Rabu, 09 November 2016


Agama dan Masyarakat

BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Sudah diakui secara umum bahwa semua masyarakat yang dikenal di dunia ini sampai batass tertentu bersifat religius. Pengakuan tersebut tentunya merupakan kesepakatan mengenai apa saja yang membentuk prilaku keagamaan namun dalam kenyataannya kesepakatan mengenai hal ini lebih sulit bisa diperoleh. Argumen yang dikemukakan mengenai bagaimana cara mendefinisikan agama dan bagaimana membedakannya disatu pihak dengan magic, sain dan filsafat, dan dengan beberapa jenis entusiasme politik dan sosial dilain pihak, sudah muncul bertahun-tahun.[1]
Dalam perspektif sosiologis agama dipandang sebagai sistem kepercayaan yang diwujudkan dalam prilaku sosial tertentu. Ia berkaitan dengan pengalaman manusia, baik sebagai individu maupun kelompok. Sehingga, setiap perilaku yang diperankannya akan terkait dengan sistem keyakinan dari ajaran agama yang dianutnya. Prilaku individu dan sosial digerakan oleh  kekuatan dari dalam yang didasarkan pada nilai-nilai ajaran agama yang menginternalisasi sebelumnya.[2]
Oleh karena itu makalah ini akan membahas tentang Agama dan Pengaruhnya dalam kehidupan, Perilaku dinamis masyarakat dalam beragama, Pengaruh timbal balik antara agama dan masyarakat. Harapannya makalah ini dapat menambah wacana dan wawasan para pembaca khususnya dalam bidang yang dikaji.
B.       Rumusan Masalah
·         Agama dan Pengaruhnya dalam kehidupan
·         Perilaku dinamis masyarakat dalam beragama
·         Pengaruh timbal balik antara agama dan masyarakat
BAB II
PEMBAHASAN
A.      Agama dan Pengaruhnya dalam Kahidupan
Menurut Geertz, agama dalam sosiologi agama adalah suatu sistem jiwa yang berbuat untuk menciptakan suasana hati (mood) dan motivasi yang kuat, serba menyeluruh dan berlaku lama dalam diri manusia dengan merumuskan konsep yang bersifat umum tentang segala sesuatu (eksistensi) dan dengan membalut konsepsi itu dengan suasana kepastian faktual, sehingga suasana hati dan motivasi itu terasa sungguh-sungguh realistik.
Agama sebagai bentuk keyakinan manusia terhadap sesuatu yang bersifat adikodrati (supranatural) seakan menyertai mansuia dalam ruang lingkup kehidupan yang luas. Agama memiliki nilai-nilai bagi kehidupan manusia sebagai orang-perorang maupun dlaam hubungannya dengan kehidupan bermasyarakat. Selain itu agama juga memberi dampak bagi kehidupan sehari-hari. Dengan demikian secara psikologis, agama dapat berfungsi sebagai motif intrinsik (dalam diri) dan motif ekstinsik (luar diri). Motif yang didorong keyakinan agama dinilai memiliki kekuatan yang mengagumkan dan sulit ditandingi oleh keyakinan non-agama, baik doktrin maupun ideologi yang bersifat profan. Agama memang unik sehingga sulit didefinisikan secara tepat dan memuaskan.[3]
Meskipun demikian perkembangan kehidupan yang dirasakan akhir-akhir ini baik pada tingkat global, regional, maupun lokal ternyata memberi tantangan sangat besar bagi penganut agama. Tentangan tersebut tidak lain adalah pluralisme sosial, tuntutan demokratisasi, relatifitas iman, dan kesetaraan gender.
Pluralitas sosial dirassakan dengan semakin mudahnya mobilitasn sosial baik secara vertikal maupun horizontal. Akhirnya kebenaran suatu agama tidak lagi ditentukan ajaran agama tetapi oleh kekuatan rasional. Keadaan ini merupakan dampak dari perkembangan ilmu pengetahuan terutama dibidang transportasi telekomunikasi dan turisme yang membuat masyarakat menjadi mudah bergerak dari satu tempat ketempat yang lain. Bahkan iklan-iklan di layar kacapun selalu menawarkan produk baru degan tema kenikmatan dan kenyamanan hidup. Mobilitas sosial ini tentu membuat masyarakat menjadi majemuk dan menipisnya batas-batas wilayah, budaya, ideologi, dan agama.
Tuntutan demokratisasi diraasakan dengan semakin transparannya berbagai kriteria nilai dalam menentukan sebuah keputusan. Sehingga hak-hak privelese yang dimiliki oleh kelompok atau tokoh agama tertentu pada masa depan akan dipertanyakan dan bahkan mungkin digugat. Oleh karena itu, sebaiknya mmulai memikirkan landasan argumen dibalik nalar misteri, dogma yang selama ini menjadi dasar acuan teologi.
Sedangkan gejala relitivitas iman tampaknya menjadi sesuatu yang cenderung menafikan kenikmatan iman dari ajaran agama. Dengan begitu, relativitas iman adalah usaha melepaskan sejarah agama dengan pemahaman dan penghayatan agama. Karena itu], orang menilai agama merupakan kumpulan sesuatu yang paradoksal dsan merupakan pemicu setiap konflik.
Kesataraan gender merupakan tuntutan kaum perempuan yang berusaha mendapatkan hak-haknya yang dirampas. Kesetaraan gender ini pada dasarnya tidak hanya berkaitan dengan hak-hak dibeidang politik, tetapi juga menyentuh pemahaman keagamaan untuk memberikan tempat yang pantas bagi kaum hawa[4].
Sebagai bangsa yang memiliki keragaman etnis, agama, dan budaya yang luar biasa, Indonesia seringkali dijadikan ajang pemantauan bagaimana proses-proses demokrasi, penerapan ide-ide pluralisme dan multikulturalisme dapat dilangsungkan. Persentuhan ragam budaya dan agama antar kelompok masyarakatnya yang telah berlangsung sejak lamajuga telah melahirkan konflik dan konsensus yang terjadi. Demokrasi yang oleh Robert Dahl (1982), juga disyaratkan dengan terciptanya karakteristik pluralisme yang kondusif bagi sebuah negara ini mendapatkan gimnasiumnya di Indonesia[5].
B.       Perilaku Dinamis Masyarakat dalam Beragama
Perilaku manusia yang terbentuk oleh norma-norma masyarakat tidak berarti sebagai potensi dirinya secara kultural dinafikan begitu saja, justru potensi kultural yang bisa diadaptasikan dan diintegerasikan secara sosialistik sehingga menjadi sistem sosial yang muatan simboliknya diterima dan menjadi citra khas masyarakat tertentu. Dengan demikian, pembentukan masyarakat ecara serta merta merupakan pemolaan karakteristik budaya yang memiliki daya ikat dan daya atur tersendiri.
Oleh karena itu, ajaran agama memiliki pengaruh yang besar dalam menyatukan persepsi kehidupan masyarakat tentang semua harapan hidup. Sebagai salah satu arah kehidupan sosial yang proses pemolaannya lebih sistematis dan mendarah daging. Dalam pemolaan, perilaku sosial agama memasuki hati nurani manusia sehingga akal pikiran utama mencari makna hidup belum sempurna apabila substansi ajaran agama tidak dijadikan rujukan terpenting secara epistemologis ataupun aksiologis.
Dalam suasana perubahan sosial dan transformasi masyarakat yang sedang terjadi seperti di Indonesia, perlu diperhatikan mengenai tempat dan peranan serta fungsi agma dalam proses perubahan transformasi tersebut, dan tentang hubungan antara agama dan kebudayaan dalam proses yang berlangsung terus menerus. Sebab perubahan sosial atau transformasi yang mengindikasikan adanya modernisasi akan disertai individualisasi sehingga dapat menyelesaikan kerukunan masayarakat. Pada solidaritas sosial, kohesi dan kerukunan sosial berasal dari agama. Sistem nilai yang mewujudkan spiritualitas dan moralitas luhur dalam agama dipandang dapat melakukan filter terhadap perkembangan budaya dan modernisasi. Sebab moralitas tersebut sangat diperlukan dalam menghadapi tantangan tersebut[6]
Oleh karena itu, perilaku dinamis dalam agama akan mengarah kepada fungsi agama dalam kehidupan masyarakat. Sedangkan fungsi agama dalam pandangan Thomas F. O’dea adalah sebagai berikut[7]:
1.      Agama mendasarkan perhatiannya pada sesuatu diluar jangkauan manusia dengan melibatkan takdir dan kesejahteraan, menyediakan motivasi positif bagi pemeluknya, serta sebagai pelipur lara dan rekonsialisasi. Agama memberikan swemangat dan dukungan moril pada saat manusia berada dalam ketegangan dan ketidakpastian, kekecewaan, dan frustasi. Agama juga sebagia kebutuhan rekonsialisasi deengan masyarakat jika diasingkan dari tujuan dan norma-normanya. Agama menyediakan sarana emosional penting yang membantu dalam menghadapi unsur-unsur kondisi manusia.
2.      Agama menawarkan hubungan transendental melalui pemujaan dari upacara ritual. Oleh karena itu, agama dapat memberikan dasar emosional bagi rasa aman dan percaya diri dalam menghilangkan kekhawatiran hidup sekarang ini dan masa depan.  Agama membantu meringankan hidup yang memprihatinkan. Agama menyediakan saran dan kerangka acuan dalam menyelesaikan masalah sosial dari berbagai sudut pandang.
3.      Agama memberikan dan mensakralkan norma-norma serta nilai-nilai masyarakat yang telah terbentuk, mempertahankan dominasi tujuan kelompok di atas keinginan individu.
4.      Agama melakukan fungsi kritik atas berbagai nilai masa lalu yang bersifat normatif.
5.      Agama melakukan fungsi identitas. Melalui nilai-nilai yang terdapat dalam ajaran yang diyakini suci oleh pemeluknya.
6.      Agama melakukan fungsi pendewasaan. Setiap usia manusia diperhitungkan di antara pahala dan sanksi hidup.
Salah satu analisa sosiologis yang profokatif tentang agama adalah yang dilakukan oleh sosiolog Prancis yang bernama Emili Durkhelm dalam bukunya The Elementary Forms of Religious Life. Ia berusaha memahami peranan sosial agama dengan jalan memahami bentuk-bentuknya yang paling sederhana atau yang paling elementer. Selain itu ia menganalisis ritual-ritual keagamaan totemik arunta, yaitu suatu masyarakat pemburu-peramu Australia yang telah ada ternyata mempunyai pengetahuan etnografis mengenai masyarakat itu.
Durkhelm mencatat bahwa orang-orang arunta, ritual dan seremoni adalah bagian yang sangat penting daripada kehidupan sosial. Orang-orang arunta menyembah kekuasaan-kekuasaan supranatural bukanlah merupakan apa yang paling penting mengenai kegiatan mereka. Maksudnya mereka sesungguhnya sedang menyembah kekuasaan masyarakat mereka sendiri, kekuasaan masyarakat atas setiap individu. Bahkan ritual keagamaan mereka mendemonstrasikan dan menyimpulkan perlunya individu menyerahkan diri mereka kepada kehendak kelompok. Sehingga dalam berkumpul bersama saat ritual orang-orang arunta secara terbuka mengeratkan kembali keterikatan mereka antara yang satu dengan lainnya dan dengan masyarakat sebagai suatu keseluruhan.[8]
C. Pengaruh Timbal Balik Antara Agama dan Masyarakat
Pengaruh timbal balik antara agama dan masyarakat merupakan fokus fokus dari kajian sosiologi agama. Menurut Glenn M. Vernon, ahli sosiologi asal Amerika dalam bukunya Sociologi of Religion (1962), memusatkan perhatiannya pada masalah-masalah tersebut. Selain itu, ia menguraikan tentang pengaruh timbal balik antara agama dengan pemerintah, agama dengan pendidikan, agama dengan faktor-faktor ekonomi, agama dengan perkawinan, dan agama dengan faktor-faktor ekonomi[9].
Untuk mengetahui pengaruh agama terhadap masyarakat, ada tiga aspek yang perlu dipelajari, yaitu kebudayaan, sistem sosial dan kepribadian. Ketiga aspel tersebut meerupakan fenomena sosial yang kompleks dan terpadu yang pengaruhnya dapat diamati pada perilaku manusia.  Oleh karena itu, menurut Nottingham ada tiga tipe hubungan agama dan masyarakat yang meliputi[10]:
1.    Masyarakat yang terbelakang dan nilai-nilai sakral. Tipe masyarakat ini kecil, terisolasi, dan terbelakang. Anggota masyarakatnya menganut agama yang sama. Tidak ada lembaga lain yang relatif berkembang selain lembaga keluarganya, agama menjadi fokus utama bagi pengintegrasian dan persatuan masyarakat dari masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu, kemungkinan, kemungkinan agama memasukkan pengaruh yang sakral kedalam sistem nilai-nilai masyarakat sangat mutlak.
2.    Masyarakat praindustri yang sedang berkembang. Keadaan masyarakatnya tidak terisolasi, ada perkembangan teknologi yang lebih tinggi daripada tipe pertama. Agama memberikan arti dan ikatan kepada sistem nilai dalam tipe masyarakat ini. Tetapi pada saat yang sama, lingkungan yang sakral dan yang sekuler sedikit-banyak masih dapat dibedakan,. Misalnya, pada fase-fase kehidupan sosial masih di isi oleh upacara-upacara keagamaan, tetapi pada sisi kehidupan lain, pada aktivitas sehari-hari, agama kurang mendukung. Agama hanya mendukung masalah adat istiadat saja. Nilai-nilai keagamaan dalam masyarakat menempatkan fokus utamanya pada pengintegrasian tingkah laku perorangan dan pembentukan citra pribadi mempunyai konsekuensi penting bagi agama.
3.    Golongan pengrajin dan pedagang kecil. Golongan pengrajin dan pedagang kecil hidup dalam situasi yang berbeda dengan golongan petani. Kehidupan golongan ini tidak terlalu berkutat dalam situasi alam dan tidak terlalu bergantung pada hukum alam. Hidup mereka didasarkan atas landasan ekonomi yang memerlukan perhitungan rasional. Mereka tidak menyandarkan diri pada keramahan alam yang tidak bisa dipastikan, tetapi lebih mempercayai perencanaan yang teliti dan pengaran yang pasti.
Agama sebagai intuisi atau sumber nilai dan paradigma metafisikal dalam manggapai segala hal yang rasional, suprarasional, fisikal, metafisikal, natural, supranatural, transendental, dan yang imanental. Hal-hal yang isoterik ataupun esoterik adalah fakta yang rasional karena di dalam sistem nilainya terdapat peran dan fungsi akal serta perilaku manusia, bahkan terdapat interaksi timbal balik, interaksi simbolik, dan integrasi sosial-budaya secara turun temurun. Dengan demikian, perilaku yang berasas atas nama agama sangat penting untuk dikaji dengan perspektif sosiologi dan antropologi, mengingat perilaku beragama adalah gambaran perilaku masa lalu, klasik dan tradisional. Disi lain, perubahan situasi dan kondisi dapat mengubah perilaku klasik menjadi bentuk perilaku baru dengan proses argumentasi yang dibenarkan secara ontologis ataupun epistemologis. Bahkan perilaku beragama berwujud lebih lama dan kuat karena dorongan bukan hanya karena sistem nilainya yang berlaku, juga karena sistem filosofika dan sistem budaya yang secara terus menerus dijadikan rujukan perilaku[11].
Selain itu, agama memberi makna kepada kehidupan individu dan kelompok, memberi harapan tentang kelanggengan hidup sesudah mati. Agama dapat menjadi sarana manusia untuk mengangkat diri dari kehidupan duniawi yang penuh penderitaan, mencapai kemandirian spiritual. Agama memperkuat norma-norma kelompok, sanksi moral untuk perbuatan perorangan, dan menjadi dasar persamaan tujuan serta nilai-nilai yang menjadi landasan keseimbangan masyarakat[12].





BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Agama dan masyarakat merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Keberadaan agama dalam masyarakat sangat mempengaruhi pola hidup masyarat dalam kelangsungan hidupnya. Sehingga dari perilaku masyarakat yang disertai dengan perilaku keagamaan akan menciptrakan kehidupan yang religius dan memiliki aturan serta tujuan yang jelas.
Selain itu, perilaku masyarakat yang taat beragama akhirnya menunjukkan adanya fungsi agama dalam masyarakat. Fungsi agama dalam kehidupan bermasyarakat salah satunya adalah agama mendasarkan perhatiannya pada sesuatu diluar jangkauan manusia dengan melibatkan takdir dan kesejahteraan, menyediakan motivasi positif bagi pemeluknya, serta sebagai pelipur lara dan rekonsialisasi.
Dengan demikian, antara agama dan masyarakat dalam kehidupan juga memilki hubungan timbal balik antara keduanya. Salah satu hubungan timbal balik antara agama dan masyarakat adalah agama sebagai intuisi atau sumber nilai dan paradigma metafisikal dalam manggapai segala hal yang rasional, suprarasional, fisikal, metafisikal, natural, supranatural, transendental, dan yang imanental.











DAFTAR PUSTAKA

Ishomuddin, 2002, Pengantar Sosiologi Agama, Jakarta: Ghalia Indonesia.
Kahmad, Dadang, 2009, Sosiologi Agama, Bandung: Remaja Rosdakaria.
Lubis, M. Ridwan, 2005, Cetak Biru Peran Agama, Jakarta: Puslitbang.
R. Scharf, Betty, 1995, Kajian Sosiologi Agama, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
Saebeni, Beni Ahmad, , 2007, Sosiologi Agama, Bandung: Refika Aditama.
Tumanggor, Rusmin, dkk, 2010, Ilmu Sosial Budaya dan Dasar, Jakarta: Kencana Prenada Media Group.




[1] Betty. R. Scharf, Kajian Sosiologi Agama, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1995) h. 29
[2] Dadang kahmad, Sosiologi Agama, (Bandung: Remaja Rosdakaria, 2009) h. 53
[3] Ishomuddin, Pengantar Sosiologi Agama, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002) h. 34-35
[4] M. Ridwan Lubis, Cetak Biru Peran Agama, (Jakarta: Puslitbang, 2005), hlm. 202-203.
[5] Rusmin Tumanggor, dkk, Ilmu Sosial Budaya dan Dasar, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), h. 95.
[6] Beni Ahmad Saebeni, Sosiologi Agama, (Bandung: Refika Aditama, 2007), hlm. 1-4.
[7] Opcit, hlm. 17-18.
[8] Ishomuddin, opcit, h. 38-39
[9] Opcit, h. 41.
[10] Opcit, h. 131-133.
[11] Opcit, h. 61-62.
[12] Opcit, hlm. 119.

Tahapan Maqamat II
(Sabar, Syukur, Tawakal, Ridla)


BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Untuk menjadikan hidup lebih baik dan ada nuansa sufistiknya, tentu saja haus melakukan latihan spiritual secara baik, benar, dan berkesinambungan. Sehinnga seseorang tersebut harus melalui beberapa tahapan-tahapan yang bisa menghantarkannya mengalami mukasyafah atau penyingkapan sesuatu yang tidak diketahuinya, kemudian menjadi tahu. Dengan demikian, ia akan berlanjut kepada musyahadah, menyadari sekaligus bersaksi bahwa diri ini tiada apa-apanya, dibandingkan dengan Allah Yang Maha Esa[1].
Tingkatan-tingkatan atau tahapan- tahapan yang harus dilalui oleh seorang sufi dalam mencapai ma’rifah kepada Allah atau menyatu dengan-Nya disebut maqamat. Maqamat adalah kedudukan seorang hamba di hadapan Allah, yang diperoleh dengan melalui peribadatan, mujahadat, latihan spiritual, serta (berhubungan) yang tidak putus-putusnya dengan Allah. Definisi maqam antara sufi yang satu dengan sufi lainnya berbeda, sehingga perjalanan sufi dalam melalui maqam-maqam juga tidak sama.
Oleh karena itu, makalah ini akan membahas sebagian maqam-maqam yang dilalui oleh seorang sufi dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah atau menyatu kepada-Nya. Sedangkan maqam yang akan dibahas dalam makalah ini meliputi maqam sabar, syukur, tawakal dan ridlo. Semoga makalah ini dapat menambah wacana dan wawasan keilmuan kita, khususnya tentang tasawuf.
1.2  Rumusan Masalah
A.    Devinisi Maqamat
B.     Pengertian Sabar
C.      Pengertian Syukur
D.    Pengertian Tawakal
E.     Pengertian Ridlo
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Maqamat
Maqamat adalah tingkatan seorang hamba dihadapan Allah dalam hal ibadah dan latihan-latihan (riyadlah) jiwa yang dilakukannya.[2] Sedangkan maqam sendiri berasal dari kata maqamat yaitu jamak muannats dari kata al-maqam. Dalam bahasa Indonesia diartikan kedudukan, pangkat atau derajat. Dalam terminologi tasawuf, maqam adalah kedudukan seorang hamba dihadapan Allah yang diperoleh melalui ibadah dan mujahadat serta latihan-latihan spiritual lainnya.[3]
Seseorang tidak akan mencapai suatu maqam dari maqam sebelumnya selama dia belum memenuhi ketentuan-ketentuan, hukum-hukum dan syarat-syarat maqam yang hendak dilaluinya atau yang sedang ditingkatkannya. Orang yang belum mampu bersifat qana’ah (maqam qana’ah), yaitu kondisi batin yang puas atas pemberian Allah, mesti amat kecil, sikap pasrahnya (tawakal), tidak sah; orang yang belum mampu berpasrah diri pada Tuhan, penyerahan totalitas dirinya (kemuslimahannya) tidak sah; orang yang belum taubat, penyesalannya tidak sah; dan orang yang belum wira’i (sikap hati-hati dalam penerapan hukum), kezuhudannya tidak sah. Berarti maqam zuhud, umpamanya tidak mungkin tercapai sebelum pelakunya itu sudah mewujudkan sikap wira’i.
Oleh karena itu, maqam adalah penegakan atau aktualisasi suatu moral, sebagaimana al-madkhal (tempat masuk), penunjukan artinya memusat pada makna proses pemasukan; dan al-makhraj (tempat keluar), mengacu pada arti proses pengeluaran. Karena itu, keberadaan maqam seseorang tidak dianggap sah kecuali dengan penyaksian kehadiran Allah secara khusus dalam nilai maqam yang diaktualkannya, mengingat sahnya suatu bangunan perintah Tuhan hanya berdiri di atas dasar yang sah pula.[4]
Beberapa pendapat dari para ahli tasawuf tentang tujuh maqam kenaikan rohani yang dikutip dalam buku Miftahus Sufi, dalam literatur tasawuf tidak ditemukan keseragaman dari para Mutashawwifin atau dari ahli-ahli ilmu tasawuf dalam menentukan jumlah tingkatan maupun susunan dari maqamat ini. Menurut Abu Nasr al-saraj al-Thussi dalam kitabnya al-Lumaa’ menyebutkan bahwa susunan dan nama maqamat sebagai berikut: al-taubat, al-wara’, al-zuhd, al-faqr, al sabr, al-tawakal, dan al-ridla. Sedangkan menurut al-Ghazali dalam karya momumentalnya yaitu Ihya’ Ulum al-Din, maqam meliputi al-taubat, al-shabr, al-faqr, al-zuhd, al-tawakal, al-mahabbah, al-ma’rifat, dan al-ridla. Melihat nama-nama maqam tersebut, ternyata ada kesamaan dan kesapakatan para ulama tasawuf bahwa maqam taubat berada di urutan awal. Hal ini membuktikan bahwa untuk memasuki perjalanan rohani menuju mengenal Tuhan, yang paling utama dimasuki adalah taubat  yang di dalamnya berlangsung proses penyucian jiwa dari segala kotoran.[5]
2.2 Pengertian Sabar
Sabar adalah maqam yang sangat penting dalam kehidupan spiritual seorang muslim. Allah berfirman dalam Q. S. Al-Anfal ayat 46:
 
“Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. (Q.S. Al-Anfal: 46).
Al-Ghazali membedakan sabar dalam tiga hal, antara lain:
1.      Sabar untuk senantiasa teguh (istiqamah) dalam melaksanakan perintah Allah.
2.      Sabar dalam menghindari dan menjauhi diri dari perbuatan yang dilarang oleh Allah.
3.      Sabar dalam menghadapi dan menanggung ujian dan cobaan dari Allah.
Dalam tasawuf, sabar dijadikan satu maqam sesudah faqir, karena persyaratan untuk dapat berkonsentrasi dalam dzikir, orang harus mencapai maqam faqir. Dalam kekafiran, umumnya didera dengan berbagai cobaan dan penderitaan yang menyebabkan merasakan maqam sabar. Menurut Islam mengendalikan diri untuk mengamalkan perilaku sabar adalah tiang dari Akhlak mulia[6].
Menurut Imam Sahal, sabar adalah menanti celah dari Allah. Sehingga sabar termasuk khidmah paling utama dan paling mulia. Oleh karena itu, seseorang dharapkan memohon kepada Allah untuk sabar dalam menjalankan perintah-Nya dan sabar terhadap adab-Nya. Bahkan sabar merupakan suatu kesucian yang bisa menyebabkan sesuatu yang lainnya bisa menjadi suci[7].
2.3 Pengertian Syukur
Para ulama menyebutkan definisi syukur yang paling baik adalah kesinambungan hati untuk mencintai Sang Pemberi nikmat, kesinambungan anggota badan  untuk menikmatinya dan kesinambungan lisan untuk memuji-Nya. Menurut Ibnu Ujaibah, syukur adalah kebahagian hati atas nikmat yang diperoleh, dibarengi dengan pengarahan seluruh anggota tubuh supaya taat kepada Sang Pemberi nikmat dan pengakuan atas segala nikmat yang diberinya dengan rendah hati[8].
Dalam bahasa Arab, kata “syukur” (asy-syukur) berarti “al-imtinan” (terimakasih), sikap ridha terhadap kebaikan, seperti apapun bentuk kebaikan tersebut. Sedang secara terminologis berarti menggunakan anugerah yang diterima manusia berupa perasaan, pikiran, anggota badan, dan organ tubuh sesuai tujuan penciptaannya masing-masing. Sebagaimana halnya syukur dapat dilakukan dengan hati dan lidah, ia juga dapat dilakukan menggunakan semua anggota tubuh.[9]
Oleh Karena itu, macam-macam syukur meliputi:
a.       Syukur dengan Lisan, yaitu membicarakan nikmat Allah. Hal ini sesuai dengan firman Allah:
وأما بنعمة ربك فحدث
“dan terhadap nikmat Tuhanmu hendaklah engaku menyebut-nyebut-Nya” (Adh-Dhuha:11).
Bentuk syukur ini dilakukan dengan mengakui bahwa berbagai macam kelembutan dan nikmat semuanya datang dari Alla, serta menafikan semua sumber kekuatan, kekuasaan, dan ihsan yang tidak jelas. Sedangkan syukur dengan lisan ada yang melakukannya dengan membaca wirid-wirid, dzikir-dzikir, keyakinan, dan sikap istiqamah.
b.      Syukur dengan Perbuatan, yaitu bekerja hanya untuk Allah. Allah mengisyaratkan bahwa syukur berarti beramal. Syukur dengan perbuatan disebut juga dengan syukur dengan badan, yaitu bersifat selalu sepakat dan melayani (mengabdi) kepada Allah, dimana syukur ini termasuk syukurnya orang beribadah.[10]
c.       Syukur dengan hati, yaitu makrifat atas semua bentuk nikmat yang berguna bagi Allah, baik yang bersifat lahir maupun batin. Syukur dengan hati melandasi syukur yang dilakukan dengan lisan dan anggota tubuh lainnya, sebagaimana dalam firman Allah:
وأسبغ عليكم نعمه ظاهرة وباطنة
“Dan Allah menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin.
Keutamaan tentang syukur banyak sekali dijelaskan dalam ayat-ayat al-Qur’an, meliputi[11]:
فاذكروني أذكركم واشكرولي ولا تكفرون
Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku, niscaya Aku ingat kepadamu dan bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu mengingkari (nikmat-nikmat)-Ku”,(QS.al-Baqarah:152).

2.4 Pengertian Tawakal
Tawakal adalah berserah diri kepada Allah dan mengharapkan rizqi dari-Nya. Sebab menganggap bahwa rizqi itu berasal dari hasi kerja keras itu adalah kufur. Menurut Imam Suhaimiy, tawakal adalah membersihkan diri dari mengandalkan kemampuan diri sendiri dan percaya dengan janji Allah Yang Maha Mulia dan Maha Utama. Menurut Al-Hasan Al-Basri, seseorang yang telah tawakal, qana’ah dan ridla,  niscaya segala sesuatu akan datang pada orang tersebut tanpa ia cari[12]. Allah berfirman:
“Berkatalah dua orang diantara orang-orang yang takut (kepada Allah) yang Allah telah memberi nikmat atas keduamya: “Serbulah mereka dengan melalui pintu gerbang (kota) itu, maka bila kamu memasukinya niscaya kamu akan menang. Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakal, jika kamu benar-benar orang yang beriman”. (Q.S. Al-Maidah 23).
Sebagai seorang mukalaf sudah seharusnya berserah diri (tawakal) atas rizqinya ketika mengharapkan rizqi dan hidup sendiri tanpa istri dan anak dengan senantiasa berpegang pada janji Allah. Allah berfirman:
ومامن دابة في الأرض الا على الله رزقها
        “Tidak ada hewan di bumi ini kecuali Allah telah menentukan rizqinya”.
          Firman Allah tersebut menjelaskan bahwa Allah adalah Dzat yang selalu memberi tanpa diminta, dan selalu memberikan yang terbaik bagi makhluknya. Sehingga orang yang tawakal pada Allah pasti akan dicukupi-Nya. Allah berfirman dalam Q. S. At-Thalaq ayat 30:
ومن يتوكل على الله فهو حسبه
“Barangsiapa yang bertawakal pada Allah, niscaya Allah akan mencukupinya”.
          Nabi Muhammad SAW bersabda:                                                                    
من انقطع الى الله عز وجل كفاه الله كل مؤمنة ورزقه من حيث لا يحتسب ومن انقطع الى الدنيا
 وكل الله اليها
          “Barangsiapa merasa cukup atas pemberian Allah, maka Allah akan mencukupinya pada tiap-tiap orang mukmin perempuan dan rizqinya tidak terhitung. Sedangkan orang yang merasa cukup pada dunia, maka Allah akan menjadikan dunia dalam genggaman (miliknya)”
          Menurut Imam Suyuthiy, qana’ah bagaikan seorang kaum yang berbeda pendapat dalam masalah bekerja dan tidak bekerja. Sebagian dari mereka berkata; berpaling dari sebab-sebab usaha (bekerja) dengan menyandarkan hati pada Allah lebih utama. Sedangkan sebagian lagi berkata; bekerja (usaha) lebih utama daripada tidak bekerja. Kemudian sebagian lagi mengatakan; seseorang yang dalam tawakalnya tidak marah ketika rizqinya sulit dan tidak meminta-minta pada seseorang, maka tawakal baginya lebih utama. Hal itu dikarenakan adanya sifat sabar dan memerangi hawa nafsu selain daripada tawakal. Oleh sebab itu, seseorang yang tidak bisa tawakal seperti diatas, maka bekerja baginya lebih utama, karena menjaga dari marah dan meminta-minta.
   Definisi tawakal bukan berari tidak bekerja, akan tetapi tawakal adalah bekerja dengan disertai tawakal (berserah diri pada Allah). Sehingga seseorang yang tawakal harus menerima atas segala pemberian Allah dan tidak meminta sesuatu yang banyak. Umar bin Khatab pernah berkata kepada kaum yang yang sedang duduk-duduk santai dan mengaku bahwa mereka sedang tawakal, beliau berkata; seseorang yang tawakal itu bagaikan seseorang yang menebar benih di tanah, kemudian berserah diri (tawakal). Sedangkan menurut Imam Sahl bin Abdillah, tawakal adalah hal (kepribadian) Nabi Muhammad, dan bekerja merupakan sunnah beliau. Sehingga seseorang yang kuat kepribadiannya, niscaya ia  harus menjaga sunnah Rasulullah dan menyimpan makanan untuk satu tahun itu tidak menghilangkan tawakal[13].

2.5 Pengertian Ridla
Setelah mencapai maqam tawakal, dimana nasib hidup as-Salikin bulat-bulat diserahkan pada pemeliharaan, meninggalkan serta membelakangi segala keinginannya terhadap apapun selain Tuhan, maka harus segera menata hatinya untuk mencapai maqam ridla[14].  Allah berfirman dalam Q. S. At-Taubah ayat 59:
وَلَوْا أَنَّهُمْ رَضُوْا مَا اَتَاهُمُ الله وَرَسُوْلُهُ وَقَالُوْا حَسْبُنَا الله سَيُؤْتِيْنَا الله مِنْ فَضْلِهِ وَرَسُوْلُهُ اِنَّا اِلَى الله رَاغِبُوْنِ
“Jikalau mereka sungguh-sungguh ridla dengan apa yang diberikan Allah dan Rasul-Nya kepada mereka, dan berkata: cukuplah Allah bagi kami, Allah akan memberikan sebagian dari karunia-Nya dan demikian (pula) Rasul-Nya, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berharap kepada Allah, (tentulah yang demikian itu lebih baik bagi mereka)”. (Q. S. At-Taubah: 59).
Ridla adalah maqam yang di dalamnya mengajarkan seseorang untuk menanggapi dan mengubah segala bentuk penderitaan, kesengsaraan, dan kesusahan menjadi kegembiraan dan kenikmatan. Menurut Ibnu Khatib, Ridla adalah tenangnya hati dengan ketetapan (takdir) Allah SWT dan keserasian hati dengan sesuatu yang dijadikan Allah. Sedangkan menurut Rabi’ah Adawiyah, ridla adalah apabila saat mendapat bencana perasaannya sama seperti ketika ia mendapat nikmat.
Ridla merupakan perpaduan antara sabar dan tawakal yang melahirkan sikap mental yang tenang dan senang menerima segala situasi dan kondisi, setiap yang terjadi disambut dengan hati terbuka bahkan dengan rasa nikmat dan bahagia walau yang datang itu berupa bencana. Suka dan duka diterima dengan gembira. Sbab apapun yang datang adalah ketentuan dari Allah SWT[15]. Sebagaimana firman Allah:
Kami jelaskan yang demikian itu, supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai orang yang sombong lagi membanggakan diri (Q.S. Al-Hadid: 23)
Menurut Ahmad Ibn Hambal, ridla ada tiga macam yang meliputi[16]:
1.      Meninggalkan usaha
2.      Gembiranya hati karena lewatnya qadla (kepastian Allah)
3.      Melebur angan-angan hati
Ridla seringkali di maknai sebagai ketenangan hati atas hukum-hukum yang telah terjadi. Bahkan menurut Ibn Atha’ ridla merupakan melihatnya hati terhadap ihtiarnya Allah kepada hamba-Nya, sehingga Allah memberikan keutamaankepada hamb-Nya. Keridlaan atas hukum-hukum yang terlaku di dunia akan mendatangkan keridlaan di akhirat atas segala sesuatu yang telah dituliskan (ditetapkan)[17].











BAB III
PENUTUP
3.1    Kesimpulan
Maqamat merupakan tahapan bagi seorang salik untuk mencapai ma’rifat dan menjadi kekasih Allah. Keberadaan maqamat dalam tasawuf sangat penting sekali bagi seorang salik untuk bisa dekat dengan Allah dan menyatu dengan-Nya. Seorang salik dalam melalui tahapan maqamat berbeda-beda antara salik yang satu dengan salik lainnya.
Dengan demikian, perjalanan spiritual seorang salik dalam melalui maqamat harus benar-benar dipahami secara benar dan istiqamah. Misalnya maqam sabar, syukur, tawakal, dan ridla yang harus selalu dilalui secara berurutan dan istiqamah. Sehingga seorang salik tidak bisa berpindah dari maqam sebelumnya sebelum maqam yang sedang dilaluinya sudah benar-benar sempurna.











DAFTAR PUSTAKA
Al-Kalabadi, t.t, At-Ta’aruf Li Madzhab Tasawuf, Sarang:Al-Maktabah As-Saqafah Ad-Diniyah.
Al-Qusyairi, 2007, Risalah Qusyairiyah, Jakarta: Pustaka Amani.
An-Nawawi, 2001, Salalil Al-Fuḍala’, Indonesia: Al-Haramain.
Anwar, Rosihon,  2010, Akhlak Tasawuf, Bandung:Pustaka Setia.
As-Sulaimi, 2005, Al-Muqadimah Fi At-Tashawuf, Indonesia: Daar Al-Kutub Al-‘Alamiyah.
As-Sulaimi, 2005, Al-Muqadimah Fi At-Tashawuf, Indonesia: Daar Al-Kutub Al-‘Alamiah.
Gulen, M. Fethullah, 2013, Tasawuf untuk Kita Semua, Jakarta:Republika.
Imamah, Nurul, t. t., Tasawuf jalan yang sebenarya, Makasar: Arus Timur.
M. Thoriquddin, 2008, Sekularitas Tasawuf, Malang-UIN Malang Press.
Moh. Zuhri, dkk, 2003, Terjemah Ihya’ Ulumuddin, Semarang:Asy-Syifa’.
Nasrul, 2015, Akhlak tasawuf, Yogyakarta:Aswaja Pressindo.
Ni’am, Syamsun, 2014, Tasawuf Studies, Yogyakarta: Ar-Ruz Media.
Simuh, 2002, “Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Suryadilaga, M. Alfateh, 2008, Miftahus Sufi, Yogyakarta: Teras.




[1] Syamsun Ni’am, Tasawuf Studies, (Yogyakarta: Ar-Ruz Media, 2014), hlm. 138-139.
[2] Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung:Pustaka Setia,2010), hlm. 70.
[3] M.Alfateh Suryadilaga, Miftahus Sufi, (Yogyakarta: Teras, 2008), hlm.94.
[4] Nasrul, Akhlak tasawuf, (Yogyakarta:Aswaja Pressindo,2015),hlm.181-182.
[5] M.Alfateh Suryadilaga, Opcit, hlm. 96-97.
[6] Simuh, “Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 59.
[7] Al-Kalabadi, At-Ta’aruf Li Madzhab Tasawuf, (Sarang:Al-Maktabah As-Saqafah Ad-Diniyah, t.t,), hlm. 94.
[8] M. Thoriquddin, Sekularitas Tasawuf, (Malang-UIN Malang Press,2008),hlm.84-85.
[9] M. Fethullah Gulen, Tasawuf untuk Kita Semua, (Jakarta:Republika,2013),hlm.181.
[10] Abul Qasim Abdul karim Hawazin, Risalah Qusyairiyah, (Jakarta:Pustaka Amani, 2007),hlm.245.
[11] Moh.Zuhri, dkk, Terjemah Ihya’ Ulumuddin, (Semarang:Asy-Syifa’,2003),hlm.387-390.
[12] As-Sulaimi, Al-Muqadimah Fi At-Tashawuf, (Indonesia: Daar Al-Kutub Al-‘Alamiyah, 2005), hlm. 18.
[13] An-Nawawi, Salalil Al-Fuḍala’, (Indonesia: Al-Haramain, 2001), hlm. 30.
[14] M. Alfatih Suryadilaga, Opcit, hlm. 106.
[15] Nurul Imamah, Tasawuf jalan yang sebenarya, (Makasar: Arus Timur, t. T. ), hlm. 93.
[16] As-Sulaimi, Al-Muqadimah Fi At-Tashawuf, (Indonesia: Daar Al-Kutub Al-‘Alamiyah, 2005), hlm. 24.
[17] Al-kalabadi, Opcit, hlm. 102.