AGAMA SHINTO DI JEPANG
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Dalam perjalanannya agama mengalami pasang surut dan pada tempat
dan kurun waktu tertentu, agama diselewengkan oleh para pemeluknya sehingga
agama yang pada dasarnya ateis berubah menjadi politeis dan bahkan animis[1]. Oleh
karena itu, masyarakat primitif yang merupakan masyarakat yang ditandai oleh
relatif tidak adanya diferensi sosial dan kebudayaan. Dimana masyarakat
tersebut cenderung tidak memiliki kelompok-kelompok spesialisasi yang jelas dan
kolektif-kolektif dengan tugas-tugas masalah dan kepentingan-kepentingan yang
berbeda-beda, dan juga cenderung tidak adanya perangkat keyakinan yang jelas
berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan sosial dan alamiah, maupun gejala
fisik. .[2]
Dengan
demikian, keberadaan agama Shinto sendiri juga sangat mempengaruhi terhadap
pola pikir masyarakat Jepang. Selain itu, agama Shinto dianggap sebagai agama
Kaisar Jepang yang sudah turun-temurun dari nenek moyang mereka. Ajaran dari
agama Shinto diamalkan oleh seluruh masyarakat Jepang dalam tiap harinya dan
pada upacara-upacara keagamaan agama Shinto.
Berdasarkan
hal tersebut, makalah ini akan membahas tentang sejarah munculnya agama Shinto
sampai perkembangannya. Begitu juga tentang pokok-pokok ajaran dari agama
Shinto dan praktik keagamaannya serta tempat sucinya. Harapannya makalah ini
dapat menambah wacana dan wawasan keilmuan kita, khususnya tentang agama Shinto
yang merupakan agama asli penduduk Jepang.
1.2
Rumusan Masalah
A.
Sejarah
dan Perkembangan Agama Shinto
B.
Ajaran
Pokok Agama Shinto
C.
Praktik
Keagamaan Agama Shinto
D.
Tempat
Suci Agama Shinto
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Sejarah dan Perkembangan Agama Shinto
Agama Shinto adalah
agama asli Jepang yang usianya telah mencapai lebih dari 2000 tahun. Msekipun
sebelumnya sudah didahului oleh agama Konfusius dan Buddhisme yang sudah masuk
Jepang pada abad ke-6. Dimana sejarah perkembangan agama Shinto di Jepang dapat
dibedakan pada tahapan masa sebagai berikut[3]:
1. Masa perkembangan dengan pengaruh mutlak sepenuhnya di Jepang, dari
660 SM, di dalam masa dua belas abad lamanya.
2. Masa agama Buddha, Konghuchu, dan ajaran Tao masuk Jepang, dari 552
M sampai 800 M, dalam masa dua setengah abad itu agama Shinto memperoleh
saingan berat. Pada 645 M, Kaisar Kotoku merestui agama Buddha dan
menyampingkan Kammi-no-michi.
3. Masa sinkronisasi secara berangsur-angsur anatara agama Shinto dan
tiga ajaran agama lainnya, yaitu dari 800 M sampai 1700 M. Dimana dalam masa
sembilan abad itu pada akhirnya lahir Ryobu-Shinto (Shinto-Paduan).
Dibangun oleh Kobo-Daishi (774-835) dan Kitabake Chikafuza (1293-1354)
dan Ichijo Kanoyoshi (1465-1500) dan lainnya.
Menurut Joachim Wach
dalam bukunya Sosiology of Religion, Shintoisme merupakan agama yang
sangat impreshif (mengagumkan) karena telah berani mengidentifikasikan bangsa
Jepang dengan dewa, disamping larena Shinthoisme merupakan loyalitas dan
patriotisme yang dapat mengikat antara bangsa dengan Kaisar sabagai lambang esprit
de corp (kesetiakawanan) dikalangan bangsa. Hal ini dapat dilihat dari
kesetiaan bangsa jepang terhadap keturunan Jimmu Tenno (kaisar pertama) serta
kesetiaan mereka terhadap Amaterasu (dewi Matahari) yang tidak perlu
diasingkan.
Semangat loyalitas
dan patriotisme bangsa Jepang dapat dibuktikan pada medan juang sewaktu Perang
Dunia II, yang disamping karena didasarkan pada semangat nasionalisme, juga
karena berpusat pada keyakinan akan watak dan asal usul kedewaan kaisar dan
bangsa mereka. Selain itu, ide kamikaze (nafas dewa), bukan merupakan
slogan kosong bagi mereka, melainkan pengabdian terhadap jalan para dewa dan
jalan kaisar merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan.[4]
Nama Shinto muncul setelah masuknya agama Buddha ke Jepang yang dimaksudkan
untuk menyebut kepercayaan asli bangsa Jepang, penyebarannya adalah di asia dan
terbanyak di jepang, kira kira pada abad 6 masehi agama budha masuk ke jepang
dari tiongkok dengan melalui korea. Satu abad kemudian agama itu telah
berkembangan dengan pesat bahkan lama kelamaan agama itu dapat mendesak agama
shinto akan tetapi karena agama shinto mengajarkan penganutnya untuk memuja dan
berbakti kepada raja maka raja pun berusaha untuk melindunginya.
Nama Shinto muncul
setelah masuknya agama Buddha ke Jepang yang dimaksudkan untuk menyebut
kepercayaan asli bangsa Jepang, penyebarannya adalah di asia dan terbanyak di Jepang,
kira kira pada abad 6 masehi agama budha masuk ke jepang dari tiongkok dengan
melalui korea. Satu abad kemudian agama itu telah berkembangan dengan pesat
bahkan lama kelamaan agama itu dapat mendesak agama shinto akan tetapi karena
agama shinto mengajarkan penganutnya untuk memuja dan berbakti kepada raja maka
raja pun berusaha untuk melindunginya.
Pada abad ke-7 Shinto masih berpegang teguh
pada sifatnya yang sederhana dan corak keagamaannya yang animistis. Akan tetapi
karena saat itu pula bangsa jepang mulai membayangkan sebagai sebuah Negara
kekaisaran yang mampu menyaingi kultur bangsa Cina yang sudah lebih dulu maju,
dan agama Shinto memeberi kemungkinan diciptakannya suatu kultus nasional
seperti yang pernah dilakukan oleh para penguasa suku Yamato jauh sebelumnya,
maka pemujaan terhadap Dewi Matahari yang pernah dikembangkan oleh suku
tersebut dihidupkan dan digalakkan kembali[5].
2.2 Ajaran Pokok Agama Shinto
Paham serba jiwa
(animisme) merupakan dasar awal kepercayaan agama Shinto. Dengan sangat
sederhana, rakyat Jepang memersonifikasikan semua gejala alam yang mereka temui
sebagai sesuatu yang mempunyai daya kekuatan dan kekuasaan yang sangat
berpengaruh terhadap kehidupan mereka. Hal semacam ini mereka sebut dengan
istilah Kammi. Kammi menurut pandangan mereka adalah sama dengan
dewa yang dapat menunjukkan tunggal dan banyak, serta merupakan objek pemujaan
mereka.[6]
Hal tersebut
seperti penyembahan alam atau natur whorsip yang merupakan tahapan
paling awal dari evolusi keagamaan bangsa primitif. Kekuatan-kekuatan alam
serta anasir-anasir alam mereka personifikasikan menjadi dewa-dewa yang
berkuasa. Pada agama Mesir Kuno, misalnya, Dewa Ra’ adalah personifikasi dari
matahari, Tefnut personifikasi dari air, dan Shu personifikasi dari hawa.[7]
Dengan demikian,
keberadaan dewa bangsa Jepang memang cukup banyak, sebagaimana dapat diketahui
dari istilah yao-yarozu no Kami, berarti miliun dewa. Oleh karena itu, terdapat
beberapa konsepsi kedewaan agama Shinto, yaitu:
1. Setiap gejala alam yang memersonifikasikan pada dewa-dewa (kami)
dapat mendengar dan melihat, sehingga memintakan pemujaan secara langsung.
2. Kami (dewa) tersebut dapat muncul dari diri manusia.
3. Dewa-dewa dipandang memiliki mitama (spirit) yang memancar
dan berdim pada tempat-tempat suci di bumi dan dapat mempengaruhi kehidupan
manusia.
Berdasarkan hal
tersebut, pada prinsipnya penganut agama Shinto dapat memuja kepada para dewa,
roh nenek moyang, patung ataupun hewan yang dipandang suci. Dimana dewa-dewa
hidup damai dan bersatu dalam suatu majelis dewa. Tidak ada pemikiran mengenai
dewa tertinggi, sekalipun ada tendensi untuk menempatkan dewa matahari pada
posisi yang tertinggi. Namun hal ini tidak dapat disebut sebagai dewa tertinggi
sebab persoalan-persoalan penting tidak dapat ditentukan oleh dia sendiri,
tetapi oleh keputusan majelis dewa. Kami (dewa) ini, disamping terdapat
pada diri manusia yang sudah mati (leluhur), juga kepada manusia yang telah
memberikan jasa, baik kepada bangsa maupun negara.
Sedangkan ajaran-ajaran
pokok agama Shinto meliputi beberapa hal, antara lain:
1.
Kitab
Suci
Kitab suci tertua
dalam agama Shinto ada dua buah, disusun sepuluh abad sepeninggal Jimmu Tenno
(660 SM), Kaisar Jepang pertama dan dua buah lagi disusun pada masa belakangan.
Keempat kitab tersebut sebagai berikut:
a.
Kojiki,
berisi catatan peristiwa purbakala, disusun pada tahun 712 M, setelah
Kekaisaran Jepang berkedudukan di Nara. Ibu Kota Nara dibangun pada tahun 710
M. Meniru Ibukota Changan di Tiongkok.
b.
Nihonji,
berisi riwayat Jepang, disusun pada tahun 720 M, oleh penulis yang sama
dengan dibantu sang pangeran di istana.
c.
Yengishiki,
berisi berbagai lembaga pada masa Yengi, disusun pada abad ke-10 M,
terdiri atas lima puluh bab. Sepuluh pertama berisikan ulasan kisah-kisah
purbakala yang bersifat kultus, dilanjutkan dengan peristiwa selanjutnya sampai
abad ke-10 M. Inti isinya adalah mencatat 25 buah Norito, yaitu doa-doa pujian
yang sangat panjang pada berbagai macam upacara keagamaan.
d.
Manyoshiu,
berisi himpunan sepuluh ribu daun, meliputi bunga rampai, terdiri dari
4496 buah sajak, disusun antara abad ke-5 dan abad ke-8 M.
2.
Ajaran
tentang Kami
Istilah “Kami”
diartikan “di atas” atau “unggul”, yang secara spiritual diartikan dengan
“dewa, Tuhan, god, dan sebagainya. Bagi bangsa Jepang, istilah Kami yang
menjadi suatu objek pemujaan berbeda pengertiannya dengan pengertian objek
pemujaan yang ada dalam agama lain. Dima istilah tersebut bisa berarti tunggal
dan jamak sekaligus, karena dewa dalam agama Shinto jumlahnya tidak terbatas,
senantiasa bertambah, diungkapkan dalam istilah yao-yarozu no Kami, “delapan
miliun dewa”.
Berdasarkan hal
tersebut, dewa-dewa (Kami) dalam agama Shinto meliputi[8]:
a.
Dewa
Langit (Amatsu Kami), bertempat tinggal di Takama no hara.
b.
Dewa
Bumi (Kunitsu-Kami), bertempat tinggal di bumi.
c. Dewa Tanah, yaitu dewa yang menguasai kekuasaan atas tanah dan
dipuja secara langsung, diantaranya: Ta-no-kami (dewa ladang padi), Oho-na-mochi
(pemilik nama besar), disebut juga Oho-kuni-nushi, penguasa tanah
yang agung atau Oho-Kuni-dana (spirit tanah yang agung).
d. Dewa Gunung, hampir semua gunug disebut Yama n0-kami (dewa
gunung), yang dibagi menjadi dua yaitu: pertama, dewa yang memerintah gunung,
disembah oleh para pemburu, pembuat arang, penebang pohon dengan cara memberi
sesaji ikan asin yang disebut okoze, kedua, dewa gunung yang berhubungan
dengan tanah pertanian yaitu Ta-no-kami, dipuja oleh para petani.
e. Dewa Laut, disebut umi-no-kami, penguasa lautan dan dipuja
agar memperoleh keselamatan dalam pelayaran.
f. Dewa Air, disebut Suijin, dipuja ditempat-tempat aliran
irigasi, danau, kolam, mata air, sumber air minum dan lain-lain.
g.
Dewa
Api, disebut hi-no-kami. Diantara dewa api adalah Futsu-nushi, yang
turun dari langit untuk mempersiapkan negeri Jepang sebelum kedatangan Ninigi,
cucu dari Dewi Matahari, simbolnya berupa sebuah pedang.
h.
Dewa
Pohon. Pohon yang memiliki ukuran besar dan usia tua dijadikan objek pemujaan.
Diantara dewa pohon adalah kukunochi, ayah pohon, dan kaya-no-hime
(putri buluh), dewa yang menguasai rerumputan dan dedaunan obat.
i.
Dewa
manusia, ada dewa yang awalnya adalah manusia. Manusia di dewkan karena jiwa (mi-tama)
orang yang dipuja dianggap sebagai Kami. Di antaranya arwah para raja dan
anggota keluarganya, arwah para pahlawan bangsa, arwah orang-orang yang
dianggap berjasa dan mengambil penuh bagi kepentingan bangsa dan negara, sontohnya
Sugara Michizane dipuja sebagai Tenjin, Kaisar Tokugawa dipuja sebagai Toshogu,
dan arwah para korban perang seperti yang dipuja di jinja Yashukuni.
3.
Ajaran
tentang Manusia
Konsep tentang
manusia dapat diketahui dari kepercayaan akan adanya garis kesinambungan antara
Kami dan manusia. Kami diyakini bukan merupakan sesuatu kekuasaan yang mutlak
dan transenden atas manusia. Kami dan manusia berada dalam satu hubungan yang
diistilahkan Oya-ku, suatu hubungan antara orang tua dan anak, atau
antara nenek moyang dan keturunannya. Hal itu digambarkan dalam mitologis garis
keturunan kaisar pertama Jepang, yang diyakini sebagai keturunan Dewa Matahari.
Jadi manusia adalah putra Kami. Hal itu mengandung dua pengertian: pertama, kehidupan
manusia berasal dari Kami, sehingga dianggap suci, kedua, kehidupan
sehari-hari adalah pemberian dari Kami.
4.
Ajaran
tentang Dunia
Agama Shinto
memandang dunia ini sebagai satu-satunya tempat kehidupan bagi manusia. Dalam
pemikiran Shinto ada tiga jenis dunia, yaitu: (1) Tamano-hara, berarti
“tanah langit tinggi”, sebuah dunia suci, rumah dan tempat tinggal para dewa
langit (Amatsu-Kami), (2) Yamino-kuni, dunia yang dibayangkan
sebagai dunia yang gelap, kotor, jelek, menyengsarakan, tempat orang-orang yang
sudah meninggal dunia, (3) Tokoyono-kuni, berarti “kehidupan yang
abadi”, “negeri yang jauh diseberang lautan”, atau “ kegelapan yang abadi”,
yaitu dunia yang dibayangkan penuh dengan kenikmatan dan kedamaian, dianggap
sebagai tempat tinggal arwah orang-orang yang meninggal dunia dalam keadaan
suci. Ketiga dunia tersebut sering disebut kakuriyo (dunia yang
tersembunyi), dan dunia tempat tinggal manusia disebut ut-sushiyo
(dunia yang terlihat atau dunia yang terbuka).
5.
Ajaran
tentang Etika
Menurut D.C. Holten,
ahli sejarah Jepang, menyatakan bahwa orang-orang Jepang dilahirkan dalam
ajaran Shinto, kesetiaannya terhadap kepercayaan dan pengamalan ajarannya
menjadi kualifikasi pertama sebagai “orang Jepang yang baik”. Sedangkan
beberapa ajaran yang berkaitan dengan kepribadian terkandung dalam ajaran
kesusilaan yang biasanya dilakukan para bangsawan atau para ksatria Jepang,
antara lain[9]:
a. Keberanian dianggap sebagai suatu keutamaan pokok dan ditanamkan
pada anak dalam masa permulaan hidupnya.
b. Sifat penakut dikutuk, karena sifat ini dipandang dosa. “Semua
dosa besar dan kecil dapat diampuni dengan melalui taubat, kecuali penakut dan
pencuri”.
c. Loyalitas, yaitu setia, kesetiaan pertama kepada Kaisar, kemudian
meluas kepada seluruh anggota keluarga Kaisar, pada masyarakat dan pada
generasi yang akan datang.
d. Kesucian dan kebersihan adalah suatu hal yang sangat penting dalam
Shintoisme, sehingga terdapat upacara-upacara penyucian.
2.3 Praktik Keagamaan Agama Shinto
Agama Shinto tidak
memiliki bentuk peribadatan yang sudah ditentukan waktu pelaksanaannya. Setiap
pemeluk agama Shinto akan mengunjungi tempat suci jika menghendakinya; bisa
setiap tanggal 1 atau 15 tiap bulan atau saat penyelenggaraan matsuri.
Tetapi pemeluk yang taat akan melakukan pemujaan dewa stiap hari. Pada pagi hari
setelah bangun tidur dan membersihkan diri akan menuju altar
keluarga;membungkukkan badan, bertepuk tangan dua kali, diam sebentar dengan
sikap hormat dan khidmat, baru kemudian melakukan aktivitas keseharian. Pada
kesempata lain akan menghadap kearah matahari, gunung, tempat suci Ise atau
lainnya; bertepuk tangan dua kali dan membungkuk sebentar dalam sikap hormat
dan khidmat sebelum pergi.
Sedangkan tempat
yang paling baik untuk melakukan peribadatan adalah jinja. Hampir semua
bentuk peribadatan atau upacara keagamaan yang dilakukan di jinja pada
hakikatnya merupakan upacara pensucian dalam rangka menyambut kehadiran Kami.
Dimana syarat utama untuk memuja Kami yaitu kesucian dan bersih dari
bermacam kekotoran seperti penyakit, luka, dan menstruasi. Karena kekotoran
dianggap sebagai keadaan yang dapat menyebabkan terjadinya kesengsaraan dan
merusak upacara keagamaan. Upacar keagamaan yang dilakukan di jinja dapat
dibedakan dalam tiga tahapan, antara lain[10]:
a.
Upacara
Pensucian Pendahuluan (Kessai)
Kessai (Sekai) adalah rangkaian upacar persiapan sebelum melakukan upacara
keagamaan. Orang yang melakukan upacara ini harus berpantang makanan tertentu,
memusatkan perhatian pada masalah-masalah agama, membersihkan diri dengan cara
mandi atau mencelupkan diri ke dalam air laut atau sungai.
b.
Upacara
Pensucian (Harai)
Harai (Harae) adalah upacara
untuk menghilangkan segala jenis kotoran, kesalahan dan kesengsaraan dengan
memanjatkan doa kepada para dewa. Harae merupakan cara untuk
mengendalikan seseorang kepada kondisi atau keadaan agar dapat mendekati para
dewa dengan melakukan pensucian badan dan pikiran.
c.
Upacara
Persembahan Sesaji
Cara agama Shinto untuk menghormati Kami seperti menghormati tamu istimewa. Sesaji yang
dipersembahkan umumnya berupa makanan istimewa, pertunjukan musik dan
tarian-tarian sebagai ungkapan bakti dan terimakasih kepada Kami. Dalam
kesempatan i ni, norito (doa-doa) yang berisi pujian, permohonan
perlindungan dan rahmat dan pernyataan kesanggupan untuk memenuhi keinginan
dewa dan bersungguh-sungguh dalam kehidupan ini, dibaca dan diucapkan dengan
keras.
d.
Matsuri
Matsuri dari kata matsuru
(menyembah, memuja), pemujaan terhadap Kami atau ritual terkait. Matsuri
terdiri dari ritus-ritus khidmat yang diikuti dengan perayaan masal penuh
kegembiraan. Dimana rangkaian ritusnya terdiri dari pemberian sesaji berupa
makanan, pembacaan norito, musik dan ibadat, serta diikuti dengan pesta
bersama menikmati sake dan makanan yang semula disajikan kepada dewa.
Sedangkan perayaannnya dalam bentuk arak-arakan, tari-tarian, pertunjukan
sandiwara, perlombaan, dan pesta-pesta besar. Sedangkan matsuri ada
beberapa macam yaitu: gion matsuri, iwa-shimizhu, aoi matsuri, kanda matsuri,
kasuga matsuri, sanno matsuri, tenjin matsuri, tenno matsuri.
2.4 Tempat Suci Agama Shinto
Pada awalnya
pemujaan terhadap objek-objek alam dan spirit gejala-gejala alam dilakukan
secara langsung, tetapi kemudian lambat laun mulai didirikan bangunan-bangunan
tertentu untuk keperluan memuja dewa, mulai dari yang sederhana sampai
permanen. Dimana bangunan tersebut dalam bahasa Jepang disebut jinja. Setiap
jinja paling tidak terdiri dari dua bagian utama yaitu:
a.
Honden,
yaitu tempat suci yang terletak dibaian dalam jinja.
b.
Haiden,
yaitu ruang pemujaan.
Sedangkan jinja
yang lengkap, selain dua hal tersebut juga terdapat:
a.
Norito-den,
ruang untuk memanjatkan atau membaca doa (norito)
b.
Heiden,
ruang sesaji
c.
Kagura-den,
ruang pertunjukan upacara tari kagura
d.
Shamusho,
bangunan untuk para pendeta yang mengurus jinja
e.
Te-mi-zu-ya,
tempat untuk mencuci tangan
f.Torii, bangunan
khusus yang didirikan pada pintu masuk menuju daerah jinja yang dianggap
suci dan merupakan simbol jinja tersebut, serta memisahkan daerah suci jinja
dengan daerah baiasa yang mengelilinginya.
Selain itu,
pada masa Meiji, jinja dibedakan menjadi:
1. Kansha, yaitu jinja-jinja pemerintah, terbagi menjadi tiga
tingkat:
a. Taisha, jinja utama
b. Chusha, jinja sedang
c. Shosha, jinja kecil
2. Shosa, yaitu jinja-jinja yang banyak macamnya, dibedakan
menjadi:
a. Fusha, jinja kota
b. Kensha, linja provinsi
c. Gosha, jinja daerah
d. Sonsha, jinja desa
Akan tetapi
setelah masa Meiji, jinja hanya dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu:
a.
Kampeisha
(jinja-jinja negara)
b.
Kokuheisha
(jinja-jinja nasional.
Sistem
rangking (tingkatan) dalam jinja saat ini sudah tidak ditemukan lagi.
Upacara keagamaan dalam jinja dipimpin oleh para pendeta yang disebut Shinshoku.
Dimana untuk menjadi seorang pendeta harus melalui pendidikan kependetaan
yang diselenggarakan oleh jinja Honcho (Persekutuan Tempat Suci Shinto),
atau melalui ujian yang menentukan lulus tidaknya menjadi pendeta. Selain itu,
pada umumnya pendeta dibedakan menjadi lima tingkatan, yaitu[11]:
a.
Saishu,
tingkatan tertinggi, hanya dimiliki oleh seorang pangeran putra
dari kalangan keluarga kaisar.
b.
Guji, para pendeta yang memimpin suatu jinja
dan bertanggungjawab atas pelaksanaan upacara keagamaan yang berlangsung
pada jinja yang dipimpinnya.
c.
Gon-guji, para pendeta yang memiliki kedudukan
dibawah Guji, dan bertindak sebagai pembantunya.
d.
Nagi, pendeta biasa atau pendeta senior.
e.
Gon-Negi, para pendeta muda (junior).
Begitu juga kelompok
pendeta yang disebut shoten dan shoten-ho (wakil pendeta), yaitu
para pendeta yang hanya bertugas menyelenggarakan upacara keagamaan dalam jinja
istana kaisar.
BAB III
PENUTUP
3.1
Simpulan
Agama Shinto
merupakan agama asli Jepang yang usianya telah mencapai lebih dari 2000 tahun.
Msekipun sebelumnya sudah didahului oleh agama Konfusius dan Buddhisme yang
sudah masuk Jepang pada abad ke-6. Dimana
masa perkembangan yang terbagi menjadi tiga masa. Dimana masa itu adalah
masa perkembangan dengan pengaruh mutlak sepenuhnya di Jepang, dari 660 SM, di
dalam masa dua belas abad lamanya, masa agama Buddha, Konghuchu, dan ajaran Tao
masuk Jepang, dari 552 M sampai 800 M, dalam masa dua setengah abad itu agama
Shinto memperoleh saingan berat, dan masa sinkronisasi secara berangsur-angsur
anatara agama Shinto dan tiga ajaran agama lainnya, yaitu dari 800 M sampai
1700 M.
Keberadaan
agama Shinto di Jepang mudah diterima rakyat dan mudah sekali berkembang. Hal
itu dikarenakan paham serba jiwa (animisme) merupakan dasar awal kepercayaan
agama Shinto. Dengan sangat sederhana, rakyat Jepang memersonifikasikan semua
gejala alam yang mereka temui sebagai sesuatu yang mempunyai daya kekuatan dan
kekuasaan yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan mereka.
Dimana pada awalnya
agama Shinto hanya pemujaan terhadap objek-objek alam dan spirit gejala-gejala
alam dilakukan secara langsung, tetapi kemudian lambat laun mulai didirikan
bangunan-bangunan tertentu untuk keperluan memuja dewa, mulai dari yang
sederhana sampai permanen. Dimana bangunan tersebut dalam bahasa Jepang disebut
jinja.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mukti, 1988, Agama-Agama di Dunia, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga.
Ghazali, Adeng
Mukhtar, 2000, Ilmu Perbandingan
Agama, Bandung:Pustaka Setia.
Ishomuddin, 2002, Pengantar Sosiologi Agama, Jakarta:Ghalia
Indonesia.
Kahmad, Dadang, 2000, Sosiologi Agama, Bandung:Remaja
Rosdakarya.
Nadroh, Siti, Azmi, Syaiful, 2015, Agama-agama Minor,Jakarta:Prenadamedia.
Robertson,
Roland, 1995, Agama dalam
Analisa dan Interpretasi Sosiologis, Jakarta:Raja Grafindo Persada.
[1] Ishomuddin, Pengantar
Sosiologi Agama, (Jakarta:Ghalia Indonesia,2002),hlm.31.
[2] Roland
Robertson, Agama dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis,(Jakarta:Raja
Grafindo Persada,1995),hlm.81.
[3] Siti Nadroh,
Syaiful Azmi, Agama-agama Minor,(Jakarta:Prenadamedia,2015),hlm.58.
[4] Adeng Mukhtar
Ghazali, Ilmu Perbandingan Agama, (Bandung:Pustaka Setia, 2000) hlm.
124.
[7] Dadang Kahmad, Sosiologi
Agama,(Bandung:Remaja Rosdakarya,2000),hlm. 38-39.