KAROMAH
A.
Hadits
عن
عبد الرحمن بن أبو بكر, أنّ أصحاب الصفة كانوا فقراء, وأن النبي صلى الله عليه
وسلم قال : من كان عنده طعام اثنتين, فليذهب بثالث, وان أربع فخامس أو سادس, وأن
أبا بكر جاء بثلا ثة, فانطلق النبي صلى الله عليه وسلم بِعَشَرَةٍ, قال فهو أنا
وأبي وأمي, فلا أدري, قال وامراتي وخادم بيننا وبين بيت أبي بكر, وانّ أبي بكر
تعَشَّى عند النبي صلى الله عليه وسلم ثُمَّ لبِثَ حيثُ صُلِيتْ العِشَاءُ, ثم رجع
فلبث حتى تعشَّى النبي صلى الله عليه وسلم فجاء بعد مضى من الليل ما شاء الله,
قالت له امراته, وما حبسك عن أضيافك أو قالت ضيفِك, قال أو ما عشَّيتِهِم, قالت
أبَوا حتى تجئ, قد عُرِضُوا فأبَوا, قال فذهبْتُ أنا فاختبأتُ,فقال يا غُنْثَرْ,
فجَدَّعَ وسبَّ, قال كُلُوا لا هنِيْئًا, فقال واللهِ لا أطْعمُهُ أبداً ويمُ
اللهِ ماكُنَّا نأْخُذُ من لقْمَةٍ الَّا ربَا من أسفلِهَا أكثر منها, قال يعني
حتى شَبِعُوا وضارت أكثر ممّا كانت قبل ذلك, فنظر اليها أبو تكر فاذا هي كما هي أو
أكثر منها فقال لامراته, يا أخت بني فراس, ما هذا ؟ قالت: لا وقُرَّةِ عَينِي,
لهِي الأن أكثرُ منها قبل ذلك بثلا ثة مرات, فأكل منها أبو بكر وقال: انما كان ذلك
من الشيطان يعني يمينه, ثم أكل منها لُقمة, ثم حملها الى النبي صلى الله عليه وسلم
فأصبحتْ عنده, وكا ن بيننا وبين قومٍ عقْدٌ فمضى الأجلُ ففرَّقْنا اثنا عشر رجلا
مع كلّش رجل منهم أناسٌ الله أعلم كم مع كل رجل, فأكلوا منها أجمعون أو كما قال
" (رواه البخاري)
Di riwayatkan dari Abdurrahman Ibnu Abu Bakar, Sesungguhnya
penghuni Suffah adalah orang-orang faqir
|
عن عبد الرحمن
بن أبو بكر, أنّ أصحاب الصفة كانوا فقراء
|
Nabi berkata: Barangsiapa yang dissinya ada makanan untuk dua
orang, hendaknya ia datang dengan tiga orang, dan apabila makanan itu untuk
empat orang, maka datanglah dengan lima orang atau enam orang
|
وأن النبي
صلى الله عليه وسلم قال : من كان عنده طعام اثنتين, فليذهب بثالث, وان أربع
فخامس أو سادس
|
Dan sesungguhnya Abu Bakar datang dengan tiga orang, kemudian
Nabi datang dengan sepuluh orang
|
وأن أبا بكر
جاء بثلا ثة, فانطلق النبي صلى الله عليه وسلم بِعَشَرَةٍ
|
Abdurahman berkata: makanan itu untuk diriku, ayahku dan ibuku,
kemudian setelahnya aku tidak mengetahui
|
قال فهو أنا
وأبي وأمي, فلا أدري
|
Rawi berkata: makanan itu untuk istriku, pembantuku dan keluarga
Abu Bakar
|
قال وامراتي
وخادم بيننا وبين بيت أبي بكر
|
Dan sesungguhnya Abu Bakar malam di sisi Nabi, kemudian
istirahat, sampai datangnya shalat Isya’
|
وانّ أبي
بكر تعَشَّى عند النبي صلى الله عليه وسلم ثُمَّ لبِثَ حيثُ صُلِيتْ العِشَاءُ
|
Kemudian Abu Bakar kembali, istirahat, sampai Nabi selesai makan
malam, sampai datangnya karamah dari Allah pada waktu malam
|
ثم رجع فلبث
حتى تعشَّى النبي صلى الله عليه وسلم فجاء بعد مضى من الليل ما شاء الله
|
Istri Abu Bakar berkata kepada Abu Bakar: apa yang menghalangi
kamu untuk menemui tamu kamu
|
قالت له
امراته, وما حبسك عن أضيافك أو قالت ضيفِك
|
Abu Bakar bertanya: apakah engkau tidak memberi makan malam
mereka?
|
قال أو ما
عشَّيتِهِم
|
istrinya menjawab: mereka tidak mau makan sampai engkau datang,
dan sesungguhnya mereka sudah ditawari, kemudian mereka tidak mau
|
قالت أبَوا
حتى تجئ, قد عُرِضُوا فأبَوا
|
Abdurrahman berkata: saya pergi, kemudian bersembunyi
|
قال فذهبْتُ
أنا فاختبأتُ
|
dasar orang tidak berguna, kemudian Abu Bakar marah dan
memakinya.
|
فقال يا
غُنْثَرْ, فجَدَّعَ وسبَّ
|
Abu Bakar berkata: Kalian semua makanlah, jangan merasa tidak
enak begitu
|
قال كُلُوا
لا هنِيْئًا
|
Abdurrahman bekata: demi Allah, saya tidak akan memakannya, dan
demi Allah apabila aku memakan satu suapan yang aku ambil, maka makanan itu
akan tumbuh dibawahnya lebih banyak
|
فقال واللهِ
لا أطْعمُهُ أبداً ويمُ اللهِ ماكُنَّا نأْخُذُ من لقْمَةٍ الَّا ربَا من
أسفلِهَا أكثر منها
|
Abdurrahman berkata: sampai mereka kenyang dan makanan itu
bertambah lebih banyak dari sebelumnya
|
قال يعني
حتى شَبِعُوا وضارت أكثر ممّا كانت قبل ذلك
|
Abu Bakar melihat makanan itu seperti semula atau bahkan lebih
banyak dari sebelumnya
|
فنظر اليها
أبو تكر فاذا هي كما هي أو أكثر منها
|
Abu Bakar bertanya kepada istrinya (Yaa Ukhta Baniy Firaas), apa
ini?
|
فقال
لامراته, يا أخت بني فراس, ما هذا
|
istrinya menjawab: saya
heran, makanan ini bertambah lebih banyak dari sebelumnya, bahkan tiga kali
lipatnya
|
قالت: لا
وقُرَّةِ عَينِي, لهِي الأن أكثرُ منها قبل ذلك بثلا ثة مرات
|
Kemudian Abu Bakar memakan makanan itu
|
فأكل منها
أبو بكر
|
dan berkata: jangan berlebihan seperti itu, karena hal itu(ucapan
istrinya) berasal dari syaitan
|
وقال: انما
كان ذلك من الشيطان يعني يمينه
|
Kemudian Abu Bakar memakannya satu suapan
|
ثم أكل منها
لُقمة
|
dan sisanya dibawa kepada Nabi, sampai makanan itu berada
disisinya
|
ثم حملها
الى النبي صلى الله عليه وسلم فأصبحتْ عنده
|
Kemudian antara Nabi, saya dan kaum ada perjanjian (akad) sampai
datang waktunya
|
وكا ن بيننا
وبين قومٍ عقْدٌ فمضى الأجلُ
|
Kemudian kita membaginya menjadi dua belas orang laki-laki,
dimana tiap-tiap bagian terdiri dari beberapa laki-laki
|
ففرَّقْنا
اثنا عشر رجلا مع كلّش رجل منهم أناسٌ
|
Allah lebih mengetahui berapa jumlah laki-laki tiap kelompoknya
|
الله أعلم
كم مع كل رجل
|
Kemudian mereka semua memakannya
|
فأكلوا منها
أجمعون
|
seperti yang Abu Bakar katakan
|
أو كما قال
|
B.
Terjemah Hadits
“Di riwayatkan dari Abdurrahman Ibnu Abu Bakar, Sesungguhnya
penghuni Suffah adalah orang-orang faqir, Nabi berkata: Barangsiapa yang
dissinya ada makanan untuk dua orang, hendaknya ia datang dengan tiga orang,
dan apabila makanan itu untuk empat orang, maka datanglah dengan lima orang
atau enam orang. Dan sesungguhnya Abu Bakar datang dengan tiga orang, kemudian
Nabi datang dengan sepuluh orang. Abdurahman berkata: makanan itu untuk diriku,
ayahku dan ibuku, kemudian setelahnya aku tidak mengetahui. Rawi berkata:
makanan itu untuk istriku, pembantuku dan keluarga Abu Bakar. Dan sesungguhnya
Abu Bakar malam di sisi Nabi, kemudian istirahat, sampai datangnya shalat
Isya’. Kemudian Abu Bakar kembali, istirahat, sampai Nabi selesai makan malam,
sampai datangnya karamah dari Allah pada waktu malam. Istri Abu Bakar berkata
kepada Abu Bakar: apa yang menghalangi kamu untuk menemui tamu kamu. Abu Bakar
bertanya: apakah engkau tidak memberi makan malam mereka?, istrinya menjawab:
mereka tidak mau makan sampai engkau datang, dan sesungguhnya mereka sudah
ditawari, kemudian mereka tidak mau. Abdurrahman berkata: saya pergi, kemudian
bersembunyi. Abu Bakar berkata: dasar orang tidak berguna, kemudian Abu Bakar
marah dan memakinya. Abu Bakar berkata: Kalian semua makanlah, jangan merasa
tidak enak begitu. Abdurrahman bekata: demi Allah, saya tidak akan memakannya,
dan demi Allah apabila aku memakan satu suapan yang aku ambil, maka makanan itu
akan tumbuh dibawahnya lebih banyak. Abdurrahman berkata: sampai mereka kenyang
dan makanan itu bertambah lebih banyak dari sebelumnya. Abu Bakar melihat
makanan itu seperti semula atau bahkan lebih banyak dari sebelumnya. Abu Bakar
bertanya kepada istrinya (Yaa Ukhta Baniy Firaas), apa ini?, istrinya menjawab:
saya heran, makanan ini bertambah lebih banyak dari sebelumnya, bahkan tiga
kali lipatnya. Kemudian Abu Bakar memakan makanan itu, dan berkata: jangan
berlebihan seperti itu, karena hal itu(ucapan istrinya) berasal dari syaitan.
Kemudian Abu Bakar memakannya satu suapan dan sisanya dibawa kepada Nabi,
sampai makanan itu berada disisinya. Kemudian antara Nabi, saya dan kaum ada
perjanjian (akad) sampai datang waktunya. Kemudian kita membaginya menjadi dua
belas orang laki-laki, dimana tiap-tiap bagian terdiri dari beberapa laki-laki.
Allah lebih mengetahui berapa jumlah laki-laki tiap kelompoknya. Kemudian
mereka semua memakannya seperti yang Abu Bakar katakan.
C. Rawi Hadits
Abdurrahman
adalah saudara kandung dari ‘Aisyah istri Rasulullah SAW. Ia masuk Islam sebelum
peristiwa fath al-Makkah (dibukanya kota Makkah). Ia merupakan anak tertua dari
Abu Bakar. Sebelum Islam namanya adalah Abdu Al-Ka’bah atau Abdu Al-‘Uzza,
kemudian Rasulullah menganti namanya menjadi Abdurrahman[1].
Ia
merupakan lukisan nyata tentang kepribadian Arab dengan segala kedalaman dan
kejauhannya. Sementara ayahnya adalah orang yang pertama kali beriman, dan
memiliki corak keimanan yang tiada taranya terhadap Allah dan Rasul-Nya, serta
orang kedua ketika mereka berada di gua Hira.
Ia
merupakan sosok yang keras laksana batu karang menyatu menjadi satu, senyawa
dengan agama nenek moyangnya dan berhala Quraisy. Diwaktu kafir, ia sangat
jantan, sehingga ketika memeluk Islam pun tetap jantan. Sebab tidak ada sesuatu
harapan dan ketakutan yang membuat ia masuk Islam. Ia masuk Islam karena
hidayah dan taufiq dari Allah yang menjadikannya mendapat keyakinan dan
kebenaran tentang Islam. Setelah masuk Islam ia berusaha untuk menyusul
ketinggalan-ketinggalannya selama ini, baik di jalan Allah, maupun di jalan
Rasul dan orang-orang mukmin lainnya[2].
D. Isi Hadits
Hadits tersebut menjelaskan tentang karomah sahabat, khusunya
karomah sahabat Abu Bakar. Karomahnya berupa makanan yang awalnya hanya bisa
dimakan untuk 3 orang kemudian makanan itu bisa dimakan untuk empat orang, lima
oramg, enam orang, sepuluh orang, dua belas orang, dan bahkan lebih banyak
lagi. Selain itu, makanan tersebut ketika dimakan satu suapan saja, maka di
bawah makanan itu akan tumbuh makanan lagi seperti keadaan semula, dan bahkan
lebih banyak dari sebelumnya sampai tiga kali lipatnya. Sehingga makanan yang
awalnya hanya bisa dimakan untuk tiga orang itu akhirnya bisa dimakan untuk
orang banyak.
Sedangkan karomah adalah sifat-sifat dan tanda-tanda khusus yang
dimiliki oleh para kekasih (wali) Allah, serta derajat khusus yang membuat para
syuhada’ dan para nabi menginginkannya[3]. Menurut
Amin Al-Kurdi dalam kitab Tanwir Al-Qulub, karamah adalah sesuatu yang
tidak sesuai adat yang tidak disertai pengakuan sebagai nabi, serta diberikan
kepada seorang hamba yang shaleh yang senantiasa tetap menjalankan syari’at
nabi, dan keyakinan yang benar[4].
E. Penjelasan Hadits
1.
Pendukung dan Penolak Karamah
Karamah merupakan sesuatu yang luar biasa atau kejadian yang diluar
adat. Namun orang yang memiliki karamah itu masih tidak selamat dari ujian
Allah. Mereka mungkin terjerumus ke dalam lembah syirik yaitu dosa yang paling
besar, kalau tidak berhati-hati dan tidak mengembalikan kejadian karamah itu
kepada Allah SWT. Kadang-kadang mereka beraggapan bahwa karamah itu hak mereka
sendiri, lalu berbuat sewenang-wenang. Hati mereka telah dipaut setan, karena
timbul rasa kebanggaan, sehingga menelurkan nafsu kekeliruan. Inilah satu ujian
yang besar bagi para ahli karamah itu, yang ternyata mereka kehilangan
kesabaran, sampai sanggup membocorkan rahasia karunia Allah itu, karena mungkin
terpengaruh oleh pujian atau sanjungan. Dan akhirnya mereka menjadi berdosa.
Sebenarnya kuasa luar biasa mereka adalah ujian kepada mereka.
Sebab apabila kita menyangka kalau karamah itu milik kita, maka hal tersebut
termasuk syirik dan berdosa. Selain itu, karamah adalah milik Allah, sehingga
apabila kita berhenti di maqam yang ada karamahnya itu saja, maka kita
akan rugi. Padahal masih ada lagi maqam-maqam lain yang lebih baik
nilainya dan itu di sisi Allah, selain dari maqam karamah tersebut.
Hasan Al-Bashri, seorang sufi besar pernah berkata:
“Bahwa seseorang itu akan berjaya menghampiri Allah melalui
takut kepada-Nya”.
Beliau ‘takut’ mengatasi ‘harap’ karena beliau tahu bahaya penipuan
oleh tabiat atau sifat semula seorang manusia. Penipuan ini menyimpangkan si Salik
dari jalan yang benar tanpa diketahui dan disadari oleh si Salik itu
sendiri. Beliau berkata lagi[5]:
“Bahwa orang yang sehat selalu takut sakit dan harapannya kurang,
tetapi orang yang memang sakit tidak lagi takut kepada sakit, maka harapan
untuk mendapatkan kesehatan bertambah memuncak”.
Bahkan karamah
yang tidak berdasar pada ilmu yang benar justru akan menjadikannya sebagai
sumber kehinaan bagi orang yang memilikinya. Tidak sedikit orang yang merasa
dirinya memiliki karamah menjelma menjadi monster yang menakutkan. Hal itu
terjadi karena orang yang bersangkutan tidak memiliki ilmu yang memadai. Orang
yang berilmu dan memiliki karamah akan menunduk dan tidak merasa memiliki
karamah sebagai bentuk dari kerendahan hatinya.
Ilmulah yang
akan berbicara apakah seseorang layak disebut memiliki karamah apa tidak. Dan
ilmu itu pula merupakan kategori sah bagi hal-hal tertentu untuk disebut
sebagai karamah, karenah ilmu itu sendiri sejatinya adalah karamah. Oleh karena
itu, sulit sekali untuk meyakinkan bahwa pengertian ilmu sebagai karamah, atau
pengertian kewalian sebagai aktivitas intelektual yang luar biasa.
Dalam sejarah
pemikiran Islam, pemahaman tentang kewalian dan karamah sudah sering
diperdebatkan dan lebih sering dikaitkan dengan kemampuan supra-natural
seseorang. Di luar itu, sudah banyak orang yang menawarkan pandangan yang
berbeda-beda tentang konsep kewalian dan karamah dan selalu terkait dengan
definisi, fungsi, peran, kedudukan, serta tingkatan-tingkatannya.
Menurut Ibnu
Atha’illah Al-Iskandari dalam kitabnya Lathaif Al-Minan, ia menegaskan
bahwa kriteria penting bagi kewalian adalah ma’rifat, ilmu tentang diri dan
Tuhan. Dalam pandangannya, wilayah kewalian adalah wilayah ilmu, sebagaimana
wilayah hakikat adalah kashf. Dengan ilmu seseorang dapat membedakan
mana yang benar dan mana yang slah, dan dengan kashf, ia dapat melihat
esensi dari kebenaran dan kesalahan, kebaikan dan keburukan[6].
Sedangkan
menurut Abu Abdallah A-Salimi, wali adalah orang yang dapat dikenali karena
bicara yang elok, elok, tingkah laku yang sopan-sopan, dan merendahkan diri,
murah hati, memperlihatkan sedikit saja pertentangan, dan menerima permintaan
maaf dari siapa saja yang meminta maaf kepadanya, dan halus budi terhadap
segala ciptaan yang baik maupun yang buruk[7].
2.
Perbedaan Karomah, Mu’jizat, Ma’unah dan Sihir
Karomah adalah sesuatu yang tidak sesuai dengan kebiasaan (adat) pada
umumnya, yang hanya dimiliki oleh seorang wali (kekasih) Allah, tanpa disertai
adanya pengakuan sebagai nabi. Wali (kekasih) Allah adalah seseorang yang
ma’rifat kepada Allah dan sifat-sifat-Nya, dan senantiasa taat dan menjauhi
segala kemaksiatan dan perkara yang buru. Selain itu, wali senantiasa berpaling
dari kenikmatan dan keinginan duniawi. Bahkan seorang wali senantiasa mengakui
risalah para Rasul dan mengikuti segala perintahnya[8].
Sedangkan Mu’jizat adalah sesuatu yang tidak sesuai dengan kebiasaan
(adat) pada umumnya, yang hanya dimiliki oeleh seorang nabi, serta melemahkan
terhadap orang-orang yang mengingkarinya. Mu’jizat merupakan salah satu tanda
yang membenarkan terhadap risalah yang dibawa seorang nabi. Sebab apabila seorang nabi tidak memiliki
mu’jizat, maka risalah yang disampaikan tidak akan didengarkan dan diterima
umatnya[9].
Ma’unah adalah pertolongan Allah kepada hamba-hamba yang
dikehendaki-Nya. Sehingga ma’unah bisa diperoleh semua hamba-hamba Allah, baik
yang taat maupun yang tidak. Meskipun demikian, ma’unah sering kali diberikan
kepada hamba-hamba yang taat pada perintah dan menjauhi larangan-Nya.
Sementara sihir adalah sesuatu yang tidak sesuai dengan kebiasaan
(adat) pada umumnya, akan tetapi memungkinkan tidak sesuai dengan kenyataan
(penglihatan). Selain itu, sihir terbentuk atas beberapa sebab yang apabila
seseorang tersebut mengerti dan melaksanakan sebab tersebut, maka sesuatu itu
akan terjadi. Sihir pada hakikatnya sesuai dengan kebiasaan (adat), akan tetapi
penglihatan kita bisa menjangkaunya. Bahkan sihir muncul dari adanya perintah
untuk keburukan yang bertujuan untuk melakukan kehancuran[10].
Perbedaan antara karamah, mu’jizat dan sihir adalah[11]:
1.
Sihir
diberikan kepada orang-orang fasiq, zindiq, dan kafir yang tidak mengikuti syari’at.
2.
Karamah
diberikan kepada seseorang yang sempurna dalam menjalankan syari’at.
3.
Mu’jizat
diberikan kepada seseorang yang mengaku menjadi nabi. Bahkan seorang Rasul
wajib untuk menampakkan mu’jizat ketika umatnya tidak mau mengakui kenabiannya.
4.
Ma’unah
di berikan oleh Allah kepada siapa saja yang di kehendaki-Nya.
3.
Karomah itu Tujuan Salik atau Anugerah Allah
Kewalian
seseorang tidak bisa dilihat dari karamahnya, jika yang dimaksud karamah adalah
kebiasaan yang luar biasa. Sebab karamah bukan syarat dari kewalian, dan
karamah muncul hanya sebagai petunjuk atas kebenaran ibadahnya, kedudukan
luhurnya, dan bukan karena kewaliannya. Kewalian seseorang diukur dari kualitas
keilmuannya, bukan karena karamahnya[12].
Sementara
menurut A. Mustofa dalam bukunya Akhlak Tasawuf, menjelaskan bahwa
karamah dimiliki oleh seorang wali setelah mencapai tingkat kesucian yang
tinggi setelah melalui suluk. Sehingga wali tersebut mempunyai
kelebihan-kelebihan tertentu sebagai bukti dari kewaliannya[13].
Karamah bagi
para wali diperbolehkan. Dalil kebolehannya didasarkan pada alasan bahwa
karamah merupakan kejadian yang bersifat asumtif di dalam rasio, yang hasilnya
tidak akan membawa implikasi kehilangan dasar. Hal itu wajib karena sifat Allah
berkuasa untuk mewujudkannya. Apabila keberadaan wajib itu disandarkan pada
kekuasaan Allah, naka tidak satupun yang mampu menghalangi kebolehan
diperolehnya karamah.
Karamah
merupakan indikasi kebenaran orang. Indikasi ini selalu nampak dalam hal ikhwalnya.
Barangsiapa yang tidak benar, maka realitas sesama karamah tidak diperbolehkan.
Argumentasi yang memberikan petunjuk bahwa Allah memberikan definisi (batasan)
kepada kita, sehingga kita dapat membedakan antara yang benar dalam hal ihwalnya
dan orang yang gagal dalam metodologi pengambilan argumen merupakan hal yang
bersifat asumtif. Hal itu tidak akan terwujud kecuali dengan keistemawaan wali
yang tidak mungkin diperoleh orang yang mengaku-aku.
Karamah
merupakan aktivitas yang bertolak belakang dengan adat di saat-saat pemaksaan
dan merupakan realitas sifat kewalian tentang makna pembenaran dalam situasi
(keadaan)-nya[14].
Oleh karena
itu, para wali ketika karamahnya muncul akan menambah kehinaan dan kerendahan
seorang wali di sisi Allah, khusu’nya, ketenangannya, kesucian hatinya,
mengakui kebenaran Allah, semakin kuat mujahadahnya, dan rasa syukur atas
nikmat yang diberikan oleh Allah[15].
Karamah menurut
kebanyakan orang dianggap sebagai bentuk terjaganya hati, kecuali ketika
karamah itu digunakan untuk menolong agama atau untuk kebaikan. karena karamah
diberikan Allah kepada para wali Allah yang taat dan menjauhi maksiat serta
berpaling dari keinginan duniawi[16].
Sementara
menurut Junaid Al-Baghdadi, sesungguhnya Allah itu dekat di hati, dan ketiadaan
Allah dalam diri manusia itu berbeda-beda. Allah memuliakan seorang hamba
dengan tiga karamah yaitu[17]:
1.
Seorang
hamba selalu ingat kepada Allah. Ia senantiasa ingat Allah dalam hati dan
lisannya.
2.
Seorang
hamba disebut bersama Allah. Sehinga ia di sebuat “Abdullah” (hamba Allah),
kekasih (wali Allah), selir Allah, dan orang pilihan Allah.
3.
Seorang
hamba disebut berada di sisi Allah. Hal ini merupakan puncak karamah, puncak
keutamaan dan puncak kenikmatan.
F.
Kesimpulan
Karamah
merupakan suatu kelebihan yang tidat sesuai ndengan adat (kebiasaan) yang
diberikan oleh Allah kepada wali (kekasih)-Nya. Seorang wali Allah mendapatkan
karamah melaluhi ketaatan dan perjalanan spiritual yang dilaluinya.
Sedangkan
mu’jizat adalah sesuatu yang tidak sesuai adat (kebiasaan) yang dimiliki oleh
para nabi untuk melemahkan umatnya yang tidak mau taat. Sementara Ma’unah
merupakan pertolongan Allah yang diberikan kepada makhluk yang dikehendaki-Nya.
Sedangkan sihir adalah sesuatu yang tidak sesuai dengan adat (kebiasaan) yang
tidak sesuai dengan penglihatan dan muncul karena ada beberapa sebab yang
diketahui.
Oleh karena
itu, perbedaan antara karamah, mu’jizat, ma’unah, dan sihir terletak pada orang
yang memilikinya dan bagaimana cara memperolehnya. Dengan demikian, setiap
orang terkadang bisa memiliki atau bahkan memunculkan sesuatu yang tidak sesuai
dengan adat (kebiasaan).
DAFTAR PUSTAKA
A. Mustofa, 2014, Akhlak Tasawuf,
Bandung: Pustaka Setia.
Al-Asqalani, 1995, Tahdzibu
At-Tahdzib, Indonesia: Daar Al-Fikr, Juz. II.
Al-Iskandari, t.t., Sarah Al-Hikam, Kediri: Al-Ma’had
Al-Islami As-Salafi.
Al-Jaruni t. t.,
Fadloilu Al-Aulia Wakaramatuhum, Kediri: Hidayah At-Thulab.
Al-Jazaairiy, t.t., Al-Jawahir
Al-Kalamiyah, Surabaya: Al-Miftah.
Al-Kalabadi,
t.t., At-Ta’aruf Li Madzhab Ahlu Ash-Shuffah, Sarang: Maktabah
Ats-Tsaqafah Ad-Diniyah.
Al-Kurdi, 2006, Tanwir Al-Qulub, Indonesia:
Al-Haramain.
Damono, Sapardi
Djoko, 2000Terjemah, Dimensi Mistik
dalam Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus.
Faruq, Umar, Terjemah Risalah
Qusyairiyah, Jakarta: Pustaka Amani, 2007.
Majid, Abdul,
2010, Terjemah Sirr Al-Asrar Fi Ma Yahtaj
Ilayh Al-Abrar, Yogyakarta: Diva Press.
Purna Siswa
2012, 2012, Kisah Para Pembela Sang Pembawa Risalah, Kediri: Lirboyo
Press.
Riyadi, Abdul Kadir, 2014Antropologi
Tasawuf, Jakarta: LP3ES.
[1] Al-Asqalani, Tahdzibu
At-Tahdzib, (Indonesia: Daar Al-Fikr, 1995), Juz. II, hlm. 59.
[2] Purna Siswa
2012, Kisah Para Pembela Sang Pembawa Risalah, (Kediri:Lirboyo Press,
2012), 152-153.
[3] Ahmad Ibn
Asymuni Al-Jaruni, Fadloilu Al-Aulia Wakaramatuhum, (Kediri: Hidayah
At-Thulab, t. t.), hlm. 2.
[4] Amin AL-Kurdi,
Tanwir Al-Qulub, (Indonesia: Al-Haramain, 2006), hlm. 410.
[5] Abdul Majid, Terjemah
Sirr Al-Asrar Fi Ma Yahtaj Ilayh
Al-Abrar, (Yogyakarta: Diva Press, 2010), hlm. 293-294.
[6] Abdul Kadir
Riyadi, Antropologi Tasawuf, (Jakarta: LP3ES, 2014), hlm. 46-47.
[7] Sapardi Djoko
Damono, Terjemah, Dimensi Mistik
dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), hlm.253.
[8] Thahir Ibnu
Shalih Al-Al-Jazaairiy, Al-Jawahir Al-Kalamiyah, (Surabaya: Al-Miftah,
t.t.), 27-28.
[9] Thahir Ibnu
Shalih Al-Al-Jazaairiy, Ibid, hlm. 24.
[10] Thahir Ibnu
Shalih Al-Al-Jazaairiy, Ibid, hlm. 26-27.
[11] Amin Al-Kurdi,
Opcit, hlm. 413-414.
[12] Opcit, hlm.
46.
[13] A. Mustofa, Akhlak
Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2014), hlm. 288.
[14] Umar Faruq, Terjemah
Risalah Qusyairiyah, (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), hlm. 525.
[15] Al-Kalabadi, At-Ta’aruf
Li Madzhab Ahlu Ash-Shuffah, (Sarang: Maktabah Ats-Tsaqafah Ad-Diniyah,
t.t.), hlm. 73.
[16] Amin Al-Kurdi,
Opcit, hlm. 414.
[17] Athoillah
Al-Iskandari, Sarah Al-Hikam, (Kediri: Al-Ma’had Al-Islami As-Salafi,
t.t.), hlm. 76-77.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar