Agama dan Masyarakat
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sudah diakui
secara umum bahwa semua masyarakat yang dikenal di dunia ini sampai batass
tertentu bersifat religius. Pengakuan tersebut tentunya merupakan kesepakatan
mengenai apa saja yang membentuk prilaku keagamaan namun dalam kenyataannya
kesepakatan mengenai hal ini lebih sulit bisa diperoleh. Argumen yang
dikemukakan mengenai bagaimana cara mendefinisikan agama dan bagaimana
membedakannya disatu pihak dengan magic, sain dan filsafat, dan dengan beberapa
jenis entusiasme politik dan sosial dilain pihak, sudah muncul bertahun-tahun.[1]
Dalam
perspektif sosiologis agama dipandang sebagai sistem kepercayaan yang
diwujudkan dalam prilaku sosial tertentu. Ia berkaitan dengan pengalaman
manusia, baik sebagai individu maupun kelompok. Sehingga, setiap perilaku yang
diperankannya akan terkait dengan sistem keyakinan dari ajaran agama yang
dianutnya. Prilaku individu dan sosial digerakan oleh kekuatan dari dalam yang didasarkan pada
nilai-nilai ajaran agama yang menginternalisasi sebelumnya.[2]
Oleh karena itu
makalah ini akan membahas tentang Agama dan Pengaruhnya dalam kehidupan, Perilaku
dinamis masyarakat dalam beragama, Pengaruh timbal balik antara agama dan
masyarakat. Harapannya makalah ini dapat menambah wacana dan wawasan para
pembaca khususnya dalam bidang yang dikaji.
B.
Rumusan Masalah
·
Agama
dan Pengaruhnya dalam kehidupan
·
Perilaku
dinamis masyarakat dalam beragama
·
Pengaruh
timbal balik antara agama dan masyarakat
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Agama dan Pengaruhnya dalam Kahidupan
Menurut
Geertz, agama dalam sosiologi agama adalah suatu sistem jiwa yang berbuat untuk
menciptakan suasana hati (mood) dan motivasi yang kuat, serba menyeluruh dan
berlaku lama dalam diri manusia dengan merumuskan konsep yang bersifat umum
tentang segala sesuatu (eksistensi) dan dengan membalut konsepsi itu dengan
suasana kepastian faktual, sehingga suasana hati dan motivasi itu terasa
sungguh-sungguh realistik.
Agama
sebagai bentuk keyakinan manusia terhadap sesuatu yang bersifat adikodrati
(supranatural) seakan menyertai mansuia dalam ruang lingkup kehidupan yang
luas. Agama memiliki nilai-nilai bagi kehidupan manusia sebagai orang-perorang
maupun dlaam hubungannya dengan kehidupan bermasyarakat. Selain itu agama juga
memberi dampak bagi kehidupan sehari-hari. Dengan demikian secara psikologis,
agama dapat berfungsi sebagai motif intrinsik (dalam diri) dan motif ekstinsik
(luar diri). Motif yang didorong keyakinan agama dinilai memiliki kekuatan yang
mengagumkan dan sulit ditandingi oleh keyakinan non-agama, baik doktrin maupun
ideologi yang bersifat profan. Agama memang unik sehingga sulit didefinisikan
secara tepat dan memuaskan.[3]
Meskipun
demikian perkembangan kehidupan yang dirasakan akhir-akhir ini baik pada
tingkat global, regional, maupun lokal ternyata memberi tantangan sangat besar
bagi penganut agama. Tentangan tersebut tidak lain adalah pluralisme sosial,
tuntutan demokratisasi, relatifitas iman, dan kesetaraan gender.
Pluralitas
sosial dirassakan dengan semakin mudahnya mobilitasn sosial baik secara
vertikal maupun horizontal. Akhirnya kebenaran suatu agama tidak lagi
ditentukan ajaran agama tetapi oleh kekuatan rasional. Keadaan ini merupakan
dampak dari perkembangan ilmu pengetahuan terutama dibidang transportasi
telekomunikasi dan turisme yang membuat masyarakat menjadi mudah bergerak dari
satu tempat ketempat yang lain. Bahkan iklan-iklan di layar kacapun selalu
menawarkan produk baru degan tema kenikmatan dan kenyamanan hidup. Mobilitas
sosial ini tentu membuat masyarakat menjadi majemuk dan menipisnya batas-batas
wilayah, budaya, ideologi, dan agama.
Tuntutan
demokratisasi diraasakan dengan semakin transparannya berbagai kriteria nilai
dalam menentukan sebuah keputusan. Sehingga hak-hak privelese yang dimiliki
oleh kelompok atau tokoh agama tertentu pada masa depan akan dipertanyakan dan
bahkan mungkin digugat. Oleh karena itu, sebaiknya mmulai memikirkan landasan
argumen dibalik nalar misteri, dogma yang selama ini menjadi dasar acuan
teologi.
Sedangkan
gejala relitivitas iman tampaknya menjadi sesuatu yang cenderung menafikan
kenikmatan iman dari ajaran agama. Dengan begitu, relativitas iman adalah usaha
melepaskan sejarah agama dengan pemahaman dan penghayatan agama. Karena itu],
orang menilai agama merupakan kumpulan sesuatu yang paradoksal dsan merupakan
pemicu setiap konflik.
Kesataraan
gender merupakan tuntutan kaum perempuan yang berusaha mendapatkan hak-haknya
yang dirampas. Kesetaraan gender ini pada dasarnya tidak hanya berkaitan dengan
hak-hak dibeidang politik, tetapi juga menyentuh pemahaman keagamaan untuk
memberikan tempat yang pantas bagi kaum hawa[4].
Sebagai
bangsa yang memiliki keragaman etnis, agama, dan budaya yang luar biasa,
Indonesia seringkali dijadikan ajang pemantauan bagaimana proses-proses
demokrasi, penerapan ide-ide pluralisme dan multikulturalisme dapat
dilangsungkan. Persentuhan ragam budaya dan agama antar kelompok masyarakatnya
yang telah berlangsung sejak lamajuga telah melahirkan konflik dan konsensus
yang terjadi. Demokrasi yang oleh Robert Dahl (1982), juga disyaratkan dengan
terciptanya karakteristik pluralisme yang kondusif bagi sebuah negara ini
mendapatkan gimnasiumnya di Indonesia[5].
B.
Perilaku Dinamis Masyarakat dalam Beragama
Perilaku
manusia yang terbentuk oleh norma-norma masyarakat tidak berarti sebagai
potensi dirinya secara kultural dinafikan begitu saja, justru potensi kultural
yang bisa diadaptasikan dan diintegerasikan secara sosialistik sehingga menjadi
sistem sosial yang muatan simboliknya diterima dan menjadi citra khas
masyarakat tertentu. Dengan demikian, pembentukan masyarakat ecara serta merta
merupakan pemolaan karakteristik budaya yang memiliki daya ikat dan daya atur
tersendiri.
Oleh
karena itu, ajaran agama memiliki pengaruh yang besar dalam menyatukan persepsi
kehidupan masyarakat tentang semua harapan hidup. Sebagai salah satu arah
kehidupan sosial yang proses pemolaannya lebih sistematis dan mendarah daging.
Dalam pemolaan, perilaku sosial agama memasuki hati nurani manusia sehingga
akal pikiran utama mencari makna hidup belum sempurna apabila substansi ajaran
agama tidak dijadikan rujukan terpenting secara epistemologis ataupun
aksiologis.
Dalam
suasana perubahan sosial dan transformasi masyarakat yang sedang terjadi
seperti di Indonesia, perlu diperhatikan mengenai tempat dan peranan serta
fungsi agma dalam proses perubahan transformasi tersebut, dan tentang hubungan
antara agama dan kebudayaan dalam proses yang berlangsung terus menerus. Sebab
perubahan sosial atau transformasi yang mengindikasikan adanya modernisasi akan
disertai individualisasi sehingga dapat menyelesaikan kerukunan masayarakat.
Pada solidaritas sosial, kohesi dan kerukunan sosial berasal dari agama. Sistem
nilai yang mewujudkan spiritualitas dan moralitas luhur dalam agama dipandang
dapat melakukan filter terhadap perkembangan budaya dan modernisasi. Sebab
moralitas tersebut sangat diperlukan dalam menghadapi tantangan tersebut[6]
Oleh
karena itu, perilaku dinamis dalam agama akan mengarah kepada fungsi agama
dalam kehidupan masyarakat. Sedangkan fungsi agama dalam pandangan Thomas F.
O’dea adalah sebagai berikut[7]:
1.
Agama
mendasarkan perhatiannya pada sesuatu diluar jangkauan manusia dengan
melibatkan takdir dan kesejahteraan, menyediakan motivasi positif bagi
pemeluknya, serta sebagai pelipur lara dan rekonsialisasi. Agama memberikan
swemangat dan dukungan moril pada saat manusia berada dalam ketegangan dan
ketidakpastian, kekecewaan, dan frustasi. Agama juga sebagia kebutuhan
rekonsialisasi deengan masyarakat jika diasingkan dari tujuan dan
norma-normanya. Agama menyediakan sarana emosional penting yang membantu dalam
menghadapi unsur-unsur kondisi manusia.
2.
Agama
menawarkan hubungan transendental melalui pemujaan dari upacara ritual. Oleh
karena itu, agama dapat memberikan dasar emosional bagi rasa aman dan percaya
diri dalam menghilangkan kekhawatiran hidup sekarang ini dan masa depan. Agama membantu meringankan hidup yang
memprihatinkan. Agama menyediakan saran dan kerangka acuan dalam menyelesaikan
masalah sosial dari berbagai sudut pandang.
3.
Agama
memberikan dan mensakralkan norma-norma serta nilai-nilai masyarakat yang telah
terbentuk, mempertahankan dominasi tujuan kelompok di atas keinginan individu.
4.
Agama
melakukan fungsi kritik atas berbagai nilai masa lalu yang bersifat normatif.
5.
Agama
melakukan fungsi identitas. Melalui nilai-nilai yang terdapat dalam ajaran yang
diyakini suci oleh pemeluknya.
6.
Agama
melakukan fungsi pendewasaan. Setiap usia manusia diperhitungkan di antara
pahala dan sanksi hidup.
Salah
satu analisa sosiologis yang profokatif tentang agama adalah yang dilakukan
oleh sosiolog Prancis yang bernama Emili Durkhelm dalam bukunya The
Elementary Forms of Religious Life. Ia berusaha memahami peranan sosial
agama dengan jalan memahami bentuk-bentuknya yang paling sederhana atau yang
paling elementer. Selain itu ia menganalisis ritual-ritual keagamaan totemik
arunta, yaitu suatu masyarakat pemburu-peramu Australia yang telah ada ternyata
mempunyai pengetahuan etnografis mengenai masyarakat itu.
Durkhelm
mencatat bahwa orang-orang arunta, ritual dan seremoni adalah bagian yang
sangat penting daripada kehidupan sosial. Orang-orang arunta menyembah
kekuasaan-kekuasaan supranatural bukanlah merupakan apa yang paling penting
mengenai kegiatan mereka. Maksudnya mereka sesungguhnya sedang menyembah kekuasaan
masyarakat mereka sendiri, kekuasaan masyarakat atas setiap individu. Bahkan
ritual keagamaan mereka mendemonstrasikan dan menyimpulkan perlunya individu
menyerahkan diri mereka kepada kehendak kelompok. Sehingga dalam berkumpul
bersama saat ritual orang-orang arunta secara terbuka mengeratkan kembali
keterikatan mereka antara yang satu dengan lainnya dan dengan masyarakat
sebagai suatu keseluruhan.[8]
C. Pengaruh Timbal Balik Antara Agama dan Masyarakat
Pengaruh
timbal balik antara agama dan masyarakat merupakan fokus fokus dari kajian
sosiologi agama. Menurut Glenn M. Vernon, ahli sosiologi asal Amerika dalam
bukunya Sociologi of Religion (1962), memusatkan perhatiannya pada
masalah-masalah tersebut. Selain itu, ia menguraikan tentang pengaruh timbal
balik antara agama dengan pemerintah, agama dengan pendidikan, agama dengan
faktor-faktor ekonomi, agama dengan perkawinan, dan agama dengan faktor-faktor
ekonomi[9].
Untuk
mengetahui pengaruh agama terhadap masyarakat, ada tiga aspek yang perlu
dipelajari, yaitu kebudayaan, sistem sosial dan kepribadian. Ketiga aspel
tersebut meerupakan fenomena sosial yang kompleks dan terpadu yang pengaruhnya
dapat diamati pada perilaku manusia.
Oleh karena itu, menurut Nottingham ada tiga tipe hubungan agama dan
masyarakat yang meliputi[10]:
1.
Masyarakat
yang terbelakang dan nilai-nilai sakral. Tipe masyarakat ini kecil, terisolasi,
dan terbelakang. Anggota masyarakatnya menganut agama yang sama. Tidak ada
lembaga lain yang relatif berkembang selain lembaga keluarganya, agama menjadi
fokus utama bagi pengintegrasian dan persatuan masyarakat dari masyarakat
secara keseluruhan. Oleh karena itu, kemungkinan, kemungkinan agama memasukkan
pengaruh yang sakral kedalam sistem nilai-nilai masyarakat sangat mutlak.
2.
Masyarakat
praindustri yang sedang berkembang. Keadaan masyarakatnya tidak terisolasi, ada
perkembangan teknologi yang lebih tinggi daripada tipe pertama. Agama
memberikan arti dan ikatan kepada sistem nilai dalam tipe masyarakat ini.
Tetapi pada saat yang sama, lingkungan yang sakral dan yang sekuler
sedikit-banyak masih dapat dibedakan,. Misalnya, pada fase-fase kehidupan
sosial masih di isi oleh upacara-upacara keagamaan, tetapi pada sisi kehidupan
lain, pada aktivitas sehari-hari, agama kurang mendukung. Agama hanya mendukung
masalah adat istiadat saja. Nilai-nilai keagamaan dalam masyarakat menempatkan
fokus utamanya pada pengintegrasian tingkah laku perorangan dan pembentukan
citra pribadi mempunyai konsekuensi penting bagi agama.
3.
Golongan
pengrajin dan pedagang kecil. Golongan pengrajin dan pedagang kecil hidup dalam
situasi yang berbeda dengan golongan petani. Kehidupan golongan ini tidak
terlalu berkutat dalam situasi alam dan tidak terlalu bergantung pada hukum
alam. Hidup mereka didasarkan atas landasan ekonomi yang memerlukan perhitungan
rasional. Mereka tidak menyandarkan diri pada keramahan alam yang tidak bisa
dipastikan, tetapi lebih mempercayai perencanaan yang teliti dan pengaran yang
pasti.
Agama
sebagai intuisi atau sumber nilai dan paradigma metafisikal dalam manggapai
segala hal yang rasional, suprarasional, fisikal, metafisikal, natural,
supranatural, transendental, dan yang imanental. Hal-hal yang isoterik ataupun
esoterik adalah fakta yang rasional karena di dalam sistem nilainya terdapat
peran dan fungsi akal serta perilaku manusia, bahkan terdapat interaksi timbal
balik, interaksi simbolik, dan integrasi sosial-budaya secara turun temurun.
Dengan demikian, perilaku yang berasas atas nama agama sangat penting untuk
dikaji dengan perspektif sosiologi dan antropologi, mengingat perilaku beragama
adalah gambaran perilaku masa lalu, klasik dan tradisional. Disi lain,
perubahan situasi dan kondisi dapat mengubah perilaku klasik menjadi bentuk
perilaku baru dengan proses argumentasi yang dibenarkan secara ontologis
ataupun epistemologis. Bahkan perilaku beragama berwujud lebih lama dan kuat
karena dorongan bukan hanya karena sistem nilainya yang berlaku, juga karena
sistem filosofika dan sistem budaya yang secara terus menerus dijadikan rujukan
perilaku[11].
Selain
itu, agama memberi makna kepada kehidupan individu dan kelompok, memberi
harapan tentang kelanggengan hidup sesudah mati. Agama dapat menjadi sarana
manusia untuk mengangkat diri dari kehidupan duniawi yang penuh penderitaan,
mencapai kemandirian spiritual. Agama memperkuat norma-norma kelompok, sanksi
moral untuk perbuatan perorangan, dan menjadi dasar persamaan tujuan serta
nilai-nilai yang menjadi landasan keseimbangan masyarakat[12].
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Agama dan masyarakat merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan.
Keberadaan agama dalam masyarakat sangat mempengaruhi pola hidup masyarat dalam
kelangsungan hidupnya. Sehingga dari perilaku masyarakat yang disertai dengan
perilaku keagamaan akan menciptrakan kehidupan yang religius dan memiliki
aturan serta tujuan yang jelas.
Selain itu, perilaku masyarakat yang taat beragama akhirnya
menunjukkan adanya fungsi agama dalam masyarakat. Fungsi agama dalam kehidupan
bermasyarakat salah satunya adalah agama mendasarkan perhatiannya pada sesuatu
diluar jangkauan manusia dengan melibatkan takdir dan kesejahteraan,
menyediakan motivasi positif bagi pemeluknya, serta sebagai pelipur lara dan
rekonsialisasi.
Dengan demikian, antara agama dan masyarakat dalam kehidupan juga
memilki hubungan timbal balik antara keduanya. Salah satu hubungan timbal balik
antara agama dan masyarakat adalah agama sebagai intuisi atau sumber nilai dan
paradigma metafisikal dalam manggapai segala hal yang rasional, suprarasional,
fisikal, metafisikal, natural, supranatural, transendental, dan yang imanental.
DAFTAR PUSTAKA
Ishomuddin, 2002, Pengantar
Sosiologi Agama, Jakarta: Ghalia Indonesia.
Kahmad, Dadang, 2009, Sosiologi
Agama, Bandung: Remaja Rosdakaria.
Lubis, M. Ridwan, 2005, Cetak
Biru Peran Agama, Jakarta: Puslitbang.
R. Scharf, Betty,
1995, Kajian Sosiologi Agama, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
Saebeni, Beni Ahmad, , 2007, Sosiologi
Agama, Bandung: Refika Aditama.
Tumanggor,
Rusmin, dkk, 2010, Ilmu Sosial Budaya dan Dasar, Jakarta: Kencana
Prenada Media Group.
[1] Betty. R.
Scharf, Kajian Sosiologi Agama, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1995)
h. 29
[2] Dadang kahmad,
Sosiologi Agama, (Bandung: Remaja Rosdakaria, 2009) h. 53
[3] Ishomuddin, Pengantar
Sosiologi Agama, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002) h. 34-35
[4] M. Ridwan
Lubis, Cetak Biru Peran Agama, (Jakarta: Puslitbang, 2005), hlm.
202-203.
[5] Rusmin
Tumanggor, dkk, Ilmu Sosial Budaya dan Dasar, (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2010), h. 95.
[6] Beni Ahmad
Saebeni, Sosiologi Agama, (Bandung: Refika Aditama, 2007), hlm. 1-4.
[7] Opcit,
hlm. 17-18.
[8] Ishomuddin,
opcit, h. 38-39
[9] Opcit, h.
41.
[10] Opcit, h.
131-133.
[11] Opcit, h.
61-62.
[12] Opcit, hlm.
119.