Rabu, 05 Oktober 2016

KAROMAH
A.  Hadits
عن عبد الرحمن بن أبو بكر, أنّ أصحاب الصفة كانوا فقراء, وأن النبي صلى الله عليه وسلم قال : من كان عنده طعام اثنتين, فليذهب بثالث, وان أربع فخامس أو سادس, وأن أبا بكر جاء بثلا ثة, فانطلق النبي صلى الله عليه وسلم بِعَشَرَةٍ, قال فهو أنا وأبي وأمي, فلا أدري, قال وامراتي وخادم بيننا وبين بيت أبي بكر, وانّ أبي بكر تعَشَّى عند النبي صلى الله عليه وسلم ثُمَّ لبِثَ حيثُ صُلِيتْ العِشَاءُ, ثم رجع فلبث حتى تعشَّى النبي صلى الله عليه وسلم فجاء بعد مضى من الليل ما شاء الله, قالت له امراته, وما حبسك عن أضيافك أو قالت ضيفِك, قال أو ما عشَّيتِهِم, قالت أبَوا حتى تجئ, قد عُرِضُوا فأبَوا, قال فذهبْتُ أنا فاختبأتُ,فقال يا غُنْثَرْ, فجَدَّعَ وسبَّ, قال كُلُوا لا هنِيْئًا, فقال واللهِ لا أطْعمُهُ أبداً ويمُ اللهِ ماكُنَّا نأْخُذُ من لقْمَةٍ الَّا ربَا من أسفلِهَا أكثر منها, قال يعني حتى شَبِعُوا وضارت أكثر ممّا كانت قبل ذلك, فنظر اليها أبو تكر فاذا هي كما هي أو أكثر منها فقال لامراته, يا أخت بني فراس, ما هذا ؟ قالت: لا وقُرَّةِ عَينِي, لهِي الأن أكثرُ منها قبل ذلك بثلا ثة مرات, فأكل منها أبو بكر وقال: انما كان ذلك من الشيطان يعني يمينه, ثم أكل منها لُقمة, ثم حملها الى النبي صلى الله عليه وسلم فأصبحتْ عنده, وكا ن بيننا وبين قومٍ عقْدٌ فمضى الأجلُ ففرَّقْنا اثنا عشر رجلا مع كلّش رجل منهم أناسٌ الله أعلم كم مع كل رجل, فأكلوا منها أجمعون أو كما قال " (رواه البخاري)
Di riwayatkan dari Abdurrahman Ibnu Abu Bakar, Sesungguhnya penghuni Suffah adalah orang-orang faqir
عن عبد الرحمن بن أبو بكر, أنّ أصحاب الصفة كانوا فقراء
Nabi berkata: Barangsiapa yang dissinya ada makanan untuk dua orang, hendaknya ia datang dengan tiga orang, dan apabila makanan itu untuk empat orang, maka datanglah dengan lima orang atau enam orang
وأن النبي صلى الله عليه وسلم قال : من كان عنده طعام اثنتين, فليذهب بثالث, وان أربع فخامس أو سادس
Dan sesungguhnya Abu Bakar datang dengan tiga orang, kemudian Nabi datang dengan sepuluh orang
وأن أبا بكر جاء بثلا ثة, فانطلق النبي صلى الله عليه وسلم بِعَشَرَةٍ
Abdurahman berkata: makanan itu untuk diriku, ayahku dan ibuku, kemudian setelahnya aku tidak mengetahui
قال فهو أنا وأبي وأمي, فلا أدري
Rawi berkata: makanan itu untuk istriku, pembantuku dan keluarga Abu Bakar
قال وامراتي وخادم بيننا وبين بيت أبي بكر
Dan sesungguhnya Abu Bakar malam di sisi Nabi, kemudian istirahat, sampai datangnya shalat Isya’
وانّ أبي بكر تعَشَّى عند النبي صلى الله عليه وسلم ثُمَّ لبِثَ حيثُ صُلِيتْ العِشَاءُ
Kemudian Abu Bakar kembali, istirahat, sampai Nabi selesai makan malam, sampai datangnya karamah dari Allah pada waktu malam
ثم رجع فلبث حتى تعشَّى النبي صلى الله عليه وسلم فجاء بعد مضى من الليل ما شاء الله
Istri Abu Bakar berkata kepada Abu Bakar: apa yang menghalangi kamu untuk menemui tamu kamu
قالت له امراته, وما حبسك عن أضيافك أو قالت ضيفِك
Abu Bakar bertanya: apakah engkau tidak memberi makan malam mereka?
قال أو ما عشَّيتِهِم
istrinya menjawab: mereka tidak mau makan sampai engkau datang, dan sesungguhnya mereka sudah ditawari, kemudian mereka tidak mau
قالت أبَوا حتى تجئ, قد عُرِضُوا فأبَوا
Abdurrahman berkata: saya pergi, kemudian bersembunyi
قال فذهبْتُ أنا فاختبأتُ
dasar orang tidak berguna, kemudian Abu Bakar marah dan memakinya.
فقال يا غُنْثَرْ, فجَدَّعَ وسبَّ
Abu Bakar berkata: Kalian semua makanlah, jangan merasa tidak enak begitu
قال كُلُوا لا هنِيْئًا
Abdurrahman bekata: demi Allah, saya tidak akan memakannya, dan demi Allah apabila aku memakan satu suapan yang aku ambil, maka makanan itu akan tumbuh dibawahnya lebih banyak
فقال واللهِ لا أطْعمُهُ أبداً ويمُ اللهِ ماكُنَّا نأْخُذُ من لقْمَةٍ الَّا ربَا من أسفلِهَا أكثر منها
Abdurrahman berkata: sampai mereka kenyang dan makanan itu bertambah lebih banyak dari sebelumnya
قال يعني حتى شَبِعُوا وضارت أكثر ممّا كانت قبل ذلك
Abu Bakar melihat makanan itu seperti semula atau bahkan lebih banyak dari sebelumnya
فنظر اليها أبو تكر فاذا هي كما هي أو أكثر منها
Abu Bakar bertanya kepada istrinya (Yaa Ukhta Baniy Firaas), apa ini?
فقال لامراته, يا أخت بني فراس, ما هذا
 istrinya menjawab: saya heran, makanan ini bertambah lebih banyak dari sebelumnya, bahkan tiga kali lipatnya
قالت: لا وقُرَّةِ عَينِي, لهِي الأن أكثرُ منها قبل ذلك بثلا ثة مرات
Kemudian Abu Bakar memakan makanan itu
فأكل منها أبو بكر
dan berkata: jangan berlebihan seperti itu, karena hal itu(ucapan istrinya) berasal dari syaitan
وقال: انما كان ذلك من الشيطان يعني يمينه
Kemudian Abu Bakar memakannya satu suapan
ثم أكل منها لُقمة
dan sisanya dibawa kepada Nabi, sampai makanan itu berada disisinya
ثم حملها الى النبي صلى الله عليه وسلم فأصبحتْ عنده
Kemudian antara Nabi, saya dan kaum ada perjanjian (akad) sampai datang waktunya
وكا ن بيننا وبين قومٍ عقْدٌ فمضى الأجلُ
Kemudian kita membaginya menjadi dua belas orang laki-laki, dimana tiap-tiap bagian terdiri dari beberapa laki-laki
ففرَّقْنا اثنا عشر رجلا مع كلّش رجل منهم أناسٌ
Allah lebih mengetahui berapa jumlah laki-laki tiap kelompoknya
الله أعلم كم مع كل رجل
Kemudian mereka semua memakannya
فأكلوا منها أجمعون
seperti yang Abu Bakar katakan
أو كما قال

B.  Terjemah Hadits
“Di riwayatkan dari Abdurrahman Ibnu Abu Bakar, Sesungguhnya penghuni Suffah adalah orang-orang faqir, Nabi berkata: Barangsiapa yang dissinya ada makanan untuk dua orang, hendaknya ia datang dengan tiga orang, dan apabila makanan itu untuk empat orang, maka datanglah dengan lima orang atau enam orang. Dan sesungguhnya Abu Bakar datang dengan tiga orang, kemudian Nabi datang dengan sepuluh orang. Abdurahman berkata: makanan itu untuk diriku, ayahku dan ibuku, kemudian setelahnya aku tidak mengetahui. Rawi berkata: makanan itu untuk istriku, pembantuku dan keluarga Abu Bakar. Dan sesungguhnya Abu Bakar malam di sisi Nabi, kemudian istirahat, sampai datangnya shalat Isya’. Kemudian Abu Bakar kembali, istirahat, sampai Nabi selesai makan malam, sampai datangnya karamah dari Allah pada waktu malam. Istri Abu Bakar berkata kepada Abu Bakar: apa yang menghalangi kamu untuk menemui tamu kamu. Abu Bakar bertanya: apakah engkau tidak memberi makan malam mereka?, istrinya menjawab: mereka tidak mau makan sampai engkau datang, dan sesungguhnya mereka sudah ditawari, kemudian mereka tidak mau. Abdurrahman berkata: saya pergi, kemudian bersembunyi. Abu Bakar berkata: dasar orang tidak berguna, kemudian Abu Bakar marah dan memakinya. Abu Bakar berkata: Kalian semua makanlah, jangan merasa tidak enak begitu. Abdurrahman bekata: demi Allah, saya tidak akan memakannya, dan demi Allah apabila aku memakan satu suapan yang aku ambil, maka makanan itu akan tumbuh dibawahnya lebih banyak. Abdurrahman berkata: sampai mereka kenyang dan makanan itu bertambah lebih banyak dari sebelumnya. Abu Bakar melihat makanan itu seperti semula atau bahkan lebih banyak dari sebelumnya. Abu Bakar bertanya kepada istrinya (Yaa Ukhta Baniy Firaas), apa ini?, istrinya menjawab: saya heran, makanan ini bertambah lebih banyak dari sebelumnya, bahkan tiga kali lipatnya. Kemudian Abu Bakar memakan makanan itu, dan berkata: jangan berlebihan seperti itu, karena hal itu(ucapan istrinya) berasal dari syaitan. Kemudian Abu Bakar memakannya satu suapan dan sisanya dibawa kepada Nabi, sampai makanan itu berada disisinya. Kemudian antara Nabi, saya dan kaum ada perjanjian (akad) sampai datang waktunya. Kemudian kita membaginya menjadi dua belas orang laki-laki, dimana tiap-tiap bagian terdiri dari beberapa laki-laki. Allah lebih mengetahui berapa jumlah laki-laki tiap kelompoknya. Kemudian mereka semua memakannya seperti yang Abu Bakar katakan.
C.  Rawi Hadits
Abdurrahman adalah saudara kandung dari ‘Aisyah istri Rasulullah SAW. Ia masuk Islam sebelum peristiwa fath al-Makkah (dibukanya kota Makkah). Ia merupakan anak tertua dari Abu Bakar. Sebelum Islam namanya adalah Abdu Al-Ka’bah atau Abdu Al-‘Uzza, kemudian Rasulullah menganti namanya menjadi Abdurrahman[1].
Ia merupakan lukisan nyata tentang kepribadian Arab dengan segala kedalaman dan kejauhannya. Sementara ayahnya adalah orang yang pertama kali beriman, dan memiliki corak keimanan yang tiada taranya terhadap Allah dan Rasul-Nya, serta orang kedua ketika mereka berada di gua Hira.
Ia merupakan sosok yang keras laksana batu karang menyatu menjadi satu, senyawa dengan agama nenek moyangnya dan berhala Quraisy. Diwaktu kafir, ia sangat jantan, sehingga ketika memeluk Islam pun tetap jantan. Sebab tidak ada sesuatu harapan dan ketakutan yang membuat ia masuk Islam. Ia masuk Islam karena hidayah dan taufiq dari Allah yang menjadikannya mendapat keyakinan dan kebenaran tentang Islam. Setelah masuk Islam ia berusaha untuk menyusul ketinggalan-ketinggalannya selama ini, baik di jalan Allah, maupun di jalan Rasul dan orang-orang mukmin lainnya[2].
D.  Isi Hadits
Hadits tersebut menjelaskan tentang karomah sahabat, khusunya karomah sahabat Abu Bakar. Karomahnya berupa makanan yang awalnya hanya bisa dimakan untuk 3 orang kemudian makanan itu bisa dimakan untuk empat orang, lima oramg, enam orang, sepuluh orang, dua belas orang, dan bahkan lebih banyak lagi. Selain itu, makanan tersebut ketika dimakan satu suapan saja, maka di bawah makanan itu akan tumbuh makanan lagi seperti keadaan semula, dan bahkan lebih banyak dari sebelumnya sampai tiga kali lipatnya. Sehingga makanan yang awalnya hanya bisa dimakan untuk tiga orang itu akhirnya bisa dimakan untuk orang banyak.
Sedangkan karomah adalah sifat-sifat dan tanda-tanda khusus yang dimiliki oleh para kekasih (wali) Allah, serta derajat khusus yang membuat para syuhada’ dan para nabi menginginkannya[3]. Menurut Amin Al-Kurdi dalam kitab Tanwir Al-Qulub, karamah adalah sesuatu yang tidak sesuai adat yang tidak disertai pengakuan sebagai nabi, serta diberikan kepada seorang hamba yang shaleh yang senantiasa tetap menjalankan syari’at nabi, dan keyakinan yang benar[4].

E.  Penjelasan Hadits
1.    Pendukung dan Penolak Karamah
Karamah merupakan sesuatu yang luar biasa atau kejadian yang diluar adat. Namun orang yang memiliki karamah itu masih tidak selamat dari ujian Allah. Mereka mungkin terjerumus ke dalam lembah syirik yaitu dosa yang paling besar, kalau tidak berhati-hati dan tidak mengembalikan kejadian karamah itu kepada Allah SWT. Kadang-kadang mereka beraggapan bahwa karamah itu hak mereka sendiri, lalu berbuat sewenang-wenang. Hati mereka telah dipaut setan, karena timbul rasa kebanggaan, sehingga menelurkan nafsu kekeliruan. Inilah satu ujian yang besar bagi para ahli karamah itu, yang ternyata mereka kehilangan kesabaran, sampai sanggup membocorkan rahasia karunia Allah itu, karena mungkin terpengaruh oleh pujian atau sanjungan. Dan akhirnya mereka menjadi berdosa.
Sebenarnya kuasa luar biasa mereka adalah ujian kepada mereka. Sebab apabila kita menyangka kalau karamah itu milik kita, maka hal tersebut termasuk syirik dan berdosa. Selain itu, karamah adalah milik Allah, sehingga apabila kita berhenti di maqam yang ada karamahnya itu saja, maka kita akan rugi. Padahal masih ada lagi maqam-maqam lain yang lebih baik nilainya dan itu di sisi Allah, selain dari maqam karamah tersebut. Hasan Al-Bashri, seorang sufi besar pernah berkata:
Bahwa seseorang itu akan berjaya menghampiri Allah melalui takut kepada-Nya”.
Beliau ‘takut’ mengatasi ‘harap’ karena beliau tahu bahaya penipuan oleh tabiat atau sifat semula seorang manusia. Penipuan ini menyimpangkan si Salik dari jalan yang benar tanpa diketahui dan disadari oleh si Salik itu sendiri. Beliau berkata lagi[5]:
“Bahwa orang yang sehat selalu takut sakit dan harapannya kurang, tetapi orang yang memang sakit tidak lagi takut kepada sakit, maka harapan untuk mendapatkan kesehatan bertambah memuncak”.
Bahkan karamah yang tidak berdasar pada ilmu yang benar justru akan menjadikannya sebagai sumber kehinaan bagi orang yang memilikinya. Tidak sedikit orang yang merasa dirinya memiliki karamah menjelma menjadi monster yang menakutkan. Hal itu terjadi karena orang yang bersangkutan tidak memiliki ilmu yang memadai. Orang yang berilmu dan memiliki karamah akan menunduk dan tidak merasa memiliki karamah sebagai bentuk dari kerendahan hatinya.
Ilmulah yang akan berbicara apakah seseorang layak disebut memiliki karamah apa tidak. Dan ilmu itu pula merupakan kategori sah bagi hal-hal tertentu untuk disebut sebagai karamah, karenah ilmu itu sendiri sejatinya adalah karamah. Oleh karena itu, sulit sekali untuk meyakinkan bahwa pengertian ilmu sebagai karamah, atau pengertian kewalian sebagai aktivitas intelektual yang luar biasa. 
Dalam sejarah pemikiran Islam, pemahaman tentang kewalian dan karamah sudah sering diperdebatkan dan lebih sering dikaitkan dengan kemampuan supra-natural seseorang. Di luar itu, sudah banyak orang yang menawarkan pandangan yang berbeda-beda tentang konsep kewalian dan karamah dan selalu terkait dengan definisi, fungsi, peran, kedudukan, serta tingkatan-tingkatannya.
Menurut Ibnu Atha’illah Al-Iskandari dalam kitabnya Lathaif Al-Minan, ia menegaskan bahwa kriteria penting bagi kewalian adalah ma’rifat, ilmu tentang diri dan Tuhan. Dalam pandangannya, wilayah kewalian adalah wilayah ilmu, sebagaimana wilayah hakikat adalah kashf. Dengan ilmu seseorang dapat membedakan mana yang benar dan mana yang slah, dan dengan kashf, ia dapat melihat esensi dari kebenaran dan kesalahan, kebaikan dan keburukan[6].
Sedangkan menurut Abu Abdallah A-Salimi, wali adalah orang yang dapat dikenali karena bicara yang elok, elok, tingkah laku yang sopan-sopan, dan merendahkan diri, murah hati, memperlihatkan sedikit saja pertentangan, dan menerima permintaan maaf dari siapa saja yang meminta maaf kepadanya, dan halus budi terhadap segala ciptaan yang baik maupun yang buruk[7].
2.    Perbedaan Karomah, Mu’jizat, Ma’unah dan Sihir
Karomah adalah sesuatu yang tidak sesuai dengan kebiasaan (adat) pada umumnya, yang hanya dimiliki oleh seorang wali (kekasih) Allah, tanpa disertai adanya pengakuan sebagai nabi. Wali (kekasih) Allah adalah seseorang yang ma’rifat kepada Allah dan sifat-sifat-Nya, dan senantiasa taat dan menjauhi segala kemaksiatan dan perkara yang buru. Selain itu, wali senantiasa berpaling dari kenikmatan dan keinginan duniawi. Bahkan seorang wali senantiasa mengakui risalah para Rasul dan mengikuti segala perintahnya[8].
Sedangkan Mu’jizat adalah sesuatu yang tidak sesuai dengan kebiasaan (adat) pada umumnya, yang hanya dimiliki oeleh seorang nabi, serta melemahkan terhadap orang-orang yang mengingkarinya. Mu’jizat merupakan salah satu tanda yang membenarkan terhadap risalah yang dibawa seorang nabi.  Sebab apabila seorang nabi tidak memiliki mu’jizat, maka risalah yang disampaikan tidak akan didengarkan dan diterima umatnya[9].
Ma’unah adalah pertolongan Allah kepada hamba-hamba yang dikehendaki-Nya. Sehingga ma’unah bisa diperoleh semua hamba-hamba Allah, baik yang taat maupun yang tidak. Meskipun demikian, ma’unah sering kali diberikan kepada hamba-hamba yang taat pada perintah dan menjauhi larangan-Nya.
Sementara sihir adalah sesuatu yang tidak sesuai dengan kebiasaan (adat) pada umumnya, akan tetapi memungkinkan tidak sesuai dengan kenyataan (penglihatan). Selain itu, sihir terbentuk atas beberapa sebab yang apabila seseorang tersebut mengerti dan melaksanakan sebab tersebut, maka sesuatu itu akan terjadi. Sihir pada hakikatnya sesuai dengan kebiasaan (adat), akan tetapi penglihatan kita bisa menjangkaunya. Bahkan sihir muncul dari adanya perintah untuk keburukan yang bertujuan untuk melakukan kehancuran[10].
Perbedaan antara karamah, mu’jizat dan sihir adalah[11]:
1.      Sihir diberikan kepada orang-orang fasiq, zindiq, dan kafir yang tidak mengikuti syari’at.
2.      Karamah diberikan kepada seseorang yang sempurna dalam menjalankan syari’at.
3.      Mu’jizat diberikan kepada seseorang yang mengaku menjadi nabi. Bahkan seorang Rasul wajib untuk menampakkan mu’jizat ketika umatnya tidak mau mengakui kenabiannya.
4.      Ma’unah di berikan oleh Allah kepada siapa saja yang di kehendaki-Nya.
3.      Karomah itu Tujuan Salik atau Anugerah Allah
Kewalian seseorang tidak bisa dilihat dari karamahnya, jika yang dimaksud karamah adalah kebiasaan yang luar biasa. Sebab karamah bukan syarat dari kewalian, dan karamah muncul hanya sebagai petunjuk atas kebenaran ibadahnya, kedudukan luhurnya, dan bukan karena kewaliannya. Kewalian seseorang diukur dari kualitas keilmuannya, bukan karena karamahnya[12].
Sementara menurut A. Mustofa dalam bukunya Akhlak Tasawuf, menjelaskan bahwa karamah dimiliki oleh seorang wali setelah mencapai tingkat kesucian yang tinggi setelah melalui suluk. Sehingga wali tersebut mempunyai kelebihan-kelebihan tertentu sebagai bukti dari kewaliannya[13].
Karamah bagi para wali diperbolehkan. Dalil kebolehannya didasarkan pada alasan bahwa karamah merupakan kejadian yang bersifat asumtif di dalam rasio, yang hasilnya tidak akan membawa implikasi kehilangan dasar. Hal itu wajib karena sifat Allah berkuasa untuk mewujudkannya. Apabila keberadaan wajib itu disandarkan pada kekuasaan Allah, naka tidak satupun yang mampu menghalangi kebolehan diperolehnya karamah.
Karamah merupakan indikasi kebenaran orang. Indikasi ini selalu nampak dalam hal ikhwalnya. Barangsiapa yang tidak benar, maka realitas sesama karamah tidak diperbolehkan. Argumentasi yang memberikan petunjuk bahwa Allah memberikan definisi (batasan) kepada kita, sehingga kita dapat membedakan antara yang benar dalam hal ihwalnya dan orang yang gagal dalam metodologi pengambilan argumen merupakan hal yang bersifat asumtif. Hal itu tidak akan terwujud kecuali dengan keistemawaan wali yang tidak mungkin diperoleh orang yang mengaku-aku.
Karamah merupakan aktivitas yang bertolak belakang dengan adat di saat-saat pemaksaan dan merupakan realitas sifat kewalian tentang makna pembenaran dalam situasi (keadaan)-nya[14]
Oleh karena itu, para wali ketika karamahnya muncul akan menambah kehinaan dan kerendahan seorang wali di sisi Allah, khusu’nya, ketenangannya, kesucian hatinya, mengakui kebenaran Allah, semakin kuat mujahadahnya, dan rasa syukur atas nikmat yang diberikan oleh Allah[15].
Karamah menurut kebanyakan orang dianggap sebagai bentuk terjaganya hati, kecuali ketika karamah itu digunakan untuk menolong agama atau untuk kebaikan. karena karamah diberikan Allah kepada para wali Allah yang taat dan menjauhi maksiat serta berpaling dari keinginan duniawi[16].  
Sementara menurut Junaid Al-Baghdadi, sesungguhnya Allah itu dekat di hati, dan ketiadaan Allah dalam diri manusia itu berbeda-beda. Allah memuliakan seorang hamba dengan tiga karamah yaitu[17]:
1.      Seorang hamba selalu ingat kepada Allah. Ia senantiasa ingat Allah dalam hati dan lisannya.
2.      Seorang hamba disebut bersama Allah. Sehinga ia di sebuat “Abdullah” (hamba Allah), kekasih (wali Allah), selir Allah, dan orang pilihan Allah.
3.      Seorang hamba disebut berada di sisi Allah. Hal ini merupakan puncak karamah, puncak keutamaan dan puncak kenikmatan.

F.   Kesimpulan

Karamah merupakan suatu kelebihan yang tidat sesuai ndengan adat (kebiasaan) yang diberikan oleh Allah kepada wali (kekasih)-Nya. Seorang wali Allah mendapatkan karamah melaluhi ketaatan dan perjalanan spiritual yang dilaluinya.
Sedangkan mu’jizat adalah sesuatu yang tidak sesuai adat (kebiasaan) yang dimiliki oleh para nabi untuk melemahkan umatnya yang tidak mau taat. Sementara Ma’unah merupakan pertolongan Allah yang diberikan kepada makhluk yang dikehendaki-Nya. Sedangkan sihir adalah sesuatu yang tidak sesuai dengan adat (kebiasaan) yang tidak sesuai dengan penglihatan dan muncul karena ada beberapa sebab yang diketahui.
Oleh karena itu, perbedaan antara karamah, mu’jizat, ma’unah, dan sihir terletak pada orang yang memilikinya dan bagaimana cara memperolehnya. Dengan demikian, setiap orang terkadang bisa memiliki atau bahkan memunculkan sesuatu yang tidak sesuai dengan adat (kebiasaan).
DAFTAR PUSTAKA
A. Mustofa, 2014, Akhlak Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia.
Al-Asqalani, 1995, Tahdzibu At-Tahdzib, Indonesia: Daar Al-Fikr, Juz. II.
Al-Iskandari, t.t., Sarah Al-Hikam, Kediri: Al-Ma’had Al-Islami As-Salafi.
Al-Jaruni t. t., Fadloilu Al-Aulia Wakaramatuhum, Kediri: Hidayah At-Thulab.
Al-Jazaairiy, t.t., Al-Jawahir Al-Kalamiyah, Surabaya: Al-Miftah.
Al-Kalabadi, t.t., At-Ta’aruf Li Madzhab Ahlu Ash-Shuffah, Sarang: Maktabah Ats-Tsaqafah Ad-Diniyah.
 Al-Kurdi, 2006, Tanwir Al-Qulub, Indonesia: Al-Haramain.
Damono, Sapardi Djoko, 2000Terjemah,  Dimensi Mistik dalam Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus.
Faruq, Umar, Terjemah Risalah Qusyairiyah, Jakarta: Pustaka Amani, 2007.
Majid, Abdul, 2010, Terjemah Sirr Al-Asrar Fi Ma Yahtaj  Ilayh Al-Abrar, Yogyakarta: Diva Press.
Purna Siswa 2012, 2012, Kisah Para Pembela Sang Pembawa Risalah, Kediri: Lirboyo Press.
Riyadi, Abdul Kadir, 2014Antropologi Tasawuf, Jakarta: LP3ES.







[1] Al-Asqalani, Tahdzibu At-Tahdzib, (Indonesia: Daar Al-Fikr, 1995), Juz. II,  hlm. 59.
[2] Purna Siswa 2012, Kisah Para Pembela Sang Pembawa Risalah, (Kediri:Lirboyo Press, 2012), 152-153.
[3] Ahmad Ibn Asymuni Al-Jaruni, Fadloilu Al-Aulia Wakaramatuhum, (Kediri: Hidayah At-Thulab, t. t.), hlm. 2.
[4] Amin AL-Kurdi, Tanwir Al-Qulub, (Indonesia: Al-Haramain, 2006), hlm. 410.
[5] Abdul Majid, Terjemah Sirr Al-Asrar Fi Ma Yahtaj  Ilayh Al-Abrar, (Yogyakarta: Diva Press, 2010), hlm. 293-294.
[6] Abdul Kadir Riyadi, Antropologi Tasawuf, (Jakarta: LP3ES, 2014), hlm. 46-47.
[7] Sapardi Djoko Damono, Terjemah,  Dimensi Mistik dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), hlm.253.
[8] Thahir Ibnu Shalih Al-Al-Jazaairiy, Al-Jawahir Al-Kalamiyah, (Surabaya: Al-Miftah, t.t.), 27-28.
[9] Thahir Ibnu Shalih Al-Al-Jazaairiy, Ibid, hlm. 24.
[10] Thahir Ibnu Shalih Al-Al-Jazaairiy, Ibid, hlm. 26-27.
[11] Amin Al-Kurdi, Opcit, hlm. 413-414.
[12] Opcit, hlm. 46.
[13] A. Mustofa, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2014), hlm. 288.
[14] Umar Faruq, Terjemah Risalah Qusyairiyah, (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), hlm. 525.  
[15] Al-Kalabadi, At-Ta’aruf Li Madzhab Ahlu Ash-Shuffah, (Sarang: Maktabah Ats-Tsaqafah Ad-Diniyah, t.t.), hlm. 73.
[16] Amin Al-Kurdi, Opcit, hlm. 414.   
[17] Athoillah Al-Iskandari, Sarah Al-Hikam, (Kediri: Al-Ma’had Al-Islami As-Salafi, t.t.), hlm. 76-77.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar