Rabu, 05 Oktober 2016

Agama dan Masyarakat

BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Sudah diakui secara umum bahwa semua masyarakat yang dikenal di dunia ini sampai batass tertentu bersifat religius. Pengakuan tersebut tentunya merupakan kesepakatan mengenai apa saja yang membentuk prilaku keagamaan namun dalam kenyataannya kesepakatan mengenai hal ini lebih sulit bisa diperoleh. Argumen yang dikemukakan mengenai bagaimana cara mendefinisikan agama dan bagaimana membedakannya disatu pihak dengan magic, sain dan filsafat, dan dengan beberapa jenis entusiasme politik dan sosial dilain pihak, sudah muncul bertahun-tahun.[1]
Dalam perspektif sosiologis agama dipandang sebagai sistem kepercayaan yang diwujudkan dalam prilaku sosial tertentu. Ia berkaitan dengan pengalaman manusia, baik sebagai individu maupun kelompok. Sehingga, setiap perilaku yang diperankannya akan terkait dengan sistem keyakinan dari ajaran agama yang dianutnya. Prilaku individu dan sosial digerakan oleh  kekuatan dari dalam yang didasarkan pada nilai-nilai ajaran agama yang menginternalisasi sebelumnya.[2]
Oleh karena itu makalah ini akan membahas tentang Agama dan Pengaruhnya dalam kehidupan, Perilaku dinamis masyarakat dalam beragama, Pengaruh timbal balik antara agama dan masyarakat. Harapannya makalah ini dapat menambah wacana dan wawasan para pembaca khususnya dalam bidang yang dikaji.
B.       Rumusan Masalah
·         Agama dan Pengaruhnya dalam kehidupan
·         Perilaku dinamis masyarakat dalam beragama
·         Pengaruh timbal balik antara agama dan masyarakat
BAB II
PEMBAHASAN
A.      Agama dan Pengaruhnya dalam Kahidupan
Menurut Geertz, agama dalam sosiologi agama adalah suatu sistem jiwa yang berbuat untuk menciptakan suasana hati (mood) dan motivasi yang kuat, serba menyeluruh dan berlaku lama dalam diri manusia dengan merumuskan konsep yang bersifat umum tentang segala sesuatu (eksistensi) dan dengan membalut konsepsi itu dengan suasana kepastian faktual, sehingga suasana hati dan motivasi itu terasa sungguh-sungguh realistik.
Agama sebagai bentuk keyakinan manusia terhadap sesuatu yang bersifat adikodrati (supranatural) seakan menyertai mansuia dalam ruang lingkup kehidupan yang luas. Agama memiliki nilai-nilai bagi kehidupan manusia sebagai orang-perorang maupun dlaam hubungannya dengan kehidupan bermasyarakat. Selain itu agama juga memberi dampak bagi kehidupan sehari-hari. Dengan demikian secara psikologis, agama dapat berfungsi sebagai motif intrinsik (dalam diri) dan motif ekstinsik (luar diri). Motif yang didorong keyakinan agama dinilai memiliki kekuatan yang mengagumkan dan sulit ditandingi oleh keyakinan non-agama, baik doktrin maupun ideologi yang bersifat profan. Agama memang unik sehingga sulit didefinisikan secara tepat dan memuaskan.[3]
Meskipun demikian perkembangan kehidupan yang dirasakan akhir-akhir ini baik pada tingkat global, regional, maupun lokal ternyata memberi tantangan sangat besar bagi penganut agama. Tentangan tersebut tidak lain adalah pluralisme sosial, tuntutan demokratisasi, relatifitas iman, dan kesetaraan gender.
Pluralitas sosial dirassakan dengan semakin mudahnya mobilitasn sosial baik secara vertikal maupun horizontal. Akhirnya kebenaran suatu agama tidak lagi ditentukan ajaran agama tetapi oleh kekuatan rasional. Keadaan ini merupakan dampak dari perkembangan ilmu pengetahuan terutama dibidang transportasi telekomunikasi dan turisme yang membuat masyarakat menjadi mudah bergerak dari satu tempat ketempat yang lain. Bahkan iklan-iklan di layar kacapun selalu menawarkan produk baru degan tema kenikmatan dan kenyamanan hidup. Mobilitas sosial ini tentu membuat masyarakat menjadi majemuk dan menipisnya batas-batas wilayah, budaya, ideologi, dan agama.
Tuntutan demokratisasi diraasakan dengan semakin transparannya berbagai kriteria nilai dalam menentukan sebuah keputusan. Sehingga hak-hak privelese yang dimiliki oleh kelompok atau tokoh agama tertentu pada masa depan akan dipertanyakan dan bahkan mungkin digugat. Oleh karena itu, sebaiknya mmulai memikirkan landasan argumen dibalik nalar misteri, dogma yang selama ini menjadi dasar acuan teologi.
Sedangkan gejala relitivitas iman tampaknya menjadi sesuatu yang cenderung menafikan kenikmatan iman dari ajaran agama. Dengan begitu, relativitas iman adalah usaha melepaskan sejarah agama dengan pemahaman dan penghayatan agama. Karena itu], orang menilai agama merupakan kumpulan sesuatu yang paradoksal dsan merupakan pemicu setiap konflik.
Kesataraan gender merupakan tuntutan kaum perempuan yang berusaha mendapatkan hak-haknya yang dirampas. Kesetaraan gender ini pada dasarnya tidak hanya berkaitan dengan hak-hak dibeidang politik, tetapi juga menyentuh pemahaman keagamaan untuk memberikan tempat yang pantas bagi kaum hawa[4].
Sebagai bangsa yang memiliki keragaman etnis, agama, dan budaya yang luar biasa, Indonesia seringkali dijadikan ajang pemantauan bagaimana proses-proses demokrasi, penerapan ide-ide pluralisme dan multikulturalisme dapat dilangsungkan. Persentuhan ragam budaya dan agama antar kelompok masyarakatnya yang telah berlangsung sejak lamajuga telah melahirkan konflik dan konsensus yang terjadi. Demokrasi yang oleh Robert Dahl (1982), juga disyaratkan dengan terciptanya karakteristik pluralisme yang kondusif bagi sebuah negara ini mendapatkan gimnasiumnya di Indonesia[5].
B.       Perilaku Dinamis Masyarakat dalam Beragama
Perilaku manusia yang terbentuk oleh norma-norma masyarakat tidak berarti sebagai potensi dirinya secara kultural dinafikan begitu saja, justru potensi kultural yang bisa diadaptasikan dan diintegerasikan secara sosialistik sehingga menjadi sistem sosial yang muatan simboliknya diterima dan menjadi citra khas masyarakat tertentu. Dengan demikian, pembentukan masyarakat ecara serta merta merupakan pemolaan karakteristik budaya yang memiliki daya ikat dan daya atur tersendiri.
Oleh karena itu, ajaran agama memiliki pengaruh yang besar dalam menyatukan persepsi kehidupan masyarakat tentang semua harapan hidup. Sebagai salah satu arah kehidupan sosial yang proses pemolaannya lebih sistematis dan mendarah daging. Dalam pemolaan, perilaku sosial agama memasuki hati nurani manusia sehingga akal pikiran utama mencari makna hidup belum sempurna apabila substansi ajaran agama tidak dijadikan rujukan terpenting secara epistemologis ataupun aksiologis.
Dalam suasana perubahan sosial dan transformasi masyarakat yang sedang terjadi seperti di Indonesia, perlu diperhatikan mengenai tempat dan peranan serta fungsi agma dalam proses perubahan transformasi tersebut, dan tentang hubungan antara agama dan kebudayaan dalam proses yang berlangsung terus menerus. Sebab perubahan sosial atau transformasi yang mengindikasikan adanya modernisasi akan disertai individualisasi sehingga dapat menyelesaikan kerukunan masayarakat. Pada solidaritas sosial, kohesi dan kerukunan sosial berasal dari agama. Sistem nilai yang mewujudkan spiritualitas dan moralitas luhur dalam agama dipandang dapat melakukan filter terhadap perkembangan budaya dan modernisasi. Sebab moralitas tersebut sangat diperlukan dalam menghadapi tantangan tersebut[6]
Oleh karena itu, perilaku dinamis dalam agama akan mengarah kepada fungsi agama dalam kehidupan masyarakat. Sedangkan fungsi agama dalam pandangan Thomas F. O’dea adalah sebagai berikut[7]:
1.      Agama mendasarkan perhatiannya pada sesuatu diluar jangkauan manusia dengan melibatkan takdir dan kesejahteraan, menyediakan motivasi positif bagi pemeluknya, serta sebagai pelipur lara dan rekonsialisasi. Agama memberikan swemangat dan dukungan moril pada saat manusia berada dalam ketegangan dan ketidakpastian, kekecewaan, dan frustasi. Agama juga sebagia kebutuhan rekonsialisasi deengan masyarakat jika diasingkan dari tujuan dan norma-normanya. Agama menyediakan sarana emosional penting yang membantu dalam menghadapi unsur-unsur kondisi manusia.
2.      Agama menawarkan hubungan transendental melalui pemujaan dari upacara ritual. Oleh karena itu, agama dapat memberikan dasar emosional bagi rasa aman dan percaya diri dalam menghilangkan kekhawatiran hidup sekarang ini dan masa depan.  Agama membantu meringankan hidup yang memprihatinkan. Agama menyediakan saran dan kerangka acuan dalam menyelesaikan masalah sosial dari berbagai sudut pandang.
3.      Agama memberikan dan mensakralkan norma-norma serta nilai-nilai masyarakat yang telah terbentuk, mempertahankan dominasi tujuan kelompok di atas keinginan individu.
4.      Agama melakukan fungsi kritik atas berbagai nilai masa lalu yang bersifat normatif.
5.      Agama melakukan fungsi identitas. Melalui nilai-nilai yang terdapat dalam ajaran yang diyakini suci oleh pemeluknya.
6.      Agama melakukan fungsi pendewasaan. Setiap usia manusia diperhitungkan di antara pahala dan sanksi hidup.
Salah satu analisa sosiologis yang profokatif tentang agama adalah yang dilakukan oleh sosiolog Prancis yang bernama Emili Durkhelm dalam bukunya The Elementary Forms of Religious Life. Ia berusaha memahami peranan sosial agama dengan jalan memahami bentuk-bentuknya yang paling sederhana atau yang paling elementer. Selain itu ia menganalisis ritual-ritual keagamaan totemik arunta, yaitu suatu masyarakat pemburu-peramu Australia yang telah ada ternyata mempunyai pengetahuan etnografis mengenai masyarakat itu.
Durkhelm mencatat bahwa orang-orang arunta, ritual dan seremoni adalah bagian yang sangat penting daripada kehidupan sosial. Orang-orang arunta menyembah kekuasaan-kekuasaan supranatural bukanlah merupakan apa yang paling penting mengenai kegiatan mereka. Maksudnya mereka sesungguhnya sedang menyembah kekuasaan masyarakat mereka sendiri, kekuasaan masyarakat atas setiap individu. Bahkan ritual keagamaan mereka mendemonstrasikan dan menyimpulkan perlunya individu menyerahkan diri mereka kepada kehendak kelompok. Sehingga dalam berkumpul bersama saat ritual orang-orang arunta secara terbuka mengeratkan kembali keterikatan mereka antara yang satu dengan lainnya dan dengan masyarakat sebagai suatu keseluruhan.[8]
C. Pengaruh Timbal Balik Antara Agama dan Masyarakat
Pengaruh timbal balik antara agama dan masyarakat merupakan fokus fokus dari kajian sosiologi agama. Menurut Glenn M. Vernon, ahli sosiologi asal Amerika dalam bukunya Sociologi of Religion (1962), memusatkan perhatiannya pada masalah-masalah tersebut. Selain itu, ia menguraikan tentang pengaruh timbal balik antara agama dengan pemerintah, agama dengan pendidikan, agama dengan faktor-faktor ekonomi, agama dengan perkawinan, dan agama dengan faktor-faktor ekonomi[9].
Untuk mengetahui pengaruh agama terhadap masyarakat, ada tiga aspek yang perlu dipelajari, yaitu kebudayaan, sistem sosial dan kepribadian. Ketiga aspel tersebut meerupakan fenomena sosial yang kompleks dan terpadu yang pengaruhnya dapat diamati pada perilaku manusia.  Oleh karena itu, menurut Nottingham ada tiga tipe hubungan agama dan masyarakat yang meliputi[10]:
1.    Masyarakat yang terbelakang dan nilai-nilai sakral. Tipe masyarakat ini kecil, terisolasi, dan terbelakang. Anggota masyarakatnya menganut agama yang sama. Tidak ada lembaga lain yang relatif berkembang selain lembaga keluarganya, agama menjadi fokus utama bagi pengintegrasian dan persatuan masyarakat dari masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu, kemungkinan, kemungkinan agama memasukkan pengaruh yang sakral kedalam sistem nilai-nilai masyarakat sangat mutlak.
2.    Masyarakat praindustri yang sedang berkembang. Keadaan masyarakatnya tidak terisolasi, ada perkembangan teknologi yang lebih tinggi daripada tipe pertama. Agama memberikan arti dan ikatan kepada sistem nilai dalam tipe masyarakat ini. Tetapi pada saat yang sama, lingkungan yang sakral dan yang sekuler sedikit-banyak masih dapat dibedakan,. Misalnya, pada fase-fase kehidupan sosial masih di isi oleh upacara-upacara keagamaan, tetapi pada sisi kehidupan lain, pada aktivitas sehari-hari, agama kurang mendukung. Agama hanya mendukung masalah adat istiadat saja. Nilai-nilai keagamaan dalam masyarakat menempatkan fokus utamanya pada pengintegrasian tingkah laku perorangan dan pembentukan citra pribadi mempunyai konsekuensi penting bagi agama.
3.    Golongan pengrajin dan pedagang kecil. Golongan pengrajin dan pedagang kecil hidup dalam situasi yang berbeda dengan golongan petani. Kehidupan golongan ini tidak terlalu berkutat dalam situasi alam dan tidak terlalu bergantung pada hukum alam. Hidup mereka didasarkan atas landasan ekonomi yang memerlukan perhitungan rasional. Mereka tidak menyandarkan diri pada keramahan alam yang tidak bisa dipastikan, tetapi lebih mempercayai perencanaan yang teliti dan pengaran yang pasti.
Agama sebagai intuisi atau sumber nilai dan paradigma metafisikal dalam manggapai segala hal yang rasional, suprarasional, fisikal, metafisikal, natural, supranatural, transendental, dan yang imanental. Hal-hal yang isoterik ataupun esoterik adalah fakta yang rasional karena di dalam sistem nilainya terdapat peran dan fungsi akal serta perilaku manusia, bahkan terdapat interaksi timbal balik, interaksi simbolik, dan integrasi sosial-budaya secara turun temurun. Dengan demikian, perilaku yang berasas atas nama agama sangat penting untuk dikaji dengan perspektif sosiologi dan antropologi, mengingat perilaku beragama adalah gambaran perilaku masa lalu, klasik dan tradisional. Disi lain, perubahan situasi dan kondisi dapat mengubah perilaku klasik menjadi bentuk perilaku baru dengan proses argumentasi yang dibenarkan secara ontologis ataupun epistemologis. Bahkan perilaku beragama berwujud lebih lama dan kuat karena dorongan bukan hanya karena sistem nilainya yang berlaku, juga karena sistem filosofika dan sistem budaya yang secara terus menerus dijadikan rujukan perilaku[11].
Selain itu, agama memberi makna kepada kehidupan individu dan kelompok, memberi harapan tentang kelanggengan hidup sesudah mati. Agama dapat menjadi sarana manusia untuk mengangkat diri dari kehidupan duniawi yang penuh penderitaan, mencapai kemandirian spiritual. Agama memperkuat norma-norma kelompok, sanksi moral untuk perbuatan perorangan, dan menjadi dasar persamaan tujuan serta nilai-nilai yang menjadi landasan keseimbangan masyarakat[12].





BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Agama dan masyarakat merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Keberadaan agama dalam masyarakat sangat mempengaruhi pola hidup masyarat dalam kelangsungan hidupnya. Sehingga dari perilaku masyarakat yang disertai dengan perilaku keagamaan akan menciptrakan kehidupan yang religius dan memiliki aturan serta tujuan yang jelas.
Selain itu, perilaku masyarakat yang taat beragama akhirnya menunjukkan adanya fungsi agama dalam masyarakat. Fungsi agama dalam kehidupan bermasyarakat salah satunya adalah agama mendasarkan perhatiannya pada sesuatu diluar jangkauan manusia dengan melibatkan takdir dan kesejahteraan, menyediakan motivasi positif bagi pemeluknya, serta sebagai pelipur lara dan rekonsialisasi.
Dengan demikian, antara agama dan masyarakat dalam kehidupan juga memilki hubungan timbal balik antara keduanya. Salah satu hubungan timbal balik antara agama dan masyarakat adalah agama sebagai intuisi atau sumber nilai dan paradigma metafisikal dalam manggapai segala hal yang rasional, suprarasional, fisikal, metafisikal, natural, supranatural, transendental, dan yang imanental.











DAFTAR PUSTAKA

Ishomuddin, 2002, Pengantar Sosiologi Agama, Jakarta: Ghalia Indonesia.
Kahmad, Dadang, 2009, Sosiologi Agama, Bandung: Remaja Rosdakaria.
Lubis, M. Ridwan, 2005, Cetak Biru Peran Agama, Jakarta: Puslitbang.
R. Scharf, Betty, 1995, Kajian Sosiologi Agama, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
Saebeni, Beni Ahmad, , 2007, Sosiologi Agama, Bandung: Refika Aditama.
Tumanggor, Rusmin, dkk, 2010, Ilmu Sosial Budaya dan Dasar, Jakarta: Kencana Prenada Media Group.




[1] Betty. R. Scharf, Kajian Sosiologi Agama, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1995) h. 29
[2] Dadang kahmad, Sosiologi Agama, (Bandung: Remaja Rosdakaria, 2009) h. 53
[3] Ishomuddin, Pengantar Sosiologi Agama, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002) h. 34-35
[4] M. Ridwan Lubis, Cetak Biru Peran Agama, (Jakarta: Puslitbang, 2005), hlm. 202-203.
[5] Rusmin Tumanggor, dkk, Ilmu Sosial Budaya dan Dasar, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), h. 95.
[6] Beni Ahmad Saebeni, Sosiologi Agama, (Bandung: Refika Aditama, 2007), hlm. 1-4.
[7] Opcit, hlm. 17-18.
[8] Ishomuddin, opcit, h. 38-39
[9] Opcit, h. 41.
[10] Opcit, h. 131-133.
[11] Opcit, h. 61-62.
[12] Opcit, hlm. 119.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar