Tasawuf Akademik
A.
Pendahuluan
Semangat ilmiah para ilmuan muslim menurut penuturan Osman Bakar
mengalir dari kesadaran mereka terhadap tauhid. Bagi umat Islam,
kesadaran terhadap keesaan Tuhan merupakan kesadaran beragama yang paling
fundamental sehingga aktivitas apa pun (keagamaan dan kebudayaan) dalam
kehidupan mereka senantiasa dinapasi oleh prinsip dan semangat monoeisme tersebut.
Atas dasar semangat tauhid, dalaam Islam berlaku pandangan
bahwa realitas objektif alam semesta merupakan satu kesatuan. Kosmos yang
terdiri atas bukan hanya berbagai realitas fisik, tetapi juga nonfisik dipahami
saling berkaitan dan membentuk jaringan kesatuan melalui hukum-hukum kosmos
sebagai manifestasi dari ketunggalan sumber dan asal-usul metafisiknya, yaitu
Allah SWT. Dalam Islam, kesatuan kosmos ini merupakan bukti yang jelas akan
kesaannya[1].
Oleh karena itu, semangat para tokoh sufi dalam menyebarkan ajaran
tasawuf diharapkan bisa mencapai keberhasilan dan kesuksesan tasawuf dalam
dunia akademik. Sehingga tasawuf akademik bisa membawa perubahan dalam akademik
dalam berbagai hal. Dengan demikian, makalah “Tasawuf Akademik” ini bisa
menambah wacana dan wawasan keilmuan kita dalam penyebaran tasawuf di dunia
akademik.
B. Pendidikan Islam
Pendidikan di dunia Islam saat ini mengalami krisis yang
menyebabkan kemunduran. Para pemerhati pendidikan telah menganalisis beberapa
sebab terjadinya kemuduran itu, di antaranya adalah karena ketidaklengkapan
aspek materi, terjadinya krisis sosial masyarakat dan krisis budaya, serta
hilangnya qudwah hasanah (teladan yang baik), akidah shahihah, dan
nilai-nilai Islami. Ada juga yang menganggap penyebabnya adalah karena salah
membaca eksistensi manusia, sehingga salah pula melihat eksistensi anak didik.
Krisis pendidikan dalam dunia Islam ini juga dialami oleh
Indonesia. Hal itu disebabkan oleh masalah sosial, politik, budaya, dan
ekonomi, serta aspek lainnya. Meskipun akhir-akhir ini, prestasi intelektual
anak-anak Indonesia mengalami peningkatan cukup baik dengan banyaknya prestasi
di berbagai oliempiade sains international, namun justru terjadi pada aspek
lain yang amat penting, yaitu moralitas. Kemunduran pada aspek ini menyebabkan
krisis pendidikan akhlak dalam dunia pendidikan kita, sehingga dunia pendidikan
di Indonesia tidak dapat menahan laju kemerosotan akhlak yang terus terjadi[2].
Oleh karena itu, ajaran Islam bisa dibagi dalam dua aspek, yaitu
aspek eksoteris (lahiririah) dan aspek esoteris (batiniah). Aspek
eksoteris misalnya mengajarkan ibadah seperti shala yang lebih
menekankan pengetahuan tentang syarat, rukun, dan hal-hal yang membatalkannya.
Sedangkan aspek esoteris sholat adalah menekankan dalam pembentukan
pribadi yang baik. Begitu juga dalam hal mengajarkan tauhid lebih banyak
dikemukakan argumen tentang adanya Tuhan, dan kurang diajarkan tentang makna
kehadiran Tuhan dalam kehidupan manusia. Sebenarnya makna kehadiran Tuhan
merupakan aspek esoteris.
Aspek esoteris dalam Islam disebut tasawuf. Dengan lemahnya
pengajaran aspek esoteris Islam selama ini berarti juga bahwa pengajran
tasawuf dalam pendidikan Islam masih berkurang. Padahal seharusnya pengajaran
tasawuf itu dilakukan secara seimbang dengan aspek eksoteris Islam.
Karena tanpa adanya pengajaran tasawuf yang seimbang dengan aspek eksoteris,
maka anak didik akan kurang menghayati makna ajaran Islam.
Menurut Nurcholis Madjid, pengajaran tasawuf harus dilakukan secara
dini di madrasah, mulai dari Ibtidaiyah, lalu Tsanawiyah, lalunAliyah. Kemudian
juga di perguruan tinggi Islam, baik negeri maupun swasta. Pada tingkat
Ibtidaiyah, para anak didik selain diajarkan syarrat, rukun, dan hal-hal yang
membatalkan ibadah, seperti shalat dan puasa Ramadlan, juga perlu diajarkan
tentang ruh ibadah, yaitu keikhlasan melaksanakan ibadah. Karena keikhlasan
akan menumbuhkan sikap hidup yang diliputi moleh semangat kehadiran dan
pengawasan Tuhan dalam hidup ini.
Kemudian di tingkat Tsanawiyah, perkembangan anak didik dalam
tasawuf mulai dikembangkan dengan memperkenalkan konsep-konsep keagamaan yang
mengarah kepada pembentukan pribadi yang kuat. Selain ikhlas, mereka juga
diajarkan sabar, tawakal, raja’ (harapan atau baik sangka kepada Tuhan, tidak
kenal putus asa), khauf (mawas), taubat, taqarrub (mendekatkan diri kepada
Allah), ‘azm (keteguhan hati), rahmah (cinta kasih kepada sesama), pemaaf,
menahan amarah, toleran, ramah dan sebagainya. Oleh karena itu, perlu diajarkan
kutipan-kutipan dari Al-Qur’an dan hadits yang menerangkan tentang berbagai
kualitas orang-orang yang beriman kepada Allah.
Sedangkan di tingkat Aliyah,
mulai ada pengembangan dengan pembiasaan akan makna nama-nama indah (asmaul
husna). Nama-nama Tuhan tersebut dijelaskan dalam Al-Qur’an sebagai
petunjuk bagaimana mempersepsi Tuhan. Persepsi manusia tentang Tuhan bisa tidak
utuh, karena persepsi itu biasanya terpengaruh oleh pengalaman hidup manusia
itu sendiri. Relevan dengan hal itu para ahli tasawuf sering mengemukakan sabda
nabi Muhammad bahwa kita harus meniru kualitas atau akhlak Tuhan. Selain itu,
segi-segi kognitif tentang tasawuf harus sudah mulai diperkenalkan. Karena itu,
sebaliknya mereka diperkenalkan dengan sejarah tumbuh dan berkembangnya
tasawuf. Begitu juga diperkenalkan dengan tokoh-tokoh tasawuf seperti Rabi’ah
al-Adawiyah, Nmuhyidin Ibnu ‘Arabi, Jalaluddin Rumi, Abu Yazid Al-Busthami, Abu
Hamid Al-Ghazali, Husain bin Mansur Al-Hallaj, dan lain-lain[3].
Sementara di perguruan tinggi, seperti IAIN (Institut Agama Islam
Negeri) atau UIN (Universitas Islam Indonesia) dan perguruan tinggi Islam
swasta, juga perlu diajarkan tasawuf. Karena hal itu bisa menjadikan pemahaman
Islam mahasiswa menjadi komprehensif dan utuh serta tidak berhenti pada aspek eksoteris
saja. Kemudian pengajaran tasawuf di lembaga pendidikan Islam akan mendorong
pengembangan dimensi etis atau akhlak peserta didik, sehingga mereka akan
tumbuh dan berkembang menjadi umat yang tidak saja menguasai Islam dan ilmu
umum, tetapi berakhlak mulia.
Dengan demikian, tasawuf merupakan salah satu mata pelajaran yang
perlu diajarkan dimadrasah dan mata kuliah di perguruan tinggi Islam, tidak
saja untuk mengembangkan kehidupan agama yang komprehensif dan utuh, tetapi
juga untuk mengembangkan kehidupan masyarakat dan bangsa yang bersih, sehat dan
maju. Hal tersebut merupakan arti penting antara tasawuf dengan pendidikan
dalam Islam[4].
C.
Tokoh Tasawuf Akademik
Para tokoh tasawuf akademik tentunya sangat banyak sekali. Meskipun
demikian, tokoh-tokoh tasawuf yang akan dibahas meliputi:
1.
Prof. Dr. Amin Syukur
1.
Biografi
Amin Syukur
adalah salah satu tokoh tasawuf yang memiliki perhatian besar terhadap
masalah-masalah tasawuf. Prof. Dr. HM. Amin Syukur MA. Lahir di Gresik 17 Juli
1952 yang menjadi seorang guru besar tasawuf di UIN Walisongo Semarang, lahir
dari pasangan orang tua H. Abdus Syukur, (almarhum) dan Hj. Umi Kulsuf (almarhumah)
di desa Kali Rejo dukuh Gresik. Desa yang lingkungannya semuanya beragama
Islam. Saat ini beliau bertempat tinggal di BPI Blok S-18 Ngaliyan, Semarang.
Sehari-harinya (sejak tahun 1980) beliau beraktifitas sebagai tenaga pengajar
tetap di Fakultas Ushuluddi UIN Walisongo, Semarang.
Amin Syukur
memulai pendidikannya di Madrasah Islamiyah desa Sembungan Kidul Gresik. Satu
tahun setelah menyelesaikannya beliau mengikuti kakaknya Abdul Mujib untuk
mondok di al-Karimi Tebuwung selama satu tahun karena kakaknya sudah lulus.
Setelah itu, beliau melanjutkan mondoknya di pondok pesantren Ihyaul Ulum
Gresik dengan pengasuh K. H. Mashum. Sementara pendidikan formalnya setelah di
Madrasah Ibtidaiyah Pondok Pesantren di
dukuh Gresik, beliau melanjutkan jenjang SMP dan SMA di Pondok Pesantren Darul
‘Ulum Jombang. Kemudian beliau mendapatkan gelar Sarjana Muda dari Fakultas
Ushuluddin, Universitas Darul ‘Ulum Jombang dan Fakultas IAIN Walisongo
Semarang yang sekarang menjadi UIN Walisongo Semarang. Adapun gelar S2 dan S3,
beliau dapatkan dari IAIN Sunan Kaijaga, Yogyakarta.
Selain itu,
beliau juga pernah menjabat sebagai pembantu Rektor III IAIN Walisongo pada
tahun 1996-2002 dan Dekan Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang. Beliau
Juga aktif dalam berbagai organisasi kemasyarakatan, seperti ICMI Jawa Tengah,
Penasehat Yayasan Pendidikan PAPB Semarang dan NASIMA, Direktur lembaga
Bimbingan dan Konsultasi Tasawuf (LEMBKOTA) Semarang dan lain sebagainya.
Ketertarikan
Amin Syukur untuk menggeluti dunia tasawuf sebetulnya sudah dari dulu dan
berawal dari sebuah pengalaman pribadi yang kemudian menjadi motivasi utama dalam
keseriusannya menggeluti dunia tasawuf adalah dua kali kena kanker yaitu kanker
otak dan kanker saluran pernapasan (nashofaring). Bahkan beliau pernah
divonis oleh dakter hanya mempunyai kesempatan hidup di dunia ini 3 bulan
paling lama 1 tahun, sakit yang diderita sekaligus pengalaman yang berharga
dalam hidupnya. Karena kebesaran Allah penyakitnya sembuh dan keinginan untuk
mencari hidup lebih bermakna dari sekedar makan dan mensyukuri nikmat Allah
yang telah diterimanya membuat beliau semakin eksis dan produktif menekuni
dunia tasawuf modern ini[5].
2.
Karya-karyanya
Banyak kegiatan beliau yang bersifat sosial maupun intelektual yang
telah dilakukan. Hal itu didukung dengan karya-karya beliau yang ada baik
berbentuk artikel atau jurnal yang meliputi: Pengantar Studi Akhlak,
Pengantar Ilmu Tauhid, Pengantar Studi Islam, Zuhud di Abad Modern, Menggugat
Tasawuf, Sufisme dan Tanggung Jawab Sosial Abad 21, Intelektualisme Tasawuf,
Tasawuf Kontekstual, Tasawuf bagi Orang Awawm, Insan Kamil, Zikir Menyembuhkan
Kankerku, Dari Hati ke Hati, Mempertautkan Dua Hati, Kiat Sukses Membina
Keluarga Sakinah, Tasawuf Sosial, Sufi Healing, dan Terapi Hati.
3.
Konsep
Tasawuf Amin Syukur
Amin Syukur mengartikan Tasawuf dalam bidang ihsan, yakni suatu
bentuk spiritualtas Islam dengan berbagai varian yang tertuju pada satu tujuan
yaitu kesadaran dan komunikasi langsung dengan Allah. Sebagaimana Rasulullah
menjelaskan ihsan dengan sabda beliau yang berbunyi: “Hendaknya engkau
menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Maka jika engkau tidak bisa
melihat-Nya, ketahuilah bahwa sesungguhnya Dia melihatmu” (HR. Imam
Muslim).
Secara umum tasawuf dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu tasawuf
akhlaki, tasawuf amali, dan tasawuf falsafi. Tasawuf akhlaki adalah ajaran
tasawuf yang membahas tentang kesempurnaan dan kesucian jiwa yang
diformulasikan pada pengaturan sikap mental dan pendisiplinan tingkah laku yang
ketat. Sementara tasawuf amali adalah tasawuf yang membahas tentang bagaimana
cara mendekatkan diri kepada Allah. Tasawuf amali sering dikonotasikan dengan thariqah.
Sedangkan tasawuf falsafi adalah tasawuf yang ajarannya memadukan antara
visi mistis dan visi rasional penggagasnya. Cara memperoleh ilmu menggunakan
rasa, sedang menguraikannya menggunakan rasio, ia tidak bisa dikatakan tasawuf
secara total dan tidak pula disebut filsafat, tetapi perpaduan antara keduanya
yang selanjutnya disebut tasawuf falsafi.
Dari ketiga kategori tersebut, fokus kajian Amin Syukur adalah
tasawuf akhlaki. Menurutnya tasawuf akhlaki merupakan ajaran mengenai moral
atau akhlak yang hendaknya diterapkan sehari-hari guna memperoleh kebahagiaan
yang optimal. Tasawuf akhlaki juga merupakan etika yang harus diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari agar dapat membentuk manusia berperilaku baik terhadap diri
sendiri, Tuhan, sesama dan alam bisa dijadikan alternatif bagi kerusakan moral
yang melanda dunia modern sekarang.
Amin Syukur memaknai bahwa penyebab munculnya dan berkembangnya
tasawuf dan spiritnya adalah persoalan sosio-kultur, manusia senantiasa berkembang
sehingga tasawuf dituntut mampu menjadi solusi bagi persoalan-persoalan
masyarakat yang muncul dewasa ini, terutama pada abad sekarang ini, dimana
eranya adalah era modernisasi[6].
Melalui tasawuf seseorang disadarkan bahwa sumber yang ada adalah Allah,
sehingga ia mampu mengarahkan ilmu dan teknologi yang dimiliki berwawasan moral
atau diarahkan oleh nilai-nilai dari Tuhan. Peranan agama dalam zaman apapun
adalah penting, karena sudah menjadi fitrah manusia untuk selalu membutuhkan
agama. Dalam konteks kehidupan modern, peranan agama tidak sebatas pada
formslisme dan legalisme, tetapi transformasi tindakan fisik ke dalam tindakan
batin. Peranan agama dalam konteks ini adalah sebagai: 1) Penyeimbang rohani
sebagai akibat dari kemajuan hidup di segala bidang di zzaman modern, 2)
Sebagai salah satu peredam daya rusak manusia akibat nafsu yang dimiliki oleh
setiap orang. Agama memiliki potensi esensial kapan saja dan dimana saja yaitu
menciptakan keterhubungan dengan yang diyakini (Tuhan). Dalam bentuk pengalaman
rohaniah yang mencerahkan batin[7].
1.
Prof. Dr. K. H. Said Aqil Siroj
1.
Biografi
Beliau lahir di
Cirebon, 3 Juli 1953. Pendidikan agama diperoleh dari ayahnya sendiri di
Madrasah Tholabul Mubtadi’in, Kempek, Palimanan, Cirebon, kemudian dilanjutkan
ke Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri (1965-1975); dan di Pondok Pesantren
Krapyak, Yogyakarta (1972-1975). Kemudian lulus S1 dari Universitas King Abdul
Aziz cabang Makkah, Fakultas Syari’ah, tahun 1982, dan lulus S2 dari
Universitas Umum Al-Qura’ Makkah Fakultas Ushuluddin tahun 1987, dan S3
diperoleh dari Universitas Ummu Al-Qura’ Makkah, Fakultas Ushuluddin tahun 1994
dengan predikat Summa Cumlaude.
Saat ini beliau
mengajar di Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1995 hingga
sekarang; penasehat dosen mata kuliah MKDU Ubaya Surabaya, 1998-sekarang; dan
pernah menjabat sebagai Direktur Pascasarjana Universitas Islam Malang (Unisma)
tahun 1999-2003. Pernah menjadi anggota Komnas HAM periode 1998-1999; dan
anggota MPR-RI Fraksi utusan Golongan tahun 1999-2004.
Pengalaman
organisasi beliau awali sebagai aktivis IPNU anak Cabang Palimanan Cirebon,
PMIII Yogyakarta Ketua KMNU Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama) Makkah, tahun
1983-1987. Selain itu, beliau pernah menjadi Wakil Katib ‘Am PBNU tahun 1994-1998,
Katib ‘am PBNU tahun 1998-1999, Ra’is Syuriyah PBNU tahun 1999-2004 dan Ketua
PBNU 2004-2009. Saat ini beliau juga menjabat sebagai Ketua Umum PBNU periode
2010-2014[8].
2. Pemikiran
Tasawuf
Titik puncak
kesempurnaan beragama seseorang terletak pada kemampuannya memahami ajaran
Islam dan menyelanminya sehingga bersikap arif dan bijaksana (al-hikmah)
dalam segenap pemahaman dan penafsirnnya. Disinilah perlunya mengedepankan
aspek sufistik dalam beragama, yaitu aspek esoteris dari Islam. Sisi
positif dari pendekatan sufistik atau tasawuf adalah pemahaman keislaman yang
moderat serta bentuk dakwah yang mengedepan “qaulan kariman” (perkataan
yang mulia), “qaulan ma’rufa”(perkataan yang baik), “qaulan maisura”(perkataan
yang pantas), qaulan baligha” (perkataan yang berbegas pada jiwa), dan “qaulan
tsaqila” (perkataan yang berbobot).
Tasawuf atau
sufisme tidak dapat dipisahkan dari dalam Islam, sebagaimana halnya nurani dan
kesadaran tertinggi juga tidak dapat dipisahkan dari Islam. Islam bukanlah
sebuah fenomena sejarah yang dimulai sejak 1400 tahun yang lampau. Tetapi Islam
merupakan suatu kesadaran abadi yang bermakna penyerahan diri dan ketertundukan
(al-inqiyad)-seperti halnya kata “Islam” itu sendiri berarti ketundukan
dan kepasarahan. Tasawuf adalah intisari ajaran Islam yang membawa pada
kesadaran manusia[9].
Oleh karena itu, persaudaraan yang mengikat kalangan sufi adalah
sebuah realitas tanpa banyak koordinasi maupun organisasi yang bersifat
lahiriah. Reaksi tersebut adalah kesadaran terhadap ibadah yang ikhlas dan
sifat-sifat luhur yang ada dalam hati mereka serta adanya kesatuan sikap
menerima hukum kenabian yang bersifat lahiriah. Adanya pengikut persaudaraan
kaum sufi lebih banyak disebabkan oleh kesamaan situasi dan tingkatan hati
mereka ketimbang suatu sikap patuh terhadap doktrin-doktrin teologi tertentu,
etnis, ataupun penghambaan terhadap tradisi.
Kesufiah adalah wilayah yang menghubungkan dimensi lahiriah manusia
dengan dimensi batiniahnya. Pengalaan kesufian ini hanya dapat dialami dalam
kedirian batiniah manusia. Pemilihan kedua dimensi kemanusiaan ini sesuai
dengan tingkatan penyebutan “manusia” dalam al-Qur’an[10].
Sementara pendapatnya tentang civitas akademik pesantren adalah
bahwa civitas akademik pesantren sangat getol mengusung tradisi bahkan merasa
bangga dengan dikategorikannya pesantren sebagai pendidikan tradisional.
Keberadaan pesantren saat ini merupakan sebagai salah satu institusi pendidikan
yang berorientasi global. Meskipun pada masa lalu pendidikan di pesantren
menempatkan tradisi sebagai proyek besarnya, maka pada masa kini pendidikan di
pesantren harus mampu menjawab tantangan modernitas. Sehingga sinergi tradisi
dan modernitas adalah proyek pendidikan pesantren pada masa depan yang keduanya
merupakan respons atas realitas.
Tradisi merupakan sesuatu yang diciptakan yang senantiasa mengikutsertakan
kekuasaan dan berbagai macam alasan. Kekayan tradisi pesantren menjadi modal
untuk terbangunya sebuah tradisi baru dan sistem pendidikan yang sangat
berperan dalam membentuk tradisi. Oleh karena itu, ada beberapa sistem dan
proses pendidikan pesantren yang dapat menjamin kelangsungan ruh pendidikan
yang meliputi:
1.
At-Ta’lim
Adalah
proses transformasi ilmu pengetahuan yang mampu membangun interaksi keilmuan
yang mengedepankan kualitas dibandingkan kuantitas. Sementara metodologi yang dikembangkannya
memberikan ruang keseimbangan kedua sisi secara bersamaan seperti:
fisik-metafisik, rasional-irasional, subtantif-formalistik, dan seterusnya.
Sehingga diperlukan kajian komprehensif yang mirip persoalan paket, seperti
fiqih-ushul fiqih, Al-Qur’an-tafsir, kalam-mantiq, dan akhlak-tasawuf.
2.
At-Tadris/ proses afektif
Adalah
pendidikan yang mampu menumbuhkan transformasi ilmu pengetahuan dengan
berlandaskan pada totalitas pengalaman keilmuan. Sedngakan proses pendidikannya
meliputi teori (keilmuan), dan praktik (pengalaman) ini mampu mengarahkan
pendidikan menjadi matang dan dewasa.
3.
At-Ta’dib
Adalah
proses pendidikan yang mampu memberi ruang secara luas bagi proses kesadaran
berbudaya, beradab, taat hukum, menjunjung tinggi etika, dan sopan santun.
Sebagaimana yang disabdakan Rasulullah: “Addabani Rabbi fa absana ta’dibi”(Saya
dididik oleh Tuhanku dengan sebaik-baiknya ta’dib). Proses ta’dibharus
didasarkan pada komitmen kuat membangun moralitas manusia yang dimulai dari
diri sendiri.
4.
At-Tarbiyah
Adalah
proses pendidikan yang menyerukan untuk berpegang pada prinsip pengakuan bahwa
Tuhan adalah penguasa alam semesta, (rabbal ‘alamin). Sebagaimana Allah
berfirman:
وَجَعَلَ
لَكُمُ السَّمْعَ وَالأَبْصَرَ وَالأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ
“Dia
memberi kamu pendengaran, penglihatan, dab hati, agar kamu bersyukur”. (QS.
An-Nahl [16]: 78).
Maksudnya, Allah menciptakan manusia darintiga sudut pandang:
pendengaran, penglihatan, dan perasaan. Pada tatanan aplikatif, metodologi
pendidikan seperti ini harus mempu mengarahkan segala potensi intelektual dalam
mengembangkan potensi kemanusiaan peserta didik yang meliputi unsur material
dan imaterial. Sehingga orientasi pendidikan tidak hanya capaian kuantitas,
tetapi juga kualitas, tidak hanya berfikir, tapi juga tafakkur, merenung
dan menjiwai. Sehingga proses pendidikan akan menghasilkan pribdi-pribadi yang
memiliki kepribadian paripurna[11].
D. Kesimpulan
Tasawuf merupakan sebuah disiplin keilmuan yang bisa masuk kedalam
berbagai aspek kehidupan. Bahkan keberdaan tasawuf dalam civitas akademik
sangat berpotensi untuk mendidik peserta didik berakhlak dan berkarakter.
Sehingga orientasi pendidikan bukan hanya sisi kuantitas saja, melainkan sisi
kualitas dari perserta didik merupakan tujuan yang paling penting.
Selain itu, tasawuf akademik sangat dibutuhkan dalam cicivitas
akademik yang saat ini sudah mulai menghilangkan nilai-nilai keislaman dan
moralitas peserta didik. Dengan begitu, tasawuf dalam civitas akademik akan
menjadi perantara peserta didik untuk menjadi berakhalak mulia, berbudi luhur,
sopan, beretika, dan mampu mengamalkan ilmu yang diperolehnya dengan baik dan
benar.
DAFTAR PUSTAKA
Alfan, Muhammad,
2013, Pengantar Filsafat Nilai, Bandung: Pustaka Setia.
Syafri, Ulil Amri, 2012, Pendidikan Karakter Berbasis Al-
Qur’an, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
Tebba, Sudirman,
2003, Tasawuf Positif, Jakarta: Prenada Media..
Zuhri, Amat, dkk, 2015, Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman, Religia, Pekalongan:
STAIN Press.
Siroj, Said
Aqil, 2006, Tasawuf sebagai Kritik Sosial, Jakarta: SAS Foundation.
[1] Muhammad
Alfan, Pengantar Filsafat Nilai, (Bandung: Pustaka Setia, 2013), hlm.
183.
[2] Ulil Amri
Syafri, Pendidikan Karakter Berbasis Al- Qur’an, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2012), hlm. 1-2.
[3] Suirman Tebba,
Tasawuf Positif (Jakarta: Prenada Media, 2003) , hlm. 173-177.
[4] Ibid, hlm.
178-179.
[5] Amat Zuhri,
dkk, Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman, Religia, (Pekalongan: STAIN Press,
2015), hlm. 192-194.
[6] Ibid, hlm.
194-196.
[7] Ibid, hlm.
203-204.
[8] Said Aqil
Siroj, Tasawuf sebagai Kritik Sosial, (Ciganjur:SAS Foundation, 2006),
hlm. 5-6.
[9] Ibid, hlm.
33-34.
[10] Ibid, hlm.
36.
[11] Ibid, hlm.
197-202.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar