A. Surat Ali Imron Ayat 75-76
ومن أهل الكتاب ان تأمنه بقنطار يؤده اليك, ومنهم من ان تأمنه بدينار
لايؤده اليك ما دمت عليه قائما, ويقولون على الله الكذب وهم يعلمون ( 75 ) بلى من أوفى بعهده واتقى فان الله يحب
المتقين ( 76 )
“ Di antara Ahl-Kitab ada
orang yang jika engkau mempercayakan (menitipkan) kepadanya harta yang banyak
(mereka tidak menghianati amanah sehingga dia) mengembalikannya (apa yang
dipercayakan kepadanya itu secara sempurna) kepadamu, dan diantara mereka ada orang
yang jika engkau mempercayakan kepadanya satu dinar (saja, mereka mengkhianati
amanah yang diberikan, sehingga dia) tidak mengembalikannya kepadamu kecuali
jika engkau selalu menagihnya, yang demikian itu karena mereka mengatakan
“Tidak ada (dosa) bagi kami terhadap orang-orang Ummi (tidak mempunyai
pengetahuan tentang kitab suci atau bahkan buta huruf), Mereka berkata dusta
terhadap Allah, sedangkan mereka mengetahui” (QS. Ali-Imron :75).
“Bukan
demikian, sebenarnya siapa yang menepati janjinya dan bertaqwa, maka
sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaqwa” (QS. Ali Imron : 76).[1]
B. Makna Mufrodat Surat Ali-Imron Ayat 75-76
Qintar merupakan
bentuk masdar (kata benda) dari kata kerja qantara yang artinya memiliki harta
yang banyak. Kata ini diambil dari kata Qantarah yang berarti jembatan. Qintar
adalah kata yang biasa dipakai untuk melewati jembatan kehidupan. Dari sini
muncul arti harta yang banyak karena bisa dipakai dalam waktu yang lama. Dengan
demikian, qintar dapat diartikan sebagai harta yang banyak.[2] Qintar
juga berarti ukuran berat sebesar 100 ritl (رطل), berasal dari bahasa latin atau bahasa Suryani yang diarabkan
Qintar adalah ukuran
kekayaan bangsa Arab jika mencapai 100 ritl atau senilai 12.000 dinar perak.
Ada pula yang memikirkan sama dengan 10.000 dinar emas. Dalam ayat ini
dijelaskan keberadaan Ahl Kitab yang jujur dan amanah, meskipun harta yang
dititipkan itu berjumlah cukup besar, mereka tetap mengembalikannya kepada yang
berhak.[3]
C. Munasabah Surat Ali-Imron Ayat 75-76 dengan Ayat Sebelumnya
Dalam ayat yang lalu
sudah dijelaskan tentang penghianatan Ahli Kitab dan tipu daya mereka terhadap
muslim yaitu mereka berusaha sekuat tenaga dengan cara-cara yang licik untuk
mengajak muslimin menganut agama mereka. Mereka pun berusaha untuk
menghalang-halangi umat Islam melakukan dakwah untuk menyebarluaskan agamanya.
Mereka berusaha dengan berbagai cara seperti menonjolkan bahwa mereka adalah
bangsa pilihan dan bahwa agama yang benar hanya khusus buat mereka tidak mungkin diberikan kepada bangsa lain.
Kemudian di dalam ayat ini dan ayat-ayat berikutnya yang mengungkapkan sifat
lain daripada Ahlu Kitab yaitu bahwa mereka tidak dapat dipercaya , karena
telah mengkhianati amanat. Buktinya mereka berani mengambil harta manusia dengan
cara yang batil, mentakwilkan ayat-ayat Allah yang terdapat dalam kitab mereka
sesuai dengan kemauan mereka, dan melakukan penyelewngan dalam agama.[4]
D. Asbabun Nuzul Surat Ali-Imron Ayat 75-76
Tentang turunnya
ayat ini, Ibnu Jarir at-Tabari meriwayatkan bahwa sebagian orang Arab menjual
barang dagangannya kepada Yahudi pada zaman Jahiliyah. Setelah mereka masuk
Islam, orang Arab meminta harga barang itu yang belum dibayar. Orang Yahudi
berkata: “Kami tidak bertanggungjawab dan kamu tidak berhak menuntut kami ke
pengadilan karena kamu telah meninggalkan agamamu”. Mereka mengatakan bahwa
mereka menemukan ketentuan itu di dalam kitab Taurat. Oleh sebab itu,
pertanyaan mereka dijawab dengan:[5]
ويقولون على الله الكذب وهم يعلمون
..........mereka mengatakan
hal yang dusta terhadap Allah, padahal mereka mengetahui ( Ali-Imron /3:75).
E.
Tafsir Surat Ali-Imron Ayat 75-76
Dalam ayat ini
diterangkan, bahwa di antara Ahli Kitab itu ada sekelompok manusia yang apabila
mendapat kepercayaan diserahi harta yang banyak atau pun sedikit, mereka
mengembalikannya sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya. Tetapi ada
pula diantara mereka yang apabila mendapat kepercayaan diserahi sejumlah harta
sedikit saja, mereka tidak mau mengembalikan, kecuali apabila ditagih, baru
mereka mau menyerahkannya setelah melalui proses pembuktian.
Hal ini menunjukkan
bahwa Ahli Kitab itu ada sekelompok orang yang pekerjaannya mempersulit
muslimin dan membuat tipu daya agar orang Islam tidak senang memeluk agamanya
dan berbalik untuk mengikuti agama mereka. Diantara mereka pula ada sekelompok
orang yang pekerjaannya memutarbalikkan hukum. Mereka menghalalkan memakan
harta orang lain dengan alasan bahwa “kitab Taurat melarang mengkhianati amanat
terhadap saudara-saudara mereka seagamanya. Kalau penghianatan itu dilakukan
terhadap bangsa lain mereka memperbolehkannya. Dengan ringkas dapat dikatakan
bahwa Ahli Kitab dapat dibagi menjadi dua golongan:
1. Ahlu Kitab yang benar-benar berpegang pada kitab Taurat yang
betul-betul bisa dipercaya. Sebagai contoh misalnya Abdullah bin Salam yang
dititipi harta oleh Quraisy dalam jumlah besar kemudian harta itu
dikembalikannya.
2. Ahlu Kitab yang tidak dapat dipercaya karena apabila mereka dititpi
harta walaupun sedikit, mereka mengingkari dan tidak mau mengembalikannya lagi
kecuali apabila dibuktikan dengan keterangan yang masuk akal atau apabila
melalui proses pembuktian dimuka pengadilan.
Sebagai contoh lain
adalah Ka’ab bin Al-Asyraf yang dititipi uang satu dinar oleh Quraisy kemudian
dia mengingkari titipan itu.
Sebab-sebab mereka
melakukan demikian, adalah karena mereka beranggapan tidak berdosa apabila
mereka tidak menunaikan amanah terhadap seorang muslim. Karena mereka
beranggapan bahwa tidak ada ancaman dan tidak ada dosa apabila mereka makan
harta seorang muslim dengan jalan yang batil.
Secara ringkas dapat
dikatakan bahwa menurut pendapat mereka, setiap orang selain bangsa Yahudi
tidak akan diperhatikan Allah, bahkan mereka mendapat murka dari Allah. Oleh
sebab itu, harta mereka tidak akan mendapat perlindungan, dan mengambil harta
mereka tidak dianggap pengingkaran, penipuan, dan penghinaan terhadap agama.
Maksudnya mereka
mengetahui dan menyadari bahwa mereka sengaja berdusta dalam hal itu, padahal
mereka telah mengetahui bahwa dal kitab Taurat tidak ada ketentuan sedikitpun
yang membolehkan untuk menghianati orang Arab, dan memakan harta orang Islam
secara tidak sah.
Sebenarnya mereka
telah mengetahui hal itu, tetapi mereka tidak berpegang kepada kitab Taurat.
Mereka lebih cenderung bertaklid kepada perkataan pemimpin agama mereka, dan
menganggapnya sebagai ketentuan yang wajib mereka ikuti. Padahal
pemimpin-pemimpin mereka itu mengungkapkan pendapatnya mengenai hal-hal yang
bersangkut paut dengan agama dengan menggunakan penakwilan dengan akal dan
selera. Mereka tidak segan-segan mengubah susunan kalimat asli Taurat untuk
memperkuat pendapat mereka. Mereka mempertahankan pendapat itu dengan
mencari-cari alasan yang dapat menguatkannya.[6]
Diriwayatkan juga
oleh Ibnu Munzir, dari Sa’oid bin Jubair, Ia berkata : setelah turun ayat 75
ini Rasulullah bersabda[7]:
كذب
أعداء الله ما من شيء في الجاهلية الا وهو تحت قدمي هاتين الا لأمانة فانها مؤدة
الى البر والفاجر
(رواه
ابن منذر عن سعيد بن جبير)
“Musuh-musuh Allah (orang-orang Yahudi) telah berdusta : Tidak
ada sesuatu ketentuan di zaman jahiliyah melainkan telah berada di bawah kedua
telapak kakiku ini (telah dibatalkan) terkecuali amanat. Amanat ini diwajibkan
kepada orang yang baik dan orang yang jahat”.
Pada ayat ini juga
dijelaskan bahwa prinsip agama yaitu menepati janji dan tidak mengingkarinya,
serta memelihara diri dari berbuat maksiat adalah perbuatan yang mendekatkan
diri kepada Allah, dan patut mendapat limpahan kasih sayang-Nya.
Di dalam buku Tafsir
Qur’an Karim karya Prof. Dr. H. Mahmud Yunus dijelaskan bahwa dalam ayat 75-76
dari surat Ali-Imron, terdapat pelajaran untuk kaum muslimin supaya mereka
jangan meniru perbuatan Ahlu Kitab itu. Dimana diantara setengah kaum muslimin
(tidak banyak), jika dipercaya dan diberi utang, mereka tidak mau membayar,
karena orang yang memberi utang bukan orang Islam. Mereka mengatakan tidak
berdosa menganiaya orang yang tidak beragama Islam. Perkataan itu semata-mata
berdusta terhadap Allah, karena segala utang wajib dibayar menurut janji yang
telah ditetapkan, meskipun orang yang memberi utang bukan orang Islam. Utang
wajib dibayar, diberi utang harus diterima.[8]
F.
Aspek Tasawufnya Surat Ali-Imron Ayat 75-76
Sebagaimana dengan
asbabun nuzulnya, dimana menurut Abu Hurairah, ayat ini diturunkan untuk
menegaskan bahwa antara Ahlu Kitab, ada yang jujur dan taat terhadap agama,
tetapi ada juga yang berakhlak buruk. Ada yang menepati janji, dan ada pula
yang terbiasa mengingkari janji (HR. Bukhari).[9]
Dengan melihat
asbabun nuzul tersebut jelas sekali bahwa penghianatan merupakan akhlak yang
buruk dan bisa menghambat seseorang untuk mendekatkan diri kepada Allah. Tidak
hanya itu, dalam tasawuf sifat amanah bisa menjadikan seorang sufi untuk bisa
mencapai maqam-maqam tertinggi. Dimana maqam-maqam tersebut akan terhalang atau
terhambat dengan adanay sifat tidak amanah (khianat), Selain itu, dalam hal
menepati janji dan menjaga amanah sanagat penting sekali, sebab penghianatan
terhadap janji dan amanah bisa menybabkan seseorang terjerumus kedalam
perbuatan dosa. Seorang sufi sangat berhati-hati dalam segala hal, baik dari
segi ucapan maupun tindakan atau bahkan kelalaian hatinya dari ingat kepada
Allah.
Oleh karena itu,
keberadaan sifat amanah sangat diperlukan sekali untuk bisa menjaga amanah yang
dibebankan kepadanya, baik amanah yang datangnya dari Allah maupun amanah yang
datang dari sesama manusia.Selain itu, keberadaan amanah juga bisa menjadikan
seorang sufi mampu bersatu (ittihad) dengan Allah dan mampu mencapai berbagai
maqam-maqam dalam tasawuf.
Berkaitan dengan
amanah tentunya sebagai seseorang yang menginginkan maqam yang tertinggi dalam
tasawuf tidaklah mudah dan tentunya banyak sekali kendala yang dihadapinya,
baik kendala yang datang dari diri sendiri maupun kendala yang datang dari
orang lain. Amanah seringkali dihubungkan dengan harta atau pun barang yang
dititipkan pada seseorang. Oleh karena itu, dalam amanah seringkali ada rasa
percaya dan tidak percaya karena pernah dihianati. Dengan begitu, penghianatan
terhadap amanah juga akan menghilangkan rasa kepercayaan, menimbulkan prasangka
buruk (su’udzon), dendam, dan lain-lain. Mengenai hal tersebut, sangat sulit
sekali bagi seseorang yang tidak amanah untuk bisa mencapai maqam-maqam dalam
tasawuf. Bahkan untuk memperoleh kepercayaan dari sesama manusia juga sulit.
Hal itu karena sifat amanah sangat erat sekali hubungannya dengan rasa percaya
dan saling menjaga.
Tidak hanya itu
saja, penghianatan dari amanah yang seharusnya dijaga juga bisa menjadikan
seseorang akan senantiasa mengulangi terhadap penghianatan amanah yang akan
dilakukan dikemudian hari. Oleh karena itu, adanya amanah dalam tasawuf bisa
membuat seseorang untuk melewati tahapan-tahapn dalam tasawuf mengalami
hambatan-hambatan dan bahkan tidak akan tercapai. Dengan demikian, amanah perlu
dijaga dan khianat terhadap amanah perlu di jauhi dan bahkan ditinggalkan
dengan segala daya upaya yang ada.
A.
Surat
An-Nisaa’ Ayat 58-59
ان
الله يأمركم أن تؤدا الأمنت الى أهلها واذا حكمتم بين الناس أن تحكم بالعدل, ان
الله نعما يعظكم به, ان الله كان سميعا بصيرا
( 58 ) يأ
يها الذين امنوا أطيعوا الله وأطيعوا الرسول واولى الأمر منكم, فان تنازعتم في شيء
فردوه الى الله والرسول ان كنتم تؤمنون با الله واليوم الأخر, ذلك خير وأحسن
تأويلا (59 )
“Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah-amanah kepada pemiliknya, dan apabila
kamu menetapkan hukum diantara manusia, supaya kamu menetapkannya dengan adil.
Sesungguhnya Allah memberi pelajaran yang sebaik-baiknya kepada kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (58).
“Hai orang-orang yang beriman!
Taatilah Allah dan Rasulnya (Nabi Muhammad SAW), dan Ulil Amri, diantara kamu,
maka jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada
Allah (kepada Al-Qur’an), dan Rasul (sunnah-Nya), jika kamu beriman kepada
Allah dan hari kiamat. Yang demikian (sumber hukum) itu baik (lagi sempurna)
dan (juga) lebih baik akibatnya (di dunia dan akhirat)” (59).
B. Makna Mufradat Surat An-Nisaa’ Ayat 58-59
Al-Amanah adalah
sesuatu yang dijaga untuk disampaikan kepada pemiliknya. Orang yang menjaga dan
menyampaikannya dinamakan Hafidz (orang yang menjaga), Amin (orang
yang dipercaya), dan Wafiy’ (orang yang memenuhi), sedangkan yang tidak
menjaga dan tidak menyampaikannya disebut penghianat. Kemudian Al-Adlu adalah
menyampaikan hak kepada pemiliknya melalui jalan terdekat, sedangkan At-Ta’wil
adalah menerangkan kesudahan dan akibat.
C. Munasabah Surat An-Nisaa’ Ayat 58-58
Dalam ayat
terdahulu, Allah ta’ala menjelaskan ganjaran besar bagi orang-orang yang
beriman dan beramal shalih. Sedangkan yang paling menonjol diantara amal-amal
itu adalah menyampaikan amanah dan menetapkan perkara diantara manusia dengan
cara yang adil. Di dalam ayat ini Allah memerintahkan kedua amal itu.
D. Asbabun Nuzul Surat An-Nisaa’ Ayat 58
Diriwayatkan
dari Ibnu Abbas, ketika menaklukkan Mekkah, Rasulullah SAW memanggil Utsman bin
Thalhah. Setelah datang, beliau bersabda: Perlihatkanlah kunci (kunci Ka’bah)
kepadaku, ketika Utsman mengulurkan tangannya, Abbas berdiri seraya berkata,
Wahai Rasulullah, Engkau ditebusi dengan Bapak dan Ibuku! Satukanlah ia dengan
penyiram air untukku, maka Utsman membukakan telapak tangannya, lalu Rasulullah
SAW bersabda, berikanlah kunci itu wahai Utsman, Utsman berkata, inilah amanah
Allah, beliau berdiri lalu membuka Ka’bah. Kemudian keluar dari Ka’bah,
kemudianberthawaf di Baitullah itu. Kemudian Jibril turun memerintahkan supaya
mengembalikan kunci itu. Lalu beliau meanggil Utsman bin Thalhah dan memberikan
kunci kepadanya. Kemudian beliau membacakan ayat : “Sesungguhnya Allah
memerintahkan kepada kalian supaya menyampaikan amanh kepada yang berhak
menerimanya...hingga selesai membaca ayat itu.[10]
E.
Asbabun Nuzul Surat An-Nisaa’ Ayat 59
Turunnya
ayat 59 dari surat An-Nisaa’ ternyata terdapat asbabun nuzul, dimana asbabun
nuzulnya adalah bahwa Ibnu jarir meriwayatkan turunnya ayat ini pada peristiwa
yang terjadi antara Ammar bin Yasir dengan Khalid bin al_Walid. Waktu itu
Khalid adalah komandan. Pada suatu hari Ammar melindungi seseorang tanpa
perintah Khalid, maka keduanya bertengkar. Lalu turunlah firman Alah yang
berupa ayat ini.
F.
Tafsir Surat An-Nisaa’ Ayat 58-59
Dalam ayat 58 dari surat An-Nisaa’ dapat diambil sebuah tasiran
bahwa amanah ada tiga macam, yaitu[11]:
1.
Seorang
hamba Allah harus melaksanakan segala pentah Allah dan menjauhi larangannya.
2.
Seorang
hamba harus menjaga nikmat yang telah Allah berikan kepadanya, seperti telinga,
mata, kesehatan, dan lainnya. Maka seorang hamba tidak boleh menggunakan nikmat
tersebut dalam hal yang bisa menyebabkan kemarahan (kemurkaan) Allah.
3.
Hak-haknya
seorang hamba seperti halnya titipan dan selainnya, maka wajib untuk di jaga
(dipenuhi) amanahnya.
Sedangkan dalam
terjemah tafsir al-maraghi yang diterjemahkan oleh Bahrun Abu Bakar dan Hery
Nur Aly, tafsir dari ayat 58 dari surat An-Nisa’ adalah adanya amanah yang
dibagi menjadi 3, yaitu:
1. Amanah hamba dengan Rasulnya, yaitu apa yang telah dijanjikan Allah
kepadanya untuk dipelihara berupa melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi
segala larangan-Nya, dan menggunakan segala perasaan dan anggota badannya untuk
hal-hal yang bermanfaat baginya dan mendekatkannya kepada Robb. Di dalam atsar
dikatakan bahwa seluruh maksiat adalah khianat kepada Allah.
2 .Amanah hamba dengan sesama manusia, diantaranya adalah
mengembalikan titipan kepada pemiliknya, tidak menipu, menjaga rahasia, dan
lain sebagainya yang wajib dilakukan terhadap keluarga, kaum kerabat, manusia
pada umumnya dan pemerintah. Termasuk dalam amanah ini adalah keadilan para
umara terhadap rakyatnya dan keadilan para ulama terhadap orang-orang awam
dengan mebimbing mereka kepada keyakinan dan pekerjaan yang berguna bagi mereka
di dunia dan akhirat seperti pendidikan yang baik, mencari rizqi yang halal,
memberikan nasehat, dan hukum-hukum yang menguatkan keimanan, menyelamatkan
mereka dari berbagai kejahatan dan dosa, serta menolong mereka untuk melakukan
kebaikan dan kebajikan., seperti keadilan suami terhadap istrinya, seperti
tidak menyebarkan rahasia masing-masing pihak, terutama rahasia khusus mereka
yang biasanya tidak pantas diketahui orang lain.
3 . Amanah manusia terhadap dirinya sendiri, seperti halnya memilih
yang pantas dan bermanfaat baginya dalam masalah agama dan dunianya, tidak
lancung mengerjakan hal yang berbahaya
baginya diakhirat dan dunia, serta menghindarkan berbagai penyakit sesuai
dengan pengetahuan dan petunjuk para dokter. Hal terakhir ini memerlukan
pengetahuan tentang ilmu kesehatan, terutama pada waktu banyak tersebar
penyakit dan wabah.
G. Aspek Tasawuf Surat An-Nisa Ayat 58-59
Menjaga amanah
tidaklah mudah, apalagi kebalikan dari amanah adalah khianat. Dimana sikap
khianat dan dikhianati sangat kita benci. Sebagaimana Allah telah melarang kita
untuk mengkhianati Allah dan Rasul-Nya, dan amanah yang diberikan oleh sesama
manusia pada diri kita. Keberadaan amanah sangat penting sekali bagi seseorang
untuk mendekatkan diri (Taqarrub) pada Allah. Sebab dengan tanpa amanah, maka
seseorang tidak ada imannya. Nabi Muhammad SAW bersabda: “Tidak ada iman bagi
orang yang tidak mempunyai sifat amanah”. Ini hadits yang sangat tegas.
Tampaknya hadits yang terkait dengan amanah adalah hadits yang sangat tegas dan
kuat. Akan tetapi maksud dari tidak ada iman adalah tidak ada iman yang
sempurna bagi seseorang yang tidak amanah. Oleh karena itu, seseorang yang
berkhianat imannya tidak sempurna, meskipun shalatnya khusuk.[12]
Dengan demikian,
amanah yang mempunyai hubungan langsung dengan Allah dan Rasul-Nya dan sesama
manusia, tentunya sangat penting sekali dimiliki seseorang yang berusaha masuk
dalam dunia ketasawufan atau seseorang yang ingin menjadi seorang sufi yang
bisa mencapai maqam dan ahwal tertinggi dan bisa menyatu dengan Allah
(ittihad). Sehingga amanah keberadaannya harus benar-benar dipahami dan
dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
H.
Simpulan
Ayat 75 dan 76 dari surat Al-Imron menjelaskan tentang sifat dari Ahlu
kitab yang tidak mau menjaga amanah, bahkan mereka berkhianat terhadap amanah
yang diberikan padanya. Selain itu, paraAhlu kitab juga senantiasa mengambil
harta dari muslimin dengan cara yang batil (tidak diperbolehkan) dan tidak ada
dalam ajaran kitab Taurat.
Sedangan ayat 58 dan
59 dari surat An-Nisaa; menjelaskan tentang bagaimana menjaga amanah, mulai
dari amanah Allah, amanah Rasul, dan amanah dari sesama manusia. Tidak hanya
itu, Allah juga mewajibkan pada kita untuk senantiasa taat pada Allah dan
rasul-Nya, bahkan ketiaka diantara kita terjadi perbedaan pendapat, maka kita
diperintahkan untuk mengembalikannya pada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul-Nya
(Sunnah).
DAFTAR PUSTAKA
Shihab, M. Quraish, 2010, Al-Qur’an dan Maknanya, Tanggerang:Lentera
Hati.
Departemen Agama RI, 2010, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jakarta:Lentera
Abadi.
Departemen Agama RI, 2009, Al-Qur’an Bayan, Jakarta:Al-Qur’an
Terkemuka[1]
Yunus, Mahmud, 2004, Qur’an Karim, Jakarta:Hidakarya Agung.
Departemen RI, Al-Hidayah, 2010, Al-Qur’an Tafsir, Tajwid Kode
Angka, Jakarta:Al-Hidayah.
Al-Maraghi, Al-Musthafa,
1986, Terjemah Tafsir Al-Maraghi, Semarang:Thaha Putra.
Khalid, Amr, 2010, Buku Pintar Akhlak, Jakarta:Zaman.
Suyuti, Imam, 2004, Kasyiyah
Showiy, Bairut:Darul Fikr.
[1] M. Quraish
Shihab, Al-Qur’an dan Maknanya, (Tanggerang:Lentera Hati,2010),hlm.59.
[2] Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta:Lentera
Abadi,2010),hlm.536-537.
[3] Ibid, hlm.537.
[4] Departemen
Agama Ri, Al-Qur’an Bayan, (Jakarta:Al-Qur’an Terkemuka,2009),hlm.59.
[5] Opcit,hlm.537.
[6] Ibid,
hlm.537-539.
[8] Mhmud Yunus, Qur’an
Karim,(Jakarta:Hidakarya Agung,2004),hlm.79-80.
[9] Departemen RI,
Al-Hidayah, Al-Qur’an Tafsir, Tajwid Kode Angka,
(Jakarta:Al-Hidayah,2010),hlm.90.
[10] Al-Musthafa
Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi,(Semarang:Thaha
Putra,1986),hlm.115.
[11] Imam Suyuti, Kasyiyah
Showiy, (Bairut:Darul Fikr,2004), hlm.298.
[12] Amr Khalid, Buku
Pintar Akhlak, (Jakarta:Zaman, 2010), hlm.123-124.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar