Tahapan Maqamat II
(Sabar, Syukur, Tawakal, Ridla)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Untuk menjadikan hidup lebih baik dan ada nuansa sufistiknya, tentu
saja haus melakukan latihan spiritual secara baik, benar, dan berkesinambungan.
Sehinnga seseorang tersebut harus melalui beberapa tahapan-tahapan yang bisa
menghantarkannya mengalami mukasyafah atau penyingkapan sesuatu yang
tidak diketahuinya, kemudian menjadi tahu. Dengan demikian, ia akan berlanjut
kepada musyahadah, menyadari sekaligus bersaksi bahwa diri ini tiada
apa-apanya, dibandingkan dengan Allah Yang Maha Esa[1].
Tingkatan-tingkatan atau tahapan- tahapan yang harus dilalui oleh
seorang sufi dalam mencapai ma’rifah kepada Allah atau menyatu dengan-Nya
disebut maqamat. Maqamat adalah kedudukan seorang hamba di
hadapan Allah, yang diperoleh dengan melalui peribadatan, mujahadat, latihan
spiritual, serta (berhubungan) yang tidak putus-putusnya dengan Allah. Definisi
maqam antara sufi yang satu dengan sufi lainnya berbeda, sehingga
perjalanan sufi dalam melalui maqam-maqam juga tidak sama.
Oleh karena itu, makalah ini akan membahas sebagian maqam-maqam yang
dilalui oleh seorang sufi dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah atau
menyatu kepada-Nya. Sedangkan maqam yang akan dibahas dalam makalah ini
meliputi maqam sabar, syukur, tawakal dan ridlo. Semoga makalah ini
dapat menambah wacana dan wawasan keilmuan kita, khususnya tentang tasawuf.
1.2
Rumusan
Masalah
A. Devinisi Maqamat
B. Pengertian Sabar
C. Pengertian
Syukur
D. Pengertian Tawakal
E. Pengertian Ridlo
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Definisi Maqamat
Maqamat adalah tingkatan seorang hamba dihadapan Allah dalam hal ibadah
dan latihan-latihan (riyadlah) jiwa yang dilakukannya.[2]
Sedangkan maqam sendiri berasal dari kata maqamat yaitu jamak muannats
dari kata al-maqam. Dalam bahasa Indonesia diartikan kedudukan, pangkat
atau derajat. Dalam terminologi tasawuf, maqam adalah kedudukan seorang
hamba dihadapan Allah yang diperoleh melalui ibadah dan mujahadat serta
latihan-latihan spiritual lainnya.[3]
Seseorang
tidak akan mencapai suatu maqam dari maqam sebelumnya selama dia
belum memenuhi ketentuan-ketentuan, hukum-hukum dan syarat-syarat maqam
yang hendak dilaluinya atau yang sedang ditingkatkannya. Orang yang belum mampu
bersifat qana’ah (maqam qana’ah), yaitu kondisi batin yang puas atas
pemberian Allah, mesti amat kecil, sikap pasrahnya (tawakal), tidak sah; orang
yang belum mampu berpasrah diri pada Tuhan, penyerahan totalitas dirinya
(kemuslimahannya) tidak sah; orang yang belum taubat, penyesalannya tidak sah;
dan orang yang belum wira’i (sikap hati-hati dalam penerapan hukum),
kezuhudannya tidak sah. Berarti maqam zuhud, umpamanya tidak mungkin
tercapai sebelum pelakunya itu sudah mewujudkan sikap wira’i.
Oleh
karena itu, maqam adalah penegakan atau aktualisasi suatu moral,
sebagaimana al-madkhal (tempat masuk), penunjukan artinya memusat pada
makna proses pemasukan; dan al-makhraj (tempat keluar), mengacu pada
arti proses pengeluaran. Karena itu, keberadaan maqam seseorang tidak
dianggap sah kecuali dengan penyaksian kehadiran Allah secara khusus dalam
nilai maqam yang diaktualkannya, mengingat sahnya suatu bangunan
perintah Tuhan hanya berdiri di atas dasar yang sah pula.[4]
Beberapa
pendapat dari para ahli tasawuf tentang tujuh maqam kenaikan rohani yang
dikutip dalam buku Miftahus Sufi, dalam
literatur tasawuf tidak ditemukan keseragaman dari para Mutashawwifin atau dari ahli-ahli ilmu tasawuf dalam menentukan
jumlah tingkatan maupun susunan dari maqamat ini. Menurut Abu Nasr
al-saraj al-Thussi dalam kitabnya al-Lumaa’
menyebutkan bahwa susunan dan nama maqamat sebagai berikut: al-taubat, al-wara’, al-zuhd, al-faqr, al
sabr, al-tawakal, dan al-ridla. Sedangkan menurut al-Ghazali dalam karya
momumentalnya yaitu Ihya’ Ulum al-Din, maqam meliputi al-taubat, al-shabr, al-faqr, al-zuhd,
al-tawakal, al-mahabbah, al-ma’rifat, dan al-ridla. Melihat nama-nama maqam
tersebut, ternyata ada kesamaan dan kesapakatan para ulama tasawuf bahwa maqam taubat berada di urutan awal. Hal
ini membuktikan bahwa untuk memasuki perjalanan rohani menuju mengenal Tuhan,
yang paling utama dimasuki adalah taubat
yang di dalamnya berlangsung proses penyucian jiwa dari segala kotoran.[5]
2.2 Pengertian Sabar
Sabar
adalah maqam yang sangat penting dalam kehidupan spiritual seorang
muslim. Allah berfirman dalam Q. S. Al-Anfal ayat 46:

“Dan taatlah
kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang
menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah.
Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. (Q.S. Al-Anfal: 46).
Al-Ghazali
membedakan sabar dalam tiga hal, antara lain:
1.
Sabar
untuk senantiasa teguh (istiqamah) dalam melaksanakan perintah Allah.
2.
Sabar
dalam menghindari dan menjauhi diri dari perbuatan yang dilarang oleh Allah.
3.
Sabar
dalam menghadapi dan menanggung ujian dan cobaan dari Allah.
Dalam
tasawuf, sabar dijadikan satu maqam sesudah faqir, karena persyaratan
untuk dapat berkonsentrasi dalam dzikir, orang harus mencapai maqam faqir.
Dalam kekafiran, umumnya didera dengan berbagai cobaan dan penderitaan yang
menyebabkan merasakan maqam sabar. Menurut Islam mengendalikan diri
untuk mengamalkan perilaku sabar adalah tiang dari Akhlak mulia[6].
Menurut
Imam Sahal, sabar adalah menanti celah dari Allah. Sehingga sabar termasuk
khidmah paling utama dan paling mulia. Oleh karena itu, seseorang dharapkan
memohon kepada Allah untuk sabar dalam menjalankan perintah-Nya dan sabar
terhadap adab-Nya. Bahkan sabar merupakan suatu kesucian yang bisa menyebabkan
sesuatu yang lainnya bisa menjadi suci[7].
2.3 Pengertian
Syukur
Para ulama menyebutkan definisi syukur yang paling baik adalah
kesinambungan hati untuk mencintai Sang Pemberi nikmat, kesinambungan anggota
badan untuk menikmatinya dan kesinambungan
lisan untuk memuji-Nya. Menurut Ibnu Ujaibah, syukur adalah kebahagian hati
atas nikmat yang diperoleh, dibarengi dengan pengarahan seluruh anggota tubuh
supaya taat kepada Sang Pemberi nikmat dan pengakuan atas segala nikmat yang
diberinya dengan rendah hati[8].
Dalam
bahasa Arab, kata “syukur” (asy-syukur) berarti “al-imtinan” (terimakasih),
sikap ridha terhadap kebaikan, seperti apapun bentuk kebaikan tersebut. Sedang
secara terminologis berarti menggunakan anugerah yang diterima manusia berupa perasaan,
pikiran, anggota badan, dan organ tubuh sesuai tujuan penciptaannya
masing-masing. Sebagaimana halnya syukur dapat dilakukan dengan hati dan lidah,
ia juga dapat dilakukan menggunakan semua anggota tubuh.[9]
Oleh
Karena itu, macam-macam syukur meliputi:
a.
Syukur
dengan Lisan, yaitu membicarakan nikmat Allah. Hal ini sesuai dengan firman
Allah:
وأما بنعمة ربك فحدث
“dan terhadap nikmat Tuhanmu hendaklah engaku
menyebut-nyebut-Nya” (Adh-Dhuha:11).
Bentuk syukur ini dilakukan dengan mengakui bahwa berbagai macam
kelembutan dan nikmat semuanya datang dari Alla, serta menafikan semua sumber
kekuatan, kekuasaan, dan ihsan yang tidak jelas. Sedangkan syukur dengan lisan
ada yang melakukannya dengan membaca wirid-wirid, dzikir-dzikir, keyakinan, dan
sikap istiqamah.
b.
Syukur
dengan Perbuatan, yaitu bekerja hanya untuk Allah. Allah mengisyaratkan bahwa
syukur berarti beramal. Syukur dengan perbuatan disebut juga dengan syukur
dengan badan, yaitu bersifat selalu sepakat dan melayani (mengabdi) kepada
Allah, dimana syukur ini termasuk syukurnya orang beribadah.[10]
c.
Syukur
dengan hati, yaitu makrifat atas semua bentuk nikmat yang berguna bagi Allah,
baik yang bersifat lahir maupun batin. Syukur dengan hati melandasi syukur yang
dilakukan dengan lisan dan anggota tubuh lainnya, sebagaimana dalam firman
Allah:
وأسبغ عليكم نعمه ظاهرة وباطنة
“Dan Allah menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin.
Keutamaan tentang syukur banyak sekali dijelaskan dalam ayat-ayat
al-Qur’an, meliputi[11]:
فاذكروني أذكركم واشكرولي ولا تكفرون
“Karena itu,
ingatlah kamu kepada-Ku, niscaya Aku ingat kepadamu dan bersyukurlah kepada-Ku
dan janganlah kamu mengingkari (nikmat-nikmat)-Ku”,(QS.al-Baqarah:152).
2.4 Pengertian Tawakal
Tawakal adalah
berserah diri kepada Allah dan mengharapkan rizqi dari-Nya. Sebab menganggap
bahwa rizqi itu berasal dari hasi kerja keras itu adalah kufur. Menurut Imam
Suhaimiy, tawakal adalah membersihkan diri dari mengandalkan kemampuan diri
sendiri dan percaya dengan janji Allah Yang Maha Mulia dan Maha Utama. Menurut Al-Hasan
Al-Basri, seseorang yang telah tawakal, qana’ah dan ridla, niscaya segala sesuatu akan datang pada orang
tersebut tanpa ia cari[12]. Allah
berfirman:

“Berkatalah dua orang diantara orang-orang yang takut (kepada
Allah) yang Allah telah memberi nikmat atas keduamya: “Serbulah mereka dengan
melalui pintu gerbang (kota) itu, maka bila kamu memasukinya niscaya kamu akan
menang. Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakal, jika kamu benar-benar
orang yang beriman”. (Q.S. Al-Maidah 23).
Sebagai seorang
mukalaf sudah seharusnya berserah diri (tawakal) atas rizqinya ketika
mengharapkan rizqi dan hidup sendiri tanpa istri dan anak dengan senantiasa
berpegang pada janji Allah. Allah berfirman:
ومامن دابة في
الأرض الا على الله رزقها
“Tidak ada hewan di bumi ini kecuali
Allah telah menentukan rizqinya”.
Firman Allah
tersebut menjelaskan bahwa Allah adalah Dzat yang selalu memberi tanpa diminta,
dan selalu memberikan yang terbaik bagi makhluknya. Sehingga orang yang tawakal
pada Allah pasti akan dicukupi-Nya. Allah berfirman dalam Q. S. At-Thalaq ayat
30:
ومن يتوكل على الله فهو حسبه
“Barangsiapa yang bertawakal pada Allah,
niscaya Allah akan mencukupinya”.
Nabi Muhammad SAW bersabda:
من
انقطع الى الله عز وجل كفاه الله كل مؤمنة ورزقه من حيث لا يحتسب ومن انقطع الى
الدنيا
وكل الله اليها
“Barangsiapa merasa cukup atas
pemberian Allah, maka Allah akan mencukupinya pada tiap-tiap orang mukmin
perempuan dan rizqinya tidak terhitung. Sedangkan orang yang merasa cukup pada
dunia, maka Allah akan menjadikan dunia dalam genggaman (miliknya)”
Menurut Imam
Suyuthiy, qana’ah bagaikan seorang kaum yang berbeda pendapat dalam masalah
bekerja dan tidak bekerja. Sebagian dari mereka berkata; berpaling dari
sebab-sebab usaha (bekerja) dengan menyandarkan hati pada Allah lebih utama.
Sedangkan sebagian lagi berkata; bekerja (usaha) lebih utama daripada tidak
bekerja. Kemudian sebagian lagi mengatakan; seseorang yang dalam tawakalnya
tidak marah ketika rizqinya sulit dan tidak meminta-minta pada seseorang, maka
tawakal baginya lebih utama. Hal itu dikarenakan adanya sifat sabar dan
memerangi hawa nafsu selain daripada tawakal. Oleh sebab itu, seseorang yang
tidak bisa tawakal seperti diatas, maka bekerja baginya lebih utama, karena
menjaga dari marah dan meminta-minta.
Definisi tawakal bukan
berari tidak bekerja, akan tetapi tawakal adalah bekerja dengan disertai
tawakal (berserah diri pada Allah). Sehingga seseorang yang tawakal harus
menerima atas segala pemberian Allah dan tidak meminta sesuatu yang banyak.
Umar bin Khatab pernah berkata kepada kaum yang yang sedang duduk-duduk santai
dan mengaku bahwa mereka sedang tawakal, beliau berkata; seseorang yang tawakal
itu bagaikan seseorang yang menebar benih di tanah, kemudian berserah diri
(tawakal). Sedangkan menurut Imam Sahl bin Abdillah, tawakal adalah hal
(kepribadian) Nabi Muhammad, dan bekerja merupakan sunnah beliau. Sehingga
seseorang yang kuat kepribadiannya, niscaya ia
harus menjaga sunnah Rasulullah dan menyimpan makanan untuk satu tahun
itu tidak menghilangkan tawakal[13].
2.5 Pengertian Ridla
Setelah mencapai maqam tawakal, dimana nasib hidup
as-Salikin bulat-bulat diserahkan pada pemeliharaan, meninggalkan serta
membelakangi segala keinginannya terhadap apapun selain Tuhan, maka harus
segera menata hatinya untuk mencapai maqam ridla[14]. Allah berfirman dalam Q. S. At-Taubah ayat 59:
وَلَوْا أَنَّهُمْ رَضُوْا مَا
اَتَاهُمُ الله وَرَسُوْلُهُ وَقَالُوْا حَسْبُنَا الله سَيُؤْتِيْنَا الله مِنْ
فَضْلِهِ وَرَسُوْلُهُ اِنَّا اِلَى الله رَاغِبُوْنِ
“Jikalau mereka sungguh-sungguh ridla dengan apa yang diberikan
Allah dan Rasul-Nya kepada mereka, dan berkata: cukuplah Allah bagi kami, Allah
akan memberikan sebagian dari karunia-Nya dan demikian (pula) Rasul-Nya,
sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berharap kepada Allah, (tentulah yang
demikian itu lebih baik bagi mereka)”. (Q. S. At-Taubah: 59).
Ridla adalah maqam yang di dalamnya mengajarkan seseorang
untuk menanggapi dan mengubah segala bentuk penderitaan, kesengsaraan, dan
kesusahan menjadi kegembiraan dan kenikmatan. Menurut Ibnu Khatib, Ridla adalah
tenangnya hati dengan ketetapan (takdir) Allah SWT dan keserasian hati dengan
sesuatu yang dijadikan Allah. Sedangkan menurut Rabi’ah Adawiyah, ridla adalah
apabila saat mendapat bencana perasaannya sama seperti ketika ia mendapat
nikmat.
Ridla merupakan perpaduan antara sabar dan tawakal yang melahirkan
sikap mental yang tenang dan senang menerima segala situasi dan kondisi, setiap
yang terjadi disambut dengan hati terbuka bahkan dengan rasa nikmat dan bahagia
walau yang datang itu berupa bencana. Suka dan duka diterima dengan gembira.
Sbab apapun yang datang adalah ketentuan dari Allah SWT[15]. Sebagaimana
firman Allah:

Kami jelaskan yang demikian itu, supaya kamu jangan berduka cita
terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira
terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai orang yang
sombong lagi membanggakan diri (Q.S. Al-Hadid: 23)
Menurut Ahmad Ibn Hambal, ridla ada tiga macam yang meliputi[16]:
1.
Meninggalkan
usaha
2.
Gembiranya
hati karena lewatnya qadla (kepastian Allah)
3.
Melebur
angan-angan hati
Ridla seringkali di maknai sebagai ketenangan hati atas hukum-hukum
yang telah terjadi. Bahkan menurut Ibn Atha’ ridla merupakan melihatnya hati
terhadap ihtiarnya Allah kepada hamba-Nya, sehingga Allah memberikan
keutamaankepada hamb-Nya. Keridlaan atas hukum-hukum yang terlaku di dunia akan
mendatangkan keridlaan di akhirat atas segala sesuatu yang telah dituliskan
(ditetapkan)[17].
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Maqamat merupakan tahapan bagi seorang salik untuk mencapai ma’rifat dan
menjadi kekasih Allah. Keberadaan maqamat dalam tasawuf sangat penting
sekali bagi seorang salik untuk bisa dekat dengan Allah dan menyatu dengan-Nya.
Seorang salik dalam melalui tahapan maqamat berbeda-beda antara salik
yang satu dengan salik lainnya.
Dengan
demikian, perjalanan spiritual seorang salik dalam melalui maqamat harus
benar-benar dipahami secara benar dan istiqamah. Misalnya maqam sabar,
syukur, tawakal, dan ridla yang harus selalu dilalui secara berurutan dan
istiqamah. Sehingga seorang salik tidak bisa berpindah dari maqam sebelumnya
sebelum maqam yang sedang dilaluinya sudah benar-benar sempurna.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Kalabadi, t.t, At-Ta’aruf Li Madzhab Tasawuf, Sarang:Al-Maktabah
As-Saqafah Ad-Diniyah.
Al-Qusyairi,
2007, Risalah Qusyairiyah, Jakarta: Pustaka Amani.
An-Nawawi,
2001, Salalil Al-Fuḍala’, Indonesia: Al-Haramain.
Anwar,
Rosihon, 2010, Akhlak
Tasawuf, Bandung:Pustaka Setia.
As-Sulaimi, 2005, Al-Muqadimah Fi At-Tashawuf, Indonesia:
Daar Al-Kutub Al-‘Alamiyah.
As-Sulaimi, 2005, Al-Muqadimah Fi At-Tashawuf, Indonesia:
Daar Al-Kutub Al-‘Alamiah.
Gulen,
M. Fethullah, 2013, Tasawuf untuk Kita Semua, Jakarta:Republika.
Imamah,
Nurul, t. t., Tasawuf jalan yang sebenarya, Makasar: Arus Timur.
M.
Thoriquddin, 2008, Sekularitas Tasawuf, Malang-UIN Malang Press.
Moh.
Zuhri, dkk, 2003, Terjemah Ihya’ Ulumuddin, Semarang:Asy-Syifa’.
Nasrul,
2015, Akhlak tasawuf, Yogyakarta:Aswaja Pressindo.
Ni’am,
Syamsun, 2014, Tasawuf Studies, Yogyakarta: Ar-Ruz Media.
Simuh, 2002, “Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, Jakarta:
Raja Grafindo Persada.
Suryadilaga,
M. Alfateh, 2008, Miftahus Sufi, Yogyakarta:
Teras.
[1] Syamsun Ni’am,
Tasawuf Studies, (Yogyakarta: Ar-Ruz Media, 2014), hlm. 138-139.
[2] Rosihon Anwar,
Akhlak Tasawuf, (Bandung:Pustaka
Setia,2010), hlm. 70.
[3] M.Alfateh
Suryadilaga, Miftahus Sufi,
(Yogyakarta: Teras, 2008), hlm.94.
[4] Nasrul, Akhlak
tasawuf, (Yogyakarta:Aswaja Pressindo,2015),hlm.181-182.
[5] M.Alfateh
Suryadilaga, Opcit, hlm. 96-97.
[6] Simuh, “Tasawuf
dan Perkembangannya dalam Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002),
hlm. 59.
[7] Al-Kalabadi,
At-Ta’aruf Li Madzhab Tasawuf, (Sarang:Al-Maktabah As-Saqafah Ad-Diniyah,
t.t,), hlm. 94.
[8] M.
Thoriquddin, Sekularitas Tasawuf, (Malang-UIN Malang
Press,2008),hlm.84-85.
[9] M. Fethullah
Gulen, Tasawuf untuk Kita Semua, (Jakarta:Republika,2013),hlm.181.
[10] Abul Qasim
Abdul karim Hawazin, Risalah Qusyairiyah, (Jakarta:Pustaka Amani,
2007),hlm.245.
[11] Moh.Zuhri,
dkk, Terjemah Ihya’ Ulumuddin, (Semarang:Asy-Syifa’,2003),hlm.387-390.
[12] As-Sulaimi, Al-Muqadimah
Fi At-Tashawuf, (Indonesia: Daar Al-Kutub Al-‘Alamiyah, 2005), hlm. 18.
[13] An-Nawawi, Salalil
Al-Fuḍala’, (Indonesia: Al-Haramain, 2001), hlm. 30.
[14] M. Alfatih
Suryadilaga, Opcit, hlm. 106.
[15] Nurul Imamah,
Tasawuf jalan yang sebenarya, (Makasar: Arus Timur, t. T. ), hlm. 93.
[16] As-Sulaimi, Al-Muqadimah
Fi At-Tashawuf, (Indonesia: Daar Al-Kutub Al-‘Alamiyah, 2005), hlm. 24.
[17] Al-kalabadi, Opcit,
hlm. 102.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar