Manusia dan Keadilan
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kehidupan
memaksa seseorang untuk mengadakan pilihan, mengukur dari sesuatu dari segi
lebih baik atau lebih buruk dan untuk memberi formulasi tentang ukuran nilai. Dalam
proses kehidupan seseorang dihadapkan pada persoalan yang menyenangkan atau
tidak menyenangkan[1].
Oleh karena itu
manusia senantiasa dihadapkan pada berbagai persoalan yang harus ia hadapi.
Sebab manusia selain sebagai makhluk individu, manusia juga termasuk makhluk
sosial. Dalam kehidupan sosial manusia seringkali dihadapkan dengan masalah
termasuk tentang keadilan. Baik keadilan terhadap dirinya maupun keadilan
terhadap orang lain.
Dengan
demikian, makalah ini akan membahas tentang kedudukan manusia, definisi
keadilan, manusia dan keadilan, dan teori keadilan. Semoga makalah ini akan
menambah wacana dan wawasan kita, khususnya tentang manusia dan keadilan.
B. Rumusan Masalah
1.
Kedudukan
Manusia
2.
Definisi
Keadilan
3.
Manusia
dan Keadilan
4.
Teori
Keadilan
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kedudukan Manusia
Kedudukan
manusia adalah sebagai makhluk individu dan makhluk sosial, makhluk biologis
dan makhluk psikologis (spiritual). Manusia merupakan gabungan antara unsur
material (basyari) dan unsur rahani. Dari segi hubungannya dengan Tuhan,
kedudukan manusia adalah sebagai hamba (makhluk), dan kedudukan manusia
dalam konteks makhluk Tuhan adalah makhluk yang terbaik[2].
Sebagaimana firman Allah dalam surat At-Tin (95) : 4):

“Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang
sebaik-baiknya”(Q.S. At-Tin (95) : 4).
Di dalam diri
manusia terdapat dua kepentingan yaitu kepentingan individu dan sosial. Dalam
kepentingan individu manusia berusaha untuk memenuhi kebutuhan pribadi.
Sedangkan dalam kepentingan sosial manusia berusaha untuk memenuhi kebutuhan
bersama. Oleh karena itu, hakikat manusia terdiri dari beberapa unsur yang
meliputi:
1.
Susunan
kodrat manusia yang terdiri atas jiwa dan raga.
2.
Sifat
kodrat terdiri atas makhluk individu dan sosial
3.
Kedudukan
kodrat terdiri atas makhluk yang berdiri sendiri dan makhluk Tuhan.
Berdasarkan hal
tersebut, maka manusia sebagai makhluk individu dan sosial adalah hakikat
manusia yang memiliki sifat-sifat kodrat yang melekat dirinya. Oleh karena itu,
menurut Notonagoro berdasarkan unsur hakikat manusia diatas, maka manusia
sebagai makhluk individu dan sosial merupakan sifat kodrat dari manusia[3].
Sebagai makhluk
individu manusia dituntut untuk mampu berinteraksi, berkomunikasi, bekerjasama,
dan saling berlomba-lomba melakukan perubahan yang lebih baik dengan individu
lainnya[4].
Sementara sebagai makhluk sosial manusia tidak akan lepas dari berinteraksi
dengan sekitar, ada hubungan secaracvertikal (hubungan dengan Tuhan) dan secara
horizontal (hubungan dengan sesama manusia, alam sekitar, dan makhluk lainnya).
Sehingga manusia tidak akan lepas dari berhubungan dengan orang lain. Dalam
hubungan itu kita harus bisa memahami peranan dan kedudukan masing-masing.
Karena dengan hal tersebut,hubungan manusia dengan sosial akan harmonis dan
tidak terjadi kesalahan. Selain itu, kebutuhan manusia yang saling bertentangan
kalau tidak diatur dalam suatu kaidah atau norma yang jelas, akan menimbulkan kekacauan[5].
Islam melalui
kitab suci Al-Qur’an mengetengahkan risalah, dengan orientasi dasar
membenahi dan meluruskan karakter umat mansuia dengan penekanan yang serasi
dengan garis Islami. Sehingga tidak hanya pola pikir saja yang menjadi obyek
pembenahan tetapi juga hati, yang secara terus menerus diketuk untuk menyadari
dasar-dasar iman. Dengan demikian perbaduan yang serasi antara rasio dan
perasaan imani, akan melahirkan suatu model karakter, suatu bentuk kesadaran
moral, pengamalan dan penerimaan ajaran dari yang mutlak, sampai akhirnya
disebut akhlak al-karimah.[6]
2.2 Definisi Keadilan
Menurut
Poedjawijatna keadilan adalah pengakuan dan perlakuan terhadap hak (yang sah).
Sedangkan dalam literatur Islam, keadilan sesuatu yang digunakan untuk
menunjukkan pada persamaan atau bersikap tengah-tengah atas dua perkara.
Keadilan tersebut berdasarkan keputusan akal yang dikonsultasikan dengan agama[7].
Keadilan atau berbuat adil adalah suatu aspek yang penting dan
tidak dapat tertandingi oleh kebanyakan subyek dalam Islam. Keadilan itu
seperti tauhid yang menjadi akar bagi semua dasar dan cabang Islam. Semua topik
akidah dan amal, masalah individual, sosial, moral, dan hak. Tidak lepas dari
hakekat tauhid, dan semua hal itu pun tidak lepas dari keadilan. Karena itu
wajar keadilan dipandang sebagai salah satu prinsip utama bagi semua bangunan
pemikiran muslim.
Adil adalah salah satu sifat Allah dan keadilan sebagai dasar agama
ada diposisi setelah mengenal Allah. Adil itu penuh hikmah jika diistimewakan.
Dalam kajian sosial Islam, tiada prinsip yang pentingnya setingkat dengan
keadilan. Pentingnya keadilan dapat dirujuk pada arti hadis di bawah ini
·
Nabi
Muhammad SAW bersabda : “jauhilah kezaliman-kezaliman karena setiap amal
perbuatan kelak pada hari kiamat akan menjelma sebagai kegelapan”. Tirai
kegelapan itu akan menutupi setiap isi kaum lalim, sedangkan setiap kebaikan
akan diliputi cahaya. Tetapi kegelapan menjadi sumber segala macam ketiadaan.
·
Beliau
juga bersabda “langit dan bumi berdiri dengan kukuh diatas dasar keadilan.
Arti adil yang sebenarnya ialah segala sesuatu berada di posisinya
masing-masing. Maka setiap penyimpangan, berlebihan, melampaui batas dan
perampasan hak bertentangan dengan prinsip keadilan. Manusia diwajibkan untuk
berlaku adil dan menegakkan keadilan. Karena Allah SWT sendiri adalah maha
Adil.[8]
Rasulullah SAW bersabda kepada Ali as : “Jika ada dua orang
berseteru datang kepadamu, perhatikanlah keadilan dalam memandang keduanya dan
kapasitas pembicaraan yang kamu smpaikan pada mereka”[9]
Untuk memutuskan perkara dengan adil memerlukan beberapa hal, yaitu
:
·
Memahami
dakwaan dari si pendakwa dan jawaban dari terdakwa, unutk mengetahui pokok
persengketaan dengan bukti-bukti dqari kedua orang yang bersengketa.
·
Hakim
atau orang sebagai penengah dalam menyelesaikan perselisihan tidaklah berat
sebelah kepada salah satu pihak diantara kedua orang yang bersengketa
·
Hakim
atau orang sebagai penengah dalam menyeloesaikan perselisihan harus mengerti
tentang hukum yang telah digariskan oleh Allah untuk memutuskan perkara
diantara mansuia berdasarkan contoh dari al-Kitab, Sunnah maupun ijma’ umat.
2.3 Manusia dan Keadilan
Masalah
keadilan merupakan teori yang menjadi induk timbulnya akhlak yang mulia.
Meskipun demikian, hak, kewajiban dan keadilan itu memiliki hubungan yang erat.
Oleh karena itu, keadilan berusaha menerapkan dan melaksanakan hak sesuai
dengan tempat, waktu, dan kadarnya seimbang. Dengan pentingnya masalah keadilan
dalam rangka pelaksanaan hak dan kewajiban, Allah berfirman:

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat
kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji,
kemungkaran dan permusuhan. (Q. S. An-Nahl (16):90).
Ayat tersebut menjelaskan tentang keadilan yang sejajar dengan
berbuat kebajikan, memberi makan kepada kaum kerabat, melarang dari berbuat
yang keji dan mungkar serta menjauhi permusuhan. Hal tersebut menunjukkan bahwa
masalah keadilan termasuk masalah yang berhubungan dengan pelaksanaan hak
sebagai suatu kewajiban moral[11].
Sebagai makhluk yang bertanggungjawab, manusia dalam kehidupannya
senantiasa berjuang dengan meningkatkan kualitas dan kualitas amal salehnya dan
mengurangi serta menekan kualitas dan kuantitas kesalahannya. Menurut
Jalaluddin Rahmat, manusia adalah makhluk paradoksal yang senantiasa berjuang
untuk mengatasi konflik dua kekuatan yang saling bertentangan: kekuatan
mengikuti fitrah, yaitu memikul amanat Allah dan kekuatan mengikuti prediposisi
negatif, yaitu sifat kelu kesah, cenderung bakhil dan dhalim dan hanya
memikirkan kehidupan duniawi. Sebagai khalifah di bumi, manusia adalah duta
Tuhan di bumi dan akan diminta pertanggungjawaban atas tugasnya sebagai “duta”
tersebut. Pada dasarnya, doktrin itu merupakan pemicu agar manusia banyak
melakukan kebaikan dan sedikit kalu bisa tiak sama sekali melakukan penjajahan[12].
Dalam Islam
keadilan dikatakan sebagai cahaya etika, sebagaimana yang telah dijelaskan
dalam Qs. Al-Maidah: 8

“Hai Orang-orang
yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang yang selalu menegakkan (kebenaran)
karena Allah, menjadi saksi dnegan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu
terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adilah,
karena adil lebih tekat dengan taqwa. Dan bertakwalah kepada Allah,
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Dengan demikian
keadilan itu mencakup hukum, ekonomi, dan politik, sebagaimana yang telah
dilestarikan dalam Islam[13].
2.4Teori Keadilan
Keadilan merupakan kesadaran dan pelaksanaan untuk memberikan
kepada pihak lain sesuatu yang sudah semestinya harus diterima oleh pihak lain.
Sehingga masing-masing pihak-pihak mendapat kesempatan yang sama untuk
melaksanakan hak dan kewajibannya tanpa mengalami rintangan atau paksaan.
Selain itu, keadilan termasuk memberi dan menerima yang selaras dengan hak dak
kewajibannya. Oleh karena itu, ada empat macam wujud keadilan menurut
Aristoteles dan Notonagoro yang meliputi[14]:
1.
Keadilan
tukar menukar
Adalah
suatu kebajikan tingkah laku manusia untuk selalu memberikan kepada sesamanya,
sesuatu yang menjadi hak pihak lain, atau sesuatu yang sudah semestinya harus
diterima oleh pihak lain tersebut. Melalui keadilan tukar-menukar, terjadilah
saling memberi dan saling menerima. Keadilan itu timbul di dalam hubungan
antara manusia sebagai orang-seorang terhadap sesamanya di dalam masyarakat.
2.
Keadilan Distributif atau Membagi
Adalah
suatu kebajikan tingkah-laku masyarakat dan alat penguasanya untuk selalu
membagikan segala kenikmatan dan beban bersama, dengan cara rata, dan merata,
menurut keselaran sifat dan tingkat perbedaan jasmani maupun rohani. Keadilan
dalam membagi ini, terdapat dalam hubungan antara masyarakat dan warganya.
3.
Keadilan
Sosial
Adalah
suatu kebajikan tingkah-laku manusia di dalam hubungan dengan masyarakat untuk
senantiasa memberikan dan melaksanakan segala sesuatu yang menunjukkan
kemakmuran dan kesejahteraan bersama sebagai tujuan akhir dari masyarakat atau
negara.
4.
Keadilan
Hukum (Umum)
Adalah
mengatur hubungan antara anggota dan kesatuannya untuk bersama-sama selaras
dengan kedudukan dan fungsinya untuk mencapai kesejahteraan umum.
Dengan demikian, untuk menegakkan keadilan itu tidak mudah sekali.
Sehingga dibutuhkan sebuah kaidah keadilan yang bisa membagi antara yang baik
dan buruk. Sebab ketika berbicara tentang ketidakadilan dari dua orang yang
sifat-sifatnya cukup mirip dan yang berada dalam situasi mirip juga, yang satu
diperlakukan dengan lebih baik atau dengan lebih buruk daripada yang lain.
Sehingga untuk mencari ciri-ciri relevan dalam pertimbangan moral,
untuk membenarkan perlakuan yang sama, dan untuk membenarkan perlakuan yang
tidak sama adalah diikuti pandangan Aristoteles bahwa ciri-ciri yang relevan
adalah ciri-ciri yang mempengaruhi kebahagiaan manusia. Ciri-ciri yang paling
mempengaruhi kebahagian orang adalah kemampuan dan kebutuhannya. Dalam
menentukan perlukan yang sama, perlu diperhatikan kemampuan dan kebutuhan.
Sebab perbedaan dalam kemampuan dan kebutuhan orang adalah ciri yang dapat
membenarkan suatu perlakuan yang berbeda juga. Oleh karena itu, memberi
perlakuan yang sama kepada orang mempunyai arti:
1.
Memberi
sumbangan yang relatif sama terhadap kebahagiaan mereka, diukur pada kebutuhan
mereka.
2.
Menuntut
dari mereka pengorbanan yang relatif sama, diukur pada kemampuan mereka.
Dengan begitu, kesamaan sumbangan kearah kebahagian orang lain
tidak dimaksudkan dalam arti sama rata, melainkan kesamaan itu ditentukan
dengan melihat kebutuhab orang itu. Kesamaan beban yang terpaksa harus
dipikulkan secara sama dengan memperhatikan kemampuan anggota itu
masing-masing. Sebab perlakuan yang
tidak sama dapat dibenarkan berdasarkan kaidah sikap baik atau dalam jangka
panjang akan menghasilkan kesamaan yang lebih besar. Sehingga tidak ada seorng
pun yang dirampas haknya demi keuntungan orang lain ataupun seluruh masyarakat[15].
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Manusia
adalah makhluk yang tidak bisa hidup sendiri. Sehingga manusia termasuk makhluk
sosial yang senantiasa harus berinteraksi dengan manusia lain. Dalam
berinteraksi dengan sesama manusia, seringkali muncul berbagai persoalan yang
harus segera mungkin ada solusinya, termasuk dalam hal keadilan.
Oleh
karena itu, dalam kehidupan sosial manusia akan selalu dihadapkan dengan
masalah keadilan salah satunya. Dalam menyelesaikan dua hal yang sedang
dihadapinya, manusia harus berlaku adil antara keduanya. Karena keadilan
termasuk masalah yang tidak bisa dihindari dan bahkan harus diselesaikan.
Banyak
sekali para tokoh yang mencoba memberikan teori tentang bagaimana berlaku adil.
Salah satunya Aristoteles dan Notonagoro yang membagi keadilan dalam empat wujud
yang meliputi; keadilan tukar menukar, keadilan distributif (membagi), keadilan
sosial, dan keadilan hukum (umum).
DAFTAR PUSTAKA
Abd, Atang Hakim, Jaih Mubarok., 2000, Metodologi Studi Islam, Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Al-Asfahani, Ar-Raghib, t.t.,Mu’jam Mufradat Alfadz Al-Qur’an, Beirut:
Dar al-Fikr
Alfan,Muhammad, 2013,Pengantar Filsafat Nilai, Bandung:
Pustaka Setia
Heimanto, Winarno, 2013, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, Jakarta:
Bumi Aksara
Husaini,Said Husain., 2013,Bertuhan dalam Pusaran Zaman: 100
Pelajaran Penting Akhlak dan Moralitas, Jakarta:Citra
Nata,Abuddin, 2013,Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia, Jakarta:
Raja Grafindo Persada
Syukur, Amin, 2004,Tasawuf Sosial,Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Tumanggor,Rusmin dkk, 2010,Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, Jakarta:
Prenada Media Group
Zubair, Achmad Charris, 1995, KuliahEtika, Jakarta:
Raja Grafindo Persada
[1] Muhammad Alfan
M. Ag, Pengantar Filsafat Nilai, (Bandung: Pustaka Setia, 2013), hlm.
252.
[2] Atang Abd.
Hakim, Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 20000), hlm. 209.
[3] Heimanto,
Winarno, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, (Jakarta: Bumi Aksara, 2013),
hlm. 40-41.
[4] Rusmin
Tumannggor, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, (Jakarta: Kencana Prenada
Media Grup, 2010), hlm. 41.
[5] Rusmin Tumanggor,
dkk, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, (Jakarta: Prenada Media Group, 2010),
hlm. 43-45.
[6] Amin Syukur, Tasawuf
Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 162
[7] Ar-Raghib
Al-Asfahani, Mu’jam Mufradat Alfadz Al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr,
t.t. ), hlm. 336.
[8] Said Husain
Husaini,Bertuhan dalam Pusaran Zaman:100 Pelajaran Penting Akhlak dan
Moralitas. (Jakarta:Citra,2013). H. 267-268
[9] Ibid, h. 269
[10]M. Quraish Shihab, op cit, h. 516
[11]Abuddin Nata, Akhlak
Tasawuf dan Karakter Mulia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), hlm.
123.
[13]Amin Syukur, Opcit,
hlm. 73-74.
[14] Achmad Charris
Zubair, Kuliah Etika, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hlm.
67-69.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar