BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Ketertarikan Interpersonal merupakan
permasalahan yang menghiasi dalam permasalahan Psikologi Sosial. Hal itu
dikarenakan dalam ketertaikan interpersonal terdapat berbagai hal yang sering
terjadi di dalam kehidupan sosial.Hal tersebut seperti cinta, pernikahan dan
pasca pernikahan serta hal-hal yang berkaitan dengan hal tersebut.
Oleh karena itu, dalam makalah ini juga akan
membahas tentang apa itu cinta?, faktor penyebab cinta, pernikahan, faktor
penyebab pernikahan, dan pasca pernikahan. Meski demikian, permasalahan tentang
cinta, pernikahan dan pasca pernikahan juga akan di bahas secara detail sesuai
dengan apa yang ada dalam realaita kehidupan yang ada.
Semoga makalah ini akan menambah wacana dan
wawasan keilmuan kita khususnya dalam ketertarikan interpersonal yang di
dalamnya terdapat cinta, pernikahan dan pasca pernikahan.
1.2 Rumusan Masalah
A. Definisi Ketertarikan Interpersonal
B. Definisi Cinta
C. Faktor Penyebab Cinta
D. Pernikahan
E. Pasca Pernikahan
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Ketertarikan Interpersonal
Istilah
ketertarikan interpersonal mengacu pada beragam pengalaman, mencakup rasa suka,
persahabatan, kagum, birahi, dan cinta. Penelitia-penelitian terdahulu di
Amerika telah menghasilkan temuan-temuan yuang menarik, khususnya yang
difokuskan pada faktor-faktor yang mendukung ketertarikan. Pada waktu yang sama
penelitian-penelitian lintas budaya memberikan petunjuk tentang perbedaan
budaya dalam ketrtarikan dan cinta, serta meningkatkan studi-studi pada
hubungan antar budaya yang difokuskan pada kesukaran-kesukaran yang tersembunyi
dan kemungkinan-kemungkinan solusinya.
Telaah
tentang ketertarikan interpersonal banyak dihasilkan dalam studi-studi yang
dilakukan di Amerika. Studi-studi tersebut menemukan bahwa ketertarikan
interpersonal menjadi unsur penting dalam hubungan romantis. Hal tersebut
dikarenakan sebagian besar orang Amerika menganggap pentingnya cinta dalam
perkembangan dan mempertahankan hubungan yang panjang dalam perkawinan[1].
Dalam
buku psikologi sosial Sarlito W. Sarwono dan Eko A Meinarno, istilah yang
digunakan adalah hubungan interpersonal. Sehingga hubungan interpersonal
merupakan hubungan yang terdiri atas dua orang atau lebih yang memiliki
ketergantungan satu sama lain dan menggunakan pola interaksi yang konsisten.
Ketika akan menjalin hubungan interpersonal, akan terdapat suatu proses dan
biasanya biasanya dimulai dengan interpersonal attraction.
Interpersonal
Attraction adalah penilaian seseorang terhadap sikap orang lain, dimana
penelitian ini dapat di ekspresikan melalui suatu dimensi, dari strong
liking sampai dengan strong dislike. Jadi, ketika kita berkenalan
dengan orang lain berarti kita melakukan penilaian terhadap orang tersebut;
apakah orang tersebut cukup sesuai menjadi teman kita atau kurang sesuai,
sehingga kita lebih memilih untuk tidak melakukan interaksi sama sekali.
Dalam
melakukan interpersonal, ada beberapa faktor yang mempengaruhi ketertarikan
interpersonal, antara lain[2]:
1.
Faktor Internal (Baron dan Byrne, 2008)
Faktor internal dalam diri kita meliputi dua
hal, yaitu:
a.
kebutuhan untuk berinteraksi (need for affiliation)
Menurut McCleland, kebutuhan berinteraksi adalah suatu keadaan dimana
seseorang berusaha untuk mempertahankan suatu hubungan, bergabung dengan
kelompok, berpartisipasi dalam kegitan, menikmati aktivitas bersama keluarga
atau teman, menunjukkan perilaku saling berkerjasama, saling mendukung, dan
konformitas.
b. dan pengaruh perasaan.
Seseorang akan lebih mudah berinteraksi dengan orang lain pada saat kondisi
perasaan kita sedang senang dibandingkan jika kondisi perasaan kita sedang
negatif. Hal ini terjadi karena pada saat senang, kita lebih terbuka untuk
melakukan komunikasi. Hal itu seperti humor dan canda tawa yang digunakan untuk
mencairkan suasana dan memfasilitasi pertemanan.
2. Faktor Eksternal
Faktor eksternal yang mempengaruhi dimulainya
suatu hubungan interpersonal adalah :
a.
Kedekatan (proximity)
Kita cenderung menyukai orang yang wajahnya biasa kita
kenali dibandingkan dengan orang yang wajahnya tidak kita kenal (Miller dan
Perlman, 2009).
b.
Daya tarik fisik
Kita cenderung untuk memilih berinteraksi orang yang
menarik dibandingkan dengan orang yang kurang menarik karena orang yang menarik
memiliki karakteristik yang positif.
3. Faktor Interaksi
Pada faktor interaksi ada dua hal yang perlu
diperhatikan yaitu:
a.
Persamaan-Perbedaan (Similarity-Dissimilarity)
Adanya persamaan dalam berinteraksi sangat disukai dan
menyenangkan. Akan tetapi di dalam perbedaan dalam berinteraksi juga sangat disukai
dan menyenangkan. Sehingga antara persamaan dan perbedaan dalam interaksi
sama-sama disukai dan menyenangkan.
b.
Reciprocal Liking
Faktor lain yang mempengaruhi ketertarikan kita adalah bagaimana orang
tersebut menyukai kita. Sehingga ketika di sukai orang lain, hal itu dapat
meningkatkan self esteem (harga diri), membuat kita merasa bernilai dan
akhirnya mendapatkan positive reinforcement.
2.2 Definisi
Cinta
Menurut Baron dan Byrne (2004), cinta
merupakan sebuah kombinasi emosi, kognisi, dan perilaku yang ada dalam sebuah
hubungan intim. Kajian psikologi tentang fenomena cinta dapat di bahas melalui
kajian psikologi sosial, khususnya yang terkait dengan hubungan interpersonal.
Psikologi hubungan interpersonal adalah bagian psikologi sosial yang
mempelajari aspek-aspek perilaku dan kejiwaan yang terkait dengan fenomena
hubungan antara dua pribadi.[3]
Hatfield dan Bersheid mengemukakan bahwa ada
dua jenis cinta yaitu:
1.
Passionate love
(cinta bergairah) yang mencakup perasan seksual dan emosi yang intens.
Cinta bergairah memiliki ciri-ciri sebagai
berikut:
a. Dalam hubungan cinta seringkali emosi tidak
terkendali.
b. Hubungan yang sangat bersifat intens dan panas
(hot)
c. Suasana psikologi dalam keadaan bergejolak
Cinta bergairah ini biasanya mengarah pada
aktifitas yang bersifat ketubuhan (seksual atau eros), dan kebahagian
berlebihan yang dapat mengurangi kontrol rasionalitas yang normal dalam
dirinya. Sehingga akibat dari cinta bergairah ini adalah ketagihan (addicted
to love) untuk selalu bertemu dengan pasangannya dan memenuhi cinta secara
ketubuhan.
2.
Companionate love (cinta keakraban) yang mencakup kehangatan,
kepercayaan, dan toleransi afektif kepada orang lain yang kehidupannya telah terjalin
satu sama lain dengan mendalam.
Cinta keakraban memiliki ciri-ciri sebagai
berikut:
a. Adanya kelekatan afeksi antara kedua pelaku
cinta
b. Terdapatnya nilai-nilai kesesuaian di antara
kedua pelaku cinta
c. Adanya iklim yang hangat menyebabkan saling
memahami di antara kedua belah pihak
d. Adanya suasana hati yang nyaman di antar kedua
belah pihak pelaku cinta
Cinta keakraban ini menjadikan hubungan
bersifat akrab, rasionalitas, kematangan hubungan dan kematangan interpersonal
di antara keduanya[4].
Kemudian Sternberg (1988) membagi companionate
love menjadi dua componen, yaitu:
1. Intimacy (keintiman), keintiman mengacu pada
kehangatan, kedekatan, sharing dalam suatu hubungan.
2. Komitmen mengacu pada intensi atau niat untuk
mempertahankan hubungan meskipun muncul kesulitan-kesulitan.
Stenberg membagi 8 bentuk cinta tergantung
pada ada atau tidak adanya masing-masing dari tiga faktor :passionate love, keintiman,
dan komitmen. Jika tiga faktor itu semua ada maka muncul hubungan yang disebut
dengan consummate love.
Dalam
studi lainnya, keintiman biasanya dikaitkan dengan konsep yang disebut self-disclosure
(misalnya, Adamapoulos, 1991; Altman & Taylor, 1973; Helgeson, Shaver,
& Dyer, 1987). Kosep ini mengacu pada tingkat dimana orang mengungkapkan
informasi tentang diri kepada orang lain. Di Amerika, hubungan intim ditandai
oleh tingkat self-disclosure yang tinggi.[5]
2.3 Faktor Penyebab
Cinta
Para
ahli psikologi, khususnya para ahli psikologi sosial, melakukan kajian tentang
cinta terkait dengan perilaku menyukai atau tertarik orang lain dalam konsteks
upaya menjalin hubungan di antara dua pribadi. Dalam hal ini seseorang
mencintai orang lain karena dalam proses interaksi di antara dua pribadi
dimulai dari seseorang memiliki ketertarikan dengan orang lain. Pengetahuan psikologi
sosial tentang ketertarikan interpersonal dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan
ketertarikan interpersonal sehingga orang lain dapat membangun hubungan
interpersonal secara lebih baik pada kesempatan berikutnya itu dapat
meningkatkan kualitas hidup.
Dalam
konteks ini, seseorang mencintai atau tertarik dengan orang lain untuk menjalin
hubungan khusus dengan orang lain karena beberapa faktor, yaitu[6]:
1. Kedekatan
Para ahli sosiologi mengatakan bahwa banyak
orang berhubungan dan menikah dengan
pasangannya karena mereka bertemu disekitar wilayah hidupnya. Oleh karena itu, orang tertarik dengan orang
lain karena secara frekuensi mereka banyak berinteraksi dalam wilayah hidup
yang sama.
2. Kemenarikan Fisik
Kemenarikan fisik dapat menjadi faktor penentu
seseorang mencintai orang lain dan kemudian menjalin suatu hubungan cinta. Hal itu banyak terjadi pada pria yang
tertarik pada kemenarikan penampilan fisiknya. Sedangkan wanita tertarik pada
pria karena penampilan pribadinya.
3. Kesamaan dan Kebutuhan Saling Melengkapi (Komplementer)
Seseorang menyukai atau mencintai orang lain
dikarenakan ia memilki kesamaan atau keserupaan dengan orang lain. Banyak
pasangan yang memiliki kesamaan dalam nilai, keyakinan, sikap dan perilaku,
lebih memiliki kesempatan untuk menjalani hidup perkawinan yang bahagia.
4. Seseorang mencintai orang yang mencintai
dirinya
Karena apabila seseorang dicintai oleh orang
lain, maka terdapat semacam proses psikologis yang menyebabkan seseorang merasa
dirinya mendapat hadiah (ganjaran) karena memperoleh cinta itu.
5. Keuntungan yang diperoleh dari suatu hubungan
Seseorang akan mencintai dan terus mencintai
orang lain karena orang lain tersebut banyak memberikan keuntungan yang
signifikan kepada dirinya. Keuntungan tersebut dapat bersifat fisik, psikologis,
material dan sepiritual.
2.4 Pernikahan
Pernikahan
adalah sebuah komitmen yang serius antar pasangan dan dengan mengadakan pesta
pernikahan, berarti secara sosial diakui saat itu pasangan telah resmi menjadi
suami istri. Duval dan Miller (1985) menjelaskan bahwa pernikahan adalah
hubungan pria dan wanita yang diakui secara sosial, yang ditujukan untuk
melegalkan hubungan seksual, melegitimasi membesarkan anak, dan membangun
pembagian peran diantara sesama pasangan.
Dalam
sebuah pernikahan, antara pasangan saling menerima perubahan, mampu hidup
dengan hal-hal yang tidak bisa di ubah, mampu menerima ketidakpuasan pasangan
dan pernikahan, saling percaya, saling membutuhkan, serta menikmati kebersamaan
(Latifah, 2005). Kepuasan dalam pernikahan di pengaruhi oleh beberapa faktor,
antara lain[7]:
1.
Adanya komunikasi yang terbuka
2.
Ekspresi perasaan secara terbuka
3.
Saling percaya
4.
Tidak adanya dominan pasangan
5.
Hubungan seksual yang memuaskan
6.
Kehidupan sosial, tempat tinggal dan penghasilan yang
cukup
7.
Adanya anak, keyakinan beragama, dan hubungan dengan
mertua/ipar yang baik.
Umumnya apabila orang menjalin hubungan cinta
maka hubungan itu kemudian bermuara pada sebuah komitmen menuju pernikahan. Bamister
dan Leary (Baumgardner Clothers,2010) menjelaskan bahwa manusia memiliki
“kebutuhan dasar untuk memiliki”. Dalam hal ini “kebutuhan dasar untuk
memiliki” dapat diwujudkan melalui pernikahan. “Kebutuhan dasar untuk memiliki”
dalam kehidupan pernikahan terwujud dalam hubungan dekat, saling mendukung, dan
hubungan yang stabil di antara suami istri.
Kebahagian
dalam diri seseorang dapat terbetuk melalui pemenuhan kebutuhan dasar dalam
sebuah kehidupan pernikahan. Karena
dalam pernikahan terdapat potensi memberikan kehadiran eksistensi pertemanan (friendship),
keintiman, cinta, afeksi, dan dukungan sosial pada saat seseorang mengalami
situasi krisis. Selain itu, pernikahan juga memberi kesempatan pada seseorang
untuk mengalami perkembangan personal (personal growt) dan perkembangan
potensi baru yang mampu meningkatkan penghargaan diri (self-esteem) dan
kepuasan diri.
Berdasarkan
banyaknya penelitian barat (Myers, 2002), terdapat beberapa faktor yang dapat
menjadikan cinta dalam pernikahan tetap dan pernikahan tetap lestari antara
lain[8]:
1. Orang(suami-istri) menikah dalam usia matang,
biasanya di atas 20 tahun.
2. Orang(suami-istri) tunbuh kembang dalam asuhan
orang tua yang lengkap.
3. Hubungan yang cukup lama sebelum pernikahan.
4. Orang(suami-istri) memiliki pendidikan yang
baik.
5. Orang(suami-istri) memiliki penghasilan yang
mencukupi.
6. Orang(suami-istri) tinggal dalam kota kecil.
7. Orang(suami-istri) tidak hidup bersama atau
hamil sebelum menikah.
8. Orang(suami-istri) memiliki komitmen religius
diantara kedua belah pihak.
9. Pendidikan, keyakinan dan usia yang seimbang.
Kebutuhan-kebutuhan
manusia yang berkaitan dengan perkawinan dapat digolongkan sebagai berikut :
1. Kebutuhan fisiologis dan perkawinan
Salah satu
kebutuhan ini adalah kebutuhan seksual.Kebutuhan ini pada dasarnya menghendaki
pemenuhan. Bila kebutuhan ini tidak dapat dipenuhi dan juga tidak dapat
dimengerti oleh individu yang bersangkutan, maka akan menimbulkan hambatan
dalam kehidupannya.
2. Kebutuhan psikologik dan perkawinan
Salah satu tahap
perkembangan individu adalah tahap perkembangan masa remaja. Pada masa remaja
adalah masing-masing individu mulai tertarik kepada lawan jenisnya. Dalam
memadu kasih antara remaja laki-laki dan perempuan, maka satu dengan yang
lainnya membutuhkan teman hidup yang akan dapat saling mengisi akan
kebutuhan-kebutuhan psikologisnya. Misalnya ingin mendapatkan perlindungan,
ingin mendapatkan kasih sayang dan lain-lain.
3. Kebutuhan sosial dan perkawinan
Manusia hidup
dalam masyarakat ia akan terikat kepada norma-norma yang ada dalam masyarakat.
Salah satu yang melatarbelakangi perkawinan adalah norma-norma dengan pandangan
yang ada dalam masyarakat sebagai bentuk interaksi sosial .
4. Kebutuhan religi dan perkawinan
Salah
satu yang melatarbelakangi adanya perkawinan yaitu karena adanya kepercayaan
sesuai dengan agama ataupun kepercayaan yang dianut. Dengan melaksanakan
perkawinan maka salah satu segi yang digariskan dalam agama dapat dipenuhi.[9]
2.5 Pasca Pernikahan
Ketika
mencari partner dalam jangka panjang, orang biasanya tidak mengutamakan
penampilan fisik dan lebih mempertimbangkan kualitas personal yang sesuai. Kita
menginginkan pasangan yang hangat, baik, dan dapat dipercaya. Kita mengutamakan
responsivitas dan selera humor yan baik, kompetensi juga penting (Fletcher
& Simpson, 2000; Sprecher & Regan, 2002).
Riset
tentang pemilihan pasangan heteroseksual juga mencatat beberapa
perbedaan pria-wanita dalam menilai kualitas pasangannya.meskipun keduanya
memandang daya tarik fisik pasangan sebagai salah satu aset, namaun pria lebih
mementingkan atribut fisik ketimbanag wanita. Wanita lebih suka pada lelaki
yang lebih tua dan lelaki lebih suka pada wanita yang lebih muda. Kemudian
wanita lebih mengutamakan segi ekonomi pria. Sednagkan pria lebih mau menikahi
wanita yang pekerjaanya kurang mapan, atau yang pendidiknnyalebih rendah.
Sebaliknya wanita lebih tertarik menikahi lelaki yang punya pekerjaan mapan,
pendapatnnya lebih besar dan pendidikan lebih tinggi.
Sebagian
riset tentang preferensi pasangan meminta pria dan wanita untuk menilai arti
penting dari sederetan kualitas dalam diri calon pasangan, termasuk daya tarik
dan kecerdasan. Dalam pendekatan yang lebih realistis, studi yang lebih baru
berusaha untuk melakukan simulasi situasi dimana kita tidak punya partner
sempurna. Kita harus melakukan tukar menukar atau tawar menawar, mungkin kita
harus memutuskan apakah memilih partner yang menarik tetapi kumuh atau partner
yang pendiam tetapi menawan. Studi ini meminta partisipasinya untuk memilih
diantara kualitas-kualitas yang diinginkan, dan hasil studi ini membantu kita
untuk membedakan apa yang oleh orang dianggap sebagai “keharusan” dan “
tambahan” dalam penilaian pasangan.
Daya
tarik fisik calon pacar dianggap perlu oleh pria tetapi hanya sebagai tambahan
menurut mereka. Sebaliknya status dan sumber ekonomi pasangan harus ada oleh
wanita, tetapi tidak untuk pria, pria dan wanita menganggap kebaikan dan
kecerdasan sebagai keharusan. Sedangkan studi lainnya meminta partisipasinya
memilih diantara tiga kriteria :hangat/setia, menarik/ fitalitas, dan status/
sumber daya (Fletcher, Tither, O’lounghlin,friesen, & overall,2004).
Hasilnya lagi-lagi mengonfirmasikan perbedaan antara pria-wanita. Dalam memilih
pasangan, wanita lebih menekankan pada kehangatan dan status/sumber daya. Pria
lebih mementingkan daya tarik fisik/vitalitas. [10]
Penialaina
terhadap satu sama lain seringkali tidak realistik, karena setiap individu
ingin percaya bahwa ia telah menemukan
pasangan yang sempurna dn ingin umpan balik yang tidak rumit dan positif dari
pasangan tersebut. Walaupun memuaskan memilki teman yang benar-benar memuja,
pasangn yang dapat memberikan umpan balik yang bersifat self-enhancing
dan self-verifying adalah yang paling menarik dari sdemua (katz &
Beach,2000).
Pasangan
romantisa dapat tampak tidak realistis, tetapi salah satu cara untuk memahami
percintaaan adalah dengan menyadari bahwa percintaan dibangun sebagian
berdasdarkan khayalan dan ilusi yang positif. Bahkan, ilusi semacam ini
tampaknya membantu menciptakan hubungan yang lebih baik. Presepsi pasangan
cenderung bias, dan orang yang satunya dipersepsikan lebih seperti self
idealnya dari pada kenyataan yang sebenarnya. Kebajikan pasangan
dibesar-besarkan , dan kesalahan apaupun yang tampak diperkecil.
Ilusi
yang dimilki bersama mengenai percintaan ini seringkali didasarkan pada keyakinan
mengenai takdir percintaan-keyakinan bahwa dau orang memang dicipatakan satu
sama lain. Pada kenyataanya, jika dua orang saling peduli satu sama lain dan
yakin bahwa mereka memang diciptakan untuk satu sama lain, kasih sayang dan
keyakinan dapat membantu mempertahankan hubungan tersebut. Penekan pada hal
yang positif membuat pasangan sulit untuk membayangkan bahwa hubungan dapat
berakhir, sebagai akibatnya kemampuan mereka untuk memprediksikan seberapa lama
hubungan akan berlangsung lebih tidak akuraut dari pada ramalan yang dibuat
teman sekamar atau orang tua mereka.[11]
BAB III
PENUTUP
A. SIMPULAN
Ketertarikan interpersonal mengacu pada beragam
pengalaman, mencakup rasa suka, persahabatan, kagum, birahi, dan cinta.
Penelitia-penelitian terdahulu di Amerika telah menghasilkan temuan-temuan
yuang menarik, khususnya yang difokuskan pada faktor-faktor yang mendukung
ketertarikan. Dalam melakukan interpersonal, ada beberapa faktor yang
mempengaruhi ketertarikan interpersonal, antara lain: Faktor internal ,faktor
eksternal dan faktor interaksi
Seseorang mencintai atau tertarik dengan orang
lain untuk menjalin hubungan khusus dengan orang lain karena beberapa faktor:
1. Kedekatan
2. Kemenarikan Fisik.
3. Kesamaan dan Kebutuhan Saling Melengkapi (Komplementer)
4. Seseorang mencintai orang yang mencintai
dirinya
5. Keuntungan yang diperoleh dari suatu hubungan
Pernikahan adalah sebuah komitmen yang serius
antar pasangan dan dengan mengadakan pesta pernikahan, berarti secara sosial
diakui saat itu pasangan telah resmi menjadi suami istri, Kebutuhan-kebutuhan manusia yang berkaitan dengan
perkawinan dapat digolongkan sebagai berikut: Kebutuhan fisiologis dan
perkawinan, Kebutuhan psikologik dan perkawinan, Kebutuhan sosial dan
perkawinan, Kebutuhan religi dan perkawinan.
Pasca Pernikahan, ketika mencari partner dalam
jangka panjang, orang biasanya tidak mengutamakan penampilan fisik dan lebih
mempertimbangkan kualitas personal yang sesuai. Kita menginginkan pasangan yang
hangat, baik, dan dapat dipercaya.
DAFTAR PUSTAKA
Tridayaskini, Yuniardi,Salis, 2012, Psikologi Lintas
Budaya, Malang:Universitas
Muhammadiyah Malang,
Sarlito, Sarwono W., 2012,Meinarno, Eko A., Psikologi social, Jakarta:Salemba
Humanika.
Hanurawan,Fattah, 2010, Psikologi Sosial, Bandung:Remaja
Rosdakarya..
Taylor,Shelley E., Peplau,Letitia Anne, O.sears, David, 2009,
Psikologi sosial edisi kedua belas, ,Jakarta:Kencana Prenada Media
Group.
Walgito, Bimo, 2002, Bimbingan dan Konseling Perkawinan, ,Yogyakarta : Andi Offset.
[1] Tridayaskini, Salis Yuniardi, Psikologi Lintas Budaya, (Malang:Universitas
Muhammadiyah Malang,2012), hlm.168-169.
[2] Sarlito W. Sarwono, Eko A. Meinarno, Psikologi social,
(Jakarta:Salemba Humanika, 2012), hlm.68-70.
[9]
Bimo Walgito , Bimbingan dan Konseling
Perkawinan, ( Yogyakarta : Andi Offset, 2002 ), hlm. 19-21.
[10] Shelley E.Taylor,Letitia Anne Peplau, David O.sears, Psikologi sosial
edisi kedua belas,(jakarta:Kencana Prenada Media Group,2009)hlm 309-312
Tidak ada komentar:
Posting Komentar