Rabu, 09 November 2016

Tasawuf Akademik


A.  Pendahuluan
Semangat ilmiah para ilmuan muslim menurut penuturan Osman Bakar mengalir dari kesadaran mereka terhadap tauhid. Bagi umat Islam, kesadaran terhadap keesaan Tuhan merupakan kesadaran beragama yang paling fundamental sehingga aktivitas apa pun (keagamaan dan kebudayaan) dalam kehidupan mereka senantiasa dinapasi oleh prinsip dan semangat monoeisme tersebut.
Atas dasar semangat tauhid, dalaam Islam berlaku pandangan bahwa realitas objektif alam semesta merupakan satu kesatuan. Kosmos yang terdiri atas bukan hanya berbagai realitas fisik, tetapi juga nonfisik dipahami saling berkaitan dan membentuk jaringan kesatuan melalui hukum-hukum kosmos sebagai manifestasi dari ketunggalan sumber dan asal-usul metafisiknya, yaitu Allah SWT. Dalam Islam, kesatuan kosmos ini merupakan bukti yang jelas akan kesaannya[1].
Oleh karena itu, semangat para tokoh sufi dalam menyebarkan ajaran tasawuf diharapkan bisa mencapai keberhasilan dan kesuksesan tasawuf dalam dunia akademik. Sehingga tasawuf akademik bisa membawa perubahan dalam akademik dalam berbagai hal. Dengan demikian, makalah “Tasawuf Akademik” ini bisa menambah wacana dan wawasan keilmuan kita dalam penyebaran tasawuf di dunia akademik.
B.  Pendidikan Islam
Pendidikan di dunia Islam saat ini mengalami krisis yang menyebabkan kemunduran. Para pemerhati pendidikan telah menganalisis beberapa sebab terjadinya kemuduran itu, di antaranya adalah karena ketidaklengkapan aspek materi, terjadinya krisis sosial masyarakat dan krisis budaya, serta hilangnya qudwah hasanah (teladan yang baik), akidah shahihah, dan nilai-nilai Islami. Ada juga yang menganggap penyebabnya adalah karena salah membaca eksistensi manusia, sehingga salah pula melihat eksistensi anak didik.
Krisis pendidikan dalam dunia Islam ini juga dialami oleh Indonesia. Hal itu disebabkan oleh masalah sosial, politik, budaya, dan ekonomi, serta aspek lainnya. Meskipun akhir-akhir ini, prestasi intelektual anak-anak Indonesia mengalami peningkatan cukup baik dengan banyaknya prestasi di berbagai oliempiade sains international, namun justru terjadi pada aspek lain yang amat penting, yaitu moralitas. Kemunduran pada aspek ini menyebabkan krisis pendidikan akhlak dalam dunia pendidikan kita, sehingga dunia pendidikan di Indonesia tidak dapat menahan laju kemerosotan akhlak yang terus terjadi[2].
Oleh karena itu, ajaran Islam bisa dibagi dalam dua aspek, yaitu aspek eksoteris (lahiririah) dan aspek esoteris (batiniah). Aspek eksoteris misalnya mengajarkan ibadah seperti shala yang lebih menekankan pengetahuan tentang syarat, rukun, dan hal-hal yang membatalkannya. Sedangkan aspek esoteris sholat adalah menekankan dalam pembentukan pribadi yang baik. Begitu juga dalam hal mengajarkan tauhid lebih banyak dikemukakan argumen tentang adanya Tuhan, dan kurang diajarkan tentang makna kehadiran Tuhan dalam kehidupan manusia. Sebenarnya makna kehadiran Tuhan merupakan aspek esoteris.
Aspek esoteris dalam Islam disebut tasawuf. Dengan lemahnya pengajaran aspek esoteris Islam selama ini berarti juga bahwa pengajran tasawuf dalam pendidikan Islam masih berkurang. Padahal seharusnya pengajaran tasawuf itu dilakukan secara seimbang dengan aspek eksoteris Islam. Karena tanpa adanya pengajaran tasawuf yang seimbang dengan aspek eksoteris, maka anak didik akan kurang menghayati makna ajaran Islam.
Menurut Nurcholis Madjid, pengajaran tasawuf harus dilakukan secara dini di madrasah, mulai dari Ibtidaiyah, lalu Tsanawiyah, lalunAliyah. Kemudian juga di perguruan tinggi Islam, baik negeri maupun swasta. Pada tingkat Ibtidaiyah, para anak didik selain diajarkan syarrat, rukun, dan hal-hal yang membatalkan ibadah, seperti shalat dan puasa Ramadlan, juga perlu diajarkan tentang ruh ibadah, yaitu keikhlasan melaksanakan ibadah. Karena keikhlasan akan menumbuhkan sikap hidup yang diliputi moleh semangat kehadiran dan pengawasan Tuhan dalam hidup ini.
Kemudian di tingkat Tsanawiyah, perkembangan anak didik dalam tasawuf mulai dikembangkan dengan memperkenalkan konsep-konsep keagamaan yang mengarah kepada pembentukan pribadi yang kuat. Selain ikhlas, mereka juga diajarkan sabar, tawakal, raja’ (harapan atau baik sangka kepada Tuhan, tidak kenal putus asa), khauf (mawas), taubat, taqarrub (mendekatkan diri kepada Allah), ‘azm (keteguhan hati), rahmah (cinta kasih kepada sesama), pemaaf, menahan amarah, toleran, ramah dan sebagainya. Oleh karena itu, perlu diajarkan kutipan-kutipan dari Al-Qur’an dan hadits yang menerangkan tentang berbagai kualitas orang-orang yang beriman kepada Allah.
 Sedangkan di tingkat Aliyah, mulai ada pengembangan dengan pembiasaan akan makna nama-nama indah (asmaul husna). Nama-nama Tuhan tersebut dijelaskan dalam Al-Qur’an sebagai petunjuk bagaimana mempersepsi Tuhan. Persepsi manusia tentang Tuhan bisa tidak utuh, karena persepsi itu biasanya terpengaruh oleh pengalaman hidup manusia itu sendiri. Relevan dengan hal itu para ahli tasawuf sering mengemukakan sabda nabi Muhammad bahwa kita harus meniru kualitas atau akhlak Tuhan. Selain itu, segi-segi kognitif tentang tasawuf harus sudah mulai diperkenalkan. Karena itu, sebaliknya mereka diperkenalkan dengan sejarah tumbuh dan berkembangnya tasawuf. Begitu juga diperkenalkan dengan tokoh-tokoh tasawuf seperti Rabi’ah al-Adawiyah, Nmuhyidin Ibnu ‘Arabi, Jalaluddin Rumi, Abu Yazid Al-Busthami, Abu Hamid Al-Ghazali, Husain bin Mansur Al-Hallaj, dan lain-lain[3].
Sementara di perguruan tinggi, seperti IAIN (Institut Agama Islam Negeri) atau UIN (Universitas Islam Indonesia) dan perguruan tinggi Islam swasta, juga perlu diajarkan tasawuf. Karena hal itu bisa menjadikan pemahaman Islam mahasiswa menjadi komprehensif dan utuh serta tidak berhenti pada aspek eksoteris saja. Kemudian pengajaran tasawuf di lembaga pendidikan Islam akan mendorong pengembangan dimensi etis atau akhlak peserta didik, sehingga mereka akan tumbuh dan berkembang menjadi umat yang tidak saja menguasai Islam dan ilmu umum, tetapi berakhlak mulia.
Dengan demikian, tasawuf merupakan salah satu mata pelajaran yang perlu diajarkan dimadrasah dan mata kuliah di perguruan tinggi Islam, tidak saja untuk mengembangkan kehidupan agama yang komprehensif dan utuh, tetapi juga untuk mengembangkan kehidupan masyarakat dan bangsa yang bersih, sehat dan maju. Hal tersebut merupakan arti penting antara tasawuf dengan pendidikan dalam Islam[4].
C.  Tokoh Tasawuf Akademik
Para tokoh tasawuf akademik tentunya sangat banyak sekali. Meskipun demikian, tokoh-tokoh tasawuf yang akan dibahas meliputi:
1.    Prof. Dr. Amin Syukur
1.    Biografi
Amin Syukur adalah salah satu tokoh tasawuf yang memiliki perhatian besar terhadap masalah-masalah tasawuf. Prof. Dr. HM. Amin Syukur MA. Lahir di Gresik 17 Juli 1952 yang menjadi seorang guru besar tasawuf di UIN Walisongo Semarang, lahir dari pasangan orang tua H. Abdus Syukur, (almarhum) dan Hj. Umi Kulsuf (almarhumah) di desa Kali Rejo dukuh Gresik. Desa yang lingkungannya semuanya beragama Islam. Saat ini beliau bertempat tinggal di BPI Blok S-18 Ngaliyan, Semarang. Sehari-harinya (sejak tahun 1980) beliau beraktifitas sebagai tenaga pengajar tetap di Fakultas Ushuluddi UIN Walisongo, Semarang.
Amin Syukur memulai pendidikannya di Madrasah Islamiyah desa Sembungan Kidul Gresik. Satu tahun setelah menyelesaikannya beliau mengikuti kakaknya Abdul Mujib untuk mondok di al-Karimi Tebuwung selama satu tahun karena kakaknya sudah lulus. Setelah itu, beliau melanjutkan mondoknya di pondok pesantren Ihyaul Ulum Gresik dengan pengasuh K. H. Mashum. Sementara pendidikan formalnya setelah di Madrasah Ibtidaiyah Pondok Pesantren  di dukuh Gresik, beliau melanjutkan jenjang SMP dan SMA di Pondok Pesantren Darul ‘Ulum Jombang. Kemudian beliau mendapatkan gelar Sarjana Muda dari Fakultas Ushuluddin, Universitas Darul ‘Ulum Jombang dan Fakultas IAIN Walisongo Semarang yang sekarang menjadi UIN Walisongo Semarang. Adapun gelar S2 dan S3, beliau dapatkan dari IAIN Sunan Kaijaga, Yogyakarta.
Selain itu, beliau juga pernah menjabat sebagai pembantu Rektor III IAIN Walisongo pada tahun 1996-2002 dan Dekan Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang. Beliau Juga aktif dalam berbagai organisasi kemasyarakatan, seperti ICMI Jawa Tengah, Penasehat Yayasan Pendidikan PAPB Semarang dan NASIMA, Direktur lembaga Bimbingan dan Konsultasi Tasawuf (LEMBKOTA) Semarang dan lain sebagainya.
Ketertarikan Amin Syukur untuk menggeluti dunia tasawuf sebetulnya sudah dari dulu dan berawal dari sebuah pengalaman pribadi yang kemudian menjadi motivasi utama dalam keseriusannya menggeluti dunia tasawuf adalah dua kali kena kanker yaitu kanker otak dan kanker saluran pernapasan (nashofaring). Bahkan beliau pernah divonis oleh dakter hanya mempunyai kesempatan hidup di dunia ini 3 bulan paling lama 1 tahun, sakit yang diderita sekaligus pengalaman yang berharga dalam hidupnya. Karena kebesaran Allah penyakitnya sembuh dan keinginan untuk mencari hidup lebih bermakna dari sekedar makan dan mensyukuri nikmat Allah yang telah diterimanya membuat beliau semakin eksis dan produktif menekuni dunia tasawuf modern ini[5].
2.    Karya-karyanya
Banyak kegiatan beliau yang bersifat sosial maupun intelektual yang telah dilakukan. Hal itu didukung dengan karya-karya beliau yang ada baik berbentuk artikel atau jurnal yang meliputi: Pengantar Studi Akhlak, Pengantar Ilmu Tauhid, Pengantar Studi Islam, Zuhud di Abad Modern, Menggugat Tasawuf, Sufisme dan Tanggung Jawab Sosial Abad 21, Intelektualisme Tasawuf, Tasawuf Kontekstual, Tasawuf bagi Orang Awawm, Insan Kamil, Zikir Menyembuhkan Kankerku, Dari Hati ke Hati, Mempertautkan Dua Hati, Kiat Sukses Membina Keluarga Sakinah, Tasawuf Sosial, Sufi Healing, dan Terapi Hati.
3.    Konsep Tasawuf Amin Syukur
Amin Syukur mengartikan Tasawuf dalam bidang ihsan, yakni suatu bentuk spiritualtas Islam dengan berbagai varian yang tertuju pada satu tujuan yaitu kesadaran dan komunikasi langsung dengan Allah. Sebagaimana Rasulullah menjelaskan ihsan dengan sabda beliau yang berbunyi: “Hendaknya engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Maka jika engkau tidak bisa melihat-Nya, ketahuilah bahwa sesungguhnya Dia melihatmu” (HR. Imam Muslim).
Secara umum tasawuf dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu tasawuf akhlaki, tasawuf amali, dan tasawuf falsafi. Tasawuf akhlaki adalah ajaran tasawuf yang membahas tentang kesempurnaan dan kesucian jiwa yang diformulasikan pada pengaturan sikap mental dan pendisiplinan tingkah laku yang ketat. Sementara tasawuf amali adalah tasawuf yang membahas tentang bagaimana cara mendekatkan diri kepada Allah. Tasawuf amali sering dikonotasikan dengan thariqah. Sedangkan tasawuf falsafi adalah tasawuf yang ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional penggagasnya. Cara memperoleh ilmu menggunakan rasa, sedang menguraikannya menggunakan rasio, ia tidak bisa dikatakan tasawuf secara total dan tidak pula disebut filsafat, tetapi perpaduan antara keduanya yang selanjutnya disebut tasawuf falsafi.
Dari ketiga kategori tersebut, fokus kajian Amin Syukur adalah tasawuf akhlaki. Menurutnya tasawuf akhlaki merupakan ajaran mengenai moral atau akhlak yang hendaknya diterapkan sehari-hari guna memperoleh kebahagiaan yang optimal. Tasawuf akhlaki juga merupakan etika yang harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari agar dapat membentuk manusia berperilaku baik terhadap diri sendiri, Tuhan, sesama dan alam bisa dijadikan alternatif bagi kerusakan moral yang melanda dunia modern sekarang.
Amin Syukur memaknai bahwa penyebab munculnya dan berkembangnya tasawuf dan spiritnya adalah persoalan sosio-kultur, manusia senantiasa berkembang sehingga tasawuf dituntut mampu menjadi solusi bagi persoalan-persoalan masyarakat yang muncul dewasa ini, terutama pada abad sekarang ini, dimana eranya adalah era modernisasi[6].
Melalui tasawuf seseorang disadarkan bahwa sumber yang ada adalah Allah, sehingga ia mampu mengarahkan ilmu dan teknologi yang dimiliki berwawasan moral atau diarahkan oleh nilai-nilai dari Tuhan. Peranan agama dalam zaman apapun adalah penting, karena sudah menjadi fitrah manusia untuk selalu membutuhkan agama. Dalam konteks kehidupan modern, peranan agama tidak sebatas pada formslisme dan legalisme, tetapi transformasi tindakan fisik ke dalam tindakan batin. Peranan agama dalam konteks ini adalah sebagai: 1) Penyeimbang rohani sebagai akibat dari kemajuan hidup di segala bidang di zzaman modern, 2) Sebagai salah satu peredam daya rusak manusia akibat nafsu yang dimiliki oleh setiap orang. Agama memiliki potensi esensial kapan saja dan dimana saja yaitu menciptakan keterhubungan dengan yang diyakini (Tuhan). Dalam bentuk pengalaman rohaniah yang mencerahkan batin[7].

1.    Prof. Dr. K. H. Said Aqil Siroj
1.    Biografi
Beliau lahir di Cirebon, 3 Juli 1953. Pendidikan agama diperoleh dari ayahnya sendiri di Madrasah Tholabul Mubtadi’in, Kempek, Palimanan, Cirebon, kemudian dilanjutkan ke Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri (1965-1975); dan di Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta (1972-1975). Kemudian lulus S1 dari Universitas King Abdul Aziz cabang Makkah, Fakultas Syari’ah, tahun 1982, dan lulus S2 dari Universitas Umum Al-Qura’ Makkah Fakultas Ushuluddin tahun 1987, dan S3 diperoleh dari Universitas Ummu Al-Qura’ Makkah, Fakultas Ushuluddin tahun 1994 dengan predikat Summa Cumlaude.
Saat ini beliau mengajar di Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1995 hingga sekarang; penasehat dosen mata kuliah MKDU Ubaya Surabaya, 1998-sekarang; dan pernah menjabat sebagai Direktur Pascasarjana Universitas Islam Malang (Unisma) tahun 1999-2003. Pernah menjadi anggota Komnas HAM periode 1998-1999; dan anggota MPR-RI Fraksi utusan Golongan tahun 1999-2004.
Pengalaman organisasi beliau awali sebagai aktivis IPNU anak Cabang Palimanan Cirebon, PMIII Yogyakarta Ketua KMNU Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama) Makkah, tahun 1983-1987. Selain itu, beliau pernah menjadi Wakil Katib ‘Am PBNU tahun 1994-1998, Katib ‘am PBNU tahun 1998-1999, Ra’is Syuriyah PBNU tahun 1999-2004 dan Ketua PBNU 2004-2009. Saat ini beliau juga menjabat sebagai Ketua Umum PBNU periode 2010-2014[8].
2. Pemikiran Tasawuf
Titik puncak kesempurnaan beragama seseorang terletak pada kemampuannya memahami ajaran Islam dan menyelanminya sehingga bersikap arif dan bijaksana (al-hikmah) dalam segenap pemahaman dan penafsirnnya. Disinilah perlunya mengedepankan aspek sufistik dalam beragama, yaitu aspek esoteris dari Islam. Sisi positif dari pendekatan sufistik atau tasawuf adalah pemahaman keislaman yang moderat serta bentuk dakwah yang mengedepan “qaulan kariman” (perkataan yang mulia), “qaulan ma’rufa”(perkataan yang baik), “qaulan maisura”(perkataan yang pantas), qaulan baligha” (perkataan yang berbegas pada jiwa), dan “qaulan tsaqila” (perkataan yang berbobot).
Tasawuf atau sufisme tidak dapat dipisahkan dari dalam Islam, sebagaimana halnya nurani dan kesadaran tertinggi juga tidak dapat dipisahkan dari Islam. Islam bukanlah sebuah fenomena sejarah yang dimulai sejak 1400 tahun yang lampau. Tetapi Islam merupakan suatu kesadaran abadi yang bermakna penyerahan diri dan ketertundukan (al-inqiyad)-seperti halnya kata “Islam” itu sendiri berarti ketundukan dan kepasarahan. Tasawuf adalah intisari ajaran Islam yang membawa pada kesadaran manusia[9].
Oleh karena itu, persaudaraan yang mengikat kalangan sufi adalah sebuah realitas tanpa banyak koordinasi maupun organisasi yang bersifat lahiriah. Reaksi tersebut adalah kesadaran terhadap ibadah yang ikhlas dan sifat-sifat luhur yang ada dalam hati mereka serta adanya kesatuan sikap menerima hukum kenabian yang bersifat lahiriah. Adanya pengikut persaudaraan kaum sufi lebih banyak disebabkan oleh kesamaan situasi dan tingkatan hati mereka ketimbang suatu sikap patuh terhadap doktrin-doktrin teologi tertentu, etnis, ataupun penghambaan terhadap tradisi.
Kesufiah adalah wilayah yang menghubungkan dimensi lahiriah manusia dengan dimensi batiniahnya. Pengalaan kesufian ini hanya dapat dialami dalam kedirian batiniah manusia. Pemilihan kedua dimensi kemanusiaan ini sesuai dengan tingkatan penyebutan “manusia” dalam al-Qur’an[10].
Sementara pendapatnya tentang civitas akademik pesantren adalah bahwa civitas akademik pesantren sangat getol mengusung tradisi bahkan merasa bangga dengan dikategorikannya pesantren sebagai pendidikan tradisional. Keberadaan pesantren saat ini merupakan sebagai salah satu institusi pendidikan yang berorientasi global. Meskipun pada masa lalu pendidikan di pesantren menempatkan tradisi sebagai proyek besarnya, maka pada masa kini pendidikan di pesantren harus mampu menjawab tantangan modernitas. Sehingga sinergi tradisi dan modernitas adalah proyek pendidikan pesantren pada masa depan yang keduanya merupakan respons atas realitas.
Tradisi merupakan sesuatu yang diciptakan yang senantiasa mengikutsertakan kekuasaan dan berbagai macam alasan. Kekayan tradisi pesantren menjadi modal untuk terbangunya sebuah tradisi baru dan sistem pendidikan yang sangat berperan dalam membentuk tradisi. Oleh karena itu, ada beberapa sistem dan proses pendidikan pesantren yang dapat menjamin kelangsungan ruh pendidikan yang meliputi:
1.      At-Ta’lim
Adalah proses transformasi ilmu pengetahuan yang mampu membangun interaksi keilmuan yang mengedepankan kualitas dibandingkan kuantitas. Sementara metodologi yang dikembangkannya memberikan ruang keseimbangan kedua sisi secara bersamaan seperti: fisik-metafisik, rasional-irasional, subtantif-formalistik, dan seterusnya. Sehingga diperlukan kajian komprehensif yang mirip persoalan paket, seperti fiqih-ushul fiqih, Al-Qur’an-tafsir, kalam-mantiq, dan akhlak-tasawuf.
2.      At-Tadris/ proses afektif
Adalah pendidikan yang mampu menumbuhkan transformasi ilmu pengetahuan dengan berlandaskan pada totalitas pengalaman keilmuan. Sedngakan proses pendidikannya meliputi teori (keilmuan), dan praktik (pengalaman) ini mampu mengarahkan pendidikan menjadi matang dan dewasa.
3.      At-Ta’dib
Adalah proses pendidikan yang mampu memberi ruang secara luas bagi proses kesadaran berbudaya, beradab, taat hukum, menjunjung tinggi etika, dan sopan santun. Sebagaimana yang disabdakan Rasulullah: “Addabani Rabbi fa absana ta’dibi”(Saya dididik oleh Tuhanku dengan sebaik-baiknya ta’dib). Proses ta’dibharus didasarkan pada komitmen kuat membangun moralitas manusia yang dimulai dari diri sendiri.
4.      At-Tarbiyah
Adalah proses pendidikan yang menyerukan untuk berpegang pada prinsip pengakuan bahwa Tuhan adalah penguasa alam semesta, (rabbal ‘alamin). Sebagaimana Allah berfirman:
وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالأَبْصَرَ وَالأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ
“Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dab hati, agar kamu bersyukur”. (QS. An-Nahl [16]: 78).

Maksudnya, Allah menciptakan manusia darintiga sudut pandang: pendengaran, penglihatan, dan perasaan. Pada tatanan aplikatif, metodologi pendidikan seperti ini harus mempu mengarahkan segala potensi intelektual dalam mengembangkan potensi kemanusiaan peserta didik yang meliputi unsur material dan imaterial. Sehingga orientasi pendidikan tidak hanya capaian kuantitas, tetapi juga kualitas, tidak hanya berfikir, tapi juga tafakkur, merenung dan menjiwai. Sehingga proses pendidikan akan menghasilkan pribdi-pribadi yang memiliki kepribadian paripurna[11].

D.  Kesimpulan
Tasawuf merupakan sebuah disiplin keilmuan yang bisa masuk kedalam berbagai aspek kehidupan. Bahkan keberdaan tasawuf dalam civitas akademik sangat berpotensi untuk mendidik peserta didik berakhlak dan berkarakter. Sehingga orientasi pendidikan bukan hanya sisi kuantitas saja, melainkan sisi kualitas dari perserta didik merupakan tujuan yang paling penting.
Selain itu, tasawuf akademik sangat dibutuhkan dalam cicivitas akademik yang saat ini sudah mulai menghilangkan nilai-nilai keislaman dan moralitas peserta didik. Dengan begitu, tasawuf dalam civitas akademik akan menjadi perantara peserta didik untuk menjadi berakhalak mulia, berbudi luhur, sopan, beretika, dan mampu mengamalkan ilmu yang diperolehnya dengan baik dan benar.
















DAFTAR PUSTAKA

Alfan, Muhammad, 2013, Pengantar Filsafat Nilai, Bandung: Pustaka Setia.
Syafri, Ulil Amri, 2012, Pendidikan Karakter Berbasis Al- Qur’an, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
Tebba, Sudirman, 2003, Tasawuf Positif, Jakarta: Prenada Media..
Zuhri, Amat, dkk, 2015, Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman, Religia, Pekalongan: STAIN Press.
Siroj, Said Aqil, 2006, Tasawuf sebagai Kritik Sosial, Jakarta: SAS Foundation.






















[1] Muhammad Alfan, Pengantar Filsafat Nilai, (Bandung: Pustaka Setia, 2013), hlm. 183.
[2] Ulil Amri Syafri, Pendidikan Karakter Berbasis Al- Qur’an, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012), hlm. 1-2.
[3] Suirman Tebba, Tasawuf Positif (Jakarta: Prenada Media, 2003) , hlm. 173-177.
[4] Ibid, hlm. 178-179.
[5] Amat Zuhri, dkk, Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman, Religia, (Pekalongan: STAIN Press, 2015), hlm. 192-194.
[6] Ibid, hlm. 194-196.
[7] Ibid, hlm. 203-204.
[8] Said Aqil Siroj, Tasawuf sebagai Kritik Sosial, (Ciganjur:SAS Foundation, 2006), hlm. 5-6.
[9] Ibid, hlm. 33-34.

[10] Ibid, hlm. 36.
[11] Ibid, hlm. 197-202.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar