Rabu, 05 Oktober 2016

Manusia dan Keadilan

BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Kehidupan memaksa seseorang untuk mengadakan pilihan, mengukur dari sesuatu dari segi lebih baik atau lebih buruk dan untuk memberi formulasi tentang ukuran nilai. Dalam proses kehidupan seseorang dihadapkan pada persoalan yang menyenangkan atau tidak menyenangkan[1].
Oleh karena itu manusia senantiasa dihadapkan pada berbagai persoalan yang harus ia hadapi. Sebab manusia selain sebagai makhluk individu, manusia juga termasuk makhluk sosial. Dalam kehidupan sosial manusia seringkali dihadapkan dengan masalah termasuk tentang keadilan. Baik keadilan terhadap dirinya maupun keadilan terhadap orang lain.
Dengan demikian, makalah ini akan membahas tentang kedudukan manusia, definisi keadilan, manusia dan keadilan, dan teori keadilan. Semoga makalah ini akan menambah wacana dan wawasan kita, khususnya tentang manusia dan keadilan.
B.  Rumusan Masalah
1.      Kedudukan Manusia
2.      Definisi Keadilan
3.      Manusia dan Keadilan
4.      Teori Keadilan





BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kedudukan Manusia
Kedudukan manusia adalah sebagai makhluk individu dan makhluk sosial, makhluk biologis dan makhluk psikologis (spiritual). Manusia merupakan gabungan antara unsur material (basyari) dan unsur rahani. Dari segi hubungannya dengan Tuhan, kedudukan manusia adalah sebagai hamba (makhluk), dan kedudukan manusia dalam konteks makhluk Tuhan adalah makhluk yang terbaik[2]. Sebagaimana firman Allah dalam surat At-Tin (95) : 4):
“Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”(Q.S. At-Tin (95) : 4).
Di dalam diri manusia terdapat dua kepentingan yaitu kepentingan individu dan sosial. Dalam kepentingan individu manusia berusaha untuk memenuhi kebutuhan pribadi. Sedangkan dalam kepentingan sosial manusia berusaha untuk memenuhi kebutuhan bersama. Oleh karena itu, hakikat manusia terdiri dari beberapa unsur yang meliputi:
1.      Susunan kodrat manusia yang terdiri atas jiwa dan raga.
2.      Sifat kodrat terdiri atas makhluk individu dan sosial
3.      Kedudukan kodrat terdiri atas makhluk yang berdiri sendiri dan makhluk Tuhan.
Berdasarkan hal tersebut, maka manusia sebagai makhluk individu dan sosial adalah hakikat manusia yang memiliki sifat-sifat kodrat yang melekat dirinya. Oleh karena itu, menurut Notonagoro berdasarkan unsur hakikat manusia diatas, maka manusia sebagai makhluk individu dan sosial merupakan sifat kodrat dari manusia[3].
Sebagai makhluk individu manusia dituntut untuk mampu berinteraksi, berkomunikasi, bekerjasama, dan saling berlomba-lomba melakukan perubahan yang lebih baik dengan individu lainnya[4]. Sementara sebagai makhluk sosial manusia tidak akan lepas dari berinteraksi dengan sekitar, ada hubungan secaracvertikal (hubungan dengan Tuhan) dan secara horizontal (hubungan dengan sesama manusia, alam sekitar, dan makhluk lainnya). Sehingga manusia tidak akan lepas dari berhubungan dengan orang lain. Dalam hubungan itu kita harus bisa memahami peranan dan kedudukan masing-masing. Karena dengan hal tersebut,hubungan manusia dengan sosial akan harmonis dan tidak terjadi kesalahan. Selain itu, kebutuhan manusia yang saling bertentangan kalau tidak diatur dalam suatu kaidah atau norma yang jelas, akan  menimbulkan kekacauan[5].
Islam melalui kitab suci Al-Qur’an mengetengahkan risalah, dengan orientasi dasar membenahi dan meluruskan karakter umat mansuia dengan penekanan yang serasi dengan garis Islami. Sehingga tidak hanya pola pikir saja yang menjadi obyek pembenahan tetapi juga hati, yang secara terus menerus diketuk untuk menyadari dasar-dasar iman. Dengan demikian perbaduan yang serasi antara rasio dan perasaan imani, akan melahirkan suatu model karakter, suatu bentuk kesadaran moral, pengamalan dan penerimaan ajaran dari yang mutlak, sampai akhirnya disebut akhlak al-karimah.[6]
2.2 Definisi Keadilan
Menurut Poedjawijatna keadilan adalah pengakuan dan perlakuan terhadap hak (yang sah). Sedangkan dalam literatur Islam, keadilan sesuatu yang digunakan untuk menunjukkan pada persamaan atau bersikap tengah-tengah atas dua perkara. Keadilan tersebut berdasarkan keputusan akal yang dikonsultasikan dengan agama[7].
Keadilan atau berbuat adil adalah suatu aspek yang penting dan tidak dapat tertandingi oleh kebanyakan subyek dalam Islam. Keadilan itu seperti tauhid yang menjadi akar bagi semua dasar dan cabang Islam. Semua topik akidah dan amal, masalah individual, sosial, moral, dan hak. Tidak lepas dari hakekat tauhid, dan semua hal itu pun tidak lepas dari keadilan. Karena itu wajar keadilan dipandang sebagai salah satu prinsip utama bagi semua bangunan pemikiran muslim.
Adil adalah salah satu sifat Allah dan keadilan sebagai dasar agama ada diposisi setelah mengenal Allah. Adil itu penuh hikmah jika diistimewakan. Dalam kajian sosial Islam, tiada prinsip yang pentingnya setingkat dengan keadilan. Pentingnya keadilan dapat dirujuk pada arti hadis di bawah ini
·         Nabi Muhammad SAW bersabda : “jauhilah kezaliman-kezaliman karena setiap amal perbuatan kelak pada hari kiamat akan menjelma sebagai kegelapan”. Tirai kegelapan itu akan menutupi setiap isi kaum lalim, sedangkan setiap kebaikan akan diliputi cahaya. Tetapi kegelapan menjadi sumber segala macam ketiadaan.
·         Beliau juga bersabda “langit dan bumi berdiri dengan kukuh diatas dasar keadilan.
Arti adil yang sebenarnya ialah segala sesuatu berada di posisinya masing-masing. Maka setiap penyimpangan, berlebihan, melampaui batas dan perampasan hak bertentangan dengan prinsip keadilan. Manusia diwajibkan untuk berlaku adil dan menegakkan keadilan. Karena Allah SWT sendiri adalah maha Adil.[8]
Rasulullah SAW bersabda kepada Ali as : “Jika ada dua orang berseteru datang kepadamu, perhatikanlah keadilan dalam memandang keduanya dan kapasitas pembicaraan yang kamu smpaikan pada mereka”[9]
Untuk memutuskan perkara dengan adil memerlukan beberapa hal, yaitu :
·         Memahami dakwaan dari si pendakwa dan jawaban dari terdakwa, unutk mengetahui pokok persengketaan dengan bukti-bukti dqari kedua orang yang bersengketa.
·         Hakim atau orang sebagai penengah dalam menyelesaikan perselisihan tidaklah berat sebelah kepada salah satu pihak diantara kedua orang yang bersengketa
·         Hakim atau orang sebagai penengah dalam menyeloesaikan perselisihan harus mengerti tentang hukum yang telah digariskan oleh Allah untuk memutuskan perkara diantara mansuia berdasarkan contoh dari al-Kitab, Sunnah maupun ijma’ umat.
·         Mengangkat orang-orang yang mampi mengemban tugas hukum untuk menghukumi[10]
2.3 Manusia dan Keadilan
Masalah keadilan merupakan teori yang menjadi induk timbulnya akhlak yang mulia. Meskipun demikian, hak, kewajiban dan keadilan itu memiliki hubungan yang erat. Oleh karena itu, keadilan berusaha menerapkan dan melaksanakan hak sesuai dengan tempat, waktu, dan kadarnya seimbang. Dengan pentingnya masalah keadilan dalam rangka pelaksanaan hak dan kewajiban, Allah berfirman:
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. (Q. S. An-Nahl (16):90).
Ayat tersebut menjelaskan tentang keadilan yang sejajar dengan berbuat kebajikan, memberi makan kepada kaum kerabat, melarang dari berbuat yang keji dan mungkar serta menjauhi permusuhan. Hal tersebut menunjukkan bahwa masalah keadilan termasuk masalah yang berhubungan dengan pelaksanaan hak sebagai suatu kewajiban moral[11].
Sebagai makhluk yang bertanggungjawab, manusia dalam kehidupannya senantiasa berjuang dengan meningkatkan kualitas dan kualitas amal salehnya dan mengurangi serta menekan kualitas dan kuantitas kesalahannya. Menurut Jalaluddin Rahmat, manusia adalah makhluk paradoksal yang senantiasa berjuang untuk mengatasi konflik dua kekuatan yang saling bertentangan: kekuatan mengikuti fitrah, yaitu memikul amanat Allah dan kekuatan mengikuti prediposisi negatif, yaitu sifat kelu kesah, cenderung bakhil dan dhalim dan hanya memikirkan kehidupan duniawi. Sebagai khalifah di bumi, manusia adalah duta Tuhan di bumi dan akan diminta pertanggungjawaban atas tugasnya sebagai “duta” tersebut. Pada dasarnya, doktrin itu merupakan pemicu agar manusia banyak melakukan kebaikan dan sedikit kalu bisa tiak sama sekali melakukan penjajahan[12].
Dalam Islam keadilan dikatakan sebagai cahaya etika, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Qs. Al-Maidah: 8
“Hai Orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dnegan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adilah, karena adil lebih tekat dengan taqwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Dengan demikian keadilan itu mencakup hukum, ekonomi, dan politik, sebagaimana yang telah dilestarikan dalam Islam[13].
2.4Teori Keadilan
Keadilan merupakan kesadaran dan pelaksanaan untuk memberikan kepada pihak lain sesuatu yang sudah semestinya harus diterima oleh pihak lain. Sehingga masing-masing pihak-pihak mendapat kesempatan yang sama untuk melaksanakan hak dan kewajibannya tanpa mengalami rintangan atau paksaan. Selain itu, keadilan termasuk memberi dan menerima yang selaras dengan hak dak kewajibannya. Oleh karena itu, ada empat macam wujud keadilan menurut Aristoteles dan Notonagoro yang meliputi[14]:
1.      Keadilan tukar menukar
Adalah suatu kebajikan tingkah laku manusia untuk selalu memberikan kepada sesamanya, sesuatu yang menjadi hak pihak lain, atau sesuatu yang sudah semestinya harus diterima oleh pihak lain tersebut. Melalui keadilan tukar-menukar, terjadilah saling memberi dan saling menerima. Keadilan itu timbul di dalam hubungan antara manusia sebagai orang-seorang terhadap sesamanya di dalam masyarakat.
2.       Keadilan Distributif atau Membagi
Adalah suatu kebajikan tingkah-laku masyarakat dan alat penguasanya untuk selalu membagikan segala kenikmatan dan beban bersama, dengan cara rata, dan merata, menurut keselaran sifat dan tingkat perbedaan jasmani maupun rohani. Keadilan dalam membagi ini, terdapat dalam hubungan antara masyarakat dan warganya.
3.      Keadilan Sosial
Adalah suatu kebajikan tingkah-laku manusia di dalam hubungan dengan masyarakat untuk senantiasa memberikan dan melaksanakan segala sesuatu yang menunjukkan kemakmuran dan kesejahteraan bersama sebagai tujuan akhir dari masyarakat atau negara.
4.      Keadilan Hukum (Umum)
Adalah mengatur hubungan antara anggota dan kesatuannya untuk bersama-sama selaras dengan kedudukan dan fungsinya untuk mencapai kesejahteraan umum.
Dengan demikian, untuk menegakkan keadilan itu tidak mudah sekali. Sehingga dibutuhkan sebuah kaidah keadilan yang bisa membagi antara yang baik dan buruk. Sebab ketika berbicara tentang ketidakadilan dari dua orang yang sifat-sifatnya cukup mirip dan yang berada dalam situasi mirip juga, yang satu diperlakukan dengan lebih baik atau dengan lebih buruk daripada yang lain.
Sehingga untuk mencari ciri-ciri relevan dalam pertimbangan moral, untuk membenarkan perlakuan yang sama, dan untuk membenarkan perlakuan yang tidak sama adalah diikuti pandangan Aristoteles bahwa ciri-ciri yang relevan adalah ciri-ciri yang mempengaruhi kebahagiaan manusia. Ciri-ciri yang paling mempengaruhi kebahagian orang adalah kemampuan dan kebutuhannya. Dalam menentukan perlukan yang sama, perlu diperhatikan kemampuan dan kebutuhan. Sebab perbedaan dalam kemampuan dan kebutuhan orang adalah ciri yang dapat membenarkan suatu perlakuan yang berbeda juga. Oleh karena itu, memberi perlakuan yang sama kepada orang mempunyai arti:
1.      Memberi sumbangan yang relatif sama terhadap kebahagiaan mereka, diukur pada kebutuhan mereka.
2.      Menuntut dari mereka pengorbanan yang relatif sama, diukur pada kemampuan mereka.
Dengan begitu, kesamaan sumbangan kearah kebahagian orang lain tidak dimaksudkan dalam arti sama rata, melainkan kesamaan itu ditentukan dengan melihat kebutuhab orang itu. Kesamaan beban yang terpaksa harus dipikulkan secara sama dengan memperhatikan kemampuan anggota itu masing-masing.  Sebab perlakuan yang tidak sama dapat dibenarkan berdasarkan kaidah sikap baik atau dalam jangka panjang akan menghasilkan kesamaan yang lebih besar. Sehingga tidak ada seorng pun yang dirampas haknya demi keuntungan orang lain ataupun seluruh masyarakat[15].

























BAB III
PENUTUP
3.1    Kesimpulan
Manusia adalah makhluk yang tidak bisa hidup sendiri. Sehingga manusia termasuk makhluk sosial yang senantiasa harus berinteraksi dengan manusia lain. Dalam berinteraksi dengan sesama manusia, seringkali muncul berbagai persoalan yang harus segera mungkin ada solusinya, termasuk dalam hal keadilan.
Oleh karena itu, dalam kehidupan sosial manusia akan selalu dihadapkan dengan masalah keadilan salah satunya. Dalam menyelesaikan dua hal yang sedang dihadapinya, manusia harus berlaku adil antara keduanya. Karena keadilan termasuk masalah yang tidak bisa dihindari dan bahkan harus diselesaikan.
Banyak sekali para tokoh yang mencoba memberikan teori tentang bagaimana berlaku adil. Salah satunya Aristoteles dan Notonagoro yang membagi keadilan dalam empat wujud yang meliputi; keadilan tukar menukar, keadilan distributif (membagi), keadilan sosial, dan keadilan hukum (umum).
















DAFTAR PUSTAKA

Abd, Atang Hakim, Jaih Mubarok., 2000, Metodologi Studi Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya.

Al-Asfahani, Ar-Raghib, t.t.,Mu’jam Mufradat Alfadz Al-Qur’an, Beirut: Dar al-Fikr

Alfan,Muhammad, 2013,Pengantar Filsafat Nilai, Bandung: Pustaka Setia

Heimanto, Winarno, 2013, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, Jakarta: Bumi Aksara

Husaini,Said Husain., 2013,Bertuhan dalam Pusaran Zaman: 100 Pelajaran Penting Akhlak dan Moralitas, Jakarta:Citra

Nata,Abuddin, 2013,Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia, Jakarta: Raja Grafindo Persada

Syukur, Amin, 2004,Tasawuf Sosial,Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Tumanggor,Rusmin dkk, 2010,Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, Jakarta: Prenada Media Group

Tumannggor,Rusmin., 2010,Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, Jakarta: Kencana Prenada Media Group

Zubair, Achmad Charris, 1995, KuliahEtika, Jakarta: Raja Grafindo Persada






[1] Muhammad Alfan M. Ag, Pengantar Filsafat Nilai, (Bandung: Pustaka Setia, 2013), hlm. 252.
[2] Atang Abd. Hakim, Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 20000), hlm. 209.
[3] Heimanto, Winarno, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, (Jakarta: Bumi Aksara, 2013), hlm. 40-41.
[4] Rusmin Tumannggor, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2010), hlm. 41.
[5] Rusmin Tumanggor, dkk, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, (Jakarta: Prenada Media Group, 2010), hlm. 43-45.
[6] Amin Syukur, Tasawuf Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 162
[7] Ar-Raghib Al-Asfahani, Mu’jam Mufradat Alfadz Al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t. ), hlm. 336.
[8] Said Husain Husaini,Bertuhan dalam Pusaran Zaman:100 Pelajaran Penting Akhlak dan Moralitas. (Jakarta:Citra,2013). H. 267-268
[9] Ibid, h. 269
[10]M. Quraish Shihab, op cit, h. 516
[11]Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), hlm. 123.
[12]Opcit, hlm. 211-212.
[13]Amin Syukur, Opcit, hlm. 73-74.
[14] Achmad Charris Zubair, Kuliah Etika, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hlm. 67-69.
[15]Ibid, hlm. 73-74.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar