Minggu, 24 April 2016



TASAWUF DAN BUDDHISME

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Nilai-nilai perbaikan sosial (transformatif) dalam al-Qur’an tampak dari rangkaian perjalanan sejarahnya yang diturunkan secara berangsur-angsur. Setiap ayat yang diturunkan Rasulullah merupakan respon positif terhadap apa yang tengah terjadi dalam realitas manusia.[1]
Tuhan telah menciptakan manusia dalam keragaman dan dalam kesatuan, sehingga memungkinkan untuk menjalin toleransi antara keadaan bersatu dan kenyataan berbeda. Sifat kasih sayang Tuhan telah mendorongnya untuk mengajarkan agama kepada manusia sebagai wadah untuk menemukan dan mempertahankan kemanusiaannya. Begitu juga persoalan kemanusiaan yang harus dilihat sebagai persoalan seluruh agama. Kekerasan dan tragedi kemanusiaan yang terjadi atas nama agama telah mencoreng wajah agama yang sebenarnya ramah dan penuh kedamaian.[2]
Oleh karena itu, keberadaan ajaran tasawuf dan perilaku tasawuf sebenarnya tidak hanya ada dalam Islam. Akan tetapi dalam agama selain Islam, khususnya Budha,  juga terdapat ajaran-ajaran dan perilaku-perilaku tasawuf.  Dengan demikian, makalah ini akan membahas tentang sejarah munculnya agama Budha, perkembangan agama Budha dan ajaran tasawuf agama Budha serta Orientalisme tasawuf dalam agama Islam dan Buddha.
1.2  Rumusan Masalah
A.    Sejarah Munculnya Agama Budha
B.     Perkembangan Agama Budha
C.     Ajaran Tasawuf Agama Budha
D.    Orientalisme : Tasawuf dalam Islam dan Buddha

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Munculnya Agama Budha
          Buddhisme adalah agama yang bermula pada abad keenam sebelum Masehi, Di masa muda, seorang pangeran muda dari wangsa Sakya di wilayah Kapilavastu, yang sekarang disebut Nepal. Pangeran itu bernama Shiddarta. Setelah memenuhi kewajiban sebagai seorang pangeran, Shiddarta menikahi seorang putri cantik dan hidup dengan nyaman dan bahagia, hingga tibalah saat ia melakukan perjalanan keliling kota dan dihadapkan pada kenyataan adanya rasa sakit, usia tua, dan kematian. Pangeran Siddharta sangat prihatin menyaksikan kenyataan bahwa manusia, sekali ia dilahirkan, tidak bisa melarikan diri dari segala penderitaan itu. Kemudian dihabiskannya waktu untuk merenung-renungkan bagaimana cara mengatasi penderitaan, dan di usia dua puluh sembilan tahun, ia meninggalkan segala miliknya, melepaskan gaya hidup duniawi, dan pergi mencari jalan spiritual yang akan membuatnya mampu menaklukkan derita rasa sakit, usia tua, dan kematian.
          Enam tahun lamanya ia mengembara, menoba-coba berbagai metode mati-raga yang dipraktikan oleh orang-orang bijak di India zaman itu, hanya untuk menemukan kenyataan bahwa itu semua bisa menjawab pertanyaan besar yang mengganggunya. Akhirnya ia bersamadi dan menemukan jawaban yang selama itu dicarinya, dan sejak saat itu ia dikenal sebagai Sang Buddha-Yang Tercerahkan.[3]
          Sejarah lahirnya agama Budha diawali dengan  kisah kepergian Siddharta Gautama dari istana keluarga Sakya. Siddharta  meninggalkan segala bentuk kemewahan serta kenikmatan hidup duniawi, dan membawa dirinya pada perjalanan menuju pencerahan. Dalam usia yang relatif muda, ia mencari arti hidup dengan berkelana dan berguru pada orang-orang pintar. Dalam usaha mencari arti hidup, ia memulai dengan mencari dua orang guru Hindu terkemuka untuk mendapatkan pengertian tentang kebijaksanaan dari tradisi hindu. Kemudian ia bergabung dengan sekelompok pertapa dan mencoba mengalami kehidupan mereka secara langsung. Setelah itu, ia meninggalkan kehidupan pertapaan yang dicobanya dengan menggabungkan pikiran yang tegar dengan konsentrasi mistik menurut petunjuk raya-yoga. Berbagai hal tersebut menjadikan ia lahir kembali sebagai seseorang yang mendapatkan pencerahan rohani. Dimana pencerahan itu didapat setelah dirinya berhasil mengatasi penderitaan disekitar kehidupan dan kematian.
          Pencerahan bagi penganut agama Budha bukan sesuatu yang asing atau jauh dari pengalaman hidup manusia sehari-hari. Filsafat Buddhis menggambarkan hidup manusia yang menguasai alam semesta di dalam kehidupan. Menguasai alam semesta disebut dengan menguasai “Sepuluh Alam Hidup” (Jepang: jikkai), yang meliputi 1) Neraka, 2) Kelobaan atau Kelaparan, 3) Kebinatangan, 4) Amarah, 5) Ketentaraman dan Kemanusiaan, 6) Kebahagiaan atau Suka Cita, 7) Kecendiakaan atau Kesarjanaan, 8) Penciptaan, 9) Boddisatva, 10) Kebudhaan. Masing-masing alam mengandung sembilan alam lain, dan semuanya berjumlah seratus alam. Keseluruhan alam hidup tersebut diberi kualifikasi tiga gagasan (Jepang:sansaken) mencakup gagasan yang berhubungan dengan sifat jasmani sebagai manifestasi hidup. Perbedaan manifestasi hidup disebabkan oleh perbedaan individu dan tempat terjadinya manifestasi. Dengan demikian, jumlah keseluruhan menjadi “Tiga Ribu” (Jepan:zansen), yang hadir secara simultan dalam satu saat hidup (Jepang:ichinen).
Mendapatkan pencerahan menunjukkan kekuatan seseorang yang menguasai “Sepuluh Alam Hidup” dan hadir secra simultan dalam satu saat hidup. Pencerahan yang dicapai Siddharta merupakan respon timbal balik yang terjadi antara alam Kebudhaan yang ada di dalam alam semesta dan Alam Kebudhaan yang melekat pada hidup Siddharta.[4]
2.2 Perkembangan Agama Buddha
          Sesudah lebih dari 2500 tahun hingga saat ini (akhir abad ke 20), agama Buddha berkembang keluar negara India. Perkembangan agama Buddha mengalami berbagai perubahan, pada umumnya terjadi akibat pengaruh tradisi dan kepercayaan masyarakat setempat pada saat menerima agama Buddha. Hingga saat ini, terdapat dua madzhab besar dalam agama Buddha, yang dianut oleh masyarakat Buddhis di dunia, yaitu:
1. Madzhab Theravada, yang cenderung mempertahankan kemurnian ajaran Buddha, menggunakan kitab Tipitaka berbhasa pali. Aliran ini serinkali disebut agama Buddha aliran selatan, karena pada umumnya berkembang di negara-negara Asia Selatan dan Asia Tenggara. Ajaran-ajaran Buddha dan ketentuan-ketentuan disiplin kebiaraan dalam Theravada idealnya membantu biarawan dan biarawati tetap memusatkan perhatian pada pengembangan panna (pengetahuan) melalui analisis dan pemahaman tentang penderitaan, sebab-sebab terjadinya, dan cara mengatasinya, yang memerlukan studi dan pemahaman kitab-kitab suci Buddha; sila (kebijakan etis), pelaksanaan disiplin moral dan asketik sebagaimana diterapkan dalam aturan kehidupan biara; dan samadhi (konsentrasi mental), kemajuan selangkah demi selangkah, ketenangan batin, dan kesadaran yang mendalam.[5]
2. Madzhab Mahayana, yang cenderung mempertahankan makna-makna hakiki ajaran Buddha, menggunakan kitab suci Tipitaka berbahasa Sansakerta. Pengaruh adat istiadat dan kepercayaan masyarakat diterima dalam madzhab ini. Aliran ini sering disebut agama Buddha aliran Utara, karena berkembang di negara-negara Asia Timur dan Asia Tengah. Cara pencarian mistik juga memiliki berbagai ekspresi dalam Mahayana yang tidak sama yang ditemukan dalam Theravada. Hal ini sebagian disebabkan oleh perkembangan-perkembangan filosofis yang unik pada Mahayana dan sikap yang lebih liberal terhadap metode-metode baru dalam mencapai tujuan-tujuan akhir (ultimate) yang sama.[6]
          Agama Buddha yang berada di Indonesia telah melalui perjalanan sejarah yang cukup panjang sejak pertama kali tercatat dalam sejarah Indonesia. Kerajaan Kalingga di Jepara, Jawa Tengah, merupakan kerajaan Buddhis tertua di Indonesia. Perkembangan agama Buddha mengalami zaman keemasan pada masa kerajaan Sriwijaya di Palembang, Sumatera, kira-kira pada abad ke-7 Masehi, dengan perguruan Buddhis yang terkenal pada masa itu, dan banyaknya para pelajar dari luar yang menimba ilmu agama Buddha di perguruan tinggi tersebut.
          Sedangkan di Jawa, perkembangan agama Buddha mencapai zaman keemasan pada masa kerajaan Mataram Kuno di Kedu Jawa Tengah, pada abad ke-8 hingga abad ke-9 Masehi, yang diperintah oleh raja-raja wangsa Sailendra. Banyak candi-candi Buddhis di bangun pada masa ini, misalnya Candi Borobudur, Candi Mendhut, Candi Sewu, Candi Plaosan, dan Candi Kalasan. Kemudian kerajaan Majapahit yang merupakan kelanjutan perkembangan agama Buddha di Indonesia, abad ke-13 samapai abad ke-15. Pada masa ini terdapat beberapa karya yang bernafaskan agama Buddha telah ditulis. Seperti kitab Sutasoma karya Mpu Tantular, yang memuat kalimat Bhinneka Tunggal Ika, Tana Hana DharmaMangrowa. Setelah mengalami kemunduran untuk bebrapa lama, agama Buddha mengalami kebangkitan kembali pada abad ke-20 sesudah kunjungan Bhikkhu Narada, dari Sri Langka, tahun 1934, dan berulangkali kunjungannya sesudah itu, kemudian agama Buddha b erkelanjutan sampai saat ini. Dimana saat ini organisasi umat Buddha yang berkumpul dalam satu wadah federatif Perwalian Umat Buddha Indonesia (Walubi) berjumlah 7, antara lain[7]:
1. Sangha Theravada Indonesia
2. Sangha Mahayana Indonesia
3. Majelis Agama Buddha Theravada Indonesia
4. Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia
5. Majelis Dharmaduta Kasogatan (Tantrayana) Indonesia
6. Majelis Pandita Buddha Maitreya Indonesia
7. Majelis Rohaniawan Tridharma seluruh Indonesia
Tiga organisasi umat Buddha yang disebutkan terakhir termasuk aliran Mahayana.

2.3    Ajaran Tasawuf Agama Buddha
Agama Buddha atau ajaran Buddha lebih merupakan “way of life” daripada suatu agama dan filsafat, sebab ajaran Buddha lebih merupakan satu perangkat sistem keyakinan yang di dasarkan pada pengertian dan mengarah pada corak perilaku untuk mencapai kebebasan penderitaan. Pengertian memerlukan dan mengundang penalaran serta penghayatan secara mendalam sebagai awal mula munculnya keyakinan terhadap pengertian tersebut.[8]
Ajaran agama Buddha bersumber kepada kitab Tripitaka yang berarti tiga keranjang, atau tiga kelompok. Kitab tersebut merupakan kumpulan khotbah, keterangan, perumpamaan, dan percakapan yang pernah dilakukan Sang Buddha  dengan para siswa dan pengikutnya. Dengan demikian, isi kitab tersebut semuanya tidak berasal dari kata-kata Sang Budha sendiri, melainkan juga kata-kata dan komentar-komentar dari siswanya.  Oleh karena itu, sumber ajaran pokok agama Buddha ada tiga yaitu:
1.      Sutra Pitaka, memuat dharma atau ajaran Budha kepada pengikut-pengikutnya.
2.      Vinaya Pittaka, memuat peraturan-peraturan yang mengatur kehidupan Sangha dan para penganutnya.
3.      Adhdharma Pittaka, memuat filsafat agama Buddha, dimana terdapat pembahasan yang mendalam tentang hakikat dan tujuan hidup.
          Menurut Drs. Mudjahid Abdul Manaf dalm buku “Sejarah Agama-agama”, ajaran agama Buddha meliputi:
1. Catur Arya Satyani
Ajaran ini meliputi empat kebenaran mulia yang disebut Catur Arya Satyani yang terdiri dari:
a.       Dukha, artinya penderitaan, maksudnya bahwa hidup di dunia adalah penderitaan, Bayi yang lahir kedunia akan menghadapi berbagai macam penderitaan seperti sakit, menjadi tua, mati, berpisah dari segala yang dicintai dan tidak tercapai apa yang dicta-citakan.
b.      Samudaya, artinya sebab penderitaan. Yang menyebabkan penderitaan adalah keinginan untuk hidup (the will to live), yang disebut tanha.
c.       Nirodha, artinya pemadaman. Maksudnya bahwa cara pemadaman atau menghilangkan penderitaan itu dengan jalan menghapuskan tanha.
d.      Margha, artinya jalan untuk menghilangkan tanha. Apabila seseorang telah menghilangkan tanha, maka ia akan mencapai nirwana, yaitu alam kesempurnaan, dimana ia akan merasakan kenikmatan yang abadi.
Untuk menghilangkan tanha, manusia harus menempuh delapan jalan yang mulia, yang disebur Astha Arya Margha, yaitu:
1.      Kepercayaan yang benar
2.      Niat dan pikiran yang benar
3.      Perkataan yang benar
4.      Perbuatan yang benar
5.      Mata pencaharian yang benar
6.      Usaha yang benar
7.      Kesadaran yang Benar
8.      Samadhi yang benar         
2. Nirwana/Nibbana (Kebebasan Mutlak)
          Nirwana merupakan tujuan terakhir setiap pemeluk agama Buddha, dimana seseorang telah lepas dari samsara, yang berarti ia telah lepas dari penderitaan, dan selanjutnya ia akan merasakan kebahagiaan yang abadi. Nirwana merupakan berhentinya proses kelahiran dan proses hidup serta dapat diartikan bahwa mati pun tidak ada lagi, alias abadi. Selain itu, nirwana juga diartikan padamnya segala pai nafsu, berhentinya segala perasaan, hilangnya segala gangguan, serta tercapainya ketenangan dan kedamaian yang sempurna.[9]


3. Arahat
          Seorang Arahat adalah seseorang yang telah melenyapkan segala hawa nafsu dan keinginannya, sehingga ia tidak teringat dengan apapun. Sebelum mencapai tingkat Arahat, maka seseorang akan mengalami keadaan yang mendekatinya, yaitu[10]:
1.    Sotapatti, yaitu tingkat dimana seseorang harus menjelma tujuh kali lagi sebelum mencapai nirwana.
2.    Sekadagami magga, yaitu tingkat seseorang tinggal satu kali menjelma sebelum mencapai nirwana.
3.    Anagami, yaitu tingkat dimana seseorang sudah tidak akan menjelma lagi, ia tinggal menunggu saatnya untuk mencapai nirwana sesudah itu tinggalah tingkat Arahat, dimana seseorang telah mencapai nirwana.
          Sedangkan dalam buku “Sejarah, Teologi dan Etika Agama-agama”, ajaran Buddha meliputi:
1.    Tiratana (Tiga Permata)
          Tiratana/Tiratna (Tiga Permata) merupakan dasar keyakinan umat Buddha yang terdiri dari; Permata Buddha, Permata Dhamma, dan Permata Sangha. Buddha adalah manusia yang telah mencapai pencerahan dan bertindak sebagai guru. Dhamma adalah ajaran pencerahan hati, sedangkan Sangha adalah siswa-siswa yang mencapai pencerahan hati setelah berhasil mengikuti ajaran tersebut.
          Permata Buddha adalah hakikat ke-Buddha-an, yaitu Pencerahan, Perealisasian Nibbana.  Permata Dhamma adalah hakikat ke-Dhamma-an, demikian pula Permata Sangha adalah hakikat ke-Sangha-an, yaitu Pencerahan, Perealisasian Nibbana juga. Oleh karena itu, umat Buddha melakukan penghormatan dan pengabdian keagamaan kepada Buddha, Dhamma, dan Sangha, atau Tiratana (Tiga Permata). Hal tersebut tercermin dalam keyakinan umat Buddha sebagai berikut:
“Aku berlindung dalam Buddha, aku berlindung dalam Dhamma, dan aku berlindung dalam Sangha”.
          Umat Buddha berupaya memperoleh pencerahan batin sebagai perilaku hidup beragamanya. Dimana upaya pencapaian pencerahan batin ini dilakukan melalui cara hidup yang melatih/mengembangkan:
a.  Kebijaksanaan (Panna)
b. Kesusilaan (Sila)
c.  Meditasi (Samadhi)
2.    Tilakkhana (Tiga corak Segala Sesuatu)
          Segala sesuatu yang ada dapat dipisahkan menjadi 2 macam, yaitu: yang terjadi dari perpaduan unsur-unsur (Sankhata-dhamma) dan yang terjadi bukan perpaduan unsur-unsur (Asankhata-dhamma). Keberadaan segala sesuatu itu mempunyai tiga corak yaitu:
a.    Segala sesuatu yang terjadi dari perpaduan unsur-unsur memiliki corak tidak kekal.
b.    Segala sesuatu yang terjadi dari perpaduan unsur-unsur memiliki corak terus menjadi.
c.    Segala sesuatu yang terjadi dari perpaduan maupun bukan perpaduan unsur-unsur tidak memiliki inti kekal.
3.    Kamma dan Punabbhava (Hukum Perbuatan dan Tumimbal lahir)
Kamma atau Karma artinya perbuatan. Hukum Kamma merupakan hukum moral yang berlangsung sesuai dengan prinsip sebab akibat. Sesuai dengan benih yang telah ditabur, begitulah buah yang akan dipetiknya. Seseorang yang berbuat baik akan menerima kebahagiaan, dan yang berbuat jahat akan menerima penderitaan. Dimana penghayatan hukum Kamma/Karma bermanfaat untuk:
a.       Menjaga agar seseorang tidak terjerat ke dalam pandangan nihilistis dan materialistis, yang mengingkari berlakunya nilai-nilai moral.
b.      Membuat seseorang memiliki kepercayaan pada kemampuan diri sendiri untuk meningkatkan taraf hidupnya menjadi lebih baik dan mencegah seseorang berputus asa atau bersikap pasrah pada nasib.
c.       Memperkuat pengendalian diri untuk tidak melakukan hal-hal negatif dalam bentuk apapun, atas dasar pengertian bahwa seseorang pasti akan memetik perbuatannya sendiri.
          Alam kehidupan makhluk hidup bermacam-macam. Ada 31 alam kehidupan, tempat makhluk hidup berproses menjalani hidupnya, terdiri dari alam bahagia dan alam derita. Alam bahagia antara lain adalah alam surga, yang terdiri dari 26 macam alam surga. Alam derita terdiri dari 4 macam alam diantaranya adalah alam binatang. Sedangkan alam manusia merupakan alam batas antara alam bahagia dan alam derita.
4.     Paticcasamuppada (Hukum Sebab Musabab yang saling berkaitan)
          Sebab musabab yang saling berkaitan timbul karena kondisi-kondis yang saling bergantungan. Beberapa faktor mengkondisikan timbulnya sesuatu. Timbulnya sesuatu itu merupakan salah satu faktor dan banyak faktor lain yang akan mengkondisikan munculnya sesuatu yang lain, kemudian munculnya sesuatu yang lain merupakan salah satu faktor dari faktor-faktor lain yang mengkondisikan terjadinya sesuatu yang lain lagi, demikian seterusnya.[11]
2.4    Orientalisme : Tasawuf dalam Islam dan Buddha
Pada masa Rasulullah dan masa sebelum datangnya agama Islam, istilah “tasawuf” itu belum ditemukan. Akan tetapi praktek ajaran tasawuf sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad dan para sahabat, Seperti sikap zuhud dan qana’ah. Selain itu perintah zuhud dan qana’ah juga terdapat dalam al-Qur’an, dalam ucapan dan perilaku Rasulullah sendiri. Sebagaimana Allah berfirman dalam Qs. Fatr : 5, tentang zuhud yaitu menjauhkan diri dari keduniawian,
يآ’َ يُّهَا النَّاسُ إِنَّ وَعدَ اللهِ حَقٌّ , فَلاَ تَغُرَّ نَّكُمُ الحَيَوةُ الدُ نيَا , وَ لَا يَغُرُّ نَكُم بِاللهِ الغَرُورُ
   Hai manusia, sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu dan sekali-kali janganlah setan yang pandai menipumu”
 Begitu juga tentang mendekatkan diri kepada Allah yang telah ada sejak zaman para Nabi, Allah berfirman dalam Qs. Al-Baqarah : 186
وَ اِذَا سَأَ لَكَ عِبَادِى عَنِّى فَإِ نِّى قَرِيبِ , أُ جِيبُ دَعوَ ة الدَّ اعِ إِذَ ا دَ عَانِ , فَليَستَجِيبُوا لِى وَ ليُؤ مِنُوا بِى لَعَلَّهُم يَر شُدُونَ َ
Jika hamba-hamba-Ku bertanya padamu tentang diri-Ku, Aku adalah dekat. Aku mengabulkan seruan orang yang memanggil jika ia memanggil Aku”
Menurut para ahli sejarah, istilah tasawuf mulai muncul pada abad 2 Hijriya, yaitu  pada masa seorang tabi’in bernama Hasan Al- Bashri, ketika orang-orang berusaha meluruskan jalan menuju Ilahi dan takut kepada-Nya. Dimana hal ini membuktikan bahwa Tasawuf sudah ada sejak zaman Nabi. Walalupun dulu hanya dalam bentuk benih-benihnya saja. Dan istilah tasawuf sendiri muncul ketika abad ke 2 Hijjriyah.[12]
Tasawuf secara terminologi adalah tekun beribadah kepada Allah sepenuh kehidupan serta berpaling dari kenikmatan duniawi, menghindari dari apa yang dilakukan orang awam, baik berlezat-lezatan dengan harta atau pangkat. Pendapat ini menurut Ibnu Khaldun. Secara umum yang disebut tasawuf adalah zuhud, ibadah, ibadah, dan sabar dalam kefakiran. Hal ini karena adanya dorongan untuk memperhatikan kehidupan agamanya serta menjaga hukum-hukum syari’at. Sebagaimana persepsi Ustadz Musthafa Abdur Raziq.[13] Menurut Syaikh Amin al-Kurdi dalam kitab “Tanwirul Qulub, tasawuf adalah:
التصوف هو علم يعرف به أحوال النفس محمودها ومذمومها وكيفية تطهيرها من المذموم منها وتحليتها بالاتصاف بمحمودها وكيفية السلوك والسير الى الله تعالى والفرار اليه
“Tasawuf adalah ilmu yang digunakan untuk mengetahui keadaan jiwa (hati), baik dari segi baiknya maupun buruknya, serta bagaimana menyucikan jiwa (hati) dari hal-hal buruk dan menghiasinya dengan hal-hal (sifat-sifat) terpuji, bagaimana bagaimana caranya suluk dan jalan menuju sampai kepada Allah serta segera mungkin dapat dekat dengan Allah”.
          Dari penjelasan tersebut, beliau menjelaskan bahwa sasaran dari tasawuf adalah membersihkan dan mensucikan segala bentuk perbuatan hati dan panca indera. Dimana dengan tazkiyah dan tashfiyah akan menjadikan hati bersih, mengetahui dan menemukan hal-hal gaib, selamat di akhirat, bahagia dengan ridla Allah, memperoleh kebahagian abadi, pencerahan dan kejernihan hati yang mampu membuka perkara-perkara yang agung, dan melihat keadaan-keadaan yang menakjubkan serta menampakkan sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh penglihatan mata.[14]
          Hampir semua konsep tasawuf berasal dari Al-Qur’an, seperti konsep zuhud (menjauhkan diri dai dunia untuk beribadah). Hal ini disebutkan dalam Al-Qur’an surat An-Nisaa’ ayat 77[15]:
قل متاع الدنيا قليل والأخرة خير لمن اتقى ولا تظلمون فتيلا
   “KatakanlahKesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertaqwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikit pun”.(QS. An-Nisaa’ :77).
Dalam sejarahnya, pada abad ke 1 Hijriyah, orang Islam belum mengenal istilah tasawuf dan yang ada hanyalah benih-benihnya saja. Meskipun begitu, Nabi Muhammad SAW telah melakukan pengasingan diri ke Gua Hira menjelang datangnya wahyu. Beliau menjauhi pola hidup kebendaan ketika orang Arab sedang tenggelam di dalam kebendaan. Selama pengasingan di Gua Hira Rasulullah hanya bertafakur, beribadah, dan hidup sebagai seorang zahid. Beliau hidup sangat sederhana, bahkan terkadang beliau memakai pakaian tambalan, tidak makan dan minum, kecuali yang halal. Setiap malam beliau senantiasa beribadah dan taqarrub kepada Allah SWT.
Dalam agama Islam, sejarah tasawuf sendiri memiliki berbagai macam pendapat yang berbeda-beda yang dapat dilihat dalam berbagai definisi tasawuf yang ada, di antaranya[16] :
1.      Tasawuf berasal dari bahasa Arab, Ahl al-Shuffah (الصفة اهل ( yaitu orang-orang yang hijrah mengikuti Nabi Muhammad Saw, Saf (  (صف  yang berarti barisan yang pertama / utama, Sufi (صوفى) yaitu suci, Suf (صوف) kain yang terbuat dari bulu wol kasar, dilihat dari defini tersebut tasawuf berasal dari agama Islam.
2.      Sophos, kata Yunani yang berarti hikmah. Dalam hal ini tasawuf berarti berasal dari negara barat atau non-Islam.
          Dari perbedaan tersebut sampai sekarang masih terjadi perdebatan tentang sejarah tasawuf sendiri. terutama dalam pemikiran orang-orang berat atau oriental yang bersikukuh terhadap pendapatnya tentang tasawuf Islam itu hanya meniru-niru dari ajaran dari agama lain. Namun jika ditengok tentang makna dari tasawuf sendiri yaitu pendekatan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa, tidak menutup kemungkinan bahwa di agama-agama lain yang non-Islam juga mengajarkan tentang tujuan pendekatan diri seorang hamba dengan Tuhannya. Apakah hal ini sama dalam pempraktekan dalam hal pendekatan hamba dengan Tuhannya.
          Sebagaimana telah kita ketahui, cara pencarian mistik sangat ditekankan dalam kebanyakan sub-tradisi agama Buddha, tetapi cara tersebut tidak pernah ada tanpa adanya semacam keseimbangan atau perpaduan antara cara-cara bertindak secara bijak dan benar. Namun demikian, berbagai disiplin ilmu asketik tertentu dan praktik-praktik meditasi dalam sub-tradisi Buddha bervariasi. Seperti metode Satipatthana untuk “memperkuat kesadaran”, yang juga disebut sukka vipassana (praktik “pengosongan pikiran”). Dimana cara tersebut direkomendasikan sebagai sebuah praktik yang berguna bagi semua orang, tetapi hanya sedikit saja yang disebutkan memiliki keinginan tunggal yang diperlukan untuk sampai pada tujuan akhirnya.[17]
          Manusia dalam pandangan agama Buddha merupakan perpaduan jasmani dan batin. Jasmani merupakan perpaduan bagian jasmani yang berasal dari unsur padat, cair, udara, dan panas. Masing-masing unsur juga merupakan perpaduan dari bagian-bagian unsur itu yang lebih kecil, dan seterusnya. Batin terdiri dari perpaduan unsur kesadaran, bentuk-bentuk pemikiran, ingatan, dan perasaan. Masing-masing unsur juga merupakan perpaduan dari bagian-bagian unsur yang lebih kecil, dan seterusnya. Demikian pula segala bentuk kehidupan terjadi dari perpaduan faktor-faktornya.[18]
          Menurut Buddha Gautama, jika manusia mau melakukan hidup suci dengan melenyapkan tanha, maka setelah itu ia melalui serangkaian reinkarnasi pada akhirnya ia akan mencapai nirwana. Orang yang telah mencapai nirwana disebut Arahat. Dalam rangkaian reinkarnasi itu, orang bisa menjelma manusia kembali, menjadi binatang atau dewa. Bahkan orang yang benar-benar telah menunjukkan pengorbanan yang sedalam-dalamnya, yang sebenar-benarnya dan kasih sayang yang sedalam-dalamnya, ia bisa menjadi Buddha, setelah mengalami reinkarnasi yang sangat lama, mungkin sampai ratusan abad lamanya.[19]



















BAB III
PENUTUP
3.1    Simpulan
Agama Buddha adalah agama yang muncul pada abad keenam sebelum Masehi. Dimana agama Buddha di bawa oleh seorang pangeran yang bernama Siddharta Gautama yang telah melakukan olah mati raga sampai akhirnya mendapatkan pencerahan. Pencerahan tersebut diperolehnya sebagai respon timbal balik yang terjadi antara alam Kebudhaan yang ada di dalam alam semesta dan Alam Kebudhaan yang melekat pada hidup Siddharta.
Dalam perkembangannya, Buddhisme terbagi menjadi dua yaitu; madzhab Theravada dan madzhab Mahayana. Sedangkan Agama Buddha atau ajaran Buddha secara umum lebih merupakan “way of life” daripada suatu agama dan filsafat, sebab ajaran Buddha lebih merupakan satu perangkat sistem keyakinan yang di dasarkan pada pengertian dan mengarah pada corak perilaku untuk mencapai kebebasan penderitaan.
Sedangkan dalam Islam dan Buddha terdapat beberapa persamaan ajaran tasawuf  yang orientasinya adalah mendekatkan diri kepada Tuhan dan mendapatkan tempat tertinggi disis Tuhan. Selain itu, untuk mencapai hal tersebut juga melalu beberpa tahapan-tahapan dan proses yang panjang serta tidak mudah. Bahkan antara Islam dan Buddha keduanya sama-sama mengedepakan aspek penyucian jiwa untuk bisa mencapai tingkatan tersebut.






DAFTAR PUSTAKA
Anshori, Subkhan, 2011, Tasawuf dan Revolusi Sosial, Kediri:Pustaka Azhar.
At-Thawil, Taufiq,  2013, Agama dan Filsafat, Madiun:Yayasan PP. Al-Furqon.
Baidhawi, Zakiyuddin,1997, Wacana Teologi Feminis, Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
Cannom, Dale,2002, Enam Cara Beragama, Jakarta:Direktur Perguruan Tinggi Islam, dll.
Djam’annuri, 2000, Agama Kita,Yogyakarta:Kurnia Kalam Semesta.
Harahap, Syahrin,2011, Teologi Kerukunan, Jakarta:Prenada.
Koesbyanto, J.A. Dhanu, Yuwono, Firman Adi, 1997, Pencerahan Suatu Pencarian Makna Hidup dan Zen Buddhisme, Yogyakarta:Kanisius.
Kurdi, M. Amin, 2006, Tanwirul Qulub, Al-Haramain.
Manaf, Mudjahid Abdul,  1994, Sejarah Agama-agama, Jakarta:Raja Grafindo Persada.
Mathar, M. Qasim, 2003, Sejarah Teologi dan Etika Agama, Yogyakarta:Interfidei.
Nasution, Harun,  1992, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang.
Purna Siswa 2011, 2011, Jejak Sufi, Kediri:Lirboyo Press.
Rosihon Anwar, dan M. Sholihin,  2008, Ilmu Tasawuf, Bandung:Pustaka Setia.



[1]Subkhan Anshori, Tasawuf dan Revolusi Sosial, (Kediri:Pustaka Azhar,2011),hlm.125.
[2]Syahrin Harahap,Teologi Kerukunan,(Jakarta:Prenada,2011),hlm.105.
[3]Zakiyuddin Baidhawi, Wacana Teologi Feminis,(Yogyakarta:Pustaka Pelajar,1997),hlm.17-18.
[4]J.A. Dhanu Koesbyanto, Firman Adi Yuwono, Pencerahan Suatu Pencarian Makna Hidup dan Zen Buddhisme, (Yogyakarta:Kanisius,1997),hlm.9-10.
[5]Dale Cannom, Enam Cara Beragama, (Jakarta:Direktur Perguruan Tinggi Islam, dll, 2002),hlm.217-218.
[6]Ibid, hlm.227.
[7]Djam’annuri, Agama Kita,(Yogyakarta:Kurnia Kalam Semesta,2000),hlm.65-66.
[8]Ibid,hlm.66-67.
[9]Ibid, hlm.31.
[10]Ibid,hlm.32-33.
[11]Ibid, hlm.173-175.
[12] M. Sholihin dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, (Bandung:Pustaka Setia,2008), hlm. 43-45
[13] Taufiq At-Thawil, Agama dan Filsafat, (Madiun:Yayasan PP. Al-Furqon,2013),hlm.130.
[14] M. Amin Kurdi, Tanwirul Qulub, (Al-Haramain, 2006), hlm.406.
[15] Purna Siswa 2011, Jejak Sufi, (Kediri:Lirboyo Press,2011),hlm.17-18.
[16] Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992). hlm. 56
[17]Opcit, hlm.303.
[18]M. Qasim Mathar, Sejarah Teologi dan Etika Agama, (Yogyakarta:Interfidei,2003),hlm.170-172.
[19]Mudjahid Abdul Manaf,Sejarah Agama-agama, (Jakarta:Raja Grafindo Persada,1994),hlm26-29.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar