang berasal dari Rasulullah atau dari shahabat. Hal itu disebabkan karena pemberitahuan seorang sahabat mengenai hal seperti ini, bila jelas, maka hal itu bukan sekedar pendapat (ra’y), tetapi ia mempunyai hukum marfu’ (disandarkan pada Rasulullah). Oleh karena itu, para penyidik ilmu-ilmu Qur’an menaruh perhatian besar terhadap pengetahuan tentang asbab an-nuzul. Hal demikian dilakukukan untuk menafsirkan Al-Qur’an secara benar.[4]
Sedangkan Asbab an-nuzul terdiri dari dua kata; asbab (jamak dari sabab) berarti sebab atau latar belakang dan nuzul berarti turun. Sedangkan menurut Az-Zarqani, asbab an-nuzul adalah keterangan mengenai suatu ayat atau rangkaian ayat yang berisi sebab-sebab turunnya atau menjelaskan hukum suatu kasus pada waktu kejadiannya. Bahkan menurut Subhi Shalih, asbab an-nuzul itu sangat bertautan dengan sesuatu yang menjadi sebab turunnya sebuah ayat atau beberapa ayat, atau suatu pertanyaan yang menjadi sebab turunnya ayat sebagai jawaban, atau sebagai penjelasan yang diturunkan pada waktu terjadinya suatu peristiwa. Meskipun demikian, asbab an-nuzul tidak berhubungan secara kausal dengan materi yang bersangkutan. Dengan kata lain, tidak bisa diterima pernyataan bahwa jika suatu sebab tidak ada, maka ayat al-Qur’an itu tidak akan turun.[5]
Karena pada dasarnya, Asbab An-Nuzul adalah kejadian atau peristiwa yang melatarbelakangi turunnya ayat Al-Qur’an. Az-Zarqani dan As-Suyuthi mensinyalir adanya kalangan yang berpendapat bahwa mengetahui asbab an-nuzul merupakan hal yang sia-sia dalam memahami Al-qur’an. Karena mereka beranggapan bahwa pemahaman Al-Qur’an dengan memahami konteks historis sama dengan membatasi pesan-pesan yang ada di dalamnya pada ruang dan waktu tertentu. Hal tersebut tentunya tidaklah berdasar, karena tidak mungkin menguniversalkan pesan Al-Qur’an di luar masa dan tempat pewahyuan, kecuali melalui pemahaman yang semestinya terhadpa makna Al-Qur’an dalam konteks kesejarahannya.[6]
Dengan demikian, ada beberapa definisi asbab an-nuzul menurut beberapa ulama, definisi tersebut antara lain:
1.      Al-Zarqani mendefinisikan asbab an-nuzul sebagai berikut:[7]
هُوَ مَا نَزَلَت الأَيَةُ أَوِالأَيَاتُ مُتَحَدِّثَةً عَنْهُ أَوْمُبَيِّنَةً لِحُكْمِهِ أَيَّامَ وُقُوْعِهِ
(Sebab an-nuzul adalah sesuatu yang turun satu ayat atau beberapa ayat yang berbicara tentangnya (seuatu itu) atau menjelaskan ketentuan-ketentuan hukum yang terjadi pada waktu terjadinya peristiwa tersebut).
2.      Mannȃ’ al-Qaththȃn:[8]
هُوَ مَا نُزِّلَ قُرْآنٌ بِشَأْنِهِ وَقْتَ وُقُوْعِهِ كَحَادِثَةٍ أَوْسُؤَالٍ
(Sebab An-Nuzul adalah sesuatu, yang turunnya Al-Qur’an berkenaan dengannya pada waktu terjadinya seperti suatu peristiwa yang terjadi atau ada pertanyaan).
3.      Subẖȋ as-Shȃliẖ mendefinisikan pula:[9]
هُوَ مَا نُزِلَت الأَيَةُ أَوِالأَيَاتُ بِسَبَبِهِ مُتَضَمِّنَةً أَوْمُجِيْبَةً عَنْهُ أَوْمُبَيِّنَةً لِحُكْمِهِ زَمَنَ وُقُوْعِهِ
(Sebab an-Nuzul adalah sesuatu, yang oleh karenanya turunlah satu ayat atau beberapa ayat yang mengandung sebuah peristiwa tersebuat atu menjawab terhadap pertanyaan darina atau pun menjelaskan terhadap hukum yang terjadi pada zamannya).
4.      Al-Qȃsimi mendefinisikan asbab an-nuzul adalah sebuah pengetahuan tentang sebab turunnya ayat, yaitu pengetahuan yang berkenaan dengan keadaan atau situasi dan kondisi ketika ayat tersebut turun.[10]
5.      M. Quraisy Shihab memperjelas terhadap definisi asbab an-nuzul al-Qur’an dengan cara memilah peristiwanya. Ia mengatakan bahwa yang dimaksud dengan asbab an-nuzul adalah:[11]
a.    Peristiwa-peristiwa yang menjadi sebab turunnya ayat, dimana ayat tersebut menjelaskan pandangan Al-Qur’an tentang peristiwa tadi atau mengomentarinya.
b.    Peristiwa-peristiwa yang terjadi sesudah turunnya  suatu ayat, dimana adanya peristiwa tersebut telah mencakup pengertiannya atau dijelaskan hukumnya oleh ayat tadi.
2.2 Urgensi Mengetahui Asbab An-Nuzul
Memahami dan mempelajarai terhadap asbab an-nuzul tentunya mempunyai beberapa urgensi. Terkait tentang urgensinya mengetahui asbab an-nuzul, para ulama berbeda pendapat, sebagaimana berikut:[12]
1.      Sebagian ulama menyatakan, bahwa pengetahuan tersebut tidak penting karena hal itu termasuk pengetahuan terhadap sejarah Al-Qur’an.
2.      Sebagian ulama yang lain menyatakan, bahwa pengetahuan tentang asbab an-nuzul sangat perlu sekali. Bahkan menurut az-Syâthibî, pengetahuan asbab an-nuzul merupakan kemestian bagi orang yang ingin mengetahui kandungan Al-Qur’an.
Sedangkan urgensi mengetahui asbab an-nuzul menurut Az-Zarqani antara lain:
1.      Membantu dalam meahami sekaligus mengatasi ketidakpastian dalam mengungkap pesan ayat-ayat Al-Qur’an. Sebagaimana dalam surat Al-Baqarah (2) ayat 115 dinyatakan bahwa Timur dan Barat merupakan kepunyaan Allah. Sehingga dalam masalah shalat, dengan melihat dhahir yang di atas, seseorang boleh menghadap kearah mana saja sesuai dengan kehendak hatinya. Meskipun ia seakan-akan tidak berkewajiban untuk menghadap kiblat ketika ia shalat. Akan tetapi, setelah melihat asbab an-nuzul-nya, interpretasi tersebut keliru sebab ayat di atas menjelaskan tentang seseorang yang sedang berada dalam perjalanan dan melakukan shalat di atas kendaraan, atau menjelaskan tentang orang yang berjihad dalam menentukan arah kiblat.[13]
2.      Untuk mengetahui hikmah dan rahasia dibalik legislasi hukum.
3.      Menghindarkan prasangka arti ayat hanya pada batas tertentu (hasr) karena arti dhahir ayat itu memang menunjukkan hasr (terbatas). Padahal arti yang sebenarnya bukanlah berhenti pada apa yang ditunjuk ayat itu.[14]
4.      Solusi mengatasi keraguan ayat yang diduga mengandung pengertian umum. Sebagaimana dalam surat Al-An’am (6) ayat 145 dijelaskan:[15]
@è%HwßÉ`r&Îû!$tBzÓÇrré&¥n<Î)$·B§ptèC4n?tã5OÏã$sÛÿ¼çmßJyèôÜtƒHwÎ)br&šcqä3tƒºptGøŠtB÷rr&$YByŠ
%·nqàÿó¡¨B÷rr&zNóss99ƒÍ\Åz¼çm¯RÎ*sùê[ô_Í÷rr&$¸)ó¡Ïù¨@Ïdé&ÎŽötóÏ9«!$#¾ÏmÎ/4Ç`yJsù§äÜôÊ$#
uŽöxî8ø$t/Ÿwur7Š$tã¨bÎ*sùš­/uÖqàÿxîÒOÏm§ÇÊÍÎÈ
Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - karena Sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam Keadaan terpaksa, sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang".

Sementara menurut Asy-Syafi’i, pesan ayat ini tidak bersifat umum (hasr). Sehingga untuk mengatasi kemungkinan adanya keraguan dalam memahami ayat di atas, Asy-Syafi’i menggunakan alat bantu asbab an-nuzul.  Karena ayat tersebut diturunkan sehubungan dengan orang-orang kafir yang tidak mau memakan sesuatu kecuali yang mereka halalkan sendiri. Oleh karena itu, tradisi orang-orang kafir mengharamkan  apa yang telah dihalalkan Allah dan menghalalkan apa yang diharamkan Allah menjadi asbab an-nuzulnya ayat tersebut.
5.       Menjadikan khusus terhadap hukum yang terkandung dalam ayat Al-Qur’an, bagi ulama yang berpendapat bahwa yang menjadi pegangan adalah sebab yang bersifat khusus (khusus as-bab) dan bukan lafadz yang bersifat umum (umum al-lafadz). Oleh karena itu, ayat “zihar” dalam permulaan surat Al-Mujadalah (58), yang turun berkenaan dengan Aus Ibnu Samit yang mengzihar istrinya (Khaulah Binti Hakim Ibnu Tsa’labah), hanya berlaku bagi kedua orang tersebut. Hukum zihar yang berlaku bagi selain kedua orang itu, ditentukan dengan jalan analogi (qiyas).[16]
6.       Mengidentifikasikan pelaku yang menyebabkan ayat Al-Qur’an turun. Sebagaimana ‘Aisyah pernah menjernihkan kekeliruan Marwan yang menunjuk Abdul Ar-Rahman Ibnu Abu Bakar sebagai orang yang menyebabkan turunnya ayat: “Dan orang yang mengatakan kepada orang tuanya “Cis kamu berdua...”(Al-Ahqaf {46}: 17). Sehingga untuk meluruskan persoalan, ‘Aisyah berkata kepada Marwan, “Demi Allah, bukan dia yang menyebabkan ayat ini turun. Dan aku sanggup untuk menyebutkan siapa orang yang sebenarnya.”[17]
7.       Memudahkan dalam menghafal dan memahami ayat, serta untuk memantapkan wahyu ke dalam hati orang yang mendengarnya. Karena hubungan sebab akibat (musabab), hukum, peristiwa dan perilaku, masa dan tempat merupakan satu jalinan yang dapat mengikat hati.[18]
Selain itu, ada beberapa argumen yang dikemukakan oleh para ulama yang menganggap pentingnya mengetahui asbab an-nuzul tersebut, dapat dilihat dalam pernyataan-pernyataan berikut ini:
1.       Kata Al-Wahidî, tidak mungkin dapat mengetahui tafsir ayat Al-Qur’an tanpa terlebih dahulu kisahnya dan keterangan sebab turunnya ayat yang bersangkutan. Tentu ayat-ayat yang dimaksudkan itu adalah ayat-ayat yang memang memiliki asbab an-nuzul.
2.       Kata Ibn Daqȋq al-‘ȋd, adanya keterangan sebab turunnya ayat merupakan jalan (cara yang tepat untuk dapat memahami makna-makna Al-Qur’an khususnya ayat-ayat yang memiliki aabab an-nuzul.
3.       Kata Ibn Taymiyah, keberadaan sebab turunnya ayat membantu memahami ayat Al-Qur’an. Karena adanya pengetahuan tentang sebab akan mewariskan pengetahuan tentang akibat dari turunnya ayat.
4.       Kata as-Suyuthȋ, bahwa segolongan ulama telah mengalami kesulitan memahami ayat-ayat Al-Qur’an dan barulah teratasi kesulitan tersebut ketika sebab turunnya ayat yang bersangkutan sebagaimana yang dialami oleh Marwȃn bin al-Hakam seperti yang diriwayatkan al-Bukhȃrȋ; ia (Marwȃn bin al-Hakam pernah mengalami kesulitan memahami ayat 188 dari Ali Imran yang berbunyi:
Ÿw¨ûtù|¡øtrBtûïÏ%©!$#tbqãmtøÿtƒ!$yJÎ/(#qs?r&tbq6Ïtä¨rbr&(#rßyJøtä$oÿÏ3öNs9(#qè=yèøÿtƒŸxsùNåk¨]u;|¡øtrB
;oy$xÿyJÎ/z`ÏiBÉ>#xyèø9$#(öNßgs9urë>#xtãÒOŠÏ9r&ÇÊÑÑÈ
“ Janganlah sekali-kali kamu menyangka, hahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa, dan bagi mereka siksa yang pedih”(Ali Imran: 188).

Kesulitan yang dialami oleh Marwan adalah bagaimana mungkin orang yang gembira dengan apa yang telah diperbuatnya dan senang dipuji atas apa yang tidak diperbuatnya, lalu disiksa oleh Allah. Maka Marwan bertanya kepada Ibn ‘Abbȃs. Ibn ‘Abbȃs menjawab bahwa ayat itu turun berkenaan dengan orang-orang Yahudi yang ditanya oleh Rasul Allah. Mereka tidak mau menjawab pertanyaan Rasul dan bahkan mereka menceritakan apa yang yang tidak ditanyakannya. Mereka menyangka bahwa perbuatannya itu telah menimbulkan respek Rasul Allah kepada mereka. Kemudian mereka merasa gembira karenanya. Dengan adanya keterangan asbab an-nuzul ayat tersebut, maka Marwan menjadi paham maksud ayat  yang tadinya tidak dipahami itu.[19]
Sedangkan ulama yang menganggap sangat penting mengetahui asbab an-nuzul Al-Qur’an telah merinci kegunaan pengetahuan itu. Diantaranya adalah sebagai berikut:[20]
1.       Memberikan petunjuk tentang hikmah yang dikehendaki Allah atas apa yang telah ditetapkan hukumnya.
2.       Memberikan petunjuk tentang adanya ayat-ayat tertentu yang memiliki kekhususan hukum tertentu. Hal ini lebih dirasakan perlu oleh golongan yang menyatakan:
العِبْرَةُ بِخُصُوْصِ السَّبَبِ لاَبِعُمُوْمِ الّلفْظِ
(Yang menjadi ibarat (pegangan) adalah kekhususan sebab bukan keumuman lafadz)
3.      Merupakan cara yang efisien untuk memahami makna yang terkandung dalam ayat-ayat Al-Qur’an.
4.      Menghindarkan keraguan tentang ketentuan pembatasan (al-hashr) yang terdapat dalam Al-Qur’an, seperti dalam ayat 145 dari al-An’am berikut ini:
@è%HwßÉ`r&Îû!$tBzÓÇrré&¥n<Î)$·B§ptèC4n?tã5OÏã$sÛÿ¼çmßJyèôÜtƒHwÎ)br&šcqä3tƒºptGøŠtB÷rr&$YByŠ
%·nqàÿó¡¨B÷rr&zNóss99ƒÍ\Åz¼çm¯RÎ*sùê[ô_Í÷rr&$¸)ó¡Ïù¨@Ïdé&ÎŽötóÏ9«!$#¾ÏmÎ/4Ç`yJsù§äÜôÊ$#uŽöxî8ø$t/
Ÿwur7Š$tã¨bÎ*sùš­/uÖqàÿxîÒOÏm§ÇÊÍÎÈ
Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - karena Sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam Keadaan terpaksa, sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang".

Secara kontekstual, keberadaan ayat tersebut mengandung pembatasan (al-ẖashr). Sebagaimana menurut as-Syafi’i, sebelum ayat ini turun, orang-orang kafir mengharamkan apa yang dihalalkan dan menghalalkan apa yang telah diharamkan Allah. Kemudian ayat tersebut turun seolah –olah menyatakan: “Tidaklah haram hukumnya terkecuali apa yang telah dihalalkan oleh orang-orang kafir, yakni bangkai....”dan seterusnya. Ayat tersebut tidak dimaksudkan sebagai pernyataan, bahwa selain dari apa yang tersebut didalam ayat, hukumnya halal semua. Jadi titik tekannya adalah keharaman sesuatu dan bukan kehalalan sesuatu.
5.       Menghilangkan kemusykilan memahami ayat, seperti yang telah dialami oleh Marwan bin al-Hakam tersebut.
6.       Membantu memudahkan penghafal ayat dan pengungkapan makna yang terkandung didalam ayat.
Sementara itu, ulama yang tidak menganggap penting mengetahui asbab an-nuzul sebagaimana Al-Syaikh Muhammad Abduh memiliki beberapa prinsip-prinsip pokok tingkatan tafsir yang memiliki:[21]
1.       Tujuh prinsip pokok dalam menafsirkan Al-Qur’an yang ditempuhnya, sama sekali tidak menyinggung asbab-an-nuzul.[22]
2.       Lima tingkatan tafsir yang dinyatakan berkategori  tinggi (al-martabat al-‘Ula), sama sekali tidak menyinggung asbab an-nuzul.[23]
Berdasarkan hal tersebut tentunya dapat diketahui bahwa Muhammad Abduh tidak menyinggung terhadap asbab an-nuzul karena keberadaan asbab an-nuzul sumbernya adalah hadis. Begitu pula dengan muridnya yaitu Rasyid Ridha, sebagaimana dikemukakan oleh M.Quraisy Syihab, bahwa tidaklah mudah menerima riwayat-riwayat hadis-hadis Nabi, walaupun hadis itu diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.
Meskipun demikian, beberpa ulama yang secara tegas menolak pentingnya dan kegunaaan asbab an-nuzul diantaranya adalah Sayyid Muhammad Husayn al-Thabȃthȃba’ȋ memiliki tiga alasan dari bentuk penolakannya. Sedangkan tiga alasan tersebut meliputi:
1.       Hadis-hadis yang berkenaan dengan asbab an-nuzul tidak ada yang mempunyai sanad, olehkarena itu tidaklah sah.
2.       Periwayatan hadis tidak dilakukan secara berhadapan muka antara pemberi dan penerima riwayat, dan juga tidak dengan taammul dan hafalan. Para perawi hanya mengaitkan ayat dengan kisah-kisah tertentu. Jadi, pada hakikatnya asbab- an-nuzul itu hanyalah hasil ijtihad semata.  Maka banyak sekali riwayat yang saling bertentangan.
3.       Sampai akhir abad I Hijriyah, penulisan hadis tetap dilarang. Karena itu, orang-orang yang menemukan catatan hadis segera dibakar catatan tersebut. Akhirnya periwayatan hadis tentang asbab an-nuzul hanya dalam bentuk makna saja. Hal demikian ini mengakibatkan terjadinya perubahan kandungan hadis itu sendiri.
Meskipun demikian, pendapat Muhammad Husayn al-Thabȃthȃba’ȋ seluruhnya tidaklah kuat, karena beberapa faktor yaitu:[24]
1.     Hadis-hadis tentang asbab an-nuzul ternyata cukup banyak yang memiliki sanad lengkap dan secara kritil ekstern ada yag berkualitas  shahih, sekurang-kurangnya menurut jumhȋr ulama sunnȋ.
2.     Ketidak benaran tentang periwayatan hadis dilakukan tidak berhadapan muka, tidak memenuhi kategori tahammul, dan tidak secara hafalan. Karena para ulama sunni dalam penelitian hadis selalu menggunakan jarẖ wa ta’dȋl terhadap para perawi  termasuk didalamnya hubungan antara pemberi dengan penerima riwayat. Sebagaimana yang dilakukan Imam Al-Bukhȃri yang tidak memasukkan suatu riwayat kedalam kategori shahih apabila nata pemberi dan penerima riwayat dari sanad hadis itu tidak bertemu.
3.     Adanya periwayatan hadis memang pernah dilarag, akan tetapi ada orang-orang tertentu yang dibolehkan membuat catatan dan menyampaikan riwayat hadis. Sebagaimana yang terjadi pada masa khalifah Abu Bakar, tidak ada orang-orang yang memiliki dan membuat catatan hadis, termasuk Abu Bakar sendiri membakar semua catatan-catatan milik pribadinya. Meskipun demikian, larangan tersebut adalah larangan dalam usaha pembukuan secara massal dan resmi, sehingga yang bersifat pribadi tidak dilarang. Sedangkan periwayatan bi al-mana memang terjadi dalam periwayatan hadis, tetapi hal ini sangat ketat syarat-syaratnya dan sangat memungkinkan untuk diteliti lebih lanjut tentang kualitas hadisnya.
2.3 Cara-cara Mengetahui Asbab An-Nuzul
Menurut Syah Walȋ Allah al-Dahlawi, untuk mengetahui asbab an-nuzul suatu ayat termasuk pekerjaan yang sangat sulit. Karena sering terjadi perselisihan pendapat dikalangan ulama mutaqaddimȋn dan ulama mutaakhirȋn tentang berapa riwayat yang berkenaan dengan maslah asbab an-nuzul tersebut. Sebagaimana menurut al-Dahlawi bahwa sumber kesulitan tersebut antara lain:[25]
1.       Dikalangan sahabat dan tabi’ȋn telah mengemukakan suatu kisah ketika menjelaskan suatu ayat. Tetapi mereka tidak secara tegas menyatakan bahwa kisah itu merupakan asbab an-nuzul . Padahal setelah diteliti ternyata kisah itu merupakan sebab turunnya ayat tersebut.
2.       Adakalanya kalangan sahabat dan tabi’ȋn mengemukakan hukum suatu kasus dengan mengemukakan ayat tertentu, kemudian mereka menyatakan dengan kalimat: ...نُزِلَتْ فِيْ كَذَا  seolah-olah mereka menyatakan bahwa peristiwa itu merupakan penyebab turunnya ayat tersebut. Padahal boleh jadi pernyataan itu sekedar istinbȃath hukum dari Nabi tentang ayat yang dikemukakan tadi.
Sedangkan susunan atau bentuk redaksi yang dapat memberi petunjuk secara tegas tentang asbab an-nuzul adalah:[26]
1.       Bentuk redaksi yang tegasnya begini:....سَبَبُ نُزُلِ الأَيَةِ كَذَا
2.       Adanya huruf al-fa’ al-sababiyah yang masuk pada riwayat yang dikaitka dengan turunnya ayat, misalnya:..... الأَيَةُفَنُزِلَتِ
3.       Adanya keterangan yang menjelaskan bahwa Rasul ditanya sesuatu kemudian diikuti dengan turunnya ayat sebagai jawabannya. Dalam hal ini tidak digunakan pertanyaan tertentu.
Meskipun demikian, bentuk-bentuk redaksi yang berbunyi: .....الأَيَةُنُزِلَتِ atau .....نُزِلَتْ هَذِهِ الأَيَةُ فِيْ, para ulama berbeda pendapat, sebagaimana pendapat ulama dibawah ini:[27]
1.       Az-Zarkasyȋ dan as-Suyuthȋ mengatakan bahwa redaksi tersebut menunjukkan bahwa ayat yang disebutkan itu berkenaan dengan hukum tertentu yang disinggung dalam pembahasan ayat dan bukanlah sebagai sebab turunnya ayat.
2.       Ibn Taimiyah, bentuk tersebut mengandung dua kemungkinan petunjuk: a) sebagai sebab turunnya ayat; b) sebagai keterangan tentang maksud ayat dan bukan sebagai sebab turunnya ayat; hal ini sama dengan pertanyaan yang berbunyi: عُنِيْ بِهَذِهِ الأَيَةِ  (yang dimaksud dengan ayat ini....).
3.       Penelitian al-Qasimi, para sahabat dan tabi’ȋn sering menggunakan susunan redaksi itu, dengan maksud memberikan gambaran tentang apa yang dibenarkan oleh ayat. Dalam hal ini perlu dilakukan ijtihad. Sehingga menjadi jelas apakah riwayat itu sebagai asbab an-nuzul atau sekedar penjelasan tentang kandungan suatu ayat.
4.       Menurut al-Zarqani, bentuk redaksi itu tidaklah secara pasti menunjukkan sebab turunnya ayat, karena dapat saja berarti sebagai petunjuk tentang kandungan ayat. Dalam hal ini harus diteliti qarȋnah (indikator) nya. Bila ternyata ada qarȋnah yang menunjukkan sebab turunnya ayat, maka barulah dipahami bahwa redaksi itu menunjukkan tentang peristiwa sebab turunnya ayat.
Selain itu, Apabila terjadi seputar dua atau beberapa riwayat yang tidak memiliki redaksi tegas sedikitpun, misalnya sebagian mufassir mengatakan; ayat ini turun mengenai hal ini, sedang yang lain mengatakan ; ayat ini turun mengenai hal ini, juga tidak ada indikator yang menunjukkan salah satunya kepada makna sebab nuzul, maka kedua riwat itu dipahami sebagai penjelasan kandungan hukum ayat yang bersangkutan, serta tidak ada alasan sedikit pun untuk memahami salah satunya sebagai sesuatu yang menunjukkan makna sebab.
Sedangkan apabila perbedaan itu berkisar pada dua atau beberapa redaksi, yang semuanya mengandung ungkapan yang tegas dalam menunjukkan sabab, maka pembahasannya bercabang. Sehingga bisa saja terjadi beberapa hal yang meliputi:[28]
1.       Keberbilangan sabab, sedang ayat yang turun hanya satu
Dalam masalah ini juga ada ketentuan tersendiri yang perlu dipahami yaitu:
a.       Salah satu riwayatnya saja yang shahih, ketentuannya adalah menggunakan yang shahih itu untuk menjelaskan sebab nuzul dan menolak yang tidak shahih.
Sebagaimana dalam Surat Ad-Dhuha ayat 1-3:
4ÓyÕÒ9$#urÇÊÈÈ@ø©9$#ur#sŒÎ)4ÓyÖyÇËÈ$tBy7t㨊ury7/u$tBur4n?s%ÇÌÈ
Demi waktu matahari sepenggalahan naik, dan demi malam apabila telah sunyi (gelap),Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu.

Maksudnya: ketika turunnya wahyu kepada Nabi Muhammad s.a.w. terhenti untuk Sementara waktu, orang-orang musyrik berkata: "Tuhannya (Muhammad) telah meninggalkannya dan benci kepadaNya". Maka turunlah ayat ini untuk membantah Perkataan orang-orang musyrik itu.
b.       Kedua riwayat berstatus shahih, dan ada yang menguatkan salah satunya, sehingga ketentuannya adalah kita mengambil riwayat yang memiliki penguat untuk menjelaskan sebab nuzul, bukan lainnya.
Sebagaimana dalam Surat Al-Isra’ ayat 85:
štRqè=t«ó¡ourÇ`tãÇyr9$#(È@è%ßyr9$#ô`ÏB̍øBr&În1u!$tBurOçFÏ?ré&z`ÏiBÉOù=Ïèø9$#žwÎ)WxŠÎ=s%ÇÑÎÈ
 “Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu Termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit".

Dari riwayat yang ditakhrij oleh Imam Atirmidziy dan dinilainya shahih, dari IbnAbbas, katanya; Kaum Quraisy berkata kepada kaum Yahudi: berilah kami sesuat, tentu kami akan tanyakan kepada laki-laki ini. Mereka berkata: tanyakan kepadanya tentang ruh. Mereka pun bertanya tentang ruh, dan Allah menurunkan ayat di atas.
c.        Kedua riwayat shahih, tidak ada yang menguatkan salah satunya dan mungkin digabungkan, maka ketentuannya adalah bahwa salah satu sebab itu terjadi, dan ayat yang bersangkutan baru turun setelah ada kedua sebab tersebut.
Sebagaimana dalam surat An-Nur ayat 6:
tûïÏ%©!$#urtbqãBötƒöNßgy_ºurør&óOs9ur`ä3tƒöNçl°;âä!#ypkà­HwÎ)öNßgÝ¡àÿRr&äoy»ygt±sùóOÏdÏtnr&ßìt/ör&
¤Nºy»uhx©«!$$Î/ ¼çm¯RÎ)z`ÏJs9šúüÏ%Ï»¢Á9$#ÇÏÈ
“Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), Padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya Dia adalah Termasuk orang-orang yang benar”.

d.       Kesamaan dua riwayat dalam keshahihan, tanpa ada yang menguatkan salah satunya dan mungkil diambil bersama-sama karena jauhnya waktu antar sebab, maka ketentuannya adalah mengartikannya sebagai keberulangan turunnya ayat dengan keragaman sebab.
Sebagaimana dalam surat An-Nahl 126:
÷bÎ)uróOçGö6s%%tæ(#qç7Ï%$yèsùÈ@÷VÏJÎ/$tBOçFö6Ï%qãã¾ÏmÎ/(ûÈõs9ur÷Län÷Žy9|¹uqßgs9׎öyzšúïÎŽÉ9»¢Á=Ïj9ÇÊËÏÈ
“ Dan jika kamu memberikan balasan, Maka balaslah dengan Balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu, akan tetapi jika kamu bersabar, Sesungguhnya Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar”.
 Maksudnya pembalasan yang dijatuhkan atas mereka janganlah melebihi dari siksaan yang ditimpakan atas kita.
2.       Keberbilangan ayat yang turun dan sebabnya satu
Sebagaimana dalam surat At-Taubah ayat 74:
šcqàÿÎ=øts«!$$Î/$tB(#qä9$s%ôs)s9ur(#qä9$s%spyJÎ=x.̍øÿä3ø9$#(#rãxÿŸ2ury÷èt/ö/ÏSÏJ»n=óÎ)(#qJydur$yJÎ/
óOs9(#qä9$oYtƒ4$tBur(#þqßJs)tRHwÎ)÷br&ãNßg9uZøîr&ª!$#¼ã&è!qßuur`ÏB¾Ï&Î#ôÒsù4bÎ*sù(#qç/qçGtƒà7tƒ#ZŽöyz
öNçl°;(bÎ)ur(#öq©9uqtGtƒãNåkö5Éjyèリ!$#$¹/#xtã$VJŠÏ9r&Îû$u÷R9$#ÍotÅzFy$#ur4$tBuröNçlm;ÎûÄßöF{$#
`ÏB<cÍ<urŸwur9ŽÅÁtRÇÐÍÈ
“Mereka (orang-orang munafik itu) bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa mereka tidak mengatakan (sesuatu yang menyakitimu). Sesungguhnya mereka telah mengucapkan Perkataan kekafiran, dan telah menjadi kafir sesudah Islam dan mengingini apa yang mereka tidak dapat mencapainya[650], dan mereka tidak mencela (Allah dan Rasul-Nya), kecuali karena Allah dan Rasul-Nya telah melimpahkan karunia-Nya kepada mereka. Maka jika mereka bertaubat, itu adalah lebih baik bagi mereka, dan jika mereka berpaling, niscaya Allah akan mengazab mereka dengan azab yang pedih di dunia dan akhirat; dan mereka sekali-kali tidaklah mempunyai pelindung dan tidak (pula) penolong di muka bumi”.
Maksudnya: mereka ingin membunuh Nabi Muhammad s.a.w.
3.       Keumuman dan kekhususan antara lafadz syar’i dan sebabnya
Sebagaimana dalam surat  Al-Lail ayat 17-18:
$pkâ:¨Zyfãyurs+ø?F{$#ÇÊÐÈÏ%©!$#ÎA÷sーã&s!$tB4ª1utItƒÇÊÑÈ
“Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari neraka itu, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkannya”.

4.       Keumuman lafadz dan kekhususan sebab
Sebagaimana dalam surat An-Nur ayat 6:                                          
tûïÏ%©!$#urtbqãBötƒöNßgy_ºurør&óOs9ur`ä3tƒöNçl°;âä!#ypkà­HwÎ)öNßgÝ¡àÿRr&äoy»ygt±sùóOÏdÏtnr&
ßìt/ör&¤Nºy»uhx©«!$$Î/ ¼çm¯RÎ)z`ÏJs9šúüÏ%Ï»¢Á9$#ÇÏÈ
“Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), Padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya Dia adalah Termasuk orang-orang yang benar”.

5.       Serupa dengan sabab khusus beserta lafadz umum
Sebagaimana dalam surat An-Nisa’ ayat 51:
öNs9r&ts?n<Î)šúïÏ%©!$#(#qè?ré&$Y7ŠÅÁtRz`ÏiBÉ=»tGÅ6ø9$#tbqãYÏB÷sãƒÏMö6Éfø9$$Î/ÏNqäó»©Ü9$#urtbqä9qà)tƒur
tûïÏ%©#Ï9(#rãxÿx.ÏäIwàs¯»yd3y÷dr&z`ÏBtûïÏ%©!$#(#qãYtB#uä¸xÎ6yÇÎÊÈ
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bahagian dari Al kitab? mereka percaya kepada jibt dan thaghut[309], dan mengatakan kepada orang-orang kafir (musyrik Mekah), bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari orang-orang yang beriman”.

Jibt dan Thaghut ialah syaitan dan apa saja yang disembah selain Allah s.w.t.
























BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Mempelajari dan memahami Asbab an-nuzul sangat penting sekali untuk menafsirkan Al-Qur’an secara baik dan benar serta sesuai dengan disiplin ilmu Al-Qur’an dan tafsir. Sebab Asbab an-nuzul merupakan peristiwa yang terjadi pada masa Rasulullah atau rangkaian pertanyaan kepada Rasulullah, lalu turun ayat atau beberapa ayat dari Allah untuk menjelaskan sesuatu yang berkaitan dengan peristiwa tersebut atau menjawab pertanyaan tersebut, baik peristiwa itu merupakan petikaian yang berkembang saat itu.
Sedangkan urgensi dari mengetahui asbab an-nuzul di antaranya adalah untuk mengetahui kebijaksanaan Allah secara lebih rinci mengenai syari’at yang diturunkannya dan membantu memahami ayat yang bersangkutan dan mengenyahkan problem berkenaan dengannya.  Sehingga dengan mengetahui asbab an-nuzul seseorang akan  mengetahui kisah dan penjelasan turunnya ayat dan memahami makna Al-Quran. Oleh karena itu, salah satu cara untuk mengetahi asbab an-nuzul dari ayat Al-Quran adalah memahami dari beberapa riwayat yang ada dan mencari qarinah (tanda) yang mengarah pada asbab an-nuzul dari ayat tersebut.














DAFTAR PUSTAKA
Hayyie, Tim Abdul,2008Sebab Turunnya Ayat Al-Qur’anTerjemah Lubaabun Nuquul fii Asbaabin Nuzul, Jakarta: Gema Insani.

Anwar, Rosihon, 2009, Pengantar Ulumul Qur’an, Bandung: Pustaka Setia.

Nasrul Haq, dkk, 2006, Terjemah ‘Ulum Al-Qur’an, Jakarta: Al-Huda.

Mudzakir, 2011, Terjemah Mabahis Fi Ulum Al-Qur’an, Bogor:Pustaka Litera Antarnusa,

Chirzin, Muhammad,  2015, Mengerti Asbabun Nuzul, Jakarta: Zaman.

Baidan, Nashruddin,2011, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

al-Qaththȃn, Mannȃ’, 1980, Mabȃẖits fi ‘Ulum al-Qur’an, Bairut: Mu’assasaṯ ar-Risȃlah.

as-Shȃliẖ, Subẖȋ,  1997, Mabȃẖits fi ‘Ulum al-Qur’an, Bairut: Dȃr al-‘Ilm li al-Malȃyȋn.

Al-Qȃsimi, 1957, Maẖasin at-Ta’wil, t.tp: Dȃr Iẖyȃ’ al-Kutub al-‘Arabiyah.

Al-Azhim Az-Zarqani, Muhammad Abd,  t.t, Manahil Al-Irfan, Dar Al-Fikr.

Umar, Nasaruddin, 2014, Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur’an dan Hadis, Jakarta: Elex Media Komputindo.

Adzim Az-Zarqani, Muhammad Abdul,  2011, Manahil Al-Qur’an Fi Ulum Al-Qur’an, Jakarta: Gaya Media Pratama.



[1] Tim Abdul Hayyie, Sebab Turunnya Ayat Al-Qur’anTerjemah Lubaabun Nuquul fii Asbaabin Nuzul, (Jakarta: GEMA INSANI, 2008), hlm. 9.
[2] Rosihon Anwar, Pengantar Ulumul Qur’an, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), hlm. 118.
[3] Nasrul Haq, dkk, Terjemah ‘Ulum Al-Qur’an, (Jakarta: Al-Huda, 2006), hlm. 35-36.
[4] Mudzakir, Terjemah Mabahis Fi Ulum Al-Qur’an, (Bogor:Pustaka Litera Antarnusa, 2011), hlm. 106-107.
[5] Muhammad Chirzin, Mengerti Asbabun Nuzul, (Jakarta: Zaman, 2015), hlm. 17-18.
[6] Rosihon Anwar, Pengantar Ulumul Qur’an,......, hlm. 118.
[7] Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm.132-133.
[8] Mannȃ’ al-Qaththȃn, Mabȃẖits fi ‘Ulum al-Qur’an, (Bairut: Mu’assasaṯ ar-Risȃlah, 1980), hlm. 93-94.
[9] Subẖȋ as-Shȃliẖ, Mabȃẖits fi ‘Ulum al-Qur’an, (Bairut: Dȃr al-‘Ilm li al-Malȃyȋn, 1997), hlm. 132.
[10] Al-Qȃsimi, Maẖasin at-Ta’wil, (t.tp: Dȃr Iẖyȃ’ al-Kutub al-‘Arabiyah, 1957),Juz I,  hlm. 28.
[11] Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, ....., hlm.132-135.
[12] Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, ....., hlm.136.
[13] Muhammad Abd Al-Azhim Az-Zarqani, Manahil Al-Irfan, (Dar Al-Fikr, t.t), Jilid I, hlm. 109.
[14] Nasaruddin Umar, Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur’an dan Hadis, (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2014), hlm. 28-29.
[15] Rosihon Anwar, Pengantar Ulumul Qur’an,......, hlm. 120.
[16] Rosihon Anwar, Pengantar Ulumul Qur’an,......, hlm. 121.
[17] Rosihon Anwar, Pengantar Ulumul Qur’an,......, hlm. 121.
[18] Rosihon Anwar, Pengantar Ulumul Qur’an,......, hlm. 121.
[19] Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, ....., hlm.136-137.
[20]Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, ....., hlm.138-139.
[21] Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, ....., hlm. 139.
[22] Ketujuh prinsip pokok tersebut adalah : 1) Setiap surat Al-Qur’an merupakan satu kesatuan bagi ayat-ayatnya yang serasi; 2) Ayat Al-Qur’an berisi umum, tidak dibatasi oleh waktu dan orang-orang tertentu; 3)Al-Qur’an sumber akidah dan hukum; 4)Penggunaan akal yang bebas untuk memahami Al-Qur’an; 5) Menentang dan memberantas taqlid; 6) Tidak merinci masalah-masalah yang disinggung secara mubham, atau sepintas oleh Al-Qur’an; 7) Sangat hati-hati terhadap pendapat sahabat dan menolak kisah-kisah Isrȃiliyȃt. Lebih lanjut lihat M. Quraish Shihab, Metode Penyusunan Tafsir  yang Berorientasi Pada Sastera, Budaya dan Kemasyarakatan, Ujung Pandang, IAIN “Alauddin”, 1984, h.10-14, 26, 28, 30.
[23] Kelima tafsir yang berkategori tinggi tersebut adalah: 1) Paham akan arti hakikat setiap kata yang dipakai oleh Al-Qur’an; 2) Paham akan bentuk susunan kalimat yang dipakai oleh Al-Qur’an; 3) Berpengetahuan tentang manusia; 4) Berpengetahuan tentang petunjuk Al-Qur’an yang ditujukan kepada manusia; 5) Berpengetahuan tentang sejarah Nabi dan para sahabatnya. Lebih lanjut lihat, Muhammad Abduh, Fȃtiẖaṯ al-Kitȃb, Kairo DȃrnalTaẖrȋr, 1382 H, h. 9-12.
[24] Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, ....., hlm.140-141.
[25] Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, ....., hlm.142-143.
[26] Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, ....., hlm.143.
[27] Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, ....., hlm.143-144.
[28] Muhammad Abdul Adzim Az-Zarqani, Manahil Al-Qur’an Fi Ulum Al-Qur’an, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2011), hlm. 123-143.