Rabu, 05 Oktober 2016

Rancang Bangun Studi Islam Abad XXI

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Perkembangan sains ternyata mempunyai dampak yang signifikan terhadpa pendidikan Islam di Indonesia. Hal tersebut di buktikan dengan adanya lembaga-lembaga pendidikan yang Islam yang semakin maju dan mampu bersaing dengan lembaga-lembaga pendidikan non Islam. Misalnya banyak sekali perguruan tinggi seperti STAIN, IAIN dan UIN yang mampu mencetak kader-kader generasi muda bangsa ini memiliki intelektual, wawasan dan wacana yang tidak kalah dengan generasi muda yang belajar di perguruan tinggi non Islam.
Selain itu, Keberadaan agama dalam dunia pendidikan sangat perlu sekali. Sebab agama mampu menjadi pencerah dan barometer dalam mempelajari segala sesuatu yang diajarkan dalam sekolah dan perguruan tinggi. Apalagi sains yang semakin maju dan berkembang perlu dibarengi dengan agama yang diharapkan bisa mencegah terjadinya pemahaman sains yang berseberangan dengan ajaran agama dan peraturan negara.
Oleh karena itu, dalam makalah ini akan membahas tentang titik temu sains dan agama, bagaimana cara mempelajari sains dan agama, metodologi sosial keagamaan, dan rancang bangun studi Islam pada abad ke XXI. Sehingga makalah ini bisa menambah wacana dan wawasan keilmuan kepada para pembaca, khususnya terhadap permasalahan-permasalahan tersebut.
1.2  Rumusan Masalah
A.  Bagaimana titik temu sains dan agama?
B.  Bagaimana cara mempelajari sains dan agama?
C.  Bagaimana metodologi sosial keagamaan?
D.  Bagaimana rancang bangun studi Islam pada abad ke XXI?


BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Titik temu Sains dan Agama
Dalam studi keagamaan sering dibedakan antara kata religion dengan kata religiosity. Kata yang pertama religion, yang biasa diartikan menjadi “agama”, pada mulanya lebih berkonotasi sebagai kata kerja, yang mencerminkan sikap keberagamaan atau kesalehan hidup berdasarkan nilai-nilai ketuhanan. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya, religion bergeser menjadi semacam “kata benda”; ia menjadi himpunan doktrin, ajaran, serta hukum-hukum yang telah baku yang diyakini sebagai kodifikasi perintah Tuhan untuk manusia.
Sedangkan religiositas lebih mengarah pada kualitas penghayatan dan sikap hidup seseorang berdasarkan nilai-nilai keagamaan yang diyakininya. Istilah yang lebih tepat bukan religiositas, tetapi spiritualitas. Spiritualitas lebih menekankan substansi nilai-nilai luhur keagamaan dan cenderung memalingkan diri dari formalisme keagamaan. Biasanya orang yang merespon agama dengan menekankan dimensi spiritualitasnya cenderung bersikap apresiatif terhadap nilai-nilai luhur kagamaan, meskipun berada dalam wadah agama lain. Sebaliknya, ia merasa terganggu oleh berbagai bentuk formalisasi agama yang berlebihan, karena hal itu dinilainya akan menghalangi berkembangnya nilai-nilai moral dan spiritual keagamaan (komarudin Hidayat dalam Andito (ed.), 1998: 41-2). Oleh karena itu, kita perlu mengetahui kebenaran agama bukan pada dataran eksoterik, melainkan juga pada dataran esoteris[1].
Dalam bahasa Arab, istilah religion dikenal dengan istilah dȋn yang bersal dari kata dảna-yadȋnu-dȋnản yang bermakna taat atau patuh. Dalam bahasa Arab istilah dȋn memiliki arti sebagai berikut: carat atau adat kebiasaan, peraturan, undang-undang, taat dan patuh, menunggalkan ketuhanan, pembalasan, perhitungan, hari kiamat, nasihat, agama[2].
Sedangkan keberadaan agama berfungsi sebagai berikut: Petunjuk manusia kepada kebenaran sejati, petunjuk manusia kepad a kebahagiaan hakiki, mengarur kehidupan manusia. Sebagai makhluk sosial, manusia memerlukan kerjasama antar sesamanya untuk memenuhi berbagai keperluannya. Dari fungsi tersebut, dapat diketahui bahwa fungsi utama agama adalah untuk memberikan ketenangan hidup di dunia ini.
Sementara dalam bahasa Arab istilah sains dikaitkan dengan ilm (‘alima, ya’limu-‘ilmun=mengetahui) yang berarti mencapai sesuatu sampai pada hakikatnya (idrak al-syai bihaqiqa). Istilah ini kemudian diadopsi ke dalam bahasa Indonesia yang berarti pengetahuan yang diperoleh dengan cara-cara tertentu berdasarkan kesepakatan diantara para ilmuan.
Sains dibagi tiga macam yang meliputi: pertama, ilmu-ilmu pasti alam yang coba menguji keteraturan yang terjadi pada alam yang dilakuakan dengan menengarai keterulangan suatu gejala alam. Kedua, ilmu-ilmu sosial yang berusaha mengupas bagaimana memahami keterulangan gejala sosial. Ketiga, ilmu-ilmu dalam ranah humaniora yang mengkaji manusia.
Berdasarkan hal di atas, maka titik temu antara sains dan agama adalah bahwa manusia untuk menyingkap rahasia Allah melalu tanda-Nya berupa jagad raya, menggunakan perangkat berupa ilmu-ilmu fisik, seperti ilmu fisika, kimia, geografi, geologi, astronomi, dan falak. Dengan kesadaran yang telah dijelaskan, manusia yang mendalami ilmu-ilmu tersebut akan menyingkap tabir rahasia Allah.
Selain itu, manusia yang hendak menyingkap rahasia Allah melalui tanda-Nya berupa manusia, akan memunculkan berbagai ilmu. Dari segi fisik, pendalaman terhadap struktur tubuh manusia melahirkan ilmu biologi dan kedokteran. Sedangkan aspek psikis manusia memunculkan ilmu psikologi. Apabila dikaji secara kolektif atau kelompok, kajian terhadap manusia melahirkan sosiologi, ilmu lingkungan, komunikasi, hukum, ekonomi dan sejarah. Sedangkan manusia yang menyingkap rahasia Allah melalui tanda-Nya berupa wahyu, muncul ilmu-ilmu keagamaan, seperti ‘ulum al-qur’an, ‘ulum al-hadits, tafsir, fikih, ilmu kalam, dan tasawuf[3].
2.2 Pengkajian Agama dan Sain
          Studi agama khususnya studi Islam (Islamic studies) telah berkembang pesat dikarenakan para ahli telah berusaha untuk mendekati agama dari berbagai sudut “ilmu bantu”. Pada dasarnya wilayah agama ini sendiri mencakup dua hal, yaitu wilayah normativitas dan historitas. Wilayah pertama didekati melalui pendekatan doktrimal teologis. Dalam hal ini, peneliti di ajak untuk memahami teks-teks yang dimiliki oleh agama. Selain itu, wilayah ini juga ingin melihat bagaimana kemunculan sebuah teks dari sisi internal teks itu sendiri. Adapun wilayah kedua yang melacak bagaimana cara keberagamaan umat agama tertentu yang didekati melalui sosial-keagamaan yang bersifat multi dan inter disipliner, baik lewat pendekatan historis, filosofis, psikologis, sosiologis, kultural, maupun antopologis[4].
Pada dasarnya cara kerja sains adalah kerja mencari hubungan sebab-akibat atau mencari pengaruh sesuatu terhadap yang lain. Asumsi dasar sains adalah tidak ada kejadian tanpa sebab. Asumsi ini oleh Fred N. Kerlinger (Foundation of Behavior Research, 1973:378) dirumuskan dalam ungkapan post hoc, ergo propter hoc (ini, tentu disebabkan oleh ini). Asumsi ini benar bila sebab akibat itu memiliki hubungan rasional.
Ilmu atau sains berisi teori. Teori itu pada dasarnya menerangkan hubungan sebab akibat. Sain tidak memberi nilai baik atau buruk, halal atau haram, sopan atau tidak sopan, indah atau tidak indah; sains hanya memberikan nilai benar atau salah. Kenyataan inilah yang menyebabkan bahwa sain itu netral. Dalam konteks seperti itu memang ya, tapi dalam konteks lain belum tentu ya[5].
Perkembangan sains didorong oleh paham Humanisme. Humanisme adalah paham filsafat yang mengajarkan bahwa manusia mampu mengatur dirinya dan alam. Humanisme telah muncul pada zaman Yunani Lama (Yunani Kuno). Sejak zaman dahulu, manusia telah menginginkan adanya aturan untuk mengatur manusia. Tujuannya adalah agar manusia itu hidup teratur. Hidup teratur itu sudah menjadi kebutuhan manusia sejak dahulu. Untuk menjamin tegaknya kehidupan yang teratur itu diperlukan aturan.
Manusia memerlukan aturan untuk mengatur alam. Pengalaman manusia menunjukkan bila alam tidak diatur maka alam itu akan menyulitkan kehidupan manusia. Sementara itu, manusia tidak mau dipersulit oleh alam. Bahkan sebaliknya-kalau dapat-manusia ingin alam itu mempermudah kehidupannya. Karena itu harus ada aturan untuk mengatur alam[6].
2.3 Metodologi Sosial Keagamaan
Menurut A. Mukti Ali, metodologi dalam memahami secara intergral membutuhkan beberapa kelangkapan yang meliputi:
1.    Kelengkapan yang bersifat intelektual.
Seseorang yang mau mendalami agama harus masuk secara mendalam dengan modal yang cukup. Modal tersebut antara lain:
a.       Memahami bahasa yang digunakan oleh agama tersebut, memahami sejarah perkembangan agama itu mulai dari awal hingga kajian terkini.
b.      Memahami sejarah agama yang akan dikaji secara komprehensif guna mendapatkan informasi tentang keberadaan agama itu dalam lintasan sejarah.
c.       Memahami bagaimana gerak laju yang berkembang dalam suatu agama agar memperoleh apa saja yang telah dihasilkan oleh para pemikir agama itu sebelumnya.
2.    Usaha yang baik untuk memahami agama yang berbeda dengan agama kita memerlukan kodisi emosional yang cukup. Oleh karena itu, agar tidak terkesan emosional, maka diperlukan intensitas “pergaulan” dengan agama yang dikaji.
3.    Dalam mempelajari suatu agama diperlukan kemauan. Karena kemauan dapat di arahkan kepada konstruktif atau dekonstrutif. Oleh karena itu, perlu membangun sikap dalam dialog antar agama yang bertujuan mencapai mutual understanding terhadap suatu agama dan pada giliranya menciptakan kerukunan beragama.
4.    Dalam mengkaji agama, dibutuhkan pengalaman. Mukti Ali dan Joachim Wach menekankan adanya rekigion experience.
Dengan demikian, kajian tentang agama merupakan suatu hal yang bisa dilihat sebagai gejala budaya dan gejala sosial. Karena itu, agama  baik secara kualitatif maupun kuantitatif dapat dikaji tergantung dilihat sebagai gejala apa. Dalam hal ini, studi agama dapat dipelajari dengan berbagai perspektif atau pendekatan. Dengan kata lain, studi agama akan selalu terkait dengan ilmu lainnya. Keterkaitan studi agama ini tidak lepas dari beberapa pendekatan, sebagaimana yang ada dalam buku Islam Historis. Beberapa pendekatan tersebut meliputi[7]:
1.    Pendekatan sejarah
Pendekatan ini berusaha menelusuri asal-usul pertumbuhan ide-ide agama dan lembaga-lembaganya dengan perantaraan periode-periode tertentu dari perkembangan tertentu.
2.    Pendekatan Arkeologis dan Filologis.
Data ilmu sejarah adalah sumber tertulis, sedangkan data arkeologis adalah benda-benda, meskipun para arkeologis sejarah menggunakan data tertulis (textaited archeology).
3.    Pendekatan Antropologis
Menurut Mukti Ali, pendekatan ini dalam studi agama bertugas untuk menyusun sejarah manusia.
4.    Pendekatan Sosiologi
Pendekatan ini digunakan untuk mengkaji agama, dan banyak digunakan di Prancis dan di Jerman.
5.    Pendekatan Fenomenologi
Menurut Mukti Ali, pendekatan ini ingin melihat ide-ide agama, amalan-amalan, dan lembaga-lembaganya dengan mempertimbangkan “tujuan”-nya, namun tanpa menghubungkan dengan teori-teori filosofis, metafisis atau psikologis.
2.4 Rancang Bangun Studi Islam Abad XXI
Sejarah mencatat bahwa gagasan mendirikan lembaga pendidikan agama Islam yang telah ada sejak zaman Belanda dimiliki oleh umat Islam. Usaha tersebut diawali oleh Dr. Satiman Wirjosandjojo yang mendirikan Pesantren Lurur pada tahun 1938 sebgai pusat pendidikan Islam meskipun akhirnya gagal karena intervensi penjajah Belanda. Pada tahun 1940 Persatuan Guru Agama Islam (PGAI) di Padang mendirikan Sekolah Islam Tinggi (SIT) di Sumatra Barat walaupun hanya bertahan hingga tahun 1942bkarena adanaya pendudukan Jepang di Indonesia. Upaya yang sama juga dilakukan oleh sekelompok tokoh nasional seperti Mohammad Hatta, Muhammad Natsir, K. H. A. Wahid Hasyim, dan K. H. Mas Mansyur, mereka mendirikan Sekolah Tinggi Islam di Jakarta pada tanggal 8 Juli 1945 di bawah pimpinan Abdul Kahar Mudzakar.
Akan tetapi ketika revolusi kemerdekaan, STI terpaksa ditutup, ibukota pindah ke Yogyakarta, STI juga ikut pindah. Selanhutnya pada tanggal 22 maret 1948, STI berganti nama menjadi Universitas Islam Indonesia (UII) dengan mengembangkan empat fakultas, yaitu fakultas agama, fakultas hukum, fakultas ekonomi, dan fakultas pendidikan[8].
Secara formal, pendirian lembaga tinggi Islam baru dapat direalisasikan oleh pemerintah pada tahun 1950 dengan peraturan Pemerintah No. 37/ 1950 dengan menegerikan Fakultas Agama UII menjadi Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) dipimpin oleh K. H. Muhammad Adnan dengan tiga jurusan Tarbiyah, Qdha dan Dakwah. Tidak berselang lama, pemerintah mendirikan Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) di Jakarta tepatnya tanggal 1 Juni 1957 sebagai lembaga yang mendidik dan menyiapkan pegawai negeri dengan kemampuan akademik dan semi akademik tingkat diploma sebagai guru di SLTP.
Mengingat perkembangan IAIN yang dengan cepat mempunyai fakultas-fakultas yang tersebar di seluruh Indonesia, maka dipandang perlu untuk menjadikan IAIN yang semula berpusat di Yogyakarta menjadi dua institut yang masing-masing berdiri sendiri. Berdasarkan keputusan menteri Agama No. 49 tahun 1963 tanggal 25 Februari 1963 yang pertama berpusat di Yogyakarta bernama IAIN Sunan Kalijaga dan yang kedua berpusat di Jakarta dengan nama IAIN Syarif Hidayatullah. Kemudian diatur pembagian wilayah sebagai berikut[9]:
1.    IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta mengoordinasikan fakultas dalam lingkungan yang ada di Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Irian.
2.    IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta mengoordinasikan fakultas-fakultas dalam lingkungan yang ada di Jakarta Raya, Jawa Barat, dan Sumatera.
Meskipun demikian, untuk meningkatkan pembinaan IAIN dan menampung aspirasi masyarakat di daerah-daerah, dimungkinkan penggabungan beberapa fakultas cabang menjadi satu IAIN yang berdiri sendiri. Berdasarkan peraturan Presiden No. 27 tahun 1963 dinyatkan bahwa sekurang-kurangnya tiga jenis fakultas dapat digabungkan menjadi satu IAIN. Berdasrkan peraturan tersebut, cabang-cabang IAIN Jakarta pada beberapa tempat ditingkatakan menjadi IAIN yang berdiri sendiri, yaitu IAIN Ar-Raniri di Banda Aceh, IAIN Raden Fatah di Palembang, IAIN Imam Bonjol di Padang, IAIN Sultan Thoha Saefuddin di Jambi, IAIN Sultan Syarif Qasim di Pekanbaru. Sampai tahun kuliah 1975 IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta memiliki sepuluh fakultas, yaitu empat fakultas di Jakarta, du fakultas di Serang, dua fakultas di Cirebong, dan satu fakultas di Singkawang Selanjutnya untuk perbaiakan mutu ilmiah, pada tanggal 6 April 1976, Fakultas Syariah Serah dan Fakultas Tarbiyah Cirebon yang tadinya di bawah pengawasan IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta diserahkan pengawasannya kepada IAIN Sunang Gunung Jati Bandung[10]
Kemudian Departemen RI pada tanggal 5-6 November 3003, melakukan suatu upaya yang sangat luar biasa yaitu melakukan kaji ulang terhadap disiplin ilmu yang akan dijadikan sebagai panduan bagi PTAIS. Salah satu upaya tersebut adalah mengritisi SK Menag 1982, tentang Pembidangan Ilmu oleh LIPI.  Dari acara tersebut tersirat bahwa ada beberapa kelompok yang memandang disiplin ilmu dapat ditawarkan kepada mahasiswa.
Dalam seminar tersebut yang menarik adalah pemaparan Satrio Soemantri Brodjonegoro, Direktur Jendral Pendidikan Tinggi, tentng perguruan tinggi abad XXI. Dalam hal ini, ia terlebih dahulu menjelaskan tentang taksonomi perguruan tinggi yang ada saat ini yaitu Research Universities, Doctoral Universities, Master’s Colleges, Baccalaureate Colleges, Associate of Arts Colleges, dan terakhir Specialized Institutions. Model-model perguruan tinggi ini telah berkembang di luar negeri dan juga telah merambat ke Indonesia. Hanya saja, model universitas yang hanya mengkhususkan pada riset hampir tidak ditemui di Indonesia. Bahkan studi agama pun belum membuka program riset ini.[11]
Di Indonesia, studi Islam (pendidikan Islam Tinggi) dilaksanakan di 14 Institut Agama Islam Negeri (IAIN) dan 39 Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN). Ada juga sejumlah perguruan tinggi swasta yang secara khusus menyelenggarakan pendidikan tinggi Islam, dan perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan Islam tinggi sebagai salah satu bagian studinya, seperti Fakultas Agama di Universitas Muhammadiyah Jakarta dan Universitas Islam Bandung (UNISBA)[12].
Selain itu, pengadaan Islamic Center di kota Lhokseumawe mampu menarik masyarakat kota tersebut untuk mau mengunjungi serta berpartisipasi langsung ataupun tidak terhadap segala kegiatan yang diadakan oleh Islamic Center. Terlebih lagi Namggroe Aceh Darussalam yang cenderung kental dengan nilai-nilai dan moral Islam, harus dapat diaplikasikan ke dalam seluruh aspek perancangan Islamic senter ini. Hal ini nantinya akan menjadi poin positif karena kecenderungan masyarakat Aceh yang lebih bisa menerima sesuatu yang berbau budaya Aceh itu sendiri. Oleh karena itu dibutuhkan konsep, sinergi yang mampu menjembatani hal di atas[13].











BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Keberadaan agama dan sain tentu tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Agama menjadi pedoman dan petunjuk dalam mewujudkan sain yang tepat sesuai dengan ajaran agama. Sehingga sain bisa menjadi barometer dalam menjada eksistensi ajaran suatu agama.
Dengan demikian, kajian dalam agama dan sains bisa melalui berbagai pendekatan, baik pendekatan history, antropologi, sosiologi maupun pendekatan lainnya. Oleh karena itu, rancang studi Islam yang ada di Indonesia juga semakin berkembang sesuai dengan perkembangan sains yang terjadi. Hal itu terbukti dengan adanya lembaga-lembaga pendidikan Islam mulai dari tingkat Ibtidaiyah (setingkat Sewkolah Dasar/ SD) sampai tingkat perguruan tinggi Islam, bahkan pengadaan Islamic Center yang ada di Lhokseumawe Aceh.











DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Kamaruzzaman Bustamam, 2004, Wajah baru Islam di Indonesia, Yogyakarta: UII Press.
Atang Abd. Hakim, Jaih Mubarok, 2000, Metodologi Studi Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya.
Sunanto, Musyrifah, 2010, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, (Jakarta:Raja Grafindo Persada.
Syahputra, Ilham, Jurnal Sarjana bidang Senirupa dan Desain, Studi Perancangan Islamic CenterLhokseumawe melalui pendekatan Secara Modern dengan Tetap Mempertahankan Unsur Lokal Konten dan Spiritualitas Islam, Program Sarjana Desain Interior , Fakultas Senirupa dan Desain (FSRD)  ITB.
Tafsir, Ahmad,  2010, Filsafat Ilmu, Bandung: Remaja Rosdakarya.



[1] Atang Abd. Hakim, Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), hlm. 3-4.
[2] Kamaruzzaman bustamam-Ahmad, Wajah baru Islam di Indonesia, (Yogyakarta: UII Press, 2004), hlm. 4.
[3] Atang Abd. Hakim, Jaih Mubarok, Opcit, hlm. 21.
[4] Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad, Opcit, hlm.6-7.
[5] Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010), hlm. 24-25.
[6] Ibid, hlm. 28-29.
[7] Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad, Opcit, hlm.17-21.
[8] Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2010), hlm. 314-315.
[9] Ibid, hlm. 316-317.
[10] IIbid, hlm. 317
[11] Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad, Opcit, hlm.22-23.
[12] Atang Abd. Hakim, Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), hlm. 3-4.
[13] Ilham Syahputra, Jurnal Sarjana bidang Senirupa dan Desain, Studi Perancangan Islamic CenterLhokseumawe melalui pendekatan Secara Modern dengan Tetap Mempertahankan Unsur Lokal Konten dan Spiritualitas Islam, Program Sarjana Desain Interior , Fakultas Senirupa dan Desain (FSRD)  ITB,  hlm. 2.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar