Rancang Bangun Studi Islam Abad XXI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Perkembangan sains ternyata mempunyai dampak yang signifikan
terhadpa pendidikan Islam di Indonesia. Hal tersebut di buktikan dengan adanya
lembaga-lembaga pendidikan yang Islam yang semakin maju dan mampu bersaing
dengan lembaga-lembaga pendidikan non Islam. Misalnya banyak sekali perguruan
tinggi seperti STAIN, IAIN dan UIN yang mampu mencetak kader-kader generasi
muda bangsa ini memiliki intelektual, wawasan dan wacana yang tidak kalah
dengan generasi muda yang belajar di perguruan tinggi non Islam.
Selain itu, Keberadaan agama dalam dunia pendidikan sangat perlu
sekali. Sebab agama mampu menjadi pencerah dan barometer dalam
mempelajari segala sesuatu yang diajarkan dalam sekolah dan perguruan tinggi.
Apalagi sains yang semakin maju dan berkembang perlu dibarengi dengan agama
yang diharapkan bisa mencegah terjadinya pemahaman sains yang berseberangan
dengan ajaran agama dan peraturan negara.
Oleh karena itu, dalam makalah ini akan membahas tentang titik temu
sains dan agama, bagaimana cara mempelajari sains dan agama, metodologi sosial
keagamaan, dan rancang bangun studi Islam pada abad ke XXI. Sehingga makalah
ini bisa menambah wacana dan wawasan keilmuan kepada para pembaca, khususnya
terhadap permasalahan-permasalahan tersebut.
1.2
Rumusan Masalah
A. Bagaimana titik temu sains dan agama?
B. Bagaimana cara mempelajari sains dan agama?
C. Bagaimana metodologi sosial keagamaan?
D. Bagaimana rancang bangun studi Islam pada abad ke XXI?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Titik temu Sains dan Agama
Dalam studi
keagamaan sering dibedakan antara kata religion dengan kata religiosity.
Kata yang pertama religion, yang biasa diartikan menjadi “agama”, pada mulanya
lebih berkonotasi sebagai kata kerja, yang mencerminkan sikap keberagamaan atau
kesalehan hidup berdasarkan nilai-nilai ketuhanan. Tetapi dalam perkembangan
selanjutnya, religion bergeser menjadi semacam “kata benda”; ia menjadi
himpunan doktrin, ajaran, serta hukum-hukum yang telah baku yang diyakini
sebagai kodifikasi perintah Tuhan untuk manusia.
Sedangkan
religiositas lebih mengarah pada kualitas penghayatan dan sikap hidup seseorang
berdasarkan nilai-nilai keagamaan yang diyakininya. Istilah yang lebih tepat
bukan religiositas, tetapi spiritualitas. Spiritualitas lebih menekankan substansi
nilai-nilai luhur keagamaan dan cenderung memalingkan diri dari formalisme
keagamaan. Biasanya orang yang merespon agama dengan menekankan dimensi
spiritualitasnya cenderung bersikap apresiatif terhadap nilai-nilai luhur
kagamaan, meskipun berada dalam wadah agama lain. Sebaliknya, ia merasa
terganggu oleh berbagai bentuk formalisasi agama yang berlebihan, karena hal
itu dinilainya akan menghalangi berkembangnya nilai-nilai moral dan spiritual
keagamaan (komarudin Hidayat dalam Andito (ed.), 1998: 41-2). Oleh karena itu,
kita perlu mengetahui kebenaran agama bukan pada dataran eksoterik, melainkan
juga pada dataran esoteris[1].
Dalam bahasa
Arab, istilah religion dikenal dengan istilah dȋn yang bersal
dari kata dảna-yadȋnu-dȋnản yang bermakna taat atau patuh. Dalam bahasa
Arab istilah dȋn memiliki arti sebagai berikut: carat atau adat
kebiasaan, peraturan, undang-undang, taat dan patuh, menunggalkan ketuhanan,
pembalasan, perhitungan, hari kiamat, nasihat, agama[2].
Sedangkan
keberadaan agama berfungsi sebagai berikut: Petunjuk manusia kepada kebenaran
sejati, petunjuk manusia kepad a kebahagiaan hakiki, mengarur kehidupan
manusia. Sebagai makhluk sosial, manusia memerlukan kerjasama antar sesamanya
untuk memenuhi berbagai keperluannya. Dari fungsi tersebut, dapat diketahui
bahwa fungsi utama agama adalah untuk memberikan ketenangan hidup di dunia ini.
Sementara dalam
bahasa Arab istilah sains dikaitkan dengan ilm (‘alima,
ya’limu-‘ilmun=mengetahui) yang berarti mencapai sesuatu sampai pada
hakikatnya (idrak al-syai bihaqiqa). Istilah ini kemudian diadopsi ke
dalam bahasa Indonesia yang berarti pengetahuan yang diperoleh dengan cara-cara
tertentu berdasarkan kesepakatan diantara para ilmuan.
Sains dibagi
tiga macam yang meliputi: pertama, ilmu-ilmu pasti alam yang coba
menguji keteraturan yang terjadi pada alam yang dilakuakan dengan menengarai keterulangan
suatu gejala alam. Kedua, ilmu-ilmu sosial yang berusaha mengupas
bagaimana memahami keterulangan gejala sosial. Ketiga, ilmu-ilmu dalam
ranah humaniora yang mengkaji manusia.
Berdasarkan hal
di atas, maka titik temu antara sains dan agama adalah bahwa manusia untuk
menyingkap rahasia Allah melalu tanda-Nya berupa jagad raya, menggunakan
perangkat berupa ilmu-ilmu fisik, seperti ilmu fisika, kimia, geografi,
geologi, astronomi, dan falak. Dengan kesadaran yang telah dijelaskan, manusia
yang mendalami ilmu-ilmu tersebut akan menyingkap tabir rahasia Allah.
Selain itu,
manusia yang hendak menyingkap rahasia Allah melalui tanda-Nya berupa manusia,
akan memunculkan berbagai ilmu. Dari segi fisik, pendalaman terhadap struktur
tubuh manusia melahirkan ilmu biologi dan kedokteran. Sedangkan aspek psikis
manusia memunculkan ilmu psikologi. Apabila dikaji secara kolektif atau
kelompok, kajian terhadap manusia melahirkan sosiologi, ilmu lingkungan,
komunikasi, hukum, ekonomi dan sejarah. Sedangkan manusia yang menyingkap
rahasia Allah melalui tanda-Nya berupa wahyu, muncul ilmu-ilmu keagamaan,
seperti ‘ulum al-qur’an, ‘ulum al-hadits, tafsir, fikih, ilmu kalam, dan
tasawuf[3].
2.2 Pengkajian Agama dan Sain
Studi agama
khususnya studi Islam (Islamic studies) telah berkembang pesat
dikarenakan para ahli telah berusaha untuk mendekati agama dari berbagai sudut
“ilmu bantu”. Pada dasarnya wilayah agama ini sendiri mencakup dua hal, yaitu
wilayah normativitas dan historitas. Wilayah pertama didekati melalui
pendekatan doktrimal teologis. Dalam hal ini, peneliti di ajak untuk memahami
teks-teks yang dimiliki oleh agama. Selain itu, wilayah ini juga ingin melihat
bagaimana kemunculan sebuah teks dari sisi internal teks itu sendiri. Adapun
wilayah kedua yang melacak bagaimana cara keberagamaan umat agama tertentu yang
didekati melalui sosial-keagamaan yang bersifat multi dan inter disipliner,
baik lewat pendekatan historis, filosofis, psikologis, sosiologis, kultural,
maupun antopologis[4].
Pada dasarnya
cara kerja sains adalah kerja mencari hubungan sebab-akibat atau mencari
pengaruh sesuatu terhadap yang lain. Asumsi dasar sains adalah tidak ada
kejadian tanpa sebab. Asumsi ini oleh Fred N. Kerlinger (Foundation of
Behavior Research, 1973:378) dirumuskan dalam ungkapan post hoc, ergo
propter hoc (ini, tentu disebabkan oleh ini). Asumsi ini benar bila sebab
akibat itu memiliki hubungan rasional.
Ilmu atau sains
berisi teori. Teori itu pada dasarnya menerangkan hubungan sebab akibat. Sain
tidak memberi nilai baik atau buruk, halal atau haram, sopan atau tidak sopan,
indah atau tidak indah; sains hanya memberikan nilai benar atau salah.
Kenyataan inilah yang menyebabkan bahwa sain itu netral. Dalam konteks seperti
itu memang ya, tapi dalam konteks lain belum tentu ya[5].
Perkembangan
sains didorong oleh paham Humanisme. Humanisme adalah paham filsafat
yang mengajarkan bahwa manusia mampu mengatur dirinya dan alam. Humanisme telah
muncul pada zaman Yunani Lama (Yunani Kuno). Sejak zaman dahulu, manusia telah
menginginkan adanya aturan untuk mengatur manusia. Tujuannya adalah agar
manusia itu hidup teratur. Hidup teratur itu sudah menjadi kebutuhan manusia
sejak dahulu. Untuk menjamin tegaknya kehidupan yang teratur itu diperlukan
aturan.
Manusia
memerlukan aturan untuk mengatur alam. Pengalaman manusia menunjukkan bila alam
tidak diatur maka alam itu akan menyulitkan kehidupan manusia. Sementara itu, manusia
tidak mau dipersulit oleh alam. Bahkan sebaliknya-kalau dapat-manusia ingin
alam itu mempermudah kehidupannya. Karena itu harus ada aturan untuk mengatur
alam[6].
2.3 Metodologi Sosial Keagamaan
Menurut A.
Mukti Ali, metodologi dalam memahami secara intergral membutuhkan beberapa
kelangkapan yang meliputi:
1.
Kelengkapan
yang bersifat intelektual.
Seseorang yang mau mendalami agama harus masuk secara mendalam
dengan modal yang cukup. Modal tersebut antara lain:
a.
Memahami
bahasa yang digunakan oleh agama tersebut, memahami sejarah perkembangan agama
itu mulai dari awal hingga kajian terkini.
b.
Memahami
sejarah agama yang akan dikaji secara komprehensif guna mendapatkan informasi
tentang keberadaan agama itu dalam lintasan sejarah.
c.
Memahami
bagaimana gerak laju yang berkembang dalam suatu agama agar memperoleh apa saja
yang telah dihasilkan oleh para pemikir agama itu sebelumnya.
2.
Usaha
yang baik untuk memahami agama yang berbeda dengan agama kita memerlukan kodisi
emosional yang cukup. Oleh karena itu, agar tidak terkesan emosional,
maka diperlukan intensitas “pergaulan” dengan agama yang dikaji.
3.
Dalam
mempelajari suatu agama diperlukan kemauan. Karena kemauan dapat
di arahkan kepada konstruktif atau dekonstrutif. Oleh karena itu,
perlu membangun sikap dalam dialog antar agama yang bertujuan mencapai mutual
understanding terhadap suatu agama dan pada giliranya menciptakan kerukunan
beragama.
4.
Dalam
mengkaji agama, dibutuhkan pengalaman. Mukti Ali dan Joachim Wach
menekankan adanya rekigion experience.
Dengan
demikian, kajian tentang agama merupakan suatu hal yang bisa dilihat sebagai
gejala budaya dan gejala sosial. Karena itu, agama baik secara kualitatif maupun kuantitatif
dapat dikaji tergantung dilihat sebagai gejala apa. Dalam hal ini, studi agama
dapat dipelajari dengan berbagai perspektif atau pendekatan. Dengan kata lain,
studi agama akan selalu terkait dengan ilmu lainnya. Keterkaitan studi agama
ini tidak lepas dari beberapa pendekatan, sebagaimana yang ada dalam buku Islam
Historis. Beberapa pendekatan tersebut meliputi[7]:
1.
Pendekatan
sejarah
Pendekatan ini berusaha menelusuri asal-usul pertumbuhan ide-ide
agama dan lembaga-lembaganya dengan perantaraan periode-periode tertentu dari
perkembangan tertentu.
2.
Pendekatan
Arkeologis dan Filologis.
Data ilmu sejarah adalah sumber tertulis, sedangkan data arkeologis
adalah benda-benda, meskipun para arkeologis sejarah menggunakan data tertulis
(textaited archeology).
3.
Pendekatan
Antropologis
Menurut Mukti Ali, pendekatan ini dalam studi agama bertugas untuk
menyusun sejarah manusia.
4.
Pendekatan
Sosiologi
Pendekatan ini digunakan untuk mengkaji agama, dan banyak digunakan
di Prancis dan di Jerman.
5.
Pendekatan
Fenomenologi
Menurut Mukti Ali, pendekatan ini ingin melihat ide-ide agama,
amalan-amalan, dan lembaga-lembaganya dengan mempertimbangkan “tujuan”-nya, namun
tanpa menghubungkan dengan teori-teori filosofis, metafisis atau psikologis.
2.4 Rancang Bangun Studi Islam Abad XXI
Sejarah
mencatat bahwa gagasan mendirikan lembaga pendidikan agama Islam yang telah ada
sejak zaman Belanda dimiliki oleh umat Islam. Usaha tersebut diawali oleh Dr.
Satiman Wirjosandjojo yang mendirikan Pesantren Lurur pada tahun 1938 sebgai
pusat pendidikan Islam meskipun akhirnya gagal karena intervensi penjajah
Belanda. Pada tahun 1940 Persatuan Guru Agama Islam (PGAI) di Padang mendirikan
Sekolah Islam Tinggi (SIT) di Sumatra Barat walaupun hanya bertahan hingga
tahun 1942bkarena adanaya pendudukan Jepang di Indonesia. Upaya yang sama juga
dilakukan oleh sekelompok tokoh nasional seperti Mohammad Hatta, Muhammad
Natsir, K. H. A. Wahid Hasyim, dan K. H. Mas Mansyur, mereka mendirikan Sekolah
Tinggi Islam di Jakarta pada tanggal 8 Juli 1945 di bawah pimpinan Abdul Kahar
Mudzakar.
Akan tetapi
ketika revolusi kemerdekaan, STI terpaksa ditutup, ibukota pindah ke
Yogyakarta, STI juga ikut pindah. Selanhutnya pada tanggal 22 maret 1948, STI
berganti nama menjadi Universitas Islam Indonesia (UII) dengan mengembangkan
empat fakultas, yaitu fakultas agama, fakultas hukum, fakultas ekonomi, dan
fakultas pendidikan[8].
Secara formal,
pendirian lembaga tinggi Islam baru dapat direalisasikan oleh pemerintah pada
tahun 1950 dengan peraturan Pemerintah No. 37/ 1950 dengan menegerikan Fakultas
Agama UII menjadi Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) dipimpin oleh K.
H. Muhammad Adnan dengan tiga jurusan Tarbiyah, Qdha dan Dakwah. Tidak
berselang lama, pemerintah mendirikan Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) di
Jakarta tepatnya tanggal 1 Juni 1957 sebagai lembaga yang mendidik dan
menyiapkan pegawai negeri dengan kemampuan akademik dan semi akademik tingkat
diploma sebagai guru di SLTP.
Mengingat
perkembangan IAIN yang dengan cepat mempunyai fakultas-fakultas yang tersebar
di seluruh Indonesia, maka dipandang perlu untuk menjadikan IAIN yang semula
berpusat di Yogyakarta menjadi dua institut yang masing-masing berdiri sendiri.
Berdasarkan keputusan menteri Agama No. 49 tahun 1963 tanggal 25 Februari 1963
yang pertama berpusat di Yogyakarta bernama IAIN Sunan Kalijaga dan yang kedua
berpusat di Jakarta dengan nama IAIN Syarif Hidayatullah. Kemudian diatur
pembagian wilayah sebagai berikut[9]:
1.
IAIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta mengoordinasikan fakultas dalam lingkungan yang ada
di Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan
Irian.
2.
IAIN
Syarif Hidayatullah Jakarta mengoordinasikan fakultas-fakultas dalam lingkungan
yang ada di Jakarta Raya, Jawa Barat, dan Sumatera.
Meskipun
demikian, untuk meningkatkan pembinaan IAIN dan menampung aspirasi masyarakat
di daerah-daerah, dimungkinkan penggabungan beberapa fakultas cabang menjadi
satu IAIN yang berdiri sendiri. Berdasarkan peraturan Presiden No. 27 tahun
1963 dinyatkan bahwa sekurang-kurangnya tiga jenis fakultas dapat digabungkan
menjadi satu IAIN. Berdasrkan peraturan tersebut, cabang-cabang IAIN Jakarta
pada beberapa tempat ditingkatakan menjadi IAIN yang berdiri sendiri, yaitu
IAIN Ar-Raniri di Banda Aceh, IAIN Raden Fatah di Palembang, IAIN Imam Bonjol
di Padang, IAIN Sultan Thoha Saefuddin di Jambi, IAIN Sultan Syarif Qasim di
Pekanbaru. Sampai tahun kuliah 1975 IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta memiliki
sepuluh fakultas, yaitu empat fakultas di Jakarta, du fakultas di Serang, dua
fakultas di Cirebong, dan satu fakultas di Singkawang Selanjutnya untuk
perbaiakan mutu ilmiah, pada tanggal 6 April 1976, Fakultas Syariah Serah dan
Fakultas Tarbiyah Cirebon yang tadinya di bawah pengawasan IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta diserahkan pengawasannya kepada IAIN Sunang Gunung Jati
Bandung[10]
Kemudian Departemen
RI pada tanggal 5-6 November 3003, melakukan suatu upaya yang sangat luar biasa
yaitu melakukan kaji ulang terhadap disiplin ilmu yang akan dijadikan sebagai
panduan bagi PTAIS. Salah satu upaya tersebut adalah mengritisi SK Menag 1982,
tentang Pembidangan Ilmu oleh LIPI. Dari
acara tersebut tersirat bahwa ada beberapa kelompok yang memandang disiplin
ilmu dapat ditawarkan kepada mahasiswa.
Dalam seminar
tersebut yang menarik adalah pemaparan Satrio Soemantri Brodjonegoro, Direktur
Jendral Pendidikan Tinggi, tentng perguruan tinggi abad XXI. Dalam hal ini, ia
terlebih dahulu menjelaskan tentang taksonomi perguruan tinggi yang ada
saat ini yaitu Research Universities, Doctoral Universities, Master’s
Colleges, Baccalaureate Colleges, Associate of Arts Colleges, dan
terakhir Specialized Institutions. Model-model perguruan tinggi ini
telah berkembang di luar negeri dan juga telah merambat ke Indonesia. Hanya
saja, model universitas yang hanya mengkhususkan pada riset hampir tidak
ditemui di Indonesia. Bahkan studi agama pun belum membuka program riset ini.[11]
Di Indonesia,
studi Islam (pendidikan Islam Tinggi) dilaksanakan di 14 Institut Agama Islam
Negeri (IAIN) dan 39 Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN). Ada juga sejumlah
perguruan tinggi swasta yang secara khusus menyelenggarakan pendidikan tinggi
Islam, dan perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan Islam tinggi
sebagai salah satu bagian studinya, seperti Fakultas Agama di Universitas
Muhammadiyah Jakarta dan Universitas Islam Bandung (UNISBA)[12].
Selain itu,
pengadaan Islamic Center di kota Lhokseumawe mampu menarik masyarakat kota
tersebut untuk mau mengunjungi serta berpartisipasi langsung ataupun tidak
terhadap segala kegiatan yang diadakan oleh Islamic Center. Terlebih lagi
Namggroe Aceh Darussalam yang cenderung kental dengan nilai-nilai dan moral Islam,
harus dapat diaplikasikan ke dalam seluruh aspek perancangan Islamic senter
ini. Hal ini nantinya akan menjadi poin positif karena kecenderungan masyarakat
Aceh yang lebih bisa menerima sesuatu yang berbau budaya Aceh itu sendiri. Oleh
karena itu dibutuhkan konsep, sinergi yang mampu menjembatani hal di atas[13].
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Keberadaan
agama dan sain tentu tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Agama menjadi
pedoman dan petunjuk dalam mewujudkan sain yang tepat sesuai dengan ajaran
agama. Sehingga sain bisa menjadi barometer dalam menjada eksistensi ajaran
suatu agama.
Dengan
demikian, kajian dalam agama dan sains bisa melalui berbagai pendekatan, baik
pendekatan history, antropologi, sosiologi maupun pendekatan lainnya. Oleh karena
itu, rancang studi Islam yang ada di Indonesia juga semakin berkembang sesuai
dengan perkembangan sains yang terjadi. Hal itu terbukti dengan adanya
lembaga-lembaga pendidikan Islam mulai dari tingkat Ibtidaiyah (setingkat
Sewkolah Dasar/ SD) sampai tingkat perguruan tinggi Islam, bahkan pengadaan
Islamic Center yang ada di Lhokseumawe Aceh.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad,
Kamaruzzaman Bustamam, 2004, Wajah baru Islam di Indonesia, Yogyakarta:
UII Press.
Atang Abd.
Hakim, Jaih Mubarok, 2000, Metodologi Studi Islam, Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Sunanto,
Musyrifah, 2010, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, (Jakarta:Raja
Grafindo Persada.
Syahputra,
Ilham, Jurnal Sarjana bidang Senirupa dan Desain, Studi Perancangan Islamic
CenterLhokseumawe melalui pendekatan Secara Modern dengan Tetap Mempertahankan
Unsur Lokal Konten dan Spiritualitas Islam, Program Sarjana Desain Interior
, Fakultas Senirupa dan Desain (FSRD)
ITB.
Tafsir, Ahmad, 2010, Filsafat
Ilmu, Bandung: Remaja Rosdakarya.
[1] Atang Abd.
Hakim, Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2000), hlm. 3-4.
[2] Kamaruzzaman
bustamam-Ahmad, Wajah baru Islam di Indonesia, (Yogyakarta: UII Press,
2004), hlm. 4.
[3]
Atang Abd.
Hakim, Jaih Mubarok, Opcit, hlm. 21.
[4] Kamaruzzaman
Bustamam-Ahmad, Opcit, hlm.6-7.
[5] Ahmad Tafsir, Filsafat
Ilmu, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010), hlm. 24-25.
[6] Ibid,
hlm. 28-29.
[7] Kamaruzzaman
Bustamam-Ahmad, Opcit, hlm.17-21.
[8] Musyrifah
Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, (Jakarta:Raja Grafindo
Persada, 2010), hlm. 314-315.
[9] Ibid, hlm.
316-317.
[11] Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad,
Opcit, hlm.22-23.
[12] Atang Abd.
Hakim, Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2000), hlm. 3-4.
[13] Ilham
Syahputra, Jurnal Sarjana bidang Senirupa dan Desain, Studi Perancangan
Islamic CenterLhokseumawe melalui pendekatan Secara Modern dengan Tetap
Mempertahankan Unsur Lokal Konten dan Spiritualitas Islam, Program Sarjana
Desain Interior , Fakultas Senirupa dan Desain (FSRD) ITB, hlm. 2.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar