Minggu, 10 Mei 2015

'Urf (Adat) dalam Ushul Fiqih

KATA PENGANTAR

            Segala Puja dan Puji syukur Alhamdulillah semoga senantiasa kita panjatkan kehadirat AIlah atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga makalah yang berjudul “Sumpah dalam Perpekstif Islam” yang sederhana ini telah selesai kami susun. Makalah ini kami buat berdasarkan hasil belajar kami dan referensi dari berbagai buku. Salah satu tujuan kami adalah agar yang membaca makalah kami  dapat mengerti dan memahami tentang ‘Urf (Adat) secara detail dan jelas. Dan dengan tujuan yang demikian, kami harap makalah  ini bermanfaat bagi semua orang yang membaca susunan makalah ini.
            Kekurangan dan kesalahan tentu akan terjadi dalam pembuatan laporan ini, maka tegur sapa dan koreksi dari para ahli sangat kami harapkan. Dan kami mohon maaf yang sebesar-besarnya atas kesalahan-kesalahan yang terjadi. Dan tak lupa kami ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada  :
1.   Allah SWT, karena atas izin-Nya kami dapat menyelesaikan laporan ini dengan tepat waktu.
2.   Kepada Dosen Dr. Siti Qomatiyah, M.A selaku dosen mata kuliah Ushul Fiqih sekaligus pembimbing dalam membuat makalah ini.
3.   Kepada orang tua yang telah memberikan dukungan moral dan do’a kepada kami.
4.   Dan kepada teman-teman juga yang telah memberikan dukungan moral dan koreksi bagi kami.
Dan kami juga memohon kepada Allah semoga buku ini bermanfaat dan menjadi salah satu amal yang diridhio-Nya. Amin.
























DAFTAR ISI


Kata Pengantar                       ...............................................................         i

Daftar isi                                 ...............................................................         ii

BAB I Pendahuluan               ...............................................................         1
1.1     Latar Belakang            ...............................................................         1
1.2     Rumusan Masalah       ...............................................................         1

BAB II Pembahasan               ...............................................................         2
     2.1 Definisidan Kehujjahan
 ‘Urf (adat)                  ...............................................................         2
     2.2 Alasan ‘Urf (Adat)
dijadikan dalil             ...............................................................         3
                         
2.3 Syarat Penggunaan
‘Urf (Adat Kebiasaan)            ...............................................................        4
                              
2.4 Kedudukan ‘Urf
(Adat) sebagai dalil
 hukum Syara’             ...............................................................        5
2.3 Macam-Macam
‘Urf (Adat)                 ...............................................................         6

                              
BAB III Penutup                    ...............................................................         9
3.1 Simpulan                      ...............................................................         9
3.2 Saran                            ...............................................................         9

Daftar Pustaka                                    ...............................................................         10




 BAB I
PENDAHULAUAN
1.1  Latar Belakang
Kehidupan manusia tidak akan pernah lepas dari berbagai macam persoalan yang selalu menyertainya. Sehingga keberadaan manusia yang selalu disertai oleh persoalan-persoalan tersebut semakin membutuhkan sebuah solusi untuk mengatasinya. Solusi yang dibutuhkan tentunya solusi yang memberikan manfaat dan tidak merugikan bagi dirinya maupun orang lain.
Oleh karena itu, manusia dalam masalah kehidupannya juga berusaha untuk bisa mengatasinya dan senantiasa terhindar dari masalah. Akan tetapi, perkembangan zaman saat ini juga menyebabkan keberadaan agama yang di yakini atau di ikuti juga berusaha untuk memberikan solusi bagi pemeluknya.
Agama juga memberikan solusi hukum terhadap permasalahan manusia yang bersifat keseharian (adat). Dimana hukum permasalahan tersebut belum ada solusinya, kemudian dengan memandang segala sesuatu yang terjadi secara adat (kebiasaan), akhirnya bisa ditemukan hukumnya.
Dalam makalah ini, semoga menambah wacana dan wawan baru kita, khususnya dalam masalah urf (adat). Dimana urf (adat) merupakan sesuatu yang setiap hari kita hadapi dan kita temui. Sehingga posisi hukum urf (adat) sangat berpotensi untuk menjamin kelangsungan hidup seseorang yang taat pada sebuah hukum atas masalah yang dihadapinya.
1.2  Rumusan Masalah
A.    Definisi dan Kehujjahan Urf (Adat)
B.     Alasan Urf (Adat) bisa dijadikan dalil
C.    Syararat Penggunaan Urf (Adat)
D.    Kedudukan ‘Urf (Adat) sebagai dalil hukum Syara’
E.     Macam-macam Urf (Adat)



BAB II
PEMBAHASAN
2.1  Definisi dan Kehujjahan ‘Urf (Adat)
‘Urf (Adat) secara terminologi (istilah) adalah sesuatu (tindakan, perkataan) yang dimana jiwa (al-nufus) merasakan suatu kedamaian dan ketenangan dalam mengerjakannya, karena hal itu sejalan dengan prinsip logika dan keberadaannya dapat diterima oleh karakter (al-thab’u) kemanusiaan. Oleh karena itu, ‘Urf (Adat) bisa dijadiakan hujjah tetapi hal ini lebih cepat dimengerti dan dimaklumi.
Sedangkan menurut syari’at, tidak ada perbedaan antara ‘urf dan adat. Sebab adat terkadang berupa perbuatan, seperti kebiasaan manusia dalam melakukan transaksi jual beli dengan cara tukar menukar barang kebutuhan mereka secara langsung, tanpa ada bentuk akad. Kemudian ada juga adat yang berupa ucapan, seperti kebiasaan manusia mengartikan kata al-walad, Boy, Nang, (Jawa), Brow, dan yang lainnya bagi anak laki-laki bukan kata untuk anak perempuan ketika mereka menyebutkannya secara mutlak[1].
Menurut Abdul Karim Zaidan, istilah ‘urf berarti[2]:
ما ألفه المجتمع واعتاده وسار عليه في حياته من قول أو فعل
“Sesuatu yang tidak asing lagi bagi suatu masyarakat karena telah menjadi suatu kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan mereka baik berupa perkataan atau perbuatan.
‘Urf (Adat) dengan persyaratan-persyaratan tertentu bisa dijadikan sandaran untuk menetapkan sesuatu hukum, bahkan di dalam sistem hukum Islam kita kenal dengan qa’idah kulliyyah fiqhiyyah yang berbunyi:
العادة شريعة محكمة. العادة محكمة
Maksudnya, Urf (Adat) dapat dijadikan hukum untuk mendapatkan sesuatu hukum syara’ atau kaidah lain:
الثابت باالعرف كاالثابت بدليل شرعي
Artinya:
“Sesuatu yang ditetapkan ‘Urf (Adat) seperti yang ditetapkan dengan dalil syara’.
Di dalam Istihsan telah kita kenal macam-macam Istihsan ditinjau dri segi sanad dan di antaranya adalah Istihsan yang sanadnya ‘Urf (Adat), seperti memesan barang yang belum jadi (memesan pakaian kepada tukang jahit).
Secara terminologi, ‘Urf (Adat) adalah segala sesuatu yang biasa dijalankan orang pada umumnya, baik perbuatan ataupun ucapan.  Seperti; adat menyebut ibu sebagai pengganti kata istri dan menyebut daging selain daging ikan. Sedangkan ‘Urf (Adat) yang berupa perbuatan seperti jual beli tanpa ijab qabul dalam transaksi jual beli kecil-kecilan.
2.2 Alasan ‘Urf (Adat) dijadikan dalil
            Adanya ‘Urf (Adat) dijadikan dalikl karena ada beberapa hal, antara lain[3]:
1.      Hadits Nabi yang berbunyi:
ما رأه المسلمون حسنا فهو عندالله حسن
Artinya:
“Apa yang di anggap baik oleh orang-orang Islam, maka hal itu baik pula disisi Allah.
Hal ini menunjukan bahwa segala adat kebiasaan yang dianggap baik oleh umat islam adalah baik menurut Allah; karena apabila ia tidak melaksanakan kebiasaan tadi maka akan menimbulkan kesulitan dalam kaitan ini, Allah berfirman
ما جعل عليكم في الدين من حرج
“dan Allah tidak menyempitkan kamu dalam urusan agama” (Qs. Al-Hajj : 78)
Imam Al Syarkasyi dari madzhab hanafi dalam kitabnya Al Masybuth, menyebutkan :
الثابت باالعرف كاالثابت بالنص
“sesungguhnya yang ditetapkan urf seperti yang diterapkan dalil nash.”
Maksudnya adalah bahwa segala yang ditetapkan oleh adab kebiasaan adalah sama dengan yang ditetapkan oleh dalil yang berupa nash di dalam masalah-masalah yang tidak terdapat nash untuk penyelesaiannya.
2.      Hukum islam dalam khitabnya memelihara hukum-hukum arab yang maslahat seperti perwalian nikah oleh laki-laki, menghormati kamu dan sebagainya.
3.      Adat kebiasaan manusia baik berupa perbuatan maupun perkataan berjalan sesuai dengan aturan hidup manusia dan keperluannya, apabila dia berkata atau berbuat sesuai dengan pengertian dan apa yang biasa berlaku pada masyarakat.
2.3 Syarat Penggunaan ‘Urf (Adat Kebiasaan)
Ulama yang mengamalkan Adat sebagai dalil hukum menetapkan empat syarat dalam penggunaannya:
1.      Adat itu bernilai maslahat dalam arti dapat memberikan kebaikan kepada umat dan menghindarkan umat dari kerusakan dan keburukan.
2.      Adat itu berlaku umum dan merata dikalangan orang-orang yang berada dilingkungan tertentu.
3.      Adat itu telah berlaku sebelum itu, dan tidak ada yang datang kemudian.
4.      Adat itu tidak bertentangan dengan dalil syara’ yang ada.
‘Urf adalah sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan di kalangan ahli ijtihad atau bukan ahli ijtihad, baik yang berbentuk perkataan atau perbuatan. Sedangkan sesuatu hukum yang sudah ditetapkan atas dasar ‘urf dapat berubah karena kemungkinan adanya perubahan ‘urf itu sendiri atau perubahan tempat, zaman dan sebagainya[4].
Sedangkan dalam buku ushul fiqih karya Djazuli dan Nurol Aen, adat digunakan dengan syarat-syarat sebagai berikut:
1.      Tidak bertentangan dengan nash baik Al-Qur’an dan Al-Sunnah.
2.      Tidak menyebabkan kemafsadatan dan tidak menghilangkan kemaslahatan termasuk di dalamnya tidak memberi kesempatan dan kesulitan.
3.      Telah berlaku pada umunya kaum muslimin, dalam arti bukan hanya yang biasa dilakukan oleh beberapa orang Islam saja.
4.      Tidak berlaku di dalam masalah ibadah mahdlah.
Alasan ulama memakai ‘urf dalam menentukan hukum antara lain:
1.      Banyak hukum syari’at, yang ternyata sebelumnya telah merupakan kebiasaan orang Arab, seperti adanya wali dalam pernikahan dan susunan keluarga dalam pembagian waris.
2.      Banyak kebiasaan orang Arab, baik berbentuk perkataan maupun perbuatan, ternyata dijadikan pedoman sampai sekarang.
Di dalam buku ushul fiqih karya H.A.Basiq Djalil S.H.,M.A, bahwa dalam pemakaian ‘urf harus mempunyai beberapa syarat, antara lain[5]:
1.      ‘Urf tidak boleh dipakai untuk hal-hal yang akan menyalahi nash yang ada.
2.      ‘Urf tidak boleh dipakai apabila mengesampingkan kepentingan umum.
3.      ‘Urf dipakai apabila tidak membawa kepada keburukan-keburukan atau kerusakan.
Para ulama membenarkan penggunaan ‘urf hanya dalam hal-hal mu’amalat, itupun setelah memenuhi syarat-syarat  di atas. Sedangkan di dalam ibadah, secara mutlak tidak berlaku ‘urf. Dikarenakan yang menentukan dalam hal ibadah adalah Al-qur’an dan Al-Hadits.
2.4 Kedudukan ‘Urf (Adat) sebagai dalil hukum Syara’
            ‘Urf yang sudah memenuhi syarat yang ada tersebut dapat diterima secara prinsip. Golongan Hanafiyah menempatkannya sebagai dalil dan mendahulukannya atas qiyas, yang disebut dengan Istihsan ‘Urf. Golongan Malikiyah menerima ‘Urf terutama ‘Urf penduduk Madinah dan mendahulukannya dari Hadits yang lemah. Demikian juga berlaku dikalangan ulama Syafi’iyah yang menempatkannya dalam sebuah kaidah[6]:
كل ما ورد به الشرع مطلقا ولا ضا بط له فيه ولا في اللغة يرجع فيه الى العرف
“Setiap yang datang padanya Syara’ secara mutlak dan tidak ada ukurannya dalam Syara’ atau bahasa maka dikembalikan pada ‘urf.
            ‘Urf sebagai landasan pembentukan hukum memberi peluang luas bagi dinaminasi hukum Islam. Sebab disamping banyak masalah-masalah yang tidak tertampung oleh metode-metode lainnya seperti qiyas, istihsan, dan masalah mursalah yang dapat ditampung oleh adat istiadat ini.
2.5 Macam-Macam ‘Urf (Adat)
            Menurut Abdul Karim Zaidan, ‘Urf yang berupa perbuatan atau perkataan dibagi menjadi dua macam yaitu[7]:
1.      Al-‘Urf ‘Am (adat kebiasaan umum)
Merupakan adat kebiasaan mayoritas dari berbagai negeri disatu masa. Contoh kebiasaan menyewa kamar mandi umum dengan sewa tertentu tanpa menetukan secara pasti berapa lamanya mandi dan berapa kadar air yang digunakan.
2.      Al-‘Urf Khas (adat kebiasaan khusus)
Merupkan adat istiadat yang berlkaku pada masyarakat atau negeri tertentu. Contoh: Menganggap catatan jual beli yang berada pada pihak penjual sebagai bukti yang sah dalam masalah utang piutang.
Selain pembagian di atas, ‘uref (adat) juga dibagi menjadi dua yaitu:
1.      Adat kebiasaan yang shahih (benar)
Merupakan suatu hal baik yang menjadi kebiasaan suatu masyarakat, namun tidak sampai menghalalkan suatu yang haram dan tidak pula sebaliknya. Contoh: Kebiasaan suatu masyarakat dimana seorang istri belum bisa dibawa pindah dari rumah orang tuanya sebelum menerima mahar secara penuh.
 Keberadaan ‘urf shahih ini harus dipelihara dalam pembentukan hukum dan pengadilan. Maka seorang mujtahid diharuskan untuk memeliharanya ketika ia menetapkan hukum. Begitu juga seorang Qadli (hakim), harus memeliharanya ketika mengadili. Keberadaan ‘urf shahih ini meskipun tidak menjadi kebiasaanakan tetapi telah disepakati dan di anggap mendatangkan kemaslahatan bagi manusia serta selama hal itu tidak bertentangan dengan syara’ harus dipelihara.[8]
2.      Adat kebiasaan yang fasid (tidak benar)
Merupakan sesuatu yang menjadi adat kebiasaan yang sampai menghalalkan yang diharamkan Allah dan sebaliknya. Contoh: Menjamu tamu pada acara resepsi pernikahan, mengadakan tarian-tarian seksi dan membuka aurat.
            Adat yang rusak tidak haruskan untuk memeliharanya, karena memeliharanya itu berarti menentang dalil syara’ atau membatalkan dalil syara’. Apabila manusia telah mengerti akad-akad yang rusak, seperti akad riba atau akad gharar  atau khatar (tipuan dan membahayakan), maka bagi ‘urf ini tidak mempunyai pengaruh dalam memperbolehkannya.
Sedangkan ‘urf (adat) sesuai dengan sesuatu yang dibiasakan ada dua, yaitu:
1.      Adat dalam ucapan atau ‘urf qauli
Merupakan sebuah kebiasaan dalam menggunakan suatu kata dalam bahas. Umpamanya dalam bahasa Arab ولد digunakan khusus untuk anak laki-laki, sedangkan dalam arti bahasa berlaku untuk laki-laki dan perempuan.
2.      Adat dalam perbuatan atau ‘urf fi’li
Merupakan sebuah kebiasaan dalam melakukan sesuatu. Umpamanya mengangguk berarti mengiyakan dan menggeleng berarti meniadakan.
            Adat yang sudah berlangsung lama, dalam hubungannya dengan hukum syara’ yang datang kemudian ada tiga macam[9]:
1.      Adat yang ada sebelum datangnya agama Islam, karena di anggap baik oleh hukum syara’ dinyatakan berlaku untuk umat Islam, baik dalam bentuk diterimanya dalam Al-Qur’an maupun mendapat pengakuan dari Nabi. Hal itu seperti: pembayaran diat atau tebusan darah sebagai pengganti hukum qishas telah berlaku di tengah masyarakat Arab dan ternyata terdapat pula dalam Al-Qur’an  untuk dipatuhi umat Islam.
2.      Adat yang berlaku sebelum datangnya Islam, namun karena adat tersebut di anggap buruk dan merusak bagi kehidupan umat, dalam Islam dinyatakan terlarang. Misalnya berjudi, minum khamar dan zina.
3.      Adat atau kebiasaan masyarakat yang belum diserap menjadi hukumIslam, namun tidak ada nash syara’ yang melarangnya.
Kemudian antara Adat kebiasaan dan Ijma’ terdapat beberapa perbedaan antara lain[10]:
1.      Adat kebiasaan/’Urf adalah persesuaian di antara orang banyak, baik dia orang biasa, orang-orang pandai atau dia ahli ijtihad. Srdangkan ijma’ adalah persesuaian atau kebulatan pendapat ahli ijma’ saja.
2.      Penyimpangan beberapa orang dari kebanyakan orang tidak mempengaruhi adanya dan nilai ‘urf. Sedangkan dalam ijma’ kebulatan pendapat dari seluruh mujtahid adalah syarat mutlak. Perbedaan pendapat meskipun hanya seorang mujtahid yang berbeda pendapatnya berakibat batalnya ijma’.
3.      Nilai hukum yang dihasilkan dengan ijma’ yang sharih sama dengan hukum yang sandaranya nash, dalam arti bukan lapangan ijtihad lagi. Sedangkan hukum yang dihasilkan dengan ‘urf berubah sesuai dengan perubahan ‘urf itu sendiri dan tidak mempunyai kekuasaan seperti hukum yang disandarkan  kepada nash atau ijma’.

BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
            ‘Urf  (adat) merupakan  sebuah perkataan dan perbuatan yang sudah menjadi kebiasaan dan di anggap tidak asing lagi bagi suatu masyarakat. Dimana keberadaan ‘urf merupakan sebuah dalil hukum setelah al-maslahah al-mursalah, yang penggunaannya seringkali berpengaruh dengan ijma’ ataupun qiyas. Sehingga antara ketiganya terkadang didahulukan dan terkadang di akhirkan bahkan tidak terpakai.
            Oleh karena itu, di dalam ‘urf juga ada hal-hal yang melatar belakangi adanya ‘urf dijadikan sebagai dalil dalam hukum syara’. Sehingga dalam penggunaannya, ‘urf harus memperhatikan bebagai syarat yang harus di penuhi. Dengan adanya syarat-syarat tersebut juga menjadikan adanya kedudukan ‘urf sebagai dalil hukum syara’.
            Kemudian dari adanya kedudukan ‘urf sebagai dalil hukum syara’ juga memunculkan adanya macam-macam ‘urf sesuai dengan alasan yang melatar belakanginya. Dimana dengan adanya hal tersebut juga menyebabkan adanya pengamalan ‘urf sesuai dengan syarat-syarat yang ada.
3. 2 Saran
Segala kekurangan tentunya terdapat dalam makalah ini. Oleh karena itu, kami mengharapkan kepada teman-teman koreksi dan sarannya terhadap makalah ini. Harapan kami semoga dengan adanya koreksi dan saran dari teman-teman, kedepannya makalah kami lebih baik dan lebih bermanfaat. Amin yaa Robbal ‘Aalamin.



DAFTAR PUSTAKA
Lawang , Songo, Laskar, 2012,  Term Syari’at dan Cita Kemaslahatan, Kediri:Lirboyo Press.
Nurol Aen, Djazuli, 2000, Ushul Fiqih, Jakarta:Raja Grafindo Persada.
Djalil, Basiq 2010, Ilmu Ushul Fiqih, Jakarta:Kencana.
Syarifuddin Amir , 2012, Garis-garis Besat Ushul Fiqih Jakarta:Kencana
Efendi, Satria,  Zein, M. 2005, Ushul Fiqih, Jakarta:Kencana,
Syafe’i, Rachmat , 2010Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung:Pustaka Setia,



[1] Laskar Lawang Songo, Term Syari’at dan Cita Kemaslahatan, (Kediri:Lirboyo Press,2012),  hlm. 137.
[2] Satria Efendi, M.Zein, Ushul Fiqih, (Jakarta:Kencana,2005)hlm.153.
[3] Djazuli, Nurol Aen, Ushul Fiqih, (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2000),hlm.185-187.
[4] Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih, (Jakarta:Kencana,2010),hlm.162-163.
[5]Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih,hlm.162-163.
[6] Amir Syarifuddin, Garis-garis Besat bUshul Fiqih, (Jakarta:Kencana,2012),hlm.74-75.
[7] Satria Efendi, M.Zein, Ushul Fiqih, (Jakarta:Kencana,2005)hlm.154-155.
[8] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung:Pustaka Setia,2010),hlm.129.
[9] Amir Syarifuddin, Garis-garis Besat bUshul Fiqih,,hlm.71-72.
[10] Djazuli, Nurol Aen, Ushul Fiqih, hlm.185-187.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar