TASAWUF DAN BUDDHISME
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Nilai-nilai
perbaikan sosial (transformatif) dalam al-Qur’an tampak dari rangkaian
perjalanan sejarahnya yang diturunkan secara berangsur-angsur. Setiap ayat yang
diturunkan Rasulullah merupakan respon positif terhadap apa yang tengah terjadi
dalam realitas manusia.[1]
Tuhan telah menciptakan manusia dalam keragaman dan dalam kesatuan,
sehingga memungkinkan untuk menjalin toleransi antara keadaan bersatu dan
kenyataan berbeda. Sifat kasih sayang Tuhan telah mendorongnya untuk
mengajarkan agama kepada manusia sebagai wadah untuk menemukan dan
mempertahankan kemanusiaannya. Begitu juga persoalan kemanusiaan yang harus
dilihat sebagai persoalan seluruh agama. Kekerasan dan tragedi kemanusiaan yang
terjadi atas nama agama telah mencoreng wajah agama yang sebenarnya ramah dan
penuh kedamaian.[2]
Oleh karena itu, keberadaan ajaran tasawuf dan perilaku tasawuf
sebenarnya tidak hanya ada dalam Islam. Akan tetapi dalam agama selain Islam,
khususnya Budha, juga terdapat
ajaran-ajaran dan perilaku-perilaku tasawuf.
Dengan demikian, makalah ini akan membahas tentang sejarah munculnya
agama Budha, perkembangan agama Budha dan ajaran tasawuf agama Budha serta
Orientalisme tasawuf dalam agama Islam dan Buddha.
1.2
Rumusan Masalah
A.
Sejarah
Munculnya Agama Budha
B.
Perkembangan
Agama Budha
C.
Ajaran
Tasawuf Agama Budha
D.
Orientalisme
: Tasawuf dalam Islam dan Buddha
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Munculnya Agama Budha
Buddhisme adalah
agama yang bermula pada abad keenam sebelum Masehi, Di masa muda, seorang
pangeran muda dari wangsa Sakya di wilayah Kapilavastu, yang sekarang disebut
Nepal. Pangeran itu bernama Shiddarta. Setelah memenuhi kewajiban sebagai
seorang pangeran, Shiddarta menikahi seorang putri cantik dan hidup dengan
nyaman dan bahagia, hingga tibalah saat ia melakukan perjalanan keliling kota
dan dihadapkan pada kenyataan adanya rasa sakit, usia tua, dan kematian.
Pangeran Siddharta sangat prihatin menyaksikan kenyataan bahwa manusia, sekali
ia dilahirkan, tidak bisa melarikan diri dari segala penderitaan itu. Kemudian
dihabiskannya waktu untuk merenung-renungkan bagaimana cara mengatasi
penderitaan, dan di usia dua puluh sembilan tahun, ia meninggalkan segala
miliknya, melepaskan gaya hidup duniawi, dan pergi mencari jalan spiritual yang
akan membuatnya mampu menaklukkan derita rasa sakit, usia tua, dan kematian.
Enam tahun lamanya
ia mengembara, menoba-coba berbagai metode mati-raga yang dipraktikan oleh orang-orang
bijak di India zaman itu, hanya untuk menemukan kenyataan bahwa itu semua bisa
menjawab pertanyaan besar yang mengganggunya. Akhirnya ia bersamadi dan
menemukan jawaban yang selama itu dicarinya, dan sejak saat itu ia dikenal sebagai
Sang Buddha-Yang Tercerahkan.[3]
Sejarah lahirnya
agama Budha diawali dengan kisah
kepergian Siddharta Gautama dari istana keluarga Sakya. Siddharta meninggalkan segala bentuk kemewahan serta
kenikmatan hidup duniawi, dan membawa dirinya pada perjalanan menuju pencerahan.
Dalam usia yang relatif muda, ia mencari arti hidup dengan berkelana dan
berguru pada orang-orang pintar. Dalam usaha mencari arti hidup, ia memulai
dengan mencari dua orang guru Hindu terkemuka untuk mendapatkan pengertian
tentang kebijaksanaan dari tradisi hindu. Kemudian ia bergabung dengan
sekelompok pertapa dan mencoba mengalami kehidupan mereka secara langsung.
Setelah itu, ia meninggalkan kehidupan pertapaan yang dicobanya dengan menggabungkan
pikiran yang tegar dengan konsentrasi mistik menurut petunjuk raya-yoga.
Berbagai hal tersebut menjadikan ia lahir kembali sebagai seseorang yang
mendapatkan pencerahan rohani. Dimana pencerahan itu didapat setelah dirinya
berhasil mengatasi penderitaan disekitar kehidupan dan kematian.
Pencerahan bagi penganut
agama Budha bukan sesuatu yang asing atau jauh dari pengalaman hidup manusia
sehari-hari. Filsafat Buddhis menggambarkan hidup manusia yang menguasai alam
semesta di dalam kehidupan. Menguasai alam semesta disebut dengan menguasai
“Sepuluh Alam Hidup” (Jepang: jikkai), yang meliputi 1) Neraka, 2)
Kelobaan atau Kelaparan, 3) Kebinatangan, 4) Amarah, 5) Ketentaraman dan
Kemanusiaan, 6) Kebahagiaan atau Suka Cita, 7) Kecendiakaan atau Kesarjanaan,
8) Penciptaan, 9) Boddisatva, 10) Kebudhaan. Masing-masing alam mengandung
sembilan alam lain, dan semuanya berjumlah seratus alam. Keseluruhan alam hidup
tersebut diberi kualifikasi tiga gagasan (Jepang:sansaken) mencakup
gagasan yang berhubungan dengan sifat jasmani sebagai manifestasi hidup. Perbedaan
manifestasi hidup disebabkan oleh perbedaan individu dan tempat terjadinya
manifestasi. Dengan demikian, jumlah keseluruhan menjadi “Tiga Ribu” (Jepan:zansen),
yang hadir secara simultan dalam satu saat hidup (Jepang:ichinen).
Mendapatkan
pencerahan menunjukkan kekuatan seseorang yang menguasai “Sepuluh Alam Hidup”
dan hadir secra simultan dalam satu saat hidup. Pencerahan yang dicapai
Siddharta merupakan respon timbal balik yang terjadi antara alam Kebudhaan yang
ada di dalam alam semesta dan Alam Kebudhaan yang melekat pada hidup Siddharta.[4]
2.2 Perkembangan Agama Buddha
Sesudah lebih dari
2500 tahun hingga saat ini (akhir abad ke 20), agama Buddha berkembang keluar
negara India. Perkembangan agama Buddha mengalami berbagai perubahan, pada
umumnya terjadi akibat pengaruh tradisi dan kepercayaan masyarakat setempat
pada saat menerima agama Buddha. Hingga saat ini, terdapat dua madzhab besar
dalam agama Buddha, yang dianut oleh masyarakat Buddhis di dunia, yaitu:
1. Madzhab Theravada, yang cenderung mempertahankan kemurnian ajaran
Buddha, menggunakan kitab Tipitaka berbhasa pali. Aliran ini serinkali disebut
agama Buddha aliran selatan, karena pada umumnya berkembang di negara-negara
Asia Selatan dan Asia Tenggara. Ajaran-ajaran Buddha dan ketentuan-ketentuan
disiplin kebiaraan dalam Theravada idealnya membantu biarawan dan biarawati
tetap memusatkan perhatian pada pengembangan panna (pengetahuan) melalui
analisis dan pemahaman tentang penderitaan, sebab-sebab terjadinya, dan cara
mengatasinya, yang memerlukan studi dan pemahaman kitab-kitab suci Buddha; sila
(kebijakan etis), pelaksanaan disiplin moral dan asketik sebagaimana
diterapkan dalam aturan kehidupan biara; dan samadhi (konsentrasi
mental), kemajuan selangkah demi selangkah, ketenangan batin, dan kesadaran
yang mendalam.[5]
2. Madzhab Mahayana, yang cenderung mempertahankan makna-makna hakiki
ajaran Buddha, menggunakan kitab suci Tipitaka berbahasa Sansakerta. Pengaruh
adat istiadat dan kepercayaan masyarakat diterima dalam madzhab ini. Aliran ini
sering disebut agama Buddha aliran Utara, karena berkembang di negara-negara
Asia Timur dan Asia Tengah. Cara pencarian mistik juga memiliki berbagai
ekspresi dalam Mahayana yang tidak sama yang ditemukan dalam Theravada. Hal ini
sebagian disebabkan oleh perkembangan-perkembangan filosofis yang unik pada
Mahayana dan sikap yang lebih liberal terhadap metode-metode baru dalam
mencapai tujuan-tujuan akhir (ultimate) yang sama.[6]
Agama Buddha yang
berada di Indonesia telah melalui perjalanan sejarah yang cukup panjang sejak
pertama kali tercatat dalam sejarah Indonesia. Kerajaan Kalingga di Jepara,
Jawa Tengah, merupakan kerajaan Buddhis tertua di Indonesia. Perkembangan agama
Buddha mengalami zaman keemasan pada masa kerajaan Sriwijaya di Palembang,
Sumatera, kira-kira pada abad ke-7 Masehi, dengan perguruan Buddhis yang
terkenal pada masa itu, dan banyaknya para pelajar dari luar yang menimba ilmu
agama Buddha di perguruan tinggi tersebut.
Sedangkan di Jawa,
perkembangan agama Buddha mencapai zaman keemasan pada masa kerajaan Mataram
Kuno di Kedu Jawa Tengah, pada abad ke-8 hingga abad ke-9 Masehi, yang
diperintah oleh raja-raja wangsa Sailendra. Banyak candi-candi Buddhis di
bangun pada masa ini, misalnya Candi Borobudur, Candi Mendhut, Candi Sewu,
Candi Plaosan, dan Candi Kalasan. Kemudian kerajaan Majapahit yang merupakan
kelanjutan perkembangan agama Buddha di Indonesia, abad ke-13 samapai abad
ke-15. Pada masa ini terdapat beberapa karya yang bernafaskan agama Buddha
telah ditulis. Seperti kitab Sutasoma karya Mpu Tantular, yang memuat kalimat Bhinneka
Tunggal Ika, Tana Hana DharmaMangrowa. Setelah mengalami kemunduran untuk
bebrapa lama, agama Buddha mengalami kebangkitan kembali pada abad ke-20
sesudah kunjungan Bhikkhu Narada, dari Sri Langka, tahun 1934, dan berulangkali
kunjungannya sesudah itu, kemudian agama Buddha b erkelanjutan sampai saat ini.
Dimana saat ini organisasi umat Buddha yang berkumpul dalam satu wadah
federatif Perwalian Umat Buddha Indonesia (Walubi) berjumlah 7, antara lain[7]:
1.
Sangha
Theravada Indonesia
2.
Sangha
Mahayana Indonesia
3.
Majelis
Agama Buddha Theravada Indonesia
4.
Majelis
Agama Buddha Mahayana Indonesia
5.
Majelis
Dharmaduta Kasogatan (Tantrayana) Indonesia
6.
Majelis
Pandita Buddha Maitreya Indonesia
7.
Majelis
Rohaniawan Tridharma seluruh Indonesia
Tiga organisasi umat Buddha yang disebutkan terakhir termasuk
aliran Mahayana.
2.3
Ajaran Tasawuf Agama Buddha
Agama Buddha atau ajaran Buddha lebih merupakan “way of life”
daripada suatu agama dan filsafat, sebab ajaran Buddha lebih merupakan satu
perangkat sistem keyakinan yang di dasarkan pada pengertian dan mengarah pada
corak perilaku untuk mencapai kebebasan penderitaan. Pengertian memerlukan dan
mengundang penalaran serta penghayatan secara mendalam sebagai awal mula
munculnya keyakinan terhadap pengertian tersebut.[8]
Ajaran agama Buddha bersumber kepada kitab Tripitaka yang
berarti tiga keranjang, atau tiga kelompok. Kitab tersebut merupakan kumpulan
khotbah, keterangan, perumpamaan, dan percakapan yang pernah dilakukan Sang
Buddha dengan para siswa dan
pengikutnya. Dengan demikian, isi kitab tersebut semuanya tidak berasal dari
kata-kata Sang Budha sendiri, melainkan juga kata-kata dan komentar-komentar
dari siswanya. Oleh karena itu, sumber
ajaran pokok agama Buddha ada tiga yaitu:
1.
Sutra
Pitaka, memuat dharma atau ajaran Budha
kepada pengikut-pengikutnya.
2.
Vinaya
Pittaka, memuat peraturan-peraturan yang
mengatur kehidupan Sangha dan para penganutnya.
3.
Adhdharma
Pittaka, memuat filsafat agama Buddha, dimana
terdapat pembahasan yang mendalam tentang hakikat dan tujuan hidup.
Menurut Drs.
Mudjahid Abdul Manaf dalm buku “Sejarah Agama-agama”, ajaran agama Buddha
meliputi:
1.
Catur
Arya Satyani
Ajaran ini meliputi empat kebenaran
mulia yang disebut Catur Arya Satyani yang terdiri dari:
a.
Dukha, artinya penderitaan, maksudnya bahwa hidup di dunia adalah
penderitaan, Bayi yang lahir kedunia akan menghadapi berbagai macam penderitaan
seperti sakit, menjadi tua, mati, berpisah dari segala yang dicintai dan tidak
tercapai apa yang dicta-citakan.
b.
Samudaya,
artinya sebab penderitaan. Yang menyebabkan penderitaan adalah
keinginan untuk hidup (the will to live), yang disebut tanha.
c.
Nirodha,
artinya pemadaman. Maksudnya bahwa cara pemadaman atau
menghilangkan penderitaan itu dengan jalan menghapuskan tanha.
d.
Margha,
artinya jalan untuk menghilangkan tanha. Apabila seseorang
telah menghilangkan tanha, maka ia akan mencapai nirwana, yaitu alam kesempurnaan,
dimana ia akan merasakan kenikmatan yang abadi.
Untuk menghilangkan tanha, manusia harus menempuh delapan jalan
yang mulia, yang disebur Astha Arya Margha, yaitu:
1.
Kepercayaan
yang benar
2.
Niat
dan pikiran yang benar
3.
Perkataan
yang benar
4.
Perbuatan
yang benar
5.
Mata
pencaharian yang benar
6.
Usaha
yang benar
7.
Kesadaran
yang Benar
8.
Samadhi
yang benar
2.
Nirwana/Nibbana
(Kebebasan Mutlak)
Nirwana merupakan
tujuan terakhir setiap pemeluk agama Buddha, dimana seseorang telah lepas dari
samsara, yang berarti ia telah lepas dari penderitaan, dan selanjutnya ia akan
merasakan kebahagiaan yang abadi. Nirwana merupakan berhentinya proses
kelahiran dan proses hidup serta dapat diartikan bahwa mati pun tidak ada lagi,
alias abadi. Selain itu, nirwana juga diartikan padamnya segala pai nafsu,
berhentinya segala perasaan, hilangnya segala gangguan, serta tercapainya
ketenangan dan kedamaian yang sempurna.[9]
3.
Arahat
Seorang Arahat
adalah seseorang yang telah melenyapkan segala hawa nafsu dan keinginannya,
sehingga ia tidak teringat dengan apapun. Sebelum mencapai tingkat Arahat, maka
seseorang akan mengalami keadaan yang mendekatinya, yaitu[10]:
1.
Sotapatti,
yaitu tingkat dimana seseorang harus menjelma tujuh kali lagi
sebelum mencapai nirwana.
2.
Sekadagami
magga, yaitu tingkat seseorang tinggal satu
kali menjelma sebelum mencapai nirwana.
3.
Anagami,
yaitu tingkat dimana seseorang sudah tidak akan menjelma lagi, ia
tinggal menunggu saatnya untuk mencapai nirwana sesudah itu tinggalah tingkat
Arahat, dimana seseorang telah mencapai nirwana.
Sedangkan dalam buku
“Sejarah, Teologi dan Etika Agama-agama”, ajaran Buddha meliputi:
1.
Tiratana
(Tiga Permata)
Tiratana/Tiratna (Tiga
Permata) merupakan dasar keyakinan umat Buddha yang terdiri dari; Permata
Buddha, Permata Dhamma, dan Permata Sangha. Buddha adalah manusia yang telah
mencapai pencerahan dan bertindak sebagai guru. Dhamma adalah ajaran pencerahan
hati, sedangkan Sangha adalah siswa-siswa yang mencapai pencerahan hati setelah
berhasil mengikuti ajaran tersebut.
Permata Buddha adalah hakikat ke-Buddha-an, yaitu Pencerahan,
Perealisasian Nibbana. Permata Dhamma
adalah hakikat ke-Dhamma-an, demikian pula Permata Sangha adalah hakikat
ke-Sangha-an, yaitu Pencerahan, Perealisasian Nibbana juga. Oleh karena itu,
umat Buddha melakukan penghormatan dan pengabdian keagamaan kepada Buddha,
Dhamma, dan Sangha, atau Tiratana (Tiga Permata). Hal tersebut tercermin dalam
keyakinan umat Buddha sebagai berikut:
“Aku berlindung dalam Buddha, aku berlindung dalam Dhamma, dan aku
berlindung dalam Sangha”.
Umat Buddha berupaya
memperoleh pencerahan batin sebagai perilaku hidup beragamanya. Dimana upaya
pencapaian pencerahan batin ini dilakukan melalui cara hidup yang
melatih/mengembangkan:
a.
Kebijaksanaan
(Panna)
b.
Kesusilaan
(Sila)
c.
Meditasi
(Samadhi)
2.
Tilakkhana
(Tiga corak Segala Sesuatu)
Segala sesuatu yang
ada dapat dipisahkan menjadi 2 macam, yaitu: yang terjadi dari perpaduan unsur-unsur
(Sankhata-dhamma) dan yang terjadi bukan perpaduan unsur-unsur (Asankhata-dhamma).
Keberadaan segala sesuatu itu mempunyai tiga corak yaitu:
a.
Segala
sesuatu yang terjadi dari perpaduan unsur-unsur memiliki corak tidak kekal.
b.
Segala
sesuatu yang terjadi dari perpaduan unsur-unsur memiliki corak terus menjadi.
c.
Segala
sesuatu yang terjadi dari perpaduan maupun bukan perpaduan unsur-unsur tidak
memiliki inti kekal.
3.
Kamma dan Punabbhava (Hukum Perbuatan dan Tumimbal lahir)
Kamma atau Karma artinya perbuatan. Hukum Kamma merupakan hukum
moral yang berlangsung sesuai dengan prinsip sebab akibat. Sesuai dengan benih
yang telah ditabur, begitulah buah yang akan dipetiknya. Seseorang yang berbuat
baik akan menerima kebahagiaan, dan yang berbuat jahat akan menerima
penderitaan. Dimana penghayatan hukum Kamma/Karma bermanfaat untuk:
a.
Menjaga
agar seseorang tidak terjerat ke dalam pandangan nihilistis dan materialistis,
yang mengingkari berlakunya nilai-nilai moral.
b.
Membuat
seseorang memiliki kepercayaan pada kemampuan diri sendiri untuk meningkatkan
taraf hidupnya menjadi lebih baik dan mencegah seseorang berputus asa atau
bersikap pasrah pada nasib.
c.
Memperkuat
pengendalian diri untuk tidak melakukan hal-hal negatif dalam bentuk apapun,
atas dasar pengertian bahwa seseorang pasti akan memetik perbuatannya sendiri.
Alam kehidupan
makhluk hidup bermacam-macam. Ada 31 alam kehidupan, tempat makhluk hidup
berproses menjalani hidupnya, terdiri dari alam bahagia dan alam derita. Alam
bahagia antara lain adalah alam surga, yang terdiri dari 26 macam alam surga.
Alam derita terdiri dari 4 macam alam diantaranya adalah alam binatang.
Sedangkan alam manusia merupakan alam batas antara alam bahagia dan alam
derita.
4.
Paticcasamuppada (Hukum Sebab Musabab yang saling berkaitan)
Sebab musabab yang saling berkaitan timbul karena kondisi-kondis
yang saling bergantungan. Beberapa faktor mengkondisikan timbulnya sesuatu.
Timbulnya sesuatu itu merupakan salah satu faktor dan banyak faktor lain yang
akan mengkondisikan munculnya sesuatu yang lain, kemudian munculnya sesuatu
yang lain merupakan salah satu faktor dari faktor-faktor lain yang
mengkondisikan terjadinya sesuatu yang lain lagi, demikian seterusnya.[11]
2.4
Orientalisme : Tasawuf dalam Islam dan Buddha
Pada masa Rasulullah dan masa sebelum datangnya agama Islam,
istilah “tasawuf” itu belum ditemukan. Akan tetapi praktek ajaran tasawuf sudah
ada sejak zaman Nabi Muhammad dan para sahabat, Seperti sikap zuhud dan
qana’ah. Selain itu perintah zuhud dan qana’ah juga terdapat dalam al-Qur’an,
dalam ucapan dan perilaku Rasulullah sendiri. Sebagaimana Allah berfirman dalam Qs. Fatr : 5, tentang zuhud yaitu menjauhkan diri dari keduniawian,
يآ’َ يُّهَا النَّاسُ إِنَّ وَعدَ اللهِ حَقٌّ , فَلاَ تَغُرَّ نَّكُمُ
الحَيَوةُ الدُ نيَا , وَ لَا يَغُرُّ نَكُم بِاللهِ الغَرُورُ
“Hai manusia, sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu dan sekali-kali janganlah setan yang pandai menipumu”
“Hai manusia, sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu dan sekali-kali janganlah setan yang pandai menipumu”
Begitu juga tentang
mendekatkan diri kepada Allah yang telah ada sejak zaman para Nabi, Allah
berfirman dalam Qs. Al-Baqarah : 186
وَ
اِذَا سَأَ لَكَ عِبَادِى عَنِّى فَإِ نِّى قَرِيبِ , أُ جِيبُ دَعوَ ة الدَّ اعِ
إِذَ ا دَ عَانِ , فَليَستَجِيبُوا لِى وَ ليُؤ مِنُوا بِى لَعَلَّهُم يَر شُدُونَ
َ
“Jika hamba-hamba-Ku bertanya padamu
tentang diri-Ku, Aku adalah dekat. Aku mengabulkan seruan orang yang memanggil
jika ia memanggil Aku”
Menurut para ahli sejarah, istilah tasawuf mulai muncul pada abad 2 Hijriya, yaitu pada masa
seorang tabi’in bernama Hasan Al- Bashri, ketika orang-orang berusaha
meluruskan jalan menuju Ilahi dan takut kepada-Nya. Dimana hal ini membuktikan bahwa Tasawuf sudah ada sejak zaman Nabi. Walalupun
dulu hanya dalam bentuk benih-benihnya saja. Dan istilah tasawuf sendiri muncul
ketika abad ke 2 Hijjriyah.[12]
Tasawuf secara terminologi adalah tekun beribadah kepada Allah
sepenuh kehidupan serta berpaling dari kenikmatan duniawi, menghindari dari apa
yang dilakukan orang awam, baik berlezat-lezatan dengan harta atau pangkat.
Pendapat ini menurut Ibnu Khaldun. Secara umum yang disebut tasawuf adalah
zuhud, ibadah, ibadah, dan sabar dalam kefakiran. Hal ini karena adanya
dorongan untuk memperhatikan kehidupan agamanya serta menjaga hukum-hukum
syari’at. Sebagaimana persepsi Ustadz Musthafa Abdur Raziq.[13]
Menurut Syaikh Amin al-Kurdi dalam kitab “Tanwirul Qulub, tasawuf
adalah:
التصوف
هو علم يعرف به أحوال النفس محمودها ومذمومها وكيفية تطهيرها من المذموم منها وتحليتها بالاتصاف بمحمودها وكيفية السلوك والسير
الى الله تعالى والفرار اليه
“Tasawuf adalah ilmu yang digunakan untuk
mengetahui keadaan jiwa (hati), baik dari segi baiknya maupun buruknya, serta
bagaimana menyucikan jiwa (hati) dari hal-hal buruk dan menghiasinya dengan
hal-hal (sifat-sifat) terpuji, bagaimana bagaimana caranya suluk dan jalan
menuju sampai kepada Allah serta segera mungkin dapat dekat dengan Allah”.
Dari penjelasan
tersebut, beliau menjelaskan bahwa sasaran dari tasawuf adalah membersihkan dan
mensucikan segala bentuk perbuatan hati dan panca indera. Dimana dengan tazkiyah
dan tashfiyah akan menjadikan hati bersih, mengetahui dan menemukan hal-hal
gaib, selamat di akhirat, bahagia dengan ridla Allah, memperoleh kebahagian
abadi, pencerahan dan kejernihan hati yang mampu membuka perkara-perkara yang
agung, dan melihat keadaan-keadaan yang menakjubkan serta menampakkan sesuatu
yang tidak bisa dilihat oleh penglihatan mata.[14]
Hampir semua konsep
tasawuf berasal dari Al-Qur’an, seperti konsep zuhud (menjauhkan diri dai dunia
untuk beribadah). Hal ini disebutkan dalam Al-Qur’an surat An-Nisaa’ ayat 77[15]:
قل
متاع الدنيا قليل والأخرة خير لمن اتقى ولا تظلمون فتيلا
“KatakanlahKesenangan di dunia ini hanya
sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertaqwa, dan kamu
tidak akan dianiaya sedikit pun”.(QS. An-Nisaa’ :77).
Dalam sejarahnya, pada abad ke 1
Hijriyah, orang Islam belum mengenal istilah tasawuf dan yang ada hanyalah
benih-benihnya saja. Meskipun
begitu, Nabi Muhammad SAW telah melakukan pengasingan diri ke Gua Hira menjelang
datangnya wahyu. Beliau menjauhi pola hidup kebendaan ketika orang
Arab sedang tenggelam di dalam kebendaan. Selama pengasingan
di Gua Hira
Rasulullah hanya bertafakur, beribadah, dan hidup sebagai seorang zahid. Beliau hidup sangat sederhana, bahkan terkadang beliau memakai pakaian tambalan, tidak makan dan minum, kecuali yang halal.
Setiap malam beliau senantiasa beribadah dan
taqarrub kepada Allah SWT.
Dalam agama
Islam, sejarah tasawuf sendiri memiliki berbagai macam pendapat yang berbeda-beda
yang dapat dilihat dalam berbagai definisi tasawuf yang ada, di antaranya[16] :
1.
Tasawuf
berasal dari bahasa Arab, Ahl al-Shuffah (الصفة اهل ( yaitu
orang-orang yang hijrah mengikuti Nabi Muhammad Saw, Saf ( (صف yang
berarti barisan yang pertama / utama, Sufi (صوفى) yaitu suci, Suf (صوف) kain yang terbuat dari bulu wol kasar,
dilihat dari defini tersebut tasawuf berasal dari agama Islam.
2.
Sophos, kata Yunani yang berarti hikmah. Dalam hal ini tasawuf berarti berasal dari negara barat atau
non-Islam.
Dari perbedaan
tersebut sampai sekarang masih terjadi perdebatan tentang sejarah tasawuf
sendiri. terutama dalam pemikiran orang-orang berat atau oriental yang
bersikukuh terhadap pendapatnya tentang tasawuf Islam itu hanya meniru-niru
dari ajaran dari agama lain. Namun jika ditengok tentang makna dari tasawuf
sendiri yaitu pendekatan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa, tidak menutup
kemungkinan bahwa di agama-agama lain yang non-Islam juga mengajarkan tentang
tujuan pendekatan diri seorang hamba dengan Tuhannya. Apakah hal ini sama dalam
pempraktekan dalam hal pendekatan hamba dengan Tuhannya.
Sebagaimana telah kita ketahui, cara pencarian mistik sangat
ditekankan dalam kebanyakan sub-tradisi agama Buddha, tetapi cara tersebut
tidak pernah ada tanpa adanya semacam keseimbangan atau perpaduan antara
cara-cara bertindak secara bijak dan benar. Namun demikian, berbagai disiplin
ilmu asketik tertentu dan praktik-praktik meditasi dalam sub-tradisi Buddha
bervariasi. Seperti metode Satipatthana untuk “memperkuat kesadaran”,
yang juga disebut sukka vipassana (praktik “pengosongan pikiran”).
Dimana cara tersebut direkomendasikan sebagai sebuah praktik yang berguna bagi
semua orang, tetapi hanya sedikit saja yang disebutkan memiliki keinginan
tunggal yang diperlukan untuk sampai pada tujuan akhirnya.[17]
Manusia dalam
pandangan agama Buddha merupakan perpaduan jasmani dan batin. Jasmani merupakan
perpaduan bagian jasmani yang berasal dari unsur padat, cair, udara, dan panas.
Masing-masing unsur juga merupakan perpaduan dari bagian-bagian unsur itu yang
lebih kecil, dan seterusnya. Batin terdiri dari perpaduan unsur kesadaran,
bentuk-bentuk pemikiran, ingatan, dan perasaan. Masing-masing unsur juga
merupakan perpaduan dari bagian-bagian unsur yang lebih kecil, dan seterusnya.
Demikian pula segala bentuk kehidupan terjadi dari perpaduan faktor-faktornya.[18]
Menurut Buddha
Gautama, jika manusia mau melakukan hidup suci dengan melenyapkan tanha, maka
setelah itu ia melalui serangkaian reinkarnasi pada akhirnya ia akan mencapai
nirwana. Orang yang telah mencapai nirwana disebut Arahat. Dalam
rangkaian reinkarnasi itu, orang bisa menjelma manusia kembali, menjadi
binatang atau dewa. Bahkan orang yang benar-benar telah menunjukkan pengorbanan
yang sedalam-dalamnya, yang sebenar-benarnya dan kasih sayang yang
sedalam-dalamnya, ia bisa menjadi Buddha, setelah mengalami reinkarnasi yang
sangat lama, mungkin sampai ratusan abad lamanya.[19]
BAB III
PENUTUP
3.1
Simpulan
Agama Buddha adalah agama yang muncul pada abad keenam sebelum
Masehi. Dimana agama Buddha di bawa oleh seorang pangeran yang bernama
Siddharta Gautama yang telah melakukan olah mati raga
sampai akhirnya mendapatkan pencerahan. Pencerahan tersebut diperolehnya
sebagai respon timbal balik yang terjadi antara alam Kebudhaan yang ada di
dalam alam semesta dan Alam Kebudhaan yang melekat pada hidup Siddharta.
Dalam perkembangannya, Buddhisme terbagi menjadi dua yaitu; madzhab
Theravada dan madzhab Mahayana. Sedangkan Agama Buddha atau ajaran Buddha
secara umum lebih merupakan “way of life” daripada suatu agama dan
filsafat, sebab ajaran Buddha lebih merupakan satu perangkat sistem keyakinan
yang di dasarkan pada pengertian dan mengarah pada corak perilaku untuk
mencapai kebebasan penderitaan.
Sedangkan dalam Islam dan Buddha terdapat beberapa persamaan ajaran
tasawuf yang orientasinya adalah
mendekatkan diri kepada Tuhan dan mendapatkan tempat tertinggi disis Tuhan.
Selain itu, untuk mencapai hal tersebut juga melalu beberpa tahapan-tahapan dan
proses yang panjang serta tidak mudah. Bahkan antara Islam dan Buddha keduanya
sama-sama mengedepakan aspek penyucian jiwa untuk bisa mencapai tingkatan
tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Anshori,
Subkhan, 2011, Tasawuf dan Revolusi Sosial, Kediri:Pustaka Azhar.
At-Thawil, Taufiq, 2013, Agama
dan Filsafat, Madiun:Yayasan PP. Al-Furqon.
Baidhawi,
Zakiyuddin,1997, Wacana Teologi Feminis, Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
Cannom, Dale,2002,
Enam Cara Beragama, Jakarta:Direktur Perguruan Tinggi Islam, dll.
Djam’annuri, 2000,
Agama Kita,Yogyakarta:Kurnia Kalam Semesta.
Harahap,
Syahrin,2011, Teologi Kerukunan, Jakarta:Prenada.
Koesbyanto,
J.A. Dhanu, Yuwono, Firman Adi, 1997, Pencerahan Suatu Pencarian Makna Hidup
dan Zen Buddhisme, Yogyakarta:Kanisius.
Kurdi, M. Amin, 2006, Tanwirul Qulub, Al-Haramain.
Manaf, Mudjahid
Abdul, 1994, Sejarah Agama-agama, Jakarta:Raja
Grafindo Persada.
Mathar, M.
Qasim, 2003, Sejarah Teologi dan Etika Agama, Yogyakarta:Interfidei.
Nasution,
Harun, 1992, Filsafat dan
Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang.
Purna Siswa 2011, 2011, Jejak Sufi, Kediri:Lirboyo Press.
Rosihon Anwar, dan M. Sholihin, 2008, Ilmu Tasawuf, Bandung:Pustaka
Setia.
[1]Subkhan
Anshori, Tasawuf dan Revolusi Sosial, (Kediri:Pustaka Azhar,2011),hlm.125.
[2]Syahrin
Harahap,Teologi Kerukunan,(Jakarta:Prenada,2011),hlm.105.
[3]Zakiyuddin
Baidhawi, Wacana Teologi Feminis,(Yogyakarta:Pustaka
Pelajar,1997),hlm.17-18.
[4]J.A. Dhanu
Koesbyanto, Firman Adi Yuwono, Pencerahan Suatu Pencarian Makna Hidup dan
Zen Buddhisme, (Yogyakarta:Kanisius,1997),hlm.9-10.
[5]Dale Cannom, Enam
Cara Beragama, (Jakarta:Direktur Perguruan Tinggi Islam, dll,
2002),hlm.217-218.
[7]Djam’annuri, Agama
Kita,(Yogyakarta:Kurnia Kalam Semesta,2000),hlm.65-66.
[9]Ibid, hlm.31.
[12] M. Sholihin
dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, (Bandung:Pustaka Setia,2008), hlm.
43-45
[13] Taufiq
At-Thawil, Agama dan Filsafat, (Madiun:Yayasan PP.
Al-Furqon,2013),hlm.130.
[14] M. Amin Kurdi, Tanwirul
Qulub, (Al-Haramain, 2006), hlm.406.
[15] Purna Siswa
2011, Jejak Sufi, (Kediri:Lirboyo Press,2011),hlm.17-18.
[16] Harun
Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,
1992). hlm. 56
[18]M. Qasim
Mathar, Sejarah Teologi dan Etika Agama, (Yogyakarta:Interfidei,2003),hlm.170-172.
[19]Mudjahid Abdul
Manaf,Sejarah Agama-agama, (Jakarta:Raja Grafindo
Persada,1994),hlm26-29.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar