Senin, 18 April 2016

A.  Surat Ali Imron Ayat 75-76
ومن أهل الكتاب ان تأمنه بقنطار يؤده اليك, ومنهم من ان تأمنه بدينار لايؤده اليك ما دمت عليه قائما, ويقولون على الله الكذب وهم يعلمون (   75 ) بلى من أوفى بعهده واتقى فان الله يحب المتقين ( 76   )

“ Di antara Ahl-Kitab ada orang yang jika engkau mempercayakan (menitipkan) kepadanya harta yang banyak (mereka tidak menghianati amanah sehingga dia) mengembalikannya (apa yang dipercayakan kepadanya itu secara sempurna) kepadamu, dan diantara mereka ada orang yang jika engkau mempercayakan kepadanya satu dinar (saja, mereka mengkhianati amanah yang diberikan, sehingga dia) tidak mengembalikannya kepadamu kecuali jika engkau selalu menagihnya, yang demikian itu karena mereka mengatakan “Tidak ada (dosa) bagi kami terhadap orang-orang Ummi (tidak mempunyai pengetahuan tentang kitab suci atau bahkan buta huruf), Mereka berkata dusta terhadap Allah, sedangkan mereka mengetahui” (QS. Ali-Imron :75).
“Bukan demikian, sebenarnya siapa yang menepati janjinya dan bertaqwa, maka sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaqwa” (QS. Ali Imron : 76).[1]
B.  Makna Mufrodat Surat Ali-Imron Ayat 75-76
          Qintar merupakan bentuk masdar (kata benda) dari kata kerja qantara yang artinya memiliki harta yang banyak. Kata ini diambil dari kata Qantarah yang berarti jembatan. Qintar adalah kata yang biasa dipakai untuk melewati jembatan kehidupan. Dari sini muncul arti harta yang banyak karena bisa dipakai dalam waktu yang lama. Dengan demikian, qintar dapat diartikan sebagai harta yang banyak.[2] Qintar juga berarti ukuran berat sebesar 100 ritl (رطل), berasal dari bahasa latin atau bahasa Suryani yang diarabkan
          Qintar adalah ukuran kekayaan bangsa Arab jika mencapai 100 ritl atau senilai 12.000 dinar perak. Ada pula yang memikirkan sama dengan 10.000 dinar emas. Dalam ayat ini dijelaskan keberadaan Ahl Kitab yang jujur dan amanah, meskipun harta yang dititipkan itu berjumlah cukup besar, mereka tetap mengembalikannya kepada yang berhak.[3]
C.  Munasabah Surat Ali-Imron Ayat 75-76 dengan Ayat Sebelumnya
          Dalam ayat yang lalu sudah dijelaskan tentang penghianatan Ahli Kitab dan tipu daya mereka terhadap muslim yaitu mereka berusaha sekuat tenaga dengan cara-cara yang licik untuk mengajak muslimin menganut agama mereka. Mereka pun berusaha untuk menghalang-halangi umat Islam melakukan dakwah untuk menyebarluaskan agamanya. Mereka berusaha dengan berbagai cara seperti menonjolkan bahwa mereka adalah bangsa pilihan dan bahwa agama yang benar hanya khusus buat mereka  tidak mungkin diberikan kepada bangsa lain. Kemudian di dalam ayat ini dan ayat-ayat berikutnya yang mengungkapkan sifat lain daripada Ahlu Kitab yaitu bahwa mereka tidak dapat dipercaya , karena telah mengkhianati amanat. Buktinya mereka berani mengambil harta manusia dengan cara yang batil, mentakwilkan ayat-ayat Allah yang terdapat dalam kitab mereka sesuai dengan kemauan mereka, dan melakukan penyelewngan dalam agama.[4]
D.  Asbabun Nuzul Surat Ali-Imron Ayat 75-76
          Tentang turunnya ayat ini, Ibnu Jarir at-Tabari meriwayatkan bahwa sebagian orang Arab menjual barang dagangannya kepada Yahudi pada zaman Jahiliyah. Setelah mereka masuk Islam, orang Arab meminta harga barang itu yang belum dibayar. Orang Yahudi berkata: “Kami tidak bertanggungjawab dan kamu tidak berhak menuntut kami ke pengadilan karena kamu telah meninggalkan agamamu”. Mereka mengatakan bahwa mereka menemukan ketentuan itu di dalam kitab Taurat. Oleh sebab itu, pertanyaan mereka dijawab dengan:[5]
ويقولون على الله الكذب وهم يعلمون
..........mereka mengatakan hal yang dusta terhadap Allah, padahal mereka mengetahui ( Ali-Imron /3:75).
E.    Tafsir Surat Ali-Imron Ayat 75-76
          Dalam ayat ini diterangkan, bahwa di antara Ahli Kitab itu ada sekelompok manusia yang apabila mendapat kepercayaan diserahi harta yang banyak atau pun sedikit, mereka mengembalikannya sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya. Tetapi ada pula diantara mereka yang apabila mendapat kepercayaan diserahi sejumlah harta sedikit saja, mereka tidak mau mengembalikan, kecuali apabila ditagih, baru mereka mau menyerahkannya setelah melalui proses pembuktian.
          Hal ini menunjukkan bahwa Ahli Kitab itu ada sekelompok orang yang pekerjaannya mempersulit muslimin dan membuat tipu daya agar orang Islam tidak senang memeluk agamanya dan berbalik untuk mengikuti agama mereka. Diantara mereka pula ada sekelompok orang yang pekerjaannya memutarbalikkan hukum. Mereka menghalalkan memakan harta orang lain dengan alasan bahwa “kitab Taurat melarang mengkhianati amanat terhadap saudara-saudara mereka seagamanya. Kalau penghianatan itu dilakukan terhadap bangsa lain mereka memperbolehkannya. Dengan ringkas dapat dikatakan bahwa Ahli Kitab dapat dibagi menjadi dua golongan:
1. Ahlu Kitab yang benar-benar berpegang pada kitab Taurat yang betul-betul bisa dipercaya. Sebagai contoh misalnya Abdullah bin Salam yang dititipi harta oleh Quraisy dalam jumlah besar kemudian harta itu dikembalikannya.
2. Ahlu Kitab yang tidak dapat dipercaya karena apabila mereka dititpi harta walaupun sedikit, mereka mengingkari dan tidak mau mengembalikannya lagi kecuali apabila dibuktikan dengan keterangan yang masuk akal atau apabila melalui proses pembuktian dimuka pengadilan.
          Sebagai contoh lain adalah Ka’ab bin Al-Asyraf yang dititipi uang satu dinar oleh Quraisy kemudian dia mengingkari titipan itu.
          Sebab-sebab mereka melakukan demikian, adalah karena mereka beranggapan tidak berdosa apabila mereka tidak menunaikan amanah terhadap seorang muslim. Karena mereka beranggapan bahwa tidak ada ancaman dan tidak ada dosa apabila mereka makan harta seorang muslim dengan jalan yang batil.
          Secara ringkas dapat dikatakan bahwa menurut pendapat mereka, setiap orang selain bangsa Yahudi tidak akan diperhatikan Allah, bahkan mereka mendapat murka dari Allah. Oleh sebab itu, harta mereka tidak akan mendapat perlindungan, dan mengambil harta mereka tidak dianggap pengingkaran, penipuan, dan penghinaan terhadap agama.
          Maksudnya mereka mengetahui dan menyadari bahwa mereka sengaja berdusta dalam hal itu, padahal mereka telah mengetahui bahwa dal kitab Taurat tidak ada ketentuan sedikitpun yang membolehkan untuk menghianati orang Arab, dan memakan harta orang Islam secara tidak sah.
          Sebenarnya mereka telah mengetahui hal itu, tetapi mereka tidak berpegang kepada kitab Taurat. Mereka lebih cenderung bertaklid kepada perkataan pemimpin agama mereka, dan menganggapnya sebagai ketentuan yang wajib mereka ikuti. Padahal pemimpin-pemimpin mereka itu mengungkapkan pendapatnya mengenai hal-hal yang bersangkut paut dengan agama dengan menggunakan penakwilan dengan akal dan selera. Mereka tidak segan-segan mengubah susunan kalimat asli Taurat untuk memperkuat pendapat mereka. Mereka mempertahankan pendapat itu dengan mencari-cari alasan yang dapat menguatkannya.[6]
          Diriwayatkan juga oleh Ibnu Munzir, dari Sa’oid bin Jubair, Ia berkata : setelah turun ayat 75 ini Rasulullah bersabda[7]:
كذب أعداء الله ما من شيء في الجاهلية الا وهو تحت قدمي هاتين الا لأمانة فانها مؤدة الى البر والفاجر
(رواه ابن منذر عن سعيد بن جبير)
“Musuh-musuh Allah (orang-orang Yahudi) telah berdusta : Tidak ada sesuatu ketentuan di zaman jahiliyah melainkan telah berada di bawah kedua telapak kakiku ini (telah dibatalkan) terkecuali amanat. Amanat ini diwajibkan kepada orang yang baik dan orang yang jahat”.
          Pada ayat ini juga dijelaskan bahwa prinsip agama yaitu menepati janji dan tidak mengingkarinya, serta memelihara diri dari berbuat maksiat adalah perbuatan yang mendekatkan diri kepada Allah, dan patut mendapat limpahan kasih sayang-Nya.
          Di dalam buku Tafsir Qur’an Karim karya Prof. Dr. H. Mahmud Yunus dijelaskan bahwa dalam ayat 75-76 dari surat Ali-Imron, terdapat pelajaran untuk kaum muslimin supaya mereka jangan meniru perbuatan Ahlu Kitab itu. Dimana diantara setengah kaum muslimin (tidak banyak), jika dipercaya dan diberi utang, mereka tidak mau membayar, karena orang yang memberi utang bukan orang Islam. Mereka mengatakan tidak berdosa menganiaya orang yang tidak beragama Islam. Perkataan itu semata-mata berdusta terhadap Allah, karena segala utang wajib dibayar menurut janji yang telah ditetapkan, meskipun orang yang memberi utang bukan orang Islam. Utang wajib dibayar, diberi utang harus diterima.[8]
F.    Aspek Tasawufnya Surat Ali-Imron Ayat 75-76
          Sebagaimana dengan asbabun nuzulnya, dimana menurut Abu Hurairah, ayat ini diturunkan untuk menegaskan bahwa antara Ahlu Kitab, ada yang jujur dan taat terhadap agama, tetapi ada juga yang berakhlak buruk. Ada yang menepati janji, dan ada pula yang terbiasa mengingkari janji (HR. Bukhari).[9]
          Dengan melihat asbabun nuzul tersebut jelas sekali bahwa penghianatan merupakan akhlak yang buruk dan bisa menghambat seseorang untuk mendekatkan diri kepada Allah. Tidak hanya itu, dalam tasawuf sifat amanah bisa menjadikan seorang sufi untuk bisa mencapai maqam-maqam tertinggi. Dimana maqam-maqam tersebut akan terhalang atau terhambat dengan adanay sifat tidak amanah (khianat), Selain itu, dalam hal menepati janji dan menjaga amanah sanagat penting sekali, sebab penghianatan terhadap janji dan amanah bisa menybabkan seseorang terjerumus kedalam perbuatan dosa. Seorang sufi sangat berhati-hati dalam segala hal, baik dari segi ucapan maupun tindakan atau bahkan kelalaian hatinya dari ingat kepada Allah.
          Oleh karena itu, keberadaan sifat amanah sangat diperlukan sekali untuk bisa menjaga amanah yang dibebankan kepadanya, baik amanah yang datangnya dari Allah maupun amanah yang datang dari sesama manusia.Selain itu, keberadaan amanah juga bisa menjadikan seorang sufi mampu bersatu (ittihad) dengan Allah dan mampu mencapai berbagai maqam-maqam dalam tasawuf.
          Berkaitan dengan amanah tentunya sebagai seseorang yang menginginkan maqam yang tertinggi dalam tasawuf tidaklah mudah dan tentunya banyak sekali kendala yang dihadapinya, baik kendala yang datang dari diri sendiri maupun kendala yang datang dari orang lain. Amanah seringkali dihubungkan dengan harta atau pun barang yang dititipkan pada seseorang. Oleh karena itu, dalam amanah seringkali ada rasa percaya dan tidak percaya karena pernah dihianati. Dengan begitu, penghianatan terhadap amanah juga akan menghilangkan rasa kepercayaan, menimbulkan prasangka buruk (su’udzon), dendam, dan lain-lain. Mengenai hal tersebut, sangat sulit sekali bagi seseorang yang tidak amanah untuk bisa mencapai maqam-maqam dalam tasawuf. Bahkan untuk memperoleh kepercayaan dari sesama manusia juga sulit. Hal itu karena sifat amanah sangat erat sekali hubungannya dengan rasa percaya dan saling menjaga.
          Tidak hanya itu saja, penghianatan dari amanah yang seharusnya dijaga juga bisa menjadikan seseorang akan senantiasa mengulangi terhadap penghianatan amanah yang akan dilakukan dikemudian hari. Oleh karena itu, adanya amanah dalam tasawuf bisa membuat seseorang untuk melewati tahapan-tahapn dalam tasawuf mengalami hambatan-hambatan dan bahkan tidak akan tercapai. Dengan demikian, amanah perlu dijaga dan khianat terhadap amanah perlu di jauhi dan bahkan ditinggalkan dengan segala daya upaya yang ada.


A.  Surat An-Nisaa’ Ayat 58-59
ان الله يأمركم أن تؤدا الأمنت الى أهلها واذا حكمتم بين الناس أن تحكم بالعدل, ان الله نعما يعظكم به, ان الله كان سميعا بصيرا  (   58  )  يأ يها الذين امنوا أطيعوا الله وأطيعوا الرسول واولى الأمر منكم, فان تنازعتم في شيء فردوه الى الله والرسول ان كنتم تؤمنون با الله واليوم الأخر, ذلك خير وأحسن تأويلا  (59   )
   “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah-amanah kepada pemiliknya, dan apabila kamu menetapkan hukum diantara manusia, supaya kamu menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pelajaran yang sebaik-baiknya kepada kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (58).
               “Hai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan Rasulnya (Nabi Muhammad SAW), dan Ulil Amri, diantara kamu, maka jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (kepada Al-Qur’an), dan Rasul (sunnah-Nya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kiamat. Yang demikian (sumber hukum) itu baik (lagi sempurna) dan (juga) lebih baik akibatnya (di dunia dan akhirat)” (59).
B.  Makna Mufradat Surat An-Nisaa’ Ayat 58-59
          Al-Amanah adalah sesuatu yang dijaga untuk disampaikan kepada pemiliknya. Orang yang menjaga dan menyampaikannya dinamakan Hafidz (orang yang menjaga), Amin (orang yang dipercaya), dan Wafiy’ (orang yang memenuhi), sedangkan yang tidak menjaga dan tidak menyampaikannya disebut penghianat. Kemudian Al-Adlu adalah menyampaikan hak kepada pemiliknya melalui jalan terdekat, sedangkan At-Ta’wil adalah menerangkan kesudahan dan akibat.
C.  Munasabah Surat An-Nisaa’ Ayat 58-58
          Dalam ayat terdahulu, Allah ta’ala menjelaskan ganjaran besar bagi orang-orang yang beriman dan beramal shalih. Sedangkan yang paling menonjol diantara amal-amal itu adalah menyampaikan amanah dan menetapkan perkara diantara manusia dengan cara yang adil. Di dalam ayat ini Allah memerintahkan kedua amal itu.
D.  Asbabun Nuzul Surat An-Nisaa’ Ayat 58
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ketika menaklukkan Mekkah, Rasulullah SAW memanggil Utsman bin Thalhah. Setelah datang, beliau bersabda: Perlihatkanlah kunci (kunci Ka’bah) kepadaku, ketika Utsman mengulurkan tangannya, Abbas berdiri seraya berkata, Wahai Rasulullah, Engkau ditebusi dengan Bapak dan Ibuku! Satukanlah ia dengan penyiram air untukku, maka Utsman membukakan telapak tangannya, lalu Rasulullah SAW bersabda, berikanlah kunci itu wahai Utsman, Utsman berkata, inilah amanah Allah, beliau berdiri lalu membuka Ka’bah. Kemudian keluar dari Ka’bah, kemudianberthawaf di Baitullah itu. Kemudian Jibril turun memerintahkan supaya mengembalikan kunci itu. Lalu beliau meanggil Utsman bin Thalhah dan memberikan kunci kepadanya. Kemudian beliau membacakan ayat : “Sesungguhnya Allah memerintahkan kepada kalian supaya menyampaikan amanh kepada yang berhak menerimanya...hingga selesai membaca ayat itu.[10]
E.    Asbabun Nuzul Surat An-Nisaa’ Ayat 59
             Turunnya ayat 59 dari surat An-Nisaa’ ternyata terdapat asbabun nuzul, dimana asbabun nuzulnya adalah bahwa Ibnu jarir meriwayatkan turunnya ayat ini pada peristiwa yang terjadi antara Ammar bin Yasir dengan Khalid bin al_Walid. Waktu itu Khalid adalah komandan. Pada suatu hari Ammar melindungi seseorang tanpa perintah Khalid, maka keduanya bertengkar. Lalu turunlah firman Alah yang berupa ayat ini.
F.    Tafsir Surat An-Nisaa’ Ayat 58-59
Dalam ayat 58 dari surat An-Nisaa’ dapat diambil sebuah tasiran bahwa amanah ada tiga macam, yaitu[11]:
1.      Seorang hamba Allah harus melaksanakan segala pentah Allah dan menjauhi larangannya.
2.      Seorang hamba harus menjaga nikmat yang telah Allah berikan kepadanya, seperti telinga, mata, kesehatan, dan lainnya. Maka seorang hamba tidak boleh menggunakan nikmat tersebut dalam hal yang bisa menyebabkan kemarahan (kemurkaan) Allah.
3.      Hak-haknya seorang hamba seperti halnya titipan dan selainnya, maka wajib untuk di jaga (dipenuhi) amanahnya.
          Sedangkan dalam terjemah tafsir al-maraghi yang diterjemahkan oleh Bahrun Abu Bakar dan Hery Nur Aly, tafsir dari ayat 58 dari surat An-Nisa’ adalah adanya amanah yang dibagi menjadi 3, yaitu:
1. Amanah hamba dengan Rasulnya, yaitu apa yang telah dijanjikan Allah kepadanya untuk dipelihara berupa melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya, dan menggunakan segala perasaan dan anggota badannya untuk hal-hal yang bermanfaat baginya dan mendekatkannya kepada Robb. Di dalam atsar dikatakan bahwa seluruh maksiat adalah khianat kepada Allah.
2 .Amanah hamba dengan sesama manusia, diantaranya adalah mengembalikan titipan kepada pemiliknya, tidak menipu, menjaga rahasia, dan lain sebagainya yang wajib dilakukan terhadap keluarga, kaum kerabat, manusia pada umumnya dan pemerintah. Termasuk dalam amanah ini adalah keadilan para umara terhadap rakyatnya dan keadilan para ulama terhadap orang-orang awam dengan mebimbing mereka kepada keyakinan dan pekerjaan yang berguna bagi mereka di dunia dan akhirat seperti pendidikan yang baik, mencari rizqi yang halal, memberikan nasehat, dan hukum-hukum yang menguatkan keimanan, menyelamatkan mereka dari berbagai kejahatan dan dosa, serta menolong mereka untuk melakukan kebaikan dan kebajikan., seperti keadilan suami terhadap istrinya, seperti tidak menyebarkan rahasia masing-masing pihak, terutama rahasia khusus mereka yang biasanya tidak pantas diketahui orang lain.
3 . Amanah manusia terhadap dirinya sendiri, seperti halnya memilih yang pantas dan bermanfaat baginya dalam masalah agama dan dunianya, tidak lancung mengerjakan hal yang  berbahaya baginya diakhirat dan dunia, serta menghindarkan berbagai penyakit sesuai dengan pengetahuan dan petunjuk para dokter. Hal terakhir ini memerlukan pengetahuan tentang ilmu kesehatan, terutama pada waktu banyak tersebar penyakit dan wabah.
G.  Aspek Tasawuf Surat An-Nisa Ayat 58-59
          Menjaga amanah tidaklah mudah, apalagi kebalikan dari amanah adalah khianat. Dimana sikap khianat dan dikhianati sangat kita benci. Sebagaimana Allah telah melarang kita untuk mengkhianati Allah dan Rasul-Nya, dan amanah yang diberikan oleh sesama manusia pada diri kita. Keberadaan amanah sangat penting sekali bagi seseorang untuk mendekatkan diri (Taqarrub) pada Allah. Sebab dengan tanpa amanah, maka seseorang tidak ada imannya. Nabi Muhammad SAW bersabda: “Tidak ada iman bagi orang yang tidak mempunyai sifat amanah”. Ini hadits yang sangat tegas. Tampaknya hadits yang terkait dengan amanah adalah hadits yang sangat tegas dan kuat. Akan tetapi maksud dari tidak ada iman adalah tidak ada iman yang sempurna bagi seseorang yang tidak amanah. Oleh karena itu, seseorang yang berkhianat imannya tidak sempurna, meskipun shalatnya khusuk.[12]
          Dengan demikian, amanah yang mempunyai hubungan langsung dengan Allah dan Rasul-Nya dan sesama manusia, tentunya sangat penting sekali dimiliki seseorang yang berusaha masuk dalam dunia ketasawufan atau seseorang yang ingin menjadi seorang sufi yang bisa mencapai maqam dan ahwal tertinggi dan bisa menyatu dengan Allah (ittihad). Sehingga amanah keberadaannya harus benar-benar dipahami dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.















H.  Simpulan
          Ayat 75 dan 76 dari surat Al-Imron menjelaskan tentang sifat dari Ahlu kitab yang tidak mau menjaga amanah, bahkan mereka berkhianat terhadap amanah yang diberikan padanya. Selain itu, paraAhlu kitab juga senantiasa mengambil harta dari muslimin dengan cara yang batil (tidak diperbolehkan) dan tidak ada dalam ajaran kitab Taurat.
          Sedangan ayat 58 dan 59 dari surat An-Nisaa; menjelaskan tentang bagaimana menjaga amanah, mulai dari amanah Allah, amanah Rasul, dan amanah dari sesama manusia. Tidak hanya itu, Allah juga mewajibkan pada kita untuk senantiasa taat pada Allah dan rasul-Nya, bahkan ketiaka diantara kita terjadi perbedaan pendapat, maka kita diperintahkan untuk mengembalikannya pada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul-Nya (Sunnah).














DAFTAR PUSTAKA
Shihab, M. Quraish, 2010, Al-Qur’an dan Maknanya, Tanggerang:Lentera Hati.
Departemen Agama RI, 2010, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jakarta:Lentera Abadi.
Departemen Agama RI, 2009, Al-Qur’an Bayan, Jakarta:Al-Qur’an Terkemuka[1] Yunus, Mahmud, 2004, Qur’an Karim, Jakarta:Hidakarya Agung.
Departemen RI, Al-Hidayah, 2010, Al-Qur’an Tafsir, Tajwid Kode Angka, Jakarta:Al-Hidayah.
Al-Maraghi, Al-Musthafa, 1986, Terjemah Tafsir Al-Maraghi, Semarang:Thaha Putra.
Khalid, Amr, 2010, Buku Pintar Akhlak,  Jakarta:Zaman.
Suyuti, Imam,  2004, Kasyiyah Showiy, Bairut:Darul Fikr.



[1] M. Quraish Shihab, Al-Qur’an dan Maknanya, (Tanggerang:Lentera Hati,2010),hlm.59.
[2] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta:Lentera Abadi,2010),hlm.536-537.
[3] Ibid, hlm.537.
[4] Departemen Agama Ri, Al-Qur’an Bayan, (Jakarta:Al-Qur’an Terkemuka,2009),hlm.59.
[5] Opcit,hlm.537.
[6] Ibid, hlm.537-539.
[7]
[8] Mhmud Yunus, Qur’an Karim,(Jakarta:Hidakarya Agung,2004),hlm.79-80.
[9] Departemen RI, Al-Hidayah, Al-Qur’an Tafsir, Tajwid Kode Angka, (Jakarta:Al-Hidayah,2010),hlm.90.
[10] Al-Musthafa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi,(Semarang:Thaha Putra,1986),hlm.115.
[11] Imam Suyuti, Kasyiyah Showiy, (Bairut:Darul Fikr,2004), hlm.298.
[12] Amr Khalid, Buku Pintar Akhlak, (Jakarta:Zaman, 2010), hlm.123-124.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar