'Urf (Adat) dalam Ushul Fiqih
KATA PENGANTAR
Segala Puja dan Puji syukur Alhamdulillah semoga senantiasa kita panjatkan kehadirat AIlah atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga makalah yang berjudul “Sumpah dalam Perpekstif
Islam” yang sederhana ini
telah selesai kami susun. Makalah ini kami buat berdasarkan hasil belajar kami
dan referensi dari berbagai buku. Salah satu tujuan kami adalah agar yang
membaca makalah kami dapat mengerti dan
memahami tentang ‘Urf (Adat) secara detail dan jelas. Dan dengan tujuan yang demikian, kami harap makalah ini bermanfaat bagi semua orang yang membaca susunan makalah ini.
Kekurangan
dan kesalahan tentu akan terjadi dalam pembuatan laporan ini, maka tegur sapa dan koreksi dari para ahli sangat kami harapkan. Dan kami mohon maaf yang
sebesar-besarnya atas kesalahan-kesalahan yang terjadi. Dan tak lupa kami
ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Allah
SWT, karena atas izin-Nya kami dapat menyelesaikan laporan ini dengan tepat
waktu.
2. Kepada Dosen Dr. Siti Qomatiyah, M.A selaku
dosen mata kuliah Ushul Fiqih sekaligus pembimbing dalam membuat makalah ini.
3. Kepada orang tua yang telah memberikan
dukungan moral dan do’a kepada kami.
4. Dan kepada teman-teman juga yang telah
memberikan dukungan moral dan koreksi
bagi kami.
Dan kami juga memohon kepada Allah semoga
buku ini bermanfaat dan menjadi salah satu amal yang
diridhio-Nya. Amin.
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ............................................................... i
Daftar isi ............................................................... ii
BAB I Pendahuluan ............................................................... 1
1.1 Latar Belakang ............................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................... 1
BAB II Pembahasan ............................................................... 2
2.1 Definisidan Kehujjahan
‘Urf (adat) ............................................................... 2
2.2 Alasan
‘Urf (Adat)
dijadikan
dalil ............................................................... 3
2.3 Syarat Penggunaan
‘Urf
(Adat Kebiasaan) ............................................................... 4
2.4 Kedudukan
‘Urf
(Adat) sebagai dalil
hukum
Syara’ ............................................................... 5
2.3 Macam-Macam
‘Urf (Adat) ............................................................... 6
BAB III Penutup ............................................................... 9
3.1 Simpulan ............................................................... 9
3.2 Saran ............................................................... 9
Daftar Pustaka ............................................................... 10
PENDAHULAUAN
1.1
Latar Belakang
Kehidupan
manusia tidak akan pernah lepas dari berbagai macam persoalan yang selalu
menyertainya. Sehingga keberadaan manusia yang selalu disertai oleh
persoalan-persoalan tersebut semakin membutuhkan sebuah solusi untuk mengatasinya.
Solusi yang dibutuhkan tentunya solusi yang memberikan manfaat dan tidak
merugikan bagi dirinya maupun orang lain.
Oleh
karena itu, manusia dalam masalah kehidupannya juga berusaha untuk bisa
mengatasinya dan senantiasa terhindar dari masalah. Akan tetapi, perkembangan
zaman saat ini juga menyebabkan keberadaan agama yang di yakini atau di ikuti
juga berusaha untuk memberikan solusi bagi pemeluknya.
Agama
juga memberikan solusi hukum terhadap permasalahan manusia yang bersifat
keseharian (adat). Dimana hukum permasalahan tersebut belum ada solusinya,
kemudian dengan memandang segala sesuatu yang terjadi secara adat (kebiasaan),
akhirnya bisa ditemukan hukumnya.
Dalam
makalah ini, semoga menambah wacana dan wawan baru kita, khususnya dalam masalah
urf (adat). Dimana urf (adat) merupakan sesuatu yang setiap hari kita hadapi
dan kita temui. Sehingga posisi hukum urf (adat) sangat berpotensi untuk
menjamin kelangsungan hidup seseorang yang taat pada sebuah hukum atas masalah
yang dihadapinya.
1.2
Rumusan Masalah
A.
Definisi dan Kehujjahan Urf (Adat)
B.
Alasan Urf (Adat) bisa dijadikan dalil
C.
Syararat Penggunaan Urf (Adat)
D.
Kedudukan ‘Urf (Adat) sebagai dalil hukum Syara’
E.
Macam-macam Urf (Adat)
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Definisi dan Kehujjahan ‘Urf (Adat)
‘Urf (Adat) secara terminologi (istilah) adalah sesuatu (tindakan,
perkataan) yang dimana jiwa (al-nufus) merasakan suatu kedamaian dan
ketenangan dalam mengerjakannya, karena hal itu sejalan dengan prinsip logika
dan keberadaannya dapat diterima oleh karakter (al-thab’u) kemanusiaan.
Oleh karena itu, ‘Urf (Adat) bisa dijadiakan hujjah tetapi hal ini
lebih cepat dimengerti dan dimaklumi.
Sedangkan menurut syari’at, tidak ada perbedaan antara ‘urf dan
adat. Sebab adat terkadang berupa perbuatan, seperti kebiasaan manusia dalam
melakukan transaksi jual beli dengan cara tukar menukar barang kebutuhan mereka
secara langsung, tanpa ada bentuk akad. Kemudian ada juga adat yang berupa
ucapan, seperti kebiasaan manusia mengartikan kata al-walad, Boy, Nang, (Jawa),
Brow, dan yang lainnya bagi anak laki-laki bukan kata untuk anak
perempuan ketika mereka menyebutkannya secara mutlak[1].
Menurut Abdul Karim Zaidan, istilah ‘urf berarti[2]:
ما ألفه المجتمع
واعتاده وسار عليه في حياته من قول أو فعل
“Sesuatu
yang tidak asing lagi bagi suatu masyarakat karena telah menjadi suatu
kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan mereka baik berupa perkataan atau
perbuatan.
‘Urf
(Adat) dengan persyaratan-persyaratan tertentu bisa dijadikan sandaran untuk
menetapkan sesuatu hukum, bahkan di dalam sistem hukum Islam kita kenal dengan qa’idah
kulliyyah fiqhiyyah yang berbunyi:
العادة شريعة محكمة. العادة محكمة
Maksudnya,
Urf (Adat) dapat dijadikan hukum untuk mendapatkan sesuatu hukum syara’ atau
kaidah lain:
الثابت باالعرف كاالثابت بدليل شرعي
Artinya:
“Sesuatu
yang ditetapkan ‘Urf (Adat) seperti yang ditetapkan dengan dalil syara’.
Di
dalam Istihsan telah kita kenal macam-macam Istihsan ditinjau dri
segi sanad dan di antaranya adalah Istihsan yang sanadnya ‘Urf (Adat),
seperti memesan barang yang belum jadi (memesan pakaian kepada tukang jahit).
Secara
terminologi, ‘Urf (Adat) adalah segala sesuatu yang biasa dijalankan orang pada
umumnya, baik perbuatan ataupun ucapan. Seperti; adat menyebut ibu sebagai pengganti
kata istri dan menyebut daging selain daging ikan. Sedangkan ‘Urf (Adat) yang
berupa perbuatan seperti jual beli tanpa ijab qabul dalam transaksi jual beli
kecil-kecilan.
2.2 Alasan ‘Urf (Adat) dijadikan dalil
Adanya ‘Urf (Adat)
dijadikan dalikl karena ada beberapa hal, antara lain[3]:
1.
Hadits
Nabi yang berbunyi:
ما رأه المسلمون
حسنا فهو عندالله حسن
Artinya:
“Apa yang di anggap baik oleh orang-orang Islam, maka hal itu baik
pula disisi Allah.”
Hal ini menunjukan bahwa segala adat
kebiasaan yang dianggap baik oleh umat islam adalah baik menurut Allah; karena
apabila ia tidak melaksanakan kebiasaan tadi maka akan menimbulkan kesulitan
dalam kaitan ini, Allah berfirman
ما جعل عليكم في الدين من حرج
“dan Allah tidak menyempitkan kamu dalam urusan
agama” (Qs. Al-Hajj : 78)
Imam Al Syarkasyi dari madzhab hanafi dalam
kitabnya Al Masybuth, menyebutkan :
الثابت باالعرف كاالثابت بالنص
“sesungguhnya yang ditetapkan urf seperti
yang diterapkan dalil nash.”
Maksudnya adalah bahwa segala yang
ditetapkan oleh adab kebiasaan adalah sama dengan yang ditetapkan oleh dalil
yang berupa nash di dalam masalah-masalah yang tidak terdapat nash untuk
penyelesaiannya.
2. Hukum islam dalam khitabnya memelihara hukum-hukum arab yang maslahat
seperti perwalian nikah oleh laki-laki, menghormati kamu dan sebagainya.
3. Adat kebiasaan manusia baik berupa perbuatan maupun perkataan berjalan
sesuai dengan aturan hidup manusia dan keperluannya, apabila dia berkata atau
berbuat sesuai dengan pengertian dan apa yang biasa berlaku pada masyarakat.
2.3 Syarat Penggunaan ‘Urf (Adat Kebiasaan)
Ulama yang mengamalkan Adat sebagai dalil hukum menetapkan empat
syarat dalam penggunaannya:
1.
Adat
itu bernilai maslahat dalam arti dapat memberikan kebaikan kepada umat dan
menghindarkan umat dari kerusakan dan keburukan.
2.
Adat
itu berlaku umum dan merata dikalangan orang-orang yang berada dilingkungan
tertentu.
3.
Adat
itu telah berlaku sebelum itu, dan tidak ada yang datang kemudian.
4.
Adat
itu tidak bertentangan dengan dalil syara’ yang ada.
‘Urf adalah sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan di kalangan ahli
ijtihad atau bukan ahli ijtihad, baik yang berbentuk perkataan atau perbuatan.
Sedangkan sesuatu hukum yang sudah ditetapkan atas dasar ‘urf dapat berubah
karena kemungkinan adanya perubahan ‘urf itu sendiri atau perubahan tempat,
zaman dan sebagainya[4].
Sedangkan dalam buku ushul fiqih karya Djazuli dan Nurol Aen, adat
digunakan dengan syarat-syarat sebagai berikut:
1.
Tidak
bertentangan dengan nash baik Al-Qur’an dan Al-Sunnah.
2.
Tidak
menyebabkan kemafsadatan dan tidak menghilangkan kemaslahatan termasuk di
dalamnya tidak memberi kesempatan dan kesulitan.
3.
Telah
berlaku pada umunya kaum muslimin, dalam arti bukan hanya yang biasa dilakukan
oleh beberapa orang Islam saja.
4.
Tidak
berlaku di dalam masalah ibadah mahdlah.
Alasan ulama memakai ‘urf dalam menentukan hukum antara lain:
1.
Banyak
hukum syari’at, yang ternyata sebelumnya telah merupakan kebiasaan orang Arab,
seperti adanya wali dalam pernikahan dan susunan keluarga dalam pembagian
waris.
2.
Banyak
kebiasaan orang Arab, baik berbentuk perkataan maupun perbuatan, ternyata
dijadikan pedoman sampai sekarang.
Di dalam buku ushul fiqih karya H.A.Basiq Djalil S.H.,M.A, bahwa
dalam pemakaian ‘urf harus mempunyai beberapa syarat, antara lain[5]:
1.
‘Urf
tidak boleh dipakai untuk hal-hal yang akan menyalahi nash yang ada.
2.
‘Urf
tidak boleh dipakai apabila mengesampingkan kepentingan umum.
3.
‘Urf
dipakai apabila tidak membawa kepada keburukan-keburukan atau kerusakan.
Para ulama membenarkan penggunaan ‘urf hanya dalam hal-hal
mu’amalat, itupun setelah memenuhi syarat-syarat di atas. Sedangkan di dalam ibadah, secara
mutlak tidak berlaku ‘urf. Dikarenakan yang menentukan dalam hal ibadah adalah
Al-qur’an dan Al-Hadits.
2.4 Kedudukan
‘Urf (Adat) sebagai dalil hukum Syara’
‘Urf yang sudah
memenuhi syarat yang ada tersebut dapat diterima secara prinsip. Golongan
Hanafiyah menempatkannya sebagai dalil dan mendahulukannya atas qiyas, yang
disebut dengan Istihsan ‘Urf. Golongan Malikiyah menerima ‘Urf terutama
‘Urf penduduk Madinah dan mendahulukannya dari Hadits yang lemah. Demikian juga
berlaku dikalangan ulama Syafi’iyah yang menempatkannya dalam sebuah kaidah[6]:
كل ما ورد به الشرع مطلقا ولا ضا بط له فيه ولا في اللغة يرجع فيه الى
العرف
“Setiap yang datang padanya Syara’ secara
mutlak dan tidak ada ukurannya dalam Syara’ atau bahasa maka dikembalikan pada
‘urf.
‘Urf sebagai
landasan pembentukan hukum memberi peluang luas bagi dinaminasi hukum Islam.
Sebab disamping banyak masalah-masalah yang tidak tertampung oleh metode-metode
lainnya seperti qiyas, istihsan, dan masalah mursalah yang dapat ditampung oleh
adat istiadat ini.
2.5 Macam-Macam ‘Urf (Adat)
Menurut Abdul
Karim Zaidan, ‘Urf yang berupa perbuatan atau perkataan dibagi menjadi dua
macam yaitu[7]:
1.
Al-‘Urf
‘Am (adat kebiasaan umum)
Merupakan adat kebiasaan mayoritas dari berbagai negeri disatu
masa. Contoh kebiasaan menyewa kamar mandi umum dengan sewa tertentu tanpa
menetukan secara pasti berapa lamanya mandi dan berapa kadar air yang
digunakan.
2.
Al-‘Urf
Khas (adat kebiasaan khusus)
Merupkan adat istiadat yang berlkaku pada masyarakat atau negeri
tertentu. Contoh: Menganggap catatan jual beli yang berada pada pihak penjual
sebagai bukti yang sah dalam masalah utang piutang.
Selain pembagian di atas, ‘uref (adat) juga dibagi menjadi dua
yaitu:
1.
Adat
kebiasaan yang shahih (benar)
Merupakan suatu hal baik yang menjadi kebiasaan suatu masyarakat,
namun tidak sampai menghalalkan suatu yang haram dan tidak pula sebaliknya.
Contoh: Kebiasaan suatu masyarakat dimana seorang istri belum bisa dibawa
pindah dari rumah orang tuanya sebelum menerima mahar secara penuh.
Keberadaan ‘urf shahih ini
harus dipelihara dalam pembentukan hukum dan pengadilan. Maka seorang mujtahid
diharuskan untuk memeliharanya ketika ia menetapkan hukum. Begitu juga seorang
Qadli (hakim), harus memeliharanya ketika mengadili. Keberadaan ‘urf shahih ini
meskipun tidak menjadi kebiasaanakan tetapi telah disepakati dan di anggap
mendatangkan kemaslahatan bagi manusia serta selama hal itu tidak bertentangan
dengan syara’ harus dipelihara.[8]
2.
Adat
kebiasaan yang fasid (tidak benar)
Merupakan sesuatu yang menjadi adat kebiasaan yang sampai
menghalalkan yang diharamkan Allah dan sebaliknya. Contoh: Menjamu tamu pada
acara resepsi pernikahan, mengadakan tarian-tarian seksi dan membuka aurat.
Adat yang rusak
tidak haruskan untuk memeliharanya, karena memeliharanya itu berarti menentang
dalil syara’ atau membatalkan dalil syara’. Apabila manusia telah mengerti
akad-akad yang rusak, seperti akad riba atau akad gharar atau khatar (tipuan dan membahayakan),
maka bagi ‘urf ini tidak mempunyai pengaruh dalam memperbolehkannya.
Sedangkan ‘urf (adat) sesuai dengan sesuatu yang dibiasakan ada
dua, yaitu:
1.
Adat
dalam ucapan atau ‘urf qauli
Merupakan sebuah kebiasaan dalam menggunakan suatu kata dalam
bahas. Umpamanya dalam bahasa Arab ولد digunakan khusus untuk anak laki-laki,
sedangkan dalam arti bahasa berlaku untuk laki-laki dan perempuan.
2.
Adat
dalam perbuatan atau ‘urf fi’li
Merupakan sebuah kebiasaan dalam melakukan sesuatu. Umpamanya
mengangguk berarti mengiyakan dan menggeleng berarti meniadakan.
Adat yang sudah
berlangsung lama, dalam hubungannya dengan hukum syara’ yang datang kemudian
ada tiga macam[9]:
1.
Adat
yang ada sebelum datangnya agama Islam, karena di anggap baik oleh hukum syara’
dinyatakan berlaku untuk umat Islam, baik dalam bentuk diterimanya dalam
Al-Qur’an maupun mendapat pengakuan dari Nabi. Hal itu seperti: pembayaran diat
atau tebusan darah sebagai pengganti hukum qishas telah berlaku di
tengah masyarakat Arab dan ternyata terdapat pula dalam Al-Qur’an untuk dipatuhi umat Islam.
2.
Adat
yang berlaku sebelum datangnya Islam, namun karena adat tersebut di anggap
buruk dan merusak bagi kehidupan umat, dalam Islam dinyatakan terlarang.
Misalnya berjudi, minum khamar dan zina.
3.
Adat
atau kebiasaan masyarakat yang belum diserap menjadi hukumIslam, namun tidak
ada nash syara’ yang melarangnya.
Kemudian antara Adat kebiasaan dan Ijma’ terdapat beberapa
perbedaan antara lain[10]:
1.
Adat
kebiasaan/’Urf adalah persesuaian di antara orang banyak, baik dia orang biasa,
orang-orang pandai atau dia ahli ijtihad. Srdangkan ijma’ adalah persesuaian
atau kebulatan pendapat ahli ijma’ saja.
2.
Penyimpangan
beberapa orang dari kebanyakan orang tidak mempengaruhi adanya dan nilai ‘urf.
Sedangkan dalam ijma’ kebulatan pendapat dari seluruh mujtahid adalah syarat
mutlak. Perbedaan pendapat meskipun hanya seorang mujtahid yang berbeda
pendapatnya berakibat batalnya ijma’.
3.
Nilai
hukum yang dihasilkan dengan ijma’ yang sharih sama dengan hukum yang
sandaranya nash, dalam arti bukan lapangan ijtihad lagi. Sedangkan hukum yang
dihasilkan dengan ‘urf berubah sesuai dengan perubahan ‘urf itu sendiri dan
tidak mempunyai kekuasaan seperti hukum yang disandarkan kepada nash atau ijma’.
BAB III
PENUTUP
3.1
Simpulan
‘Urf (adat) merupakan sebuah perkataan dan perbuatan yang sudah
menjadi kebiasaan dan di anggap tidak asing lagi bagi suatu masyarakat. Dimana
keberadaan ‘urf merupakan sebuah dalil hukum setelah al-maslahah al-mursalah,
yang penggunaannya seringkali berpengaruh dengan ijma’ ataupun qiyas. Sehingga
antara ketiganya terkadang didahulukan dan terkadang di akhirkan bahkan tidak
terpakai.
Oleh karena itu,
di dalam ‘urf juga ada hal-hal yang melatar belakangi adanya ‘urf dijadikan
sebagai dalil dalam hukum syara’. Sehingga dalam penggunaannya, ‘urf harus
memperhatikan bebagai syarat yang harus di penuhi. Dengan adanya syarat-syarat
tersebut juga menjadikan adanya kedudukan ‘urf sebagai dalil hukum syara’.
Kemudian dari
adanya kedudukan ‘urf sebagai dalil hukum syara’ juga memunculkan adanya
macam-macam ‘urf sesuai dengan alasan yang melatar belakanginya. Dimana dengan
adanya hal tersebut juga menyebabkan adanya pengamalan ‘urf sesuai dengan
syarat-syarat yang ada.
3.
2 Saran
Segala kekurangan tentunya terdapat
dalam makalah ini. Oleh karena itu, kami mengharapkan kepada teman-teman
koreksi dan sarannya terhadap makalah ini. Harapan kami semoga dengan adanya
koreksi dan saran dari teman-teman, kedepannya makalah kami lebih baik dan
lebih bermanfaat. Amin yaa Robbal ‘Aalamin.
DAFTAR PUSTAKA
Lawang , Songo, Laskar, 2012,
Term Syari’at dan Cita Kemaslahatan, Kediri:Lirboyo Press.
Nurol Aen, Djazuli, 2000, Ushul Fiqih, Jakarta:Raja
Grafindo Persada.
Djalil, Basiq 2010, Ilmu Ushul Fiqih, Jakarta:Kencana.
Syarifuddin Amir , 2012, Garis-garis Besat Ushul Fiqih
Jakarta:Kencana
Efendi, Satria, Zein, M. 2005,
Ushul Fiqih, Jakarta:Kencana,
Syafe’i, Rachmat , 2010Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung:Pustaka
Setia,
[1]
Laskar Lawang
Songo, Term Syari’at dan Cita Kemaslahatan, (Kediri:Lirboyo
Press,2012), hlm. 137.
[2] Satria Efendi,
M.Zein, Ushul Fiqih, (Jakarta:Kencana,2005)hlm.153.
[3] Djazuli, Nurol
Aen, Ushul Fiqih, (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2000),hlm.185-187.
[4] Basiq Djalil, Ilmu
Ushul Fiqih, (Jakarta:Kencana,2010),hlm.162-163.
[5]Basiq Djalil, Ilmu
Ushul Fiqih,hlm.162-163.
[6] Amir
Syarifuddin, Garis-garis Besat bUshul Fiqih, (Jakarta:Kencana,2012),hlm.74-75.
[7] Satria Efendi,
M.Zein, Ushul Fiqih, (Jakarta:Kencana,2005)hlm.154-155.
[8] Rachmat
Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung:Pustaka Setia,2010),hlm.129.
[9] Amir
Syarifuddin, Garis-garis Besat bUshul Fiqih,,hlm.71-72.
[10] Djazuli, Nurol
Aen, Ushul Fiqih, hlm.185-187.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar