Rabu, 09 November 2016


Tahapan Maqamat II
(Sabar, Syukur, Tawakal, Ridla)


BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Untuk menjadikan hidup lebih baik dan ada nuansa sufistiknya, tentu saja haus melakukan latihan spiritual secara baik, benar, dan berkesinambungan. Sehinnga seseorang tersebut harus melalui beberapa tahapan-tahapan yang bisa menghantarkannya mengalami mukasyafah atau penyingkapan sesuatu yang tidak diketahuinya, kemudian menjadi tahu. Dengan demikian, ia akan berlanjut kepada musyahadah, menyadari sekaligus bersaksi bahwa diri ini tiada apa-apanya, dibandingkan dengan Allah Yang Maha Esa[1].
Tingkatan-tingkatan atau tahapan- tahapan yang harus dilalui oleh seorang sufi dalam mencapai ma’rifah kepada Allah atau menyatu dengan-Nya disebut maqamat. Maqamat adalah kedudukan seorang hamba di hadapan Allah, yang diperoleh dengan melalui peribadatan, mujahadat, latihan spiritual, serta (berhubungan) yang tidak putus-putusnya dengan Allah. Definisi maqam antara sufi yang satu dengan sufi lainnya berbeda, sehingga perjalanan sufi dalam melalui maqam-maqam juga tidak sama.
Oleh karena itu, makalah ini akan membahas sebagian maqam-maqam yang dilalui oleh seorang sufi dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah atau menyatu kepada-Nya. Sedangkan maqam yang akan dibahas dalam makalah ini meliputi maqam sabar, syukur, tawakal dan ridlo. Semoga makalah ini dapat menambah wacana dan wawasan keilmuan kita, khususnya tentang tasawuf.
1.2  Rumusan Masalah
A.    Devinisi Maqamat
B.     Pengertian Sabar
C.      Pengertian Syukur
D.    Pengertian Tawakal
E.     Pengertian Ridlo
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Maqamat
Maqamat adalah tingkatan seorang hamba dihadapan Allah dalam hal ibadah dan latihan-latihan (riyadlah) jiwa yang dilakukannya.[2] Sedangkan maqam sendiri berasal dari kata maqamat yaitu jamak muannats dari kata al-maqam. Dalam bahasa Indonesia diartikan kedudukan, pangkat atau derajat. Dalam terminologi tasawuf, maqam adalah kedudukan seorang hamba dihadapan Allah yang diperoleh melalui ibadah dan mujahadat serta latihan-latihan spiritual lainnya.[3]
Seseorang tidak akan mencapai suatu maqam dari maqam sebelumnya selama dia belum memenuhi ketentuan-ketentuan, hukum-hukum dan syarat-syarat maqam yang hendak dilaluinya atau yang sedang ditingkatkannya. Orang yang belum mampu bersifat qana’ah (maqam qana’ah), yaitu kondisi batin yang puas atas pemberian Allah, mesti amat kecil, sikap pasrahnya (tawakal), tidak sah; orang yang belum mampu berpasrah diri pada Tuhan, penyerahan totalitas dirinya (kemuslimahannya) tidak sah; orang yang belum taubat, penyesalannya tidak sah; dan orang yang belum wira’i (sikap hati-hati dalam penerapan hukum), kezuhudannya tidak sah. Berarti maqam zuhud, umpamanya tidak mungkin tercapai sebelum pelakunya itu sudah mewujudkan sikap wira’i.
Oleh karena itu, maqam adalah penegakan atau aktualisasi suatu moral, sebagaimana al-madkhal (tempat masuk), penunjukan artinya memusat pada makna proses pemasukan; dan al-makhraj (tempat keluar), mengacu pada arti proses pengeluaran. Karena itu, keberadaan maqam seseorang tidak dianggap sah kecuali dengan penyaksian kehadiran Allah secara khusus dalam nilai maqam yang diaktualkannya, mengingat sahnya suatu bangunan perintah Tuhan hanya berdiri di atas dasar yang sah pula.[4]
Beberapa pendapat dari para ahli tasawuf tentang tujuh maqam kenaikan rohani yang dikutip dalam buku Miftahus Sufi, dalam literatur tasawuf tidak ditemukan keseragaman dari para Mutashawwifin atau dari ahli-ahli ilmu tasawuf dalam menentukan jumlah tingkatan maupun susunan dari maqamat ini. Menurut Abu Nasr al-saraj al-Thussi dalam kitabnya al-Lumaa’ menyebutkan bahwa susunan dan nama maqamat sebagai berikut: al-taubat, al-wara’, al-zuhd, al-faqr, al sabr, al-tawakal, dan al-ridla. Sedangkan menurut al-Ghazali dalam karya momumentalnya yaitu Ihya’ Ulum al-Din, maqam meliputi al-taubat, al-shabr, al-faqr, al-zuhd, al-tawakal, al-mahabbah, al-ma’rifat, dan al-ridla. Melihat nama-nama maqam tersebut, ternyata ada kesamaan dan kesapakatan para ulama tasawuf bahwa maqam taubat berada di urutan awal. Hal ini membuktikan bahwa untuk memasuki perjalanan rohani menuju mengenal Tuhan, yang paling utama dimasuki adalah taubat  yang di dalamnya berlangsung proses penyucian jiwa dari segala kotoran.[5]
2.2 Pengertian Sabar
Sabar adalah maqam yang sangat penting dalam kehidupan spiritual seorang muslim. Allah berfirman dalam Q. S. Al-Anfal ayat 46:
 
“Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. (Q.S. Al-Anfal: 46).
Al-Ghazali membedakan sabar dalam tiga hal, antara lain:
1.      Sabar untuk senantiasa teguh (istiqamah) dalam melaksanakan perintah Allah.
2.      Sabar dalam menghindari dan menjauhi diri dari perbuatan yang dilarang oleh Allah.
3.      Sabar dalam menghadapi dan menanggung ujian dan cobaan dari Allah.
Dalam tasawuf, sabar dijadikan satu maqam sesudah faqir, karena persyaratan untuk dapat berkonsentrasi dalam dzikir, orang harus mencapai maqam faqir. Dalam kekafiran, umumnya didera dengan berbagai cobaan dan penderitaan yang menyebabkan merasakan maqam sabar. Menurut Islam mengendalikan diri untuk mengamalkan perilaku sabar adalah tiang dari Akhlak mulia[6].
Menurut Imam Sahal, sabar adalah menanti celah dari Allah. Sehingga sabar termasuk khidmah paling utama dan paling mulia. Oleh karena itu, seseorang dharapkan memohon kepada Allah untuk sabar dalam menjalankan perintah-Nya dan sabar terhadap adab-Nya. Bahkan sabar merupakan suatu kesucian yang bisa menyebabkan sesuatu yang lainnya bisa menjadi suci[7].
2.3 Pengertian Syukur
Para ulama menyebutkan definisi syukur yang paling baik adalah kesinambungan hati untuk mencintai Sang Pemberi nikmat, kesinambungan anggota badan  untuk menikmatinya dan kesinambungan lisan untuk memuji-Nya. Menurut Ibnu Ujaibah, syukur adalah kebahagian hati atas nikmat yang diperoleh, dibarengi dengan pengarahan seluruh anggota tubuh supaya taat kepada Sang Pemberi nikmat dan pengakuan atas segala nikmat yang diberinya dengan rendah hati[8].
Dalam bahasa Arab, kata “syukur” (asy-syukur) berarti “al-imtinan” (terimakasih), sikap ridha terhadap kebaikan, seperti apapun bentuk kebaikan tersebut. Sedang secara terminologis berarti menggunakan anugerah yang diterima manusia berupa perasaan, pikiran, anggota badan, dan organ tubuh sesuai tujuan penciptaannya masing-masing. Sebagaimana halnya syukur dapat dilakukan dengan hati dan lidah, ia juga dapat dilakukan menggunakan semua anggota tubuh.[9]
Oleh Karena itu, macam-macam syukur meliputi:
a.       Syukur dengan Lisan, yaitu membicarakan nikmat Allah. Hal ini sesuai dengan firman Allah:
وأما بنعمة ربك فحدث
“dan terhadap nikmat Tuhanmu hendaklah engaku menyebut-nyebut-Nya” (Adh-Dhuha:11).
Bentuk syukur ini dilakukan dengan mengakui bahwa berbagai macam kelembutan dan nikmat semuanya datang dari Alla, serta menafikan semua sumber kekuatan, kekuasaan, dan ihsan yang tidak jelas. Sedangkan syukur dengan lisan ada yang melakukannya dengan membaca wirid-wirid, dzikir-dzikir, keyakinan, dan sikap istiqamah.
b.      Syukur dengan Perbuatan, yaitu bekerja hanya untuk Allah. Allah mengisyaratkan bahwa syukur berarti beramal. Syukur dengan perbuatan disebut juga dengan syukur dengan badan, yaitu bersifat selalu sepakat dan melayani (mengabdi) kepada Allah, dimana syukur ini termasuk syukurnya orang beribadah.[10]
c.       Syukur dengan hati, yaitu makrifat atas semua bentuk nikmat yang berguna bagi Allah, baik yang bersifat lahir maupun batin. Syukur dengan hati melandasi syukur yang dilakukan dengan lisan dan anggota tubuh lainnya, sebagaimana dalam firman Allah:
وأسبغ عليكم نعمه ظاهرة وباطنة
“Dan Allah menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin.
Keutamaan tentang syukur banyak sekali dijelaskan dalam ayat-ayat al-Qur’an, meliputi[11]:
فاذكروني أذكركم واشكرولي ولا تكفرون
Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku, niscaya Aku ingat kepadamu dan bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu mengingkari (nikmat-nikmat)-Ku”,(QS.al-Baqarah:152).

2.4 Pengertian Tawakal
Tawakal adalah berserah diri kepada Allah dan mengharapkan rizqi dari-Nya. Sebab menganggap bahwa rizqi itu berasal dari hasi kerja keras itu adalah kufur. Menurut Imam Suhaimiy, tawakal adalah membersihkan diri dari mengandalkan kemampuan diri sendiri dan percaya dengan janji Allah Yang Maha Mulia dan Maha Utama. Menurut Al-Hasan Al-Basri, seseorang yang telah tawakal, qana’ah dan ridla,  niscaya segala sesuatu akan datang pada orang tersebut tanpa ia cari[12]. Allah berfirman:
“Berkatalah dua orang diantara orang-orang yang takut (kepada Allah) yang Allah telah memberi nikmat atas keduamya: “Serbulah mereka dengan melalui pintu gerbang (kota) itu, maka bila kamu memasukinya niscaya kamu akan menang. Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakal, jika kamu benar-benar orang yang beriman”. (Q.S. Al-Maidah 23).
Sebagai seorang mukalaf sudah seharusnya berserah diri (tawakal) atas rizqinya ketika mengharapkan rizqi dan hidup sendiri tanpa istri dan anak dengan senantiasa berpegang pada janji Allah. Allah berfirman:
ومامن دابة في الأرض الا على الله رزقها
        “Tidak ada hewan di bumi ini kecuali Allah telah menentukan rizqinya”.
          Firman Allah tersebut menjelaskan bahwa Allah adalah Dzat yang selalu memberi tanpa diminta, dan selalu memberikan yang terbaik bagi makhluknya. Sehingga orang yang tawakal pada Allah pasti akan dicukupi-Nya. Allah berfirman dalam Q. S. At-Thalaq ayat 30:
ومن يتوكل على الله فهو حسبه
“Barangsiapa yang bertawakal pada Allah, niscaya Allah akan mencukupinya”.
          Nabi Muhammad SAW bersabda:                                                                    
من انقطع الى الله عز وجل كفاه الله كل مؤمنة ورزقه من حيث لا يحتسب ومن انقطع الى الدنيا
 وكل الله اليها
          “Barangsiapa merasa cukup atas pemberian Allah, maka Allah akan mencukupinya pada tiap-tiap orang mukmin perempuan dan rizqinya tidak terhitung. Sedangkan orang yang merasa cukup pada dunia, maka Allah akan menjadikan dunia dalam genggaman (miliknya)”
          Menurut Imam Suyuthiy, qana’ah bagaikan seorang kaum yang berbeda pendapat dalam masalah bekerja dan tidak bekerja. Sebagian dari mereka berkata; berpaling dari sebab-sebab usaha (bekerja) dengan menyandarkan hati pada Allah lebih utama. Sedangkan sebagian lagi berkata; bekerja (usaha) lebih utama daripada tidak bekerja. Kemudian sebagian lagi mengatakan; seseorang yang dalam tawakalnya tidak marah ketika rizqinya sulit dan tidak meminta-minta pada seseorang, maka tawakal baginya lebih utama. Hal itu dikarenakan adanya sifat sabar dan memerangi hawa nafsu selain daripada tawakal. Oleh sebab itu, seseorang yang tidak bisa tawakal seperti diatas, maka bekerja baginya lebih utama, karena menjaga dari marah dan meminta-minta.
   Definisi tawakal bukan berari tidak bekerja, akan tetapi tawakal adalah bekerja dengan disertai tawakal (berserah diri pada Allah). Sehingga seseorang yang tawakal harus menerima atas segala pemberian Allah dan tidak meminta sesuatu yang banyak. Umar bin Khatab pernah berkata kepada kaum yang yang sedang duduk-duduk santai dan mengaku bahwa mereka sedang tawakal, beliau berkata; seseorang yang tawakal itu bagaikan seseorang yang menebar benih di tanah, kemudian berserah diri (tawakal). Sedangkan menurut Imam Sahl bin Abdillah, tawakal adalah hal (kepribadian) Nabi Muhammad, dan bekerja merupakan sunnah beliau. Sehingga seseorang yang kuat kepribadiannya, niscaya ia  harus menjaga sunnah Rasulullah dan menyimpan makanan untuk satu tahun itu tidak menghilangkan tawakal[13].

2.5 Pengertian Ridla
Setelah mencapai maqam tawakal, dimana nasib hidup as-Salikin bulat-bulat diserahkan pada pemeliharaan, meninggalkan serta membelakangi segala keinginannya terhadap apapun selain Tuhan, maka harus segera menata hatinya untuk mencapai maqam ridla[14].  Allah berfirman dalam Q. S. At-Taubah ayat 59:
وَلَوْا أَنَّهُمْ رَضُوْا مَا اَتَاهُمُ الله وَرَسُوْلُهُ وَقَالُوْا حَسْبُنَا الله سَيُؤْتِيْنَا الله مِنْ فَضْلِهِ وَرَسُوْلُهُ اِنَّا اِلَى الله رَاغِبُوْنِ
“Jikalau mereka sungguh-sungguh ridla dengan apa yang diberikan Allah dan Rasul-Nya kepada mereka, dan berkata: cukuplah Allah bagi kami, Allah akan memberikan sebagian dari karunia-Nya dan demikian (pula) Rasul-Nya, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berharap kepada Allah, (tentulah yang demikian itu lebih baik bagi mereka)”. (Q. S. At-Taubah: 59).
Ridla adalah maqam yang di dalamnya mengajarkan seseorang untuk menanggapi dan mengubah segala bentuk penderitaan, kesengsaraan, dan kesusahan menjadi kegembiraan dan kenikmatan. Menurut Ibnu Khatib, Ridla adalah tenangnya hati dengan ketetapan (takdir) Allah SWT dan keserasian hati dengan sesuatu yang dijadikan Allah. Sedangkan menurut Rabi’ah Adawiyah, ridla adalah apabila saat mendapat bencana perasaannya sama seperti ketika ia mendapat nikmat.
Ridla merupakan perpaduan antara sabar dan tawakal yang melahirkan sikap mental yang tenang dan senang menerima segala situasi dan kondisi, setiap yang terjadi disambut dengan hati terbuka bahkan dengan rasa nikmat dan bahagia walau yang datang itu berupa bencana. Suka dan duka diterima dengan gembira. Sbab apapun yang datang adalah ketentuan dari Allah SWT[15]. Sebagaimana firman Allah:
Kami jelaskan yang demikian itu, supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai orang yang sombong lagi membanggakan diri (Q.S. Al-Hadid: 23)
Menurut Ahmad Ibn Hambal, ridla ada tiga macam yang meliputi[16]:
1.      Meninggalkan usaha
2.      Gembiranya hati karena lewatnya qadla (kepastian Allah)
3.      Melebur angan-angan hati
Ridla seringkali di maknai sebagai ketenangan hati atas hukum-hukum yang telah terjadi. Bahkan menurut Ibn Atha’ ridla merupakan melihatnya hati terhadap ihtiarnya Allah kepada hamba-Nya, sehingga Allah memberikan keutamaankepada hamb-Nya. Keridlaan atas hukum-hukum yang terlaku di dunia akan mendatangkan keridlaan di akhirat atas segala sesuatu yang telah dituliskan (ditetapkan)[17].











BAB III
PENUTUP
3.1    Kesimpulan
Maqamat merupakan tahapan bagi seorang salik untuk mencapai ma’rifat dan menjadi kekasih Allah. Keberadaan maqamat dalam tasawuf sangat penting sekali bagi seorang salik untuk bisa dekat dengan Allah dan menyatu dengan-Nya. Seorang salik dalam melalui tahapan maqamat berbeda-beda antara salik yang satu dengan salik lainnya.
Dengan demikian, perjalanan spiritual seorang salik dalam melalui maqamat harus benar-benar dipahami secara benar dan istiqamah. Misalnya maqam sabar, syukur, tawakal, dan ridla yang harus selalu dilalui secara berurutan dan istiqamah. Sehingga seorang salik tidak bisa berpindah dari maqam sebelumnya sebelum maqam yang sedang dilaluinya sudah benar-benar sempurna.











DAFTAR PUSTAKA
Al-Kalabadi, t.t, At-Ta’aruf Li Madzhab Tasawuf, Sarang:Al-Maktabah As-Saqafah Ad-Diniyah.
Al-Qusyairi, 2007, Risalah Qusyairiyah, Jakarta: Pustaka Amani.
An-Nawawi, 2001, Salalil Al-Fuḍala’, Indonesia: Al-Haramain.
Anwar, Rosihon,  2010, Akhlak Tasawuf, Bandung:Pustaka Setia.
As-Sulaimi, 2005, Al-Muqadimah Fi At-Tashawuf, Indonesia: Daar Al-Kutub Al-‘Alamiyah.
As-Sulaimi, 2005, Al-Muqadimah Fi At-Tashawuf, Indonesia: Daar Al-Kutub Al-‘Alamiah.
Gulen, M. Fethullah, 2013, Tasawuf untuk Kita Semua, Jakarta:Republika.
Imamah, Nurul, t. t., Tasawuf jalan yang sebenarya, Makasar: Arus Timur.
M. Thoriquddin, 2008, Sekularitas Tasawuf, Malang-UIN Malang Press.
Moh. Zuhri, dkk, 2003, Terjemah Ihya’ Ulumuddin, Semarang:Asy-Syifa’.
Nasrul, 2015, Akhlak tasawuf, Yogyakarta:Aswaja Pressindo.
Ni’am, Syamsun, 2014, Tasawuf Studies, Yogyakarta: Ar-Ruz Media.
Simuh, 2002, “Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Suryadilaga, M. Alfateh, 2008, Miftahus Sufi, Yogyakarta: Teras.




[1] Syamsun Ni’am, Tasawuf Studies, (Yogyakarta: Ar-Ruz Media, 2014), hlm. 138-139.
[2] Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung:Pustaka Setia,2010), hlm. 70.
[3] M.Alfateh Suryadilaga, Miftahus Sufi, (Yogyakarta: Teras, 2008), hlm.94.
[4] Nasrul, Akhlak tasawuf, (Yogyakarta:Aswaja Pressindo,2015),hlm.181-182.
[5] M.Alfateh Suryadilaga, Opcit, hlm. 96-97.
[6] Simuh, “Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 59.
[7] Al-Kalabadi, At-Ta’aruf Li Madzhab Tasawuf, (Sarang:Al-Maktabah As-Saqafah Ad-Diniyah, t.t,), hlm. 94.
[8] M. Thoriquddin, Sekularitas Tasawuf, (Malang-UIN Malang Press,2008),hlm.84-85.
[9] M. Fethullah Gulen, Tasawuf untuk Kita Semua, (Jakarta:Republika,2013),hlm.181.
[10] Abul Qasim Abdul karim Hawazin, Risalah Qusyairiyah, (Jakarta:Pustaka Amani, 2007),hlm.245.
[11] Moh.Zuhri, dkk, Terjemah Ihya’ Ulumuddin, (Semarang:Asy-Syifa’,2003),hlm.387-390.
[12] As-Sulaimi, Al-Muqadimah Fi At-Tashawuf, (Indonesia: Daar Al-Kutub Al-‘Alamiyah, 2005), hlm. 18.
[13] An-Nawawi, Salalil Al-Fuḍala’, (Indonesia: Al-Haramain, 2001), hlm. 30.
[14] M. Alfatih Suryadilaga, Opcit, hlm. 106.
[15] Nurul Imamah, Tasawuf jalan yang sebenarya, (Makasar: Arus Timur, t. T. ), hlm. 93.
[16] As-Sulaimi, Al-Muqadimah Fi At-Tashawuf, (Indonesia: Daar Al-Kutub Al-‘Alamiyah, 2005), hlm. 24.
[17] Al-kalabadi, Opcit, hlm. 102.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar