Minggu, 28 Agustus 2016

Agama Primitif

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Agama merupakan sesuatu yang mengajarkan manusia untuk bisa mengenal dan dekat dengan Tuhan sang pencipta. Keberadaan agama mempunyai peran penting dalam mengatur kelangsungan hidup manusia. Hal itu dikarekan agama menjadi pereantara bagi manusia untuk bisa hidup lebih baik dan tidak terjerumus dalam kenistaan dan dosa.
Oleh karena itu, manusia primitif merupakan manusia yang paling pertama mengetahui keberadaan Tuhan sesuai dengan kepercayaan yang dianut mereka. Kepercayaan masyarakat primitif sangat berbeda dengan kepercayaan masayarakat setelahnya (masyarakat modern). Selain itu, agama masyarakat primitif tentunya masing berhubungan dengan penyembahan terhadap roh-roh halus, upacara keagamaan, dan berbagai hal-hal magis.
Dengan demikian, makalah ini akan membahas tentang asal-usul agama primitif, teori kepercayaan masyarakat primitif, dan ciri-ciri keagamaan masyarakat primitif. Selain itu, berbagai permasalahan yang ada hubungannya dengan masyarakat primitif juga akan dibahas dalam makalah ini.
1.2  Rumusan Masalah
A.    Asal-usul Agama Primitif
B.     Teori Kepercayaan Masyarakat Primitif
C.     Ciri-ciri Keagamaan Masyarakat Primitif






BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Asal Usul Agama Primitif
Evans Pritchard, seorang antropolog yang banyak membicarakan tentang kepercayaan masyarakat primitif, menyatakan bahwa mempelajari kepercayaan masyarakat primitif memberikan dua keuntungan. Dua keuntungan tersebut meliputi:
1.      Bahwa fakta-fakta kehidupan primitif mempunyai arti penting untuk dapat memahami suatu kehidupan sosial pada umumnya.
2.      Agama-agama primitif merupakan bagian dari agama pada umumnya (species of the genus religion), dan bagi semua orang yang berminat terhadap agama haruslah mengakui bahwa suatu studi tentang pandangan dan praktik-praktik keagamaan pada masyarakat primitif akan menolong kita untuk sampai pada kesimpulan-kesimpulan tertentu tentang hakekat agama pada umumnya.
Dalam hubungannya dengan kepercayaan agama, seringkali bentuk-bentuk agama manusia paling awal selalu dicirikan kepada masyarakat primitif. Dalam lapangan antropolog, istilah masyarakat primitif sulit dibedakan dengan masyarakat ‘prasejarah’. Hanya sampai saat ini yang bisa ditemukan tentang masyarakat prasejarah adalah bahwa istilah prasejarah muncul sebagai catatan-catatan model kehidupan masyarakat primitif setelah bisa dikarakteristikkan dan dideteksi. Geradus Van Der Leeuw berpendapat bahwa istilah primitif menunjukkan kualitas berfikir manusia, atau sebagai susunan tertentu dari budi manusia. Hal ini di dasarkan pada kenyataan, bahwa ada corak-corak modern pada masyarakat primitif dan corak-corak primitif pada masyarakat modern. Oleh karena itu, primitif tidak bisa dilihat sebagai sesuatu yang ada dan hidup pada masa lampau, tetapi bahkan bisa saja terjadi pada seseorang atau masyarakat sekarang (modern), berdasarkan indikasi tertentu yang menunjukkan adanya karakteristik sebagai manusia primitif.[1]  
Masyarakat primitif adalah masyarakat yang ditandai oleh relatif tidak adanya diferensi sosial dan kebudayaan. Dimana masyarakat tersebut cenderung tidak memiliki kelompok-kelompok spesialisasi yang jelas dan kolektif-kolektif dengan tuga-tugas masalah dan kepentingan-kepentingan yang berbeda-beda, dan juga cenderung tidak adanya perangkat keyakinan yang jelas berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan sosial dan alamiah, maupun gejala fisik. Beberapa pandangan tentang mental pra-logis masyarakat primitif secara luas telah ditolak dan minat antropologi belakang ini cenderung berpusat pada cara-cara dimana individu-individu dalam masyarakat primitif berhubungan dengan masalah makna, identitas, penderitaan, sakit, dan sebagainya dalam konteks yang sesuai dengan pengkajian mengenai masyarakat. Hal itu disebabkan karena masalah-masalah ini inilah yang selalu dihadapi masyarakat. Apabila demikian, sifat primitif pada hakikatnya terletak pada ciri masyarakat yang tak berdiferensiasi.[2]
Pembahasan agama primitif sama halnya dengan pembahasan mengenai asal-usul kepercayaan masayrakat primitif yang dikemukakn oleh sejumlah ahli dari berbagai disiplin ilmu. Oleh karena itu untuk lebih memahami pendekatan yang dilakukan oleh para ahli tersebut maka perlu memahami asal-usul agama. Secara umum pada dasarnya ada dua teori pokok yang berkenaan dengan asal-usul agama :
1.      Bersumber pada ajaran-ajaran agama wahyu yang diawali oleh para teolog pada umumnya bahwa asal-usul agama adalah dari Tuhan sendiri yang diperlukan kepada manusia bersama-sama dengan penciptaan manusia pertama, yaitu Adam. Dalam perjalanannya agama mengalami pasang surut dan pada tempat dan kurun waktu tertentu, agala diselewengkan oleh para pemeluknya sehingga agama yang pada dasarnya ateis berubah menjadi politeis dan bahkan animis. Karena itu Tuhan mengirimkan para utusan-Nya untuk meluruskan kembali penyelewengan tersebut. Kehadiran agama wahyu pada hakikatnya adalah untuk membimbing umat manusia, agar memiliki akidah-akidah yang benar, yang bersih dari khurafat-khurafat yang batil dan memiliki peraturan-peraturan hidup yang luhur, demi kemaslahatan mereka.Agama wahyu telah berperan mendorong umat manusia untuk berjuang keras demi mewujudkan kemaslahatan mereka di dunia dan di akhirat.[3]
2.      Bersumber pada kajian antropologis, sosiologis, historis dan psikologis yang pada intinya sama, yaitu bahwa agama merupakan suatu fenomena sosial ataupun psiritual yang mengalami evolusi dari bentuknya yang sederhana, yang biasa dinamakan agama primitif (natural religion) kepada bentuknya yang lebih sempurna dan akhirnya sampai pada apa yang kita jumpai sekarang ini.
Berdasarkan di atas, istilah primitif dicirikan pada manusia atau sekelompok orang yang hidup pada kurun waktu lampau. Dengan ciri demikian, dapat ikatakan bahwa sesuatu yang primitif adalah sesuatu yang kuno dan tertinggal zaman. Dalam hubungannya dengan kepercayaan agama, seringkali bentuk-bentuk agama manusia paling awal selalu dicirikan terhadap masayrakat ini. Hanya saja sulit untuk dibedakan antara masayarakat yang diistilahkan primitif dengan masayrakat prasejarah. Istilah prasejarah muncul sebagai catatan-catatan model kehidupan masyarakat primitif setelah dapat dikarakteristikan dan dideteksi.
. Dengan demikian, menurut E.Pritchard agama primitif merupakan bagian dari agama pada umumnya. Bahkan semua orang yang berminat pada agama harus mengakui suatu study tentag pandangan dan praktek keagamaan masyarakat primitif yang beraneka ragam coraknya, dan hal ini menolong kita untuk sampai pada kesimpulan-kesimpilan tertntu tentang hakekat agama pada umumnya,  termasuk agama-agama wahyu. Dari pendapat tersebut jelas sekali bahwa pandangan Pritchard menunjukan bahwa agama primitif sebagai agama praagama maju atau sebagai agama kecil sebelum menjadi agama besar.  Tentu saja dilihat dari sudut pandangannya Islam, Kristen, Hindu, dan agama-agama besar lainnya dikategorikan sebagai agama primitf, atau berawal dari praktek-prakterk agama primitif.
Begitu pula apabila dijumpai adanya isme-isme atau sistem ritus, kepercayaan dan etika masyarakat primitif misalnya, dinamisme, fetitisme dan lain-lain. Kesemuanya itu adalah nama-nama ilmiah dari suatu jenis keagamaan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa agama primitif adalah isme, praktek, dan tradisi tertentu yang dianut dan diyakini oleh sekelompok masyarakat yang memiliki ciri dan karakteristik yang sama. Kesamaan karakteristik tersebut (seperti praktek-prakterk agama dan keperccayaan tertentu) merupakan hasil kajian dari para ahli.[4]
2.2    Teori Kepercayaan Masyarakat Primitif
Dalam masyarakat primitif terdapat beberpaa teori kepercayaan yang meliputi :
1.      Teori serba-jiwa
Teori ini ditemukan oleh seorang ahli antropologi asal Inggris E.B Taylor dalam bukunya Primitive Cultural (dipublikasikan pada tahun 1981). Ia mengajukan teori bahwa bentuk kepercayaan asal manusia adalah animisme  (Ninian Smart, 1960). Dimana teori inji timbul karena dua hal yaitu[5]:
1.      Adanya dua hal yang tampak, yaitu hidup dan mati. Kehidupan diakibatkan oleh kekuatan yang berada diluar dirinya.
2.      Adanya peristiwa mimpi, sesuatu yang hidup dan berada ditempat lain pada waktu tidur, yaitu jiwanya sendiri. Jiwa bersifat bebas  berbuat sekehendaknya. Alam semesta yang penuh dengan jiwa-jiwa yang merdeka itulah, yang disebut dengan soul atau atau spirit atau makhluk halus.
Pikiran manusia telah menstransformasikan kesadaran terhadap adanya jiwa menjadi kepercayaan terhadap makhluk-makhluk halus. Manusia melakukan penghormatan dan pemujaan melalui berbagai upacara berupa doa, sesaji, atau korban. Kepercayaan semacam ini oleh Taylor disebut animisme atau beliefs in spiritual beings.
Akan tetapi teori tersebut di tentang oleh E. Pritchard, menurutnya, teori ini merupakan bentuk logika pikiran sarjana yang dipindahkan kepada orang primitif dan dikemukakan sebagai penjelasan terhadap keperayaannya. Ide tentang spirit atau jiwa mungkin telah timbul, namun tidak ada bukti kebenarannya.
2.      Teori Magis (Kekuatan Gaib)
J.G Frazer, seorang antropolg asal Inggris dalam bukunya The Golden Bough, a Study in Magic and Religion memunculkan teori ini. Magis menburutnya adalah suatu penerapan yang salah dari kaidah sebab akibat yang berlaku dan dianut oleh ilmu pengetahuan manusia pada umumnya. Magis dipandang sebagai manipulasi dari suatu kekuatan misterius (Ugo Bianchi, 1975:75). Frazer mengatakan bahwa manusia memecahkan persoalan hidupnya dengan akal dan pengetahuannya, tetapi akal dan pengetahuannya terbatas. Semakin maju kebudayaan manusia, semakin luas pula batas akal itu, sedangkan pada umumnya batas akal manusia itu sangat sempit.
3. Teori Upacara Bersaji
Tokoh yang mengembangkan teori ini adalah W.Robertson Smith, seorang sastrawan, teolog dan ahli bahasa yang menyebutkan dalam bukunya  Lectures on Religion of The Semites. Menurutnya, ada tiga gagasan penting berkenaan dengan teori upacara bersaji atau dasar-dasr dari agama pada umumnya. Pertama, disamping sebagai sistem kepercayaan dan doktrin, sistem upacara merupakan perwujudan dari agama. Kedua, upacara agama memiliki fungsi sosial untuk mengintensifkan solidaritas masyarakat disamping untuk agama, juga sebagai kewajiban sosial. Ketiga, berfungsi untuk mendorong rasa solidaritas dengan dewa. Dewa dipandang sebagai warga komunitas, tetapi istimewa. Korban binatang misalnya, darahnya untuk dewa, sedangkan dagingnya untuk diri sendiri.
4. Teori Sentimen Kemasyarakatan
Teori tersebut berasal dari sosiolog asal Perancis Emil Durkheim. Ada berapa pengertian dasar dari teori ini:
1.      Makhluk manusia, sebagai yang pertama kali mengembangkan aktivitas keagamaan yang tiada lain sebagai getaran jiwa seseorang.
2.      Emosi keagamaan, rasa terikat, bakti dan cinta yang ada dalam batin manusia.
3.      Pelaku agama, sebagai wujud dari emosi keagamaan.
4.      Tujuan, yaitu yang keramat.
5.      Adanya simbol, sebagai lambang kesakralan.
5.Teori Supreme Being
Teori ini dimunculkan oleh Andrew lang, seorang sastrawan berkebangsaan Inggris. Dia menemukan berbagai mitos dari berbagai suku dan daerah di muka bumi ini. Dimana dalam mitos tersebut, ditemukan adanya tokoh dewa yang dipandang sebagai dewa tertinggi pencipta seluruh alam semesta beserta isinya. Sedangkan menurut Pettazoni, supreme being bersumberkan pada mitos dan bukan hasil pemikiran logico causal sebagaimana pandangan Schdimt. Dimana dewa tertinggi tidak timbul atas dasar keutuhan intelektualitasnya, tetapi berasal dari kebutuhan eksistensial manusia.
2.3    Ciri Keagamaan Masyarakat Primitif
1.      Pandangan tentang Alam Semesta
Masyarakat primitif berpandangan bahwa dunia dan alam sekitarnya bukanlah objek, tetapi sebagai subjek seperti dirinya sendiri. Kedudukannya sama sebagai makhluk yang berpribadi. Sebaliknya, manusia modern memandang dirinya sebagai subjek dan dunia sekitar sebagai ojek bagi perasaan, pikiran dan tindakannya. Masyarakat primitif takut akan malapetaka atau gejala alam yang mereka anggap punya kekuatan. Mereka memuja dan memuliakannya dalam aktivitas keagamaan.[6]
Penyembahan alam atau natur whorsip merupakan tahapan paling awal dari evolusi keagamaan bangsa primitif. Kekuatan-kekuatan alam serta anasir-anasir alam mereka personifikasikan menjadi dewa-dewa yang berkuasa. Pada agama Mesir Kuno, misalnya, Dewa Ra’ adalah personifikasi dari matahari, Tefnut personifikasi dari air, dan Shu personifikasi dari hawa. Oleh karena itu, berdasarkan objek penyembahannya, penyembahan kekuatan alam ada tiga bentuk yaitu sebagai berikut[7]:
1. Penyembahan terhadap gejala alam, seperti hujan, guntur, gempa bumi, dan topan.
2. Penyembahan terhadap anasir-anasir alam, seperti tanah, air, api, angin, dan udara.
3. Penyembahan kepada benda-benda alam sekeliling, yaitu dalam bentuk di bawah ini:
a. animatisme, yaitu suatu kepercayaan bahwa benda-benda dan tumbuh-tumbuhan di sekitar manusia itu berjiwa dan bisa berfikir seperti manusia. Kepercayaan ini tidak melahirkan aktivitas keagamaan guna memuja memuja benda atau tumbuh-tumbuhan, misalnya hanya menjadi unsur religi.
b. Fetishme, yaitu suatu bentuk agama yang berdasarkan kepercayaan akan adanya jiwa dalam benda-benda alam tertetntu dan mempunyai aktivitas keagamaan guna memuja benda-benda berjiwa tadi.
C. Agama penyembah binatang (animal worship), yaitu kepercayaan orang-orang kuno dan orang-orang primitif yang menganggap binatang-binatang tertentu memiliki jiwa kesucian. Jiwa kesucian binatang tersebut akan tetap hidup terus dan dapat mendatangkan kebaikan dan keburukan. Dari keyakinan ini diadakanlah aktivitas guna memujanya.
2.      Mudah Menyakralkan Objek Tertentu
Sebagai akibat dari pandangan yang tidak membedakan antara subjek dan objek dan juga antara manusia dan alam sekitarnya, masyarakat primitif memandang sakral terhadap sesuatu yang dapat menimbulkan manfaat, kebaikan, dan bencana. Hal tersebut seperti ketika seseorang mendiami sebuah rumah dan tidak lama kemudian ia sakit, ada anggapan bahwa yang menimbulkan sakit adalah penghuni lain yang selama ini terabaikan.
Berkaitan  erat dengan sakral, maka ada yang dianggap tidak suci yaitu mencakup apa saja yang dianggap dapat mencemarkan yang sakral itu. Untuk menghindari hal itu, hal-hal yang sakral dipagari dengan larangan-larangan atau tabu. Seperti benda sakral tidak boleh disentuh, dimakan atau didekati.
3.      Sikap Hidup yang Serba Magis
Dalam masyarakat primitif, kedudukan magis sangat penting,. Semua upacara keagamaan adalah bentuk magis.  Sikap hidupnya adalah magis, karena perbuatan mereka selalu dihubungkan dengan kekuatan-kekuatan yang ada din alam gaib. Manusia primitif selalu berusaha mengisi segala alat prlengkapan hidup dan kehidupannyab dengan gaya-gaya gaib. Misalnya keris dibuat dan diisi dengan daya gaib.
Oleh karena itu, masyarakat primitif menurut Malinowski, banyak menguntungkan pada hal-hal yang magis, sementara kepercayaan terhadap kebenaran pengetahuan empiris dan keahlian praktis berkurang, terutama pada kegiatan-kegiatan yang dapat menimbulkan resiko bahaya. Pada suku Tobrian misalnya, para penduduk tidak menggunakan magis untuk keselamatan mereka manakala menangkap ikan di danau. Tetapi ketika menangkap ikan dilautan yang banyak melibatkan bahaya, terdapat kegiatan ritual magis demi menjamin keselamatan dan hasil kegiatan penangkapan. Dengan demikian, sikap hidup magis berari suatu usaha perlawanan manusia terhadap kekuatan-kekuatan yang dijumpainya dan berusaha menaklukannya.[8]
4.      Hidup Penuh dengan Upacara Keagamaan
Seluruh hidup manusia primitif, diliputi oleh keagamaan dan segala perbuatannya adalah perbuatan religius. Oleh karena itu, upacara-upacara kagamaan mewarnai aktivitas kehidupan mereka. Pengerjaan sawah, ladang, perkawinan, dan perbuatan lainnya, yang oleh manusia  moden di anggap sangkut pautnya dengan kekuasaan alam, semuanya mengandung arti sebagai upacara keagamaan. Setiap upacara memiliki mite-nya sendiri, suatu naskah atau skenario dari seluruh perbuatan manusia yang harus dilakukan pada setiap upacara dalam hidupnya.
Oleh karena itu, agama-agama bangsa primitif, meskipun disana sini bersifat sinkretis,  pada hakikatnya sangat berbeda-beda karena telah bercampurnya berbagai unsur. Seperti agama yang bersifat demonistis (kepercayaan dan pemujaan terhadap roh), tetapi sebaliknya ada agama sama sekali tak mengandung unsur-unsur demonisme. Demikian pula ada daerah-daerah tertentu yang tak mengenal totemisme, tetapi didaerah lain ada sisa totemisme yang tak jelas dan sukar ditetapkan.[9]
Di dalam buku Sosiologi Agama, karya Dr. H. Dadang Kahmad M. Si, masyarakat primitif adalah masyarakat penganut agama penyembah roh, baik roh nenek moyang, roh pemimpin, atau roh nenek pahlawan yang telah meninggal. Mereka percaya bahwa yang sudah meninggal itu dapat memberikan pertolongan dan perlindungan ketika manusia mendapat kesulitan. Dimana untuk menghadirkan roh-roh tersebut mereka mengadakan upacara keagamaan khusus dan kompleks.
Agama penyembah roh dibagi dalam bentuk kepercayaan sebagai berikut[10]:
1.      Animisme, yaitu bentuk agama yang mendasarkan diri pada kepercayaan bahwa di sekeliling tempat tinggal manusia itu berdiam berbagai macam roh yang berkuasa dan terdiri atas aktivitas pemujaan atau upacara guna memuja roh tadi.
Kepercayaan Animisme dibangun berdasarkan atas dua anggapan pokok, yaitu:
Ø  Bahwa roh adalah unsur halus yang keluar dari setiap makhluk dan mampu hidup terus setelah jasadnya mati.
Ø  Bahwa makhluk halus yang jadi dengan sendirinya, seperti peri dan mambang dianggap berkuasa.
2.      Praanimisme (dinamisme), adalah bentuk agama yang berdasarkan kepercayaan pada kekuatan sakti yang ada dalam segala hal. Para penganutnya pun memiliki aktivitas keagamaan untuk menguatkan ajarannya dengan berpedoman pada ajaran kepercayaan tersebut.
Selain itu, masyarakat primitif pada umumnya meyakini adanya tiga macam kekuatan gaib, yaitu kekuata sakti (mana’), roh-roh (terutama roh-roh manusia yang telah wafat), dan dewa-dewa atau Tuhan. Sehingga mereka dapat sekaligus berpaham dinamisme, yaitu mempercayai bahwa tiap-tiap benda dapat ditempati oleh kekuatan sakti, yang bisa memberikan manfaat atau malapetaka pada manusia.  Sedangkan berpaham animisme adalah mempercayai bahwa tiap-tiap benda dapat ditempati oleh roh-roh, tertutama roh-roh manusia, yang dapat menolong atau mengganggu manusia. Dan berpaham politeisme, adalah mempercayai dan menyembah banyak Dewa yang mereka anggap mempunyai kekuatan lebih besar dari roh-roh. Kemudian berpaham henoteisme, adalah menyembah satu dewa atau satu Tuhan, tapi tidak mengingkari adanya para dewa atau Tuhan-tuhan lain yang menjadi saingan bagi Dewa atau Tuhan yang mereka sembah. Pada masyarakat primitif sebenarnya juga terdapat keyakinan tentang adanya Dewa atau Tuhan tertinggi, yang menciptakan para dewa dan alam semesta semuanya. Akan tetapi sebagian mereka cenderung menyembahnya, karena dianggap terlalu jauh untuk disembah, seperti perlakuan masyarakat Arab Jahiliyah terhadap Allah.[11]







BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
            Masyarakat primitif adalah masyarakat yang  masih terpuruk dan tertinggal dalam peradaban orang-orang lampau (kuno). Sehingga agama masyarakat primitif cenderung berupa kepercayaan terhadap hal-hal gaib, baik kepercayaan pada roh-roh, dewa-dewa atau pemujaan pada alam semesta. Kehidupan masyarakat primitif juga tidak lepas dari upacara-upacara keagamaan, ritual-ritual mistis, dan pengsakralan terhadap hal-hal (objek-objek)tertentu.
            Meskipun demikian, masyarakat primitif juga memiliki ciri-ciri khusus yang membedakan dengan masyarakat modern. Dimana mereka selalu menghiasi kehidupannya dengan hal-hal yang serba magis dan masih sangat kuat memelihara dan menjaga agama (kepercayaan) para nenek moyang. Sehingga hal-hal gaib dan roh-roh para leluhur tidak bisa dipisahkan dari kehidupan mereka.











DAFTAR PUSTAKA

Ghazali, Adeng Mukhtar,  2000, Ilmu Perbandingan Agama, Bandung:Pustaka Setia,
Ghazali, Adeng Muchtar, 2011, Antropologi Agama, Bandung:Alfabeta.
Ishomuddin, 2002, Pengantar Sosiologi Agama, Jakarta:Ghalia Indonesia.
Kahmad, Dadang,  2000, Sosiologi Agama, Bandung:Remaja Rosdakarya.
Robertson, Roland,  1995, Agama dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis, Jakarta:Raja Grafindo Persada.















Penjelasan Pak Amat Zuhri M. Ag
Ø  Kajian tentang agama-agama berdasarkan pendekatan/kajian antropologi
Ø  Pendapat Agustums : Agama yang masih percaya pada hal-hal gaib dan kepercayaan masyarakat primitif yang tidak empiris, maka semua agama tersebut termasuk bagian dari agama primitif
Ø  Masyarakat primitif belum mengangkat peradaban Humanis
Ø  Pemikiran-pemikiran primitif sampai sekarang masih ada, masing-masing tempat berbeda




[1] Adeng Muchtar Ghazali, Antropologi Agama, (Bandung:Alfabeta,2011),hlm.20-21.
[2] Roland Robertson, Agama dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis,(Jakarta:Raja Grafindo Persada,1995),hlm.81.
[3] Ishomuddin, Pengantar Sosiologi Agama, (Jakarta:Ghalia Indonesia,2002),hlm.31.
[4] Adeng Mukhtar Ghazali, Ilmu Perbandingan Agama, (Bandung:Pustaka Setia, 2000) hlm. 81-84
[5] Ibid, hlm. 85.
[6] Adeng Mukhtar Ghazali, Opcit, hlm. 85-90.
[7] Dadang Kahmad, Sosiologi Agama,(Bandung:Remaja Rosdakarya,2000),hlm. 38-39.
[8] Dadang Kahmad, Opcit, hlm.27-28.
[9] Adeng Mukhtar Ghazali, Opcit, hlm. 86-90.
[10] Dadang Kahmad, Opcit, hlm.37-38.
[11] Ishomuddin, Opcit, hlm.31.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Nilai-nilai perbaikan sosial (transformatif) dalam al-Qur’an tampak dari rangkaian perjalanan sejarahnya yang diturunkan secara berangsur-angsur. Setiap ayat yang diturunkan Rasulullah merupakan respon positif terhadap apa yang tengah terjadi dalam realitas manusia.[1]
Tuhan telah menciptakan manusia dalam keragaman dan dalam kesatuan, sehingga memungkinkan untuk menjalin toleransi antara keadaan bersatu dan kenyataan berbeda. Sifat kasih sayang Tuhan telah mendorongnya untuk mengajarkan agama kepada manusia sebagai wadah untuk menemukan dan mempertahankan kemanusiaannya. Begitu juga persoalan kemanusiaan yang harus dilihat sebagai persoalan seluruh agama. Kekerasan dan tragedi kemanusiaan yang terjadi atas nama agama telah mencoreng wajah agama yang sebenarnya ramah dan penuh kedamaian.[2]
Oleh karena itu, keberadaan ajaran tasawuf dan perilaku tasawuf sebenarnya tidak hanya ada dalam Islam. Akan tetapi dalam agama selain Islam, khususnya Budha,  juga terdapat ajaran-ajaran dan perilaku-perilaku tasawuf.  Dengan demikian, makalah ini akan membahas tentang sejarah munculnya agama Budha, perkembangan agama Budha dan ajaran tasawuf agama Budha serta Orientalisme tasawuf dalam agama Islam dan Buddha.
1.2  Rumusan Masalah
A.    Sejarah Munculnya Agama Budha
B.     Perkembangan Agama Budha
C.     Ajaran Tasawuf Agama Budha
D.    Orientalisme : Tasawuf dalam Islam dan Buddha

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Munculnya Agama Budha
          Buddhisme adalah agama yang bermula pada abad keenam sebelum Masehi, Di masa muda, seorang pangeran muda dari wangsa Sakya di wilayah Kapilavastu, yang sekarang disebut Nepal. Pangeran itu bernama Shiddarta. Setelah memenuhi kewajiban sebagai seorang pangeran, Shiddarta menikahi seorang putri cantik dan hidup dengan nyaman dan bahagia, hingga tibalah saat ia melakukan perjalanan keliling kota dan dihadapkan pada kenyataan adanya rasa sakit, usia tua, dan kematian. Pangeran Siddharta sangat prihatin menyaksikan kenyataan bahwa manusia, sekali ia dilahirkan, tidak bisa melarikan diri dari segala penderitaan itu. Kemudian dihabiskannya waktu untuk merenung-renungkan bagaimana cara mengatasi penderitaan, dan di usia dua puluh sembilan tahun, ia meninggalkan segala miliknya, melepaskan gaya hidup duniawi, dan pergi mencari jalan spiritual yang akan membuatnya mampu menaklukkan derita rasa sakit, usia tua, dan kematian.
          Enam tahun lamanya ia mengembara, menoba-coba berbagai metode mati-raga yang dipraktikan oleh orang-orang bijak di India zaman itu, hanya untuk menemukan kenyataan bahwa itu semua bisa menjawab pertanyaan besar yang mengganggunya. Akhirnya ia bersamadi dan menemukan jawaban yang selama itu dicarinya, dan sejak saat itu ia dikenal sebagai Sang Buddha-Yang Tercerahkan.[3]
          Sejarah lahirnya agama Budha diawali dengan  kisah kepergian Siddharta Gautama dari istana keluarga Sakya. Siddharta  meninggalkan segala bentuk kemewahan serta kenikmatan hidup duniawi, dan membawa dirinya pada perjalanan menuju pencerahan. Dalam usia yang relatif muda, ia mencari arti hidup dengan berkelana dan berguru pada orang-orang pintar. Dalam usaha mencari arti hidup, ia memulai dengan mencari dua orang guru Hindu terkemuka untuk mendapatkan pengertian tentang kebijaksanaan dari tradisi hindu. Kemudian ia bergabung dengan sekelompok pertapa dan mencoba mengalami kehidupan mereka secara langsung. Setelah itu, ia meninggalkan kehidupan pertapaan yang dicobanya dengan menggabungkan pikiran yang tegar dengan konsentrasi mistik menurut petunjuk raya-yoga. Berbagai hal tersebut menjadikan ia lahir kembali sebagai seseorang yang mendapatkan pencerahan rohani. Dimana pencerahan itu didapat setelah dirinya berhasil mengatasi penderitaan disekitar kehidupan dan kematian.
          Pencerahan bagi penganut agama Budha bukan sesuatu yang asing atau jauh dari pengalaman hidup manusia sehari-hari. Filsafat Buddhis menggambarkan hidup manusia yang menguasai alam semesta di dalam kehidupan. Menguasai alam semesta disebut dengan menguasai “Sepuluh Alam Hidup” (Jepang: jikkai), yang meliputi 1) Neraka, 2) Kelobaan atau Kelaparan, 3) Kebinatangan, 4) Amarah, 5) Ketentaraman dan Kemanusiaan, 6) Kebahagiaan atau Suka Cita, 7) Kecendiakaan atau Kesarjanaan, 8) Penciptaan, 9) Boddisatva, 10) Kebudhaan. Masing-masing alam mengandung sembilan alam lain, dan semuanya berjumlah seratus alam. Keseluruhan alam hidup tersebut diberi kualifikasi tiga gagasan (Jepang:sansaken) mencakup gagasan yang berhubungan dengan sifat jasmani sebagai manifestasi hidup. Perbedaan manifestasi hidup disebabkan oleh perbedaan individu dan tempat terjadinya manifestasi. Dengan demikian, jumlah keseluruhan menjadi “Tiga Ribu” (Jepan:zansen), yang hadir secara simultan dalam satu saat hidup (Jepang:ichinen).
Mendapatkan pencerahan menunjukkan kekuatan seseorang yang menguasai “Sepuluh Alam Hidup” dan hadir secra simultan dalam satu saat hidup. Pencerahan yang dicapai Siddharta merupakan respon timbal balik yang terjadi antara alam Kebudhaan yang ada di dalam alam semesta dan Alam Kebudhaan yang melekat pada hidup Siddharta.[4]
2.2 Perkembangan Agama Buddha
          Sesudah lebih dari 2500 tahun hingga saat ini (akhir abad ke 20), agama Buddha berkembang keluar negara India. Perkembangan agama Buddha mengalami berbagai perubahan, pada umumnya terjadi akibat pengaruh tradisi dan kepercayaan masyarakat setempat pada saat menerima agama Buddha. Hingga saat ini, terdapat dua madzhab besar dalam agama Buddha, yang dianut oleh masyarakat Buddhis di dunia, yaitu:
1. Madzhab Theravada, yang cenderung mempertahankan kemurnian ajaran Buddha, menggunakan kitab Tipitaka berbhasa pali. Aliran ini serinkali disebut agama Buddha aliran selatan, karena pada umumnya berkembang di negara-negara Asia Selatan dan Asia Tenggara. Ajaran-ajaran Buddha dan ketentuan-ketentuan disiplin kebiaraan dalam Theravada idealnya membantu biarawan dan biarawati tetap memusatkan perhatian pada pengembangan panna (pengetahuan) melalui analisis dan pemahaman tentang penderitaan, sebab-sebab terjadinya, dan cara mengatasinya, yang memerlukan studi dan pemahaman kitab-kitab suci Buddha; sila (kebijakan etis), pelaksanaan disiplin moral dan asketik sebagaimana diterapkan dalam aturan kehidupan biara; dan samadhi (konsentrasi mental), kemajuan selangkah demi selangkah, ketenangan batin, dan kesadaran yang mendalam.[5]
2. Madzhab Mahayana, yang cenderung mempertahankan makna-makna hakiki ajaran Buddha, menggunakan kitab suci Tipitaka berbahasa Sansakerta. Pengaruh adat istiadat dan kepercayaan masyarakat diterima dalam madzhab ini. Aliran ini sering disebut agama Buddha aliran Utara, karena berkembang di negara-negara Asia Timur dan Asia Tengah. Cara pencarian mistik juga memiliki berbagai ekspresi dalam Mahayana yang tidak sama yang ditemukan dalam Theravada. Hal ini sebagian disebabkan oleh perkembangan-perkembangan filosofis yang unik pada Mahayana dan sikap yang lebih liberal terhadap metode-metode baru dalam mencapai tujuan-tujuan akhir (ultimate) yang sama.[6]
          Agama Buddha yang berada di Indonesia telah melalui perjalanan sejarah yang cukup panjang sejak pertama kali tercatat dalam sejarah Indonesia. Kerajaan Kalingga di Jepara, Jawa Tengah, merupakan kerajaan Buddhis tertua di Indonesia. Perkembangan agama Buddha mengalami zaman keemasan pada masa kerajaan Sriwijaya di Palembang, Sumatera, kira-kira pada abad ke-7 Masehi, dengan perguruan Buddhis yang terkenal pada masa itu, dan banyaknya para pelajar dari luar yang menimba ilmu agama Buddha di perguruan tinggi tersebut.
          Sedangkan di Jawa, perkembangan agama Buddha mencapai zaman keemasan pada masa kerajaan Mataram Kuno di Kedu Jawa Tengah, pada abad ke-8 hingga abad ke-9 Masehi, yang diperintah oleh raja-raja wangsa Sailendra. Banyak candi-candi Buddhis di bangun pada masa ini, misalnya Candi Borobudur, Candi Mendhut, Candi Sewu, Candi Plaosan, dan Candi Kalasan. Kemudian kerajaan Majapahit yang merupakan kelanjutan perkembangan agama Buddha di Indonesia, abad ke-13 samapai abad ke-15. Pada masa ini terdapat beberapa karya yang bernafaskan agama Buddha telah ditulis. Seperti kitab Sutasoma karya Mpu Tantular, yang memuat kalimat Bhinneka Tunggal Ika, Tana Hana DharmaMangrowa. Setelah mengalami kemunduran untuk bebrapa lama, agama Buddha mengalami kebangkitan kembali pada abad ke-20 sesudah kunjungan Bhikkhu Narada, dari Sri Langka, tahun 1934, dan berulangkali kunjungannya sesudah itu, kemudian agama Buddha b erkelanjutan sampai saat ini. Dimana saat ini organisasi umat Buddha yang berkumpul dalam satu wadah federatif Perwalian Umat Buddha Indonesia (Walubi) berjumlah 7, antara lain[7]:
1. Sangha Theravada Indonesia
2. Sangha Mahayana Indonesia
3. Majelis Agama Buddha Theravada Indonesia
4. Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia
5. Majelis Dharmaduta Kasogatan (Tantrayana) Indonesia
6. Majelis Pandita Buddha Maitreya Indonesia
7. Majelis Rohaniawan Tridharma seluruh Indonesia
Tiga organisasi umat Buddha yang disebutkan terakhir termasuk aliran Mahayana.

2.3    Ajaran Tasawuf Agama Buddha
Agama Buddha atau ajaran Buddha lebih merupakan “way of life” daripada suatu agama dan filsafat, sebab ajaran Buddha lebih merupakan satu perangkat sistem keyakinan yang di dasarkan pada pengertian dan mengarah pada corak perilaku untuk mencapai kebebasan penderitaan. Pengertian memerlukan dan mengundang penalaran serta penghayatan secara mendalam sebagai awal mula munculnya keyakinan terhadap pengertian tersebut.[8]
Ajaran agama Buddha bersumber kepada kitab Tripitaka yang berarti tiga keranjang, atau tiga kelompok. Kitab tersebut merupakan kumpulan khotbah, keterangan, perumpamaan, dan percakapan yang pernah dilakukan Sang Buddha  dengan para siswa dan pengikutnya. Dengan demikian, isi kitab tersebut semuanya tidak berasal dari kata-kata Sang Budha sendiri, melainkan juga kata-kata dan komentar-komentar dari siswanya.  Oleh karena itu, sumber ajaran pokok agama Buddha ada tiga yaitu:
1.      Sutra Pitaka, memuat dharma atau ajaran Budha kepada pengikut-pengikutnya.
2.      Vinaya Pittaka, memuat peraturan-peraturan yang mengatur kehidupan Sangha dan para penganutnya.
3.      Adhdharma Pittaka, memuat filsafat agama Buddha, dimana terdapat pembahasan yang mendalam tentang hakikat dan tujuan hidup.
          Menurut Drs. Mudjahid Abdul Manaf dalm buku “Sejarah Agama-agama”, ajaran agama Buddha meliputi:
1. Catur Arya Satyani
Ajaran ini meliputi empat kebenaran mulia yang disebut Catur Arya Satyani yang terdiri dari:
a.       Dukha, artinya penderitaan, maksudnya bahwa hidup di dunia adalah penderitaan, Bayi yang lahir kedunia akan menghadapi berbagai macam penderitaan seperti sakit, menjadi tua, mati, berpisah dari segala yang dicintai dan tidak tercapai apa yang dicta-citakan.
b.      Samudaya, artinya sebab penderitaan. Yang menyebabkan penderitaan adalah keinginan untuk hidup (the will to live), yang disebut tanha.
c.       Nirodha, artinya pemadaman. Maksudnya bahwa cara pemadaman atau menghilangkan penderitaan itu dengan jalan menghapuskan tanha.
d.      Margha, artinya jalan untuk menghilangkan tanha. Apabila seseorang telah menghilangkan tanha, maka ia akan mencapai nirwana, yaitu alam kesempurnaan, dimana ia akan merasakan kenikmatan yang abadi.
Untuk menghilangkan tanha, manusia harus menempuh delapan jalan yang mulia, yang disebur Astha Arya Margha, yaitu:
1.      Kepercayaan yang benar
2.      Niat dan pikiran yang benar
3.      Perkataan yang benar
4.      Perbuatan yang benar
5.      Mata pencaharian yang benar
6.      Usaha yang benar
7.      Kesadaran yang Benar
8.      Samadhi yang benar         
2. Nirwana/Nibbana (Kebebasan Mutlak)
          Nirwana merupakan tujuan terakhir setiap pemeluk agama Buddha, dimana seseorang telah lepas dari samsara, yang berarti ia telah lepas dari penderitaan, dan selanjutnya ia akan merasakan kebahagiaan yang abadi. Nirwana merupakan berhentinya proses kelahiran dan proses hidup serta dapat diartikan bahwa mati pun tidak ada lagi, alias abadi. Selain itu, nirwana juga diartikan padamnya segala pai nafsu, berhentinya segala perasaan, hilangnya segala gangguan, serta tercapainya ketenangan dan kedamaian yang sempurna.[9]


3. Arahat
          Seorang Arahat adalah seseorang yang telah melenyapkan segala hawa nafsu dan keinginannya, sehingga ia tidak teringat dengan apapun. Sebelum mencapai tingkat Arahat, maka seseorang akan mengalami keadaan yang mendekatinya, yaitu[10]:
1.    Sotapatti, yaitu tingkat dimana seseorang harus menjelma tujuh kali lagi sebelum mencapai nirwana.
2.    Sekadagami magga, yaitu tingkat seseorang tinggal satu kali menjelma sebelum mencapai nirwana.
3.    Anagami, yaitu tingkat dimana seseorang sudah tidak akan menjelma lagi, ia tinggal menunggu saatnya untuk mencapai nirwana sesudah itu tinggalah tingkat Arahat, dimana seseorang telah mencapai nirwana.
          Sedangkan dalam buku “Sejarah, Teologi dan Etika Agama-agama”, ajaran Buddha meliputi:
1.    Tiratana (Tiga Permata)
          Tiratana/Tiratna (Tiga Permata) merupakan dasar keyakinan umat Buddha yang terdiri dari; Permata Buddha, Permata Dhamma, dan Permata Sangha. Buddha adalah manusia yang telah mencapai pencerahan dan bertindak sebagai guru. Dhamma adalah ajaran pencerahan hati, sedangkan Sangha adalah siswa-siswa yang mencapai pencerahan hati setelah berhasil mengikuti ajaran tersebut.
          Permata Buddha adalah hakikat ke-Buddha-an, yaitu Pencerahan, Perealisasian Nibbana.  Permata Dhamma adalah hakikat ke-Dhamma-an, demikian pula Permata Sangha adalah hakikat ke-Sangha-an, yaitu Pencerahan, Perealisasian Nibbana juga. Oleh karena itu, umat Buddha melakukan penghormatan dan pengabdian keagamaan kepada Buddha, Dhamma, dan Sangha, atau Tiratana (Tiga Permata). Hal tersebut tercermin dalam keyakinan umat Buddha sebagai berikut:
“Aku berlindung dalam Buddha, aku berlindung dalam Dhamma, dan aku berlindung dalam Sangha”.
          Umat Buddha berupaya memperoleh pencerahan batin sebagai perilaku hidup beragamanya. Dimana upaya pencapaian pencerahan batin ini dilakukan melalui cara hidup yang melatih/mengembangkan:
a.  Kebijaksanaan (Panna)
b. Kesusilaan (Sila)
c.  Meditasi (Samadhi)
2.    Tilakkhana (Tiga corak Segala Sesuatu)
          Segala sesuatu yang ada dapat dipisahkan menjadi 2 macam, yaitu: yang terjadi dari perpaduan unsur-unsur (Sankhata-dhamma) dan yang terjadi bukan perpaduan unsur-unsur (Asankhata-dhamma). Keberadaan segala sesuatu itu mempunyai tiga corak yaitu:
a.    Segala sesuatu yang terjadi dari perpaduan unsur-unsur memiliki corak tidak kekal.
b.    Segala sesuatu yang terjadi dari perpaduan unsur-unsur memiliki corak terus menjadi.
c.    Segala sesuatu yang terjadi dari perpaduan maupun bukan perpaduan unsur-unsur tidak memiliki inti kekal.
3.    Kamma dan Punabbhava (Hukum Perbuatan dan Tumimbal lahir)
Kamma atau Karma artinya perbuatan. Hukum Kamma merupakan hukum moral yang berlangsung sesuai dengan prinsip sebab akibat. Sesuai dengan benih yang telah ditabur, begitulah buah yang akan dipetiknya. Seseorang yang berbuat baik akan menerima kebahagiaan, dan yang berbuat jahat akan menerima penderitaan. Dimana penghayatan hukum Kamma/Karma bermanfaat untuk:
a.       Menjaga agar seseorang tidak terjerat ke dalam pandangan nihilistis dan materialistis, yang mengingkari berlakunya nilai-nilai moral.
b.      Membuat seseorang memiliki kepercayaan pada kemampuan diri sendiri untuk meningkatkan taraf hidupnya menjadi lebih baik dan mencegah seseorang berputus asa atau bersikap pasrah pada nasib.
c.       Memperkuat pengendalian diri untuk tidak melakukan hal-hal negatif dalam bentuk apapun, atas dasar pengertian bahwa seseorang pasti akan memetik perbuatannya sendiri.
          Alam kehidupan makhluk hidup bermacam-macam. Ada 31 alam kehidupan, tempat makhluk hidup berproses menjalani hidupnya, terdiri dari alam bahagia dan alam derita. Alam bahagia antara lain adalah alam surga, yang terdiri dari 26 macam alam surga. Alam derita terdiri dari 4 macam alam diantaranya adalah alam binatang. Sedangkan alam manusia merupakan alam batas antara alam bahagia dan alam derita.
4.     Paticcasamuppada (Hukum Sebab Musabab yang saling berkaitan)
          Sebab musabab yang saling berkaitan timbul karena kondisi-kondis yang saling bergantungan. Beberapa faktor mengkondisikan timbulnya sesuatu. Timbulnya sesuatu itu merupakan salah satu faktor dan banyak faktor lain yang akan mengkondisikan munculnya sesuatu yang lain, kemudian munculnya sesuatu yang lain merupakan salah satu faktor dari faktor-faktor lain yang mengkondisikan terjadinya sesuatu yang lain lagi, demikian seterusnya.[11]
2.4    Orientalisme : Tasawuf dalam Islam dan Buddha
Pada masa Rasulullah dan masa sebelum datangnya agama Islam, istilah “tasawuf” itu belum ditemukan. Akan tetapi praktek ajaran tasawuf sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad dan para sahabat, Seperti sikap zuhud dan qana’ah. Selain itu perintah zuhud dan qana’ah juga terdapat dalam al-Qur’an, dalam ucapan dan perilaku Rasulullah sendiri. Sebagaimana Allah berfirman dalam Qs. Fatr : 5, tentang zuhud yaitu menjauhkan diri dari keduniawian,
يآ’َ يُّهَا النَّاسُ إِنَّ وَعدَ اللهِ حَقٌّ , فَلاَ تَغُرَّ نَّكُمُ الحَيَوةُ الدُ نيَا , وَ لَا يَغُرُّ نَكُم بِاللهِ الغَرُورُ
   “Hai manusia, sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu dan sekali-kali janganlah setan yang pandai menipumu”
 Begitu juga tentang mendekatkan diri kepada Allah yang telah ada sejak zaman para Nabi, Allah berfirman dalam Qs. Al-Baqarah : 186
وَ اِذَا سَأَ لَكَ عِبَادِى عَنِّى فَإِ نِّى قَرِيبِ , أُ جِيبُ دَعوَ ة الدَّ اعِ إِذَ ا دَ عَانِ , فَليَستَجِيبُوا لِى وَ ليُؤ مِنُوا بِى لَعَلَّهُم يَر شُدُونَ َ
Jika hamba-hamba-Ku bertanya padamu tentang diri-Ku, Aku adalah dekat. Aku mengabulkan seruan orang yang memanggil jika ia memanggil Aku”
Menurut para ahli sejarah, istilah tasawuf mulai muncul pada abad 2 Hijriya, yaitu  pada masa seorang tabi’in bernama Hasan Al- Bashri, ketika orang-orang berusaha meluruskan jalan menuju Ilahi dan takut kepada-Nya. Dimana hal ini membuktikan bahwa Tasawuf sudah ada sejak zaman Nabi. Walalupun dulu hanya dalam bentuk benih-benihnya saja. Dan istilah tasawuf sendiri muncul ketika abad ke 2 Hijjriyah.[12]
Tasawuf secara terminologi adalah tekun beribadah kepada Allah sepenuh kehidupan serta berpaling dari kenikmatan duniawi, menghindari dari apa yang dilakukan orang awam, baik berlezat-lezatan dengan harta atau pangkat. Pendapat ini menurut Ibnu Khaldun. Secara umum yang disebut tasawuf adalah zuhud, ibadah, ibadah, dan sabar dalam kefakiran. Hal ini karena adanya dorongan untuk memperhatikan kehidupan agamanya serta menjaga hukum-hukum syari’at. Sebagaimana persepsi Ustadz Musthafa Abdur Raziq.[13] Menurut Syaikh Amin al-Kurdi dalam kitab “Tanwirul Qulub, tasawuf adalah:
التصوف هو علم يعرف به أحوال النفس محمودها ومذمومها وكيفية تطهيرها من المذموم منها وتحليتها بالاتصاف بمحمودها وكيفية السلوك والسير الى الله تعالى والفرار اليه
“Tasawuf adalah ilmu yang digunakan untuk mengetahui keadaan jiwa (hati), baik dari segi baiknya maupun buruknya, serta bagaimana menyucikan jiwa (hati) dari hal-hal buruk dan menghiasinya dengan hal-hal (sifat-sifat) terpuji, bagaimana bagaimana caranya suluk dan jalan menuju sampai kepada Allah serta segera mungkin dapat dekat dengan Allah”.
          Dari penjelasan tersebut, beliau menjelaskan bahwa sasaran dari tasawuf adalah membersihkan dan mensucikan segala bentuk perbuatan hati dan panca indera. Dimana dengan tazkiyah dan tashfiyah akan menjadikan hati bersih, mengetahui dan menemukan hal-hal gaib, selamat di akhirat, bahagia dengan ridla Allah, memperoleh kebahagian abadi, pencerahan dan kejernihan hati yang mampu membuka perkara-perkara yang agung, dan melihat keadaan-keadaan yang menakjubkan serta menampakkan sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh penglihatan mata.[14]
          Hampir semua konsep tasawuf berasal dari Al-Qur’an, seperti konsep zuhud (menjauhkan diri dai dunia untuk beribadah). Hal ini disebutkan dalam Al-Qur’an surat An-Nisaa’ ayat 77[15]:
قل متاع الدنيا قليل والأخرة خير لمن اتقى ولا تظلمون فتيلا
   “KatakanlahKesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertaqwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikit pun”.(QS. An-Nisaa’ :77).
Dalam sejarahnya, pada abad ke 1 Hijriyah, orang Islam belum mengenal istilah tasawuf dan yang ada hanyalah benih-benihnya saja. Meskipun begitu, Nabi Muhammad SAW telah melakukan pengasingan diri ke Gua Hira menjelang datangnya wahyu. Beliau menjauhi pola hidup kebendaan ketika orang Arab sedang tenggelam di dalam kebendaan. Selama pengasingan di Gua Hira Rasulullah hanya bertafakur, beribadah, dan hidup sebagai seorang zahid. Beliau hidup sangat sederhana, bahkan terkadang beliau memakai pakaian tambalan, tidak makan dan minum, kecuali yang halal. Setiap malam beliau senantiasa beribadah dan taqarrub kepada Allah SWT.
Dalam agama Islam, sejarah tasawuf sendiri memiliki berbagai macam pendapat yang berbeda-beda yang dapat dilihat dalam berbagai definisi tasawuf yang ada, di antaranya[16] :
1.      Tasawuf berasal dari bahasa Arab, Ahl al-Shuffah (الصفة اهل ( yaitu orang-orang yang hijrah mengikuti Nabi Muhammad Saw, Saf (  (صف  yang berarti barisan yang pertama / utama, Sufi (صوفى) yaitu suci, Suf (صوف) kain yang terbuat dari bulu wol kasar, dilihat dari defini tersebut tasawuf berasal dari agama Islam.
2.      Sophos, kata Yunani yang berarti hikmah. Dalam hal ini tasawuf berarti berasal dari negara barat atau non-Islam.
          Dari perbedaan tersebut sampai sekarang masih terjadi perdebatan tentang sejarah tasawuf sendiri. terutama dalam pemikiran orang-orang berat atau oriental yang bersikukuh terhadap pendapatnya tentang tasawuf Islam itu hanya meniru-niru dari ajaran dari agama lain. Namun jika ditengok tentang makna dari tasawuf sendiri yaitu pendekatan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa, tidak menutup kemungkinan bahwa di agama-agama lain yang non-Islam juga mengajarkan tentang tujuan pendekatan diri seorang hamba dengan Tuhannya. Apakah hal ini sama dalam pempraktekan dalam hal pendekatan hamba dengan Tuhannya.
          Sebagaimana telah kita ketahui, cara pencarian mistik sangat ditekankan dalam kebanyakan sub-tradisi agama Buddha, tetapi cara tersebut tidak pernah ada tanpa adanya semacam keseimbangan atau perpaduan antara cara-cara bertindak secara bijak dan benar. Namun demikian, berbagai disiplin ilmu asketik tertentu dan praktik-praktik meditasi dalam sub-tradisi Buddha bervariasi. Seperti metode Satipatthana untuk “memperkuat kesadaran”, yang juga disebut sukka vipassana (praktik “pengosongan pikiran”). Dimana cara tersebut direkomendasikan sebagai sebuah praktik yang berguna bagi semua orang, tetapi hanya sedikit saja yang disebutkan memiliki keinginan tunggal yang diperlukan untuk sampai pada tujuan akhirnya.[17]
          Manusia dalam pandangan agama Buddha merupakan perpaduan jasmani dan batin. Jasmani merupakan perpaduan bagian jasmani yang berasal dari unsur padat, cair, udara, dan panas. Masing-masing unsur juga merupakan perpaduan dari bagian-bagian unsur itu yang lebih kecil, dan seterusnya. Batin terdiri dari perpaduan unsur kesadaran, bentuk-bentuk pemikiran, ingatan, dan perasaan. Masing-masing unsur juga merupakan perpaduan dari bagian-bagian unsur yang lebih kecil, dan seterusnya. Demikian pula segala bentuk kehidupan terjadi dari perpaduan faktor-faktornya.[18]
          Menurut Buddha Gautama, jika manusia mau melakukan hidup suci dengan melenyapkan tanha, maka setelah itu ia melalui serangkaian reinkarnasi pada akhirnya ia akan mencapai nirwana. Orang yang telah mencapai nirwana disebut Arahat. Dalam rangkaian reinkarnasi itu, orang bisa menjelma manusia kembali, menjadi binatang atau dewa. Bahkan orang yang benar-benar telah menunjukkan pengorbanan yang sedalam-dalamnya, yang sebenar-benarnya dan kasih sayang yang sedalam-dalamnya, ia bisa menjadi Buddha, setelah mengalami reinkarnasi yang sangat lama, mungkin sampai ratusan abad lamanya.[19]



















BAB III
PENUTUP
3.1    Simpulan
Agama Buddha adalah agama yang muncul pada abad keenam sebelum Masehi. Dimana agama Buddha di bawa oleh seorang pangeran yang bernama Siddharta Gautama yang telah melakukan olah mati raga sampai akhirnya mendapatkan pencerahan. Pencerahan tersebut diperolehnya sebagai respon timbal balik yang terjadi antara alam Kebudhaan yang ada di dalam alam semesta dan Alam Kebudhaan yang melekat pada hidup Siddharta.
Dalam perkembangannya, Buddhisme terbagi menjadi dua yaitu; madzhab Theravada dan madzhab Mahayana. Sedangkan Agama Buddha atau ajaran Buddha secara umum lebih merupakan “way of life” daripada suatu agama dan filsafat, sebab ajaran Buddha lebih merupakan satu perangkat sistem keyakinan yang di dasarkan pada pengertian dan mengarah pada corak perilaku untuk mencapai kebebasan penderitaan.
Sedangkan dalam Islam dan Buddha terdapat beberapa persamaan ajaran tasawuf  yang orientasinya adalah mendekatkan diri kepada Tuhan dan mendapatkan tempat tertinggi disis Tuhan. Selain itu, untuk mencapai hal tersebut juga melalu beberpa tahapan-tahapan dan proses yang panjang serta tidak mudah. Bahkan antara Islam dan Buddha keduanya sama-sama mengedepakan aspek penyucian jiwa untuk bisa mencapai tingkatan tersebut.






DAFTAR PUSTAKA
Anshori, Subkhan, 2011, Tasawuf dan Revolusi Sosial, Kediri:Pustaka Azhar.
At-Thawil, Taufiq,  2013, Agama dan Filsafat, Madiun:Yayasan PP. Al-Furqon.
Baidhawi, Zakiyuddin,1997, Wacana Teologi Feminis, Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
Cannom, Dale,2002, Enam Cara Beragama, Jakarta:Direktur Perguruan Tinggi Islam, dll.
Djam’annuri, 2000, Agama Kita,Yogyakarta:Kurnia Kalam Semesta.
Harahap, Syahrin,2011, Teologi Kerukunan, Jakarta:Prenada.
Koesbyanto, J.A. Dhanu, Yuwono, Firman Adi, 1997, Pencerahan Suatu Pencarian Makna Hidup dan Zen Buddhisme, Yogyakarta:Kanisius.
Kurdi, M. Amin, 2006, Tanwirul Qulub, Al-Haramain.
Manaf, Mudjahid Abdul,  1994, Sejarah Agama-agama, Jakarta:Raja Grafindo Persada.
Mathar, M. Qasim, 2003, Sejarah Teologi dan Etika Agama, Yogyakarta:Interfidei.
Nasution, Harun,  1992, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang.
Purna Siswa 2011, 2011, Jejak Sufi, Kediri:Lirboyo Press.
Rosihon Anwar, dan M. Sholihin,  2008, Ilmu Tasawuf, Bandung:Pustaka Setia.




[1]Subkhan Anshori, Tasawuf dan Revolusi Sosial, (Kediri:Pustaka Azhar,2011),hlm.125.
[2]Syahrin Harahap,Teologi Kerukunan,(Jakarta:Prenada,2011),hlm.105.
[3]Zakiyuddin Baidhawi, Wacana Teologi Feminis,(Yogyakarta:Pustaka Pelajar,1997),hlm.17-18.
[4]J.A. Dhanu Koesbyanto, Firman Adi Yuwono, Pencerahan Suatu Pencarian Makna Hidup dan Zen Buddhisme, (Yogyakarta:Kanisius,1997),hlm.9-10.
[5]Dale Cannom, Enam Cara Beragama, (Jakarta:Direktur Perguruan Tinggi Islam, dll, 2002),hlm.217-218.
[6]Ibid, hlm.227.
[7]Djam’annuri, Agama Kita,(Yogyakarta:Kurnia Kalam Semesta,2000),hlm.65-66.
[8]Ibid,hlm.66-67.
[9]Ibid, hlm.31.
[10]Ibid,hlm.32-33.
[11]Ibid, hlm.173-175.
[12] M. Sholihin dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, (Bandung:Pustaka Setia,2008), hlm. 43-45
[13] Taufiq At-Thawil, Agama dan Filsafat, (Madiun:Yayasan PP. Al-Furqon,2013),hlm.130.
[14] M. Amin Kurdi, Tanwirul Qulub, (Al-Haramain, 2006), hlm.406.
[15] Purna Siswa 2011, Jejak Sufi, (Kediri:Lirboyo Press,2011),hlm.17-18.
[16] Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992). hlm. 56
[17]Opcit, hlm.303.
[18]M. Qasim Mathar, Sejarah Teologi dan Etika Agama, (Yogyakarta:Interfidei,2003),hlm.170-172.
[19]Mudjahid Abdul Manaf,Sejarah Agama-agama, (Jakarta:Raja Grafindo Persada,1994),hlm26-29.