ABU
AL-HASAN AL-SYADZILI DAN TAREKATNYA
Makalah
ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Tasawuf III
Dosen
Pengampu : Amat Zuhri M.Ag.

Disusun
oleh :
Aris Priyanto (2032113006)
Prodi
:
S1 Akhlak Tasawuf
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
PEKALONGAN
2015
KATA PENGANTAR
Segala Puja dan Puji syukur Alhamdulillah semoga senantiasa kita panjatkan kehadirat AIlah atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga makalah yang berjudul “Sumpah dalam Perpekstif
Islam” yang sederhana ini
telah selesai kami susun. Makalah ini kami buat berdasarkan hasil belajar kami
dan referensi dari berbagai buku. Salah satu tujuan kami adalah agar yang
membaca makalah kami dapat mengerti dan
memahami tentang Abu al-Hasan
al-Syadzili dan Tarekatnya secara
detail dan jelas. Dan dengan
tujuan yang demikian, kami harap laporan ini bermanfaat bagi semua orang yang membaca susunan makalah ini.
Kekurangan
dan kesalahan tentu akan terjadi dalam pembuatan laporan ini, maka tegur sapa dan koreksi dari para ahli sangat kami harapkan. Dan kami mohon maaf yang
sebesar-besarnya atas kesalahan-kesalahan yang terjadi. Dan tak lupa kami
ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Allah
SWT, karena atas izin-Nya kami dapat menyelesaikan laporan ini dengan tepat
waktu.
2. Kepada Dosen Amat Zuhri, M.Ag selaku
dosen mata kuliah Tasawuf III sekaligus pembimbing dalam membuat makalah ini.
3. Kepada orang tua yang telah memberikan
dukungan moral dan do’a kepada kami.
4. Dan kepada teman-teman juga yang telah
memberikan dukungan moral dan koreksi
bagi kami.
Dan kami juga memohon kepada Allah semoga
buku ini bermanfaat dan menjadi salah satu amal yang
diridhio-Nya. Amin.
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ............................................................... i
Daftar isi ............................................................... ii
BAB I Pendahuluan ............................................................... 1
1.1 Latar Belakang ............................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................... 1
BAB II Pembahasan ............................................................... 2
2.1 Biografi Abu al-Hasan
al-Syadzili ............................................................... 2
2.2 Ajaran
tarekat
Syadziliyyah ............................................................... 3
2.3 Pengaruh tarekat
Syadziliyyah ............................................................... 7
2.3 Perkembangan Aliran-
aliran/Cabang-cabangnya
tarekat Syadziliyyah ............................................................... 9
BAB III Penutup ............................................................... 11
3.1 Simpulan ............................................................... 11
3.2 Saran ............................................................... 11
Daftar Pustaka ............................................................... 12
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Abu
Hasan al-Syadzili merupakan salah satu seorang pendiri tarekat yang dalam
tarekatnya mempunyai ciri khusus yang berbeda dengan tarekat-tarekat yang lain.
Keberadaan tarekatnya di Indonesia merupakan salah satu dari beberapa tarekat
yang banyak pengikutnya dan termasuk tarekat yang muktabarah. Selain itu,
banyak sekali kitab-kitab tasawuf yang dikajinya dan di ajarkan kepada
murid-muridnya.
Sehingga
peranan Abu al-Hasan al-Syadzili dalam dunia tasawuf adalah termasuk seorang
tokoh sufi yang mengajarkan ketasawufan dalam bentuk tarekat. Keberadaannya
sangat dikenal baik dalam masalah tasawuf maupun masalah tarekat. Hal itu
terbutkti dengan tarekatnya dikenal dengan tarekat Syadiliyyah sesuai dengan nama dibelakangnya. Oleh karena itu,
semoga makalah ini mampu menambah wawasan tasawuf dan tarekat, baik dalam
tokoh, ajaran, dll.
B.
Rumusan Masalah
A.
Biografi
Abu al-Hasan al-Syadzili
B.
Ajaran
Tarekat Syadziliyah
C.
Pengaruh
Ajaran Tarekat Syadziliyah
D.
Perkembangan
dan Aliran-aliran/Cabang-cabangnya Tarekat Syadziliyah
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi Abu al-Hasan al-Syadzili
Tarekat
Syadziliyyah tak dapat dilepaskan hubungannya dengan pendirinya, yaitu Abu
al-Hasan al-Syadzili. Selanjutnya nama tarekat ini dinisbatkan kepada namanya
Syadziliyah yang mempunyai ciri khusus yang berbeda dengan tarekat-tarekat yang
lain.
Secara
lengkap nama pendirinya adalah ‘Ali bin Abdullah bin Abd. Al Jabbar Abu
al-Hasan al-Syadzili. Silsilah keturunannya mempunyai hubungan dengan
orang-orang garis keturunan Hasan bin Ali bin Abi Thalib, dan bearti keturunan
siti Fatimah, anak perempuan dari Rasulullah SAW. Al-syadzili sendiri pernah
menuliskan silsilah keturunannya sebagai berikut : Ali bin Abullah bin Abd.
Jabar bin Yusuf bin Ward bin Batthal bin ahmad bin Muhammad bin Isa bin
Muhammad bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib[1].
Menurut
Ibn Athaillah, ada perbedaan pendapat mengenai nasab Abu al-Hasan al-Syadzili.
Murid-murid dan para pencintanya menasabkannya kepada orang-orang terhormat dan
menyatukan nasabnya kepada al-hasan bin Abi Thalib, meskipun mereka masih
berbeda pendapat tentang nama nenek moyangnya apakah al-hasan atau al-Husain?.
Ada yang menasabkannya kepada al-hasan. Al-jami’ misalnya, menasabkan
al-Syadzili kepada al-Husain bin Abi Thalib, dan bukan kepada al-Hasan bin Abi
Thalib.
Beliau
dilahirkan di desa Ghumara, dekat Ceuta saat ini, di utara Maroko pada tahun
573 H, pada saat dinasti al-muwahiddin mencapai titik nadinya. Adapun mengenai
tahun kelahiran al-Syadzili sebenarnya masih belum ada kesepakatan. Beberapa
penulis berbeda pendapat, antara lain sebagai berikut: Siraj al-Din al-Hafsh
menyebut tahun kelahirannya 591 H./1069 M., Ibn Sabbah menyebutnya 583 H./1187
M.,dan J.Spencer Trimingham mencatat tahun kelahirannya al-Syadzili 593 H./1196
M.
Pendidikan
Abu al-Hasan al-Syadzili dimulai dari kedua orang tuanya, dan kemudian
dilanjutkan kependidikan lebih lanjut, yang mana di antara guru kerohaniannya
adalah ulama besar Abd al-Salam Ibn Masyisy (w.628 H./1228 M.), yang juga dikenal
sebagai “Quthb dari Quthb para wali” seperti halnya Syekh Abd al-Qadir
al-Jailani (w.561 H./1166 M.). Setelah al-syadzili belajar lama di Tunis, ia
pergi ke negara-negara Islam sebelah timur, di antaranya mengunjungi Makkah dan
melaksanakan ibadah haji beberapa kali, kemudian dari sana ia bertolak ke Irak.
Dengan demikian, al-Syadzili mempunyai dua guru spiritual, karena sebelumnya
telah mendapatkan pendidikan dai Abdullah Ibn Kharazim (w.633 H./1236 M.).
B.
Ajaran Tarekat Syadziliyah
Tarekat
berasal dai bahasa arab “at-Thariqah” yang berarti jalan. Akantetapi tarekat
yang dimaksud disini adalah jalan yang ditempuh para sufi untuk dapat dekat
dengan Allah. Sedangkan menurut Syekh
Muhammad Amin Kurdi mendefinisikan tarekat sebagai berikut :
1.
Tarekat
adalah pengamalan syari’at dan (dengan tekun) melaksanakan ibadah dan
menjauhkan (diri) dari (sikap) mempermudah pada apa yang memang tidak boleh
dipermudah.
2.
Tarekat
adalah menjauhi larangan-larangan, baik yang lahir maupun yang batin dan
menjunjung tinggi perintah-perintah Tuhan menurut kadar kemampuan.
Sedangkan tarekat menurut Harun Nasution bahwa tarekat yang berasal
dari kata “thariqah” adalah jalan yang harus ditempuh oleh seorang calon sufi
agar ia berada sedekat mungkin dengan Allah. Thariqah juga mengandung
arti organisasi (tarekat), yang mempunyai Syekh, upacara ritual dan bentuk
dzikir tertentu[2].
Dengan
demikian, ada dua pengertian dua tarekat :
1.
Tarekat
sebagai pendidikan kerohanian yang dilakukan oleh orang-orang yang menjalani
kehidupan tasawuf untuk mencapai tingkat kerohanian tertentu. Tarekat dalam
arti ini adalah dari sisi amaliah.
2.
Tarekat
sebagai sebuah perkumpulan atau organisasi yang di dirikan menurut aturan yang
telah ditetapkan oleh seorang Syekh yang menganut suatu aliran tarekat
tertentu. Dalam organisasi itulah, seorang Syekh mengajarkan amalan-amalan (tasawuf)
menurut aliran tarekat yang di anutnya, kemudian di amalkan oleh para muridnya
secara bersama-sama disuatu tempat yang disebut ribath, zawiyah atas
taqiyah. Gurunya disebut mursyid atau Syekh. Dan wakilnya disebut khalifah.
Tarekat
Syadziliyah muncul di belahan dunia Islam barat menuju Mesir, dan dari Mesir
menyebar keberbagai macam penjuru kawasan Islam. Berdasarkan sumber yang ada,
tarekat ini mucul pada kurun ke 7 Hijriah tepatnya sekitar tahun 642 H. dan
cenderung beraliran Suni. Dalam buku Tasawuf Islam karya Abu Wafa al-Ghanimi
al-taftazani, bahwa tasawuf syadzili, Mursi dan Abu Athoillah merupakan
pondasi-pondasi madrasah Syadziliyah yang jauh dari pemikiran madrasah Ibnu
Arabi dan aliran tasawuf wahdatul wujud-nya. Tak satupun dari ketiga
orang tersebut yang mengatakan tentang pemikiran wahdatul wujud itu. Di
saatt mereka jauh dengan Ibnu Arabi, ternyata mereka sangat dekat dengan
tasawuf al-Ghazali yang berpegangan pada al-kitab dal al-sunnah.
Dalam
buku tersebut juga dikemukakan perkataan-perkataan Syadzili dan Mursi yang
diriwayatkan oleh Ibnu Athoilah dalam Lataiful Manan untuk menjelaskan posisi al-Ghazali dalam hati
mereka semua, sebab mereka menyerukan kepada murid-muridnya untuk mengambil
pelajaran dari al-Ghazali. Salah stunya adalah perkataan Syadzali kepada
muridnya : “ Jika engkau ingin mengadukan kebutuhannmu kepada Allah, maka
berwasilah (mengambil perantara) menujunya melalui Imam Abu Hamid al-Ghazali”.
Kemudian ia juga berkata dengan nada memberikan sebuah nasehat : “Kitab Ihya’
akan mewariskan kepadamu keilmuan kitab”Qut” (milik al-Makki) akan mewariskan
kepadamu sebuah cahaya. Abu Abas al-Mursi juga berkata tentang al-Ghazali: “Aku
menyaksikannya dalam ingatan kejujuran (shadiq) yang amat agung”.
Ajaran-ajaran
dalam tarekat Syadzaliyah bisa diringkas di dalam lima prinsip, yaitu:
1.
Takwa
kepada Allah di dalam kerahasiaan maupun di tempat terbuka.
2.
Mengikuti
sunnah dalam perkataan dan perbuatan.
3.
Memalingkan
diri dari makhluk di dalam kerahasiaan maupun tidak.
4.
Ridla
terhadap Allah dalam hal yang sedikit maupun banyak.
5.
Kembali
kepada Allah di saat senang maupun susah.
Selain itu, salah satu ajaran-ajarannya yang terkemuka adalah
menghilangkan prediksi (tadbir). Ini merupakan dasar yang membangun
keseluruhan tarekat, dan sekaligus sebagai titik tolak yang dipahami secara
mendalam oleh Ibnu Athaillah dan dijadikannya alirannya dalam tasawuf[3].
Dalam buku karya Annemarie Schimmel
dalam bukunya yang berjudul “Dimensi Misstik dalam Islam” menjelaskan
bahwa dalam tarekatnya, Syadzili tidak menekankan perlunya tapabrata atau
kehidupan menyendiri dan juga tidak menganjurkan bentuk-bentuk dzikir tertentu
yang disuarakan lantang. Setiap anggota tarekat wajib mewujudkan semangat
tarekat di dalam kehidupan dan lingkungannya sendiri. Anggota tarekat
Syadziliyah tidak diharapkan mengemis atau mendukung kemiskinan. Sebaliknya,
sumber-sumber Mesir abad ke-14 dan ke-15 mengisahkan bagaimana tiap anggota
tarekat ini menonjol dalam kerapian pakaian mereka, berbeda dengan sufi-sufi
lainnya yang memenuhi jalan-jalan kairo. Syadziliyah bahkan tidak memiliki
sistim teori mistik yang mantap. Ciri Khas tarekat ini adalah bahwa seorang
anggota tarekat ini pasti ditakdirkan untuk menjadi anggota tarekat ini sejak
alam baka dan mereka percaya bahwa quth atau pemimpin hirarki rohani akan
senantiasa menjadi anggota tarekat ini.
Abu al-Hasan al-Syadzili sedikit sekali meninggalkan tulisan.
Kecenderungannya menulis surat-surat perintah rohani di ambil alih oleh para
pengikutnya yang kesohor. Doa besar yang disusunnya, berjudul Hizb al-Bahr,
menjadi salah satu tulisan pengabdian yang paling dikenal. Ibn Batuta
menggunakan doa tersebut di dalam perjalanan-perjalanan panjangnya dan tampaknya
berhasil.[4]
Dalam buku Tarekat-tarekat Muktabarah karya Sri Mulyati menyatakan bahwa
al-Syadzili tidak menuliskan ajaran-ajarannya dalam sebuah kitab karya tulis,
di antara sebab-sebabnya adalah karena kesibukannya melakukan
pengajaran-pengajaran terhadap muridnya yang sangat banyak dan sesungguhnya
ilmu-ilmu tarekat itu adalah ilmu hakikat, oleh karena itulah akal manusia
tidak mampu menerimanya. Ajaran-ajarannya dapat diketahui dari para muridnya
misalnya tulisan Ibn Athaillah al-Iskandari. Ketika al-syadzili ditanya perihal
mengapa ia tak mau menuliskan ajaran-ajarannya, maka ia menjawa, “Kutubi
Ashabi” yang artinya “kitab-kitabku adalah sahabatku.
Adapu pemikiran-pemikran tarekat al-syadziliyah adalah sebagai
berikut:
1.
Tidak
menganjurkan kepada murid-muridnya untuk meninggalkan profesi dunia mereka.
Dalam hal pandangannya mengenai pakaian, makanan, dan kendaraan yang layak
dalam kehidupan sederhana yang akan menumbuhkan rasa syukur kepada Allah SWT.
Dan mengenal rahmat ilahi. Meninggalkan dunia yang berlebihan akan menimbulkan
hilangnya rasa syukur, dan berlebih-lebuihan dalam memanfaatkan dunia akan
membawa kepada kezaliman.
2.
Tidak
mengabaikan dalam menjalankan syariat Islam. Ia adalah salah satu tokoh sufi
yang menempuh jalur tasawuf hampir searah dengan al-Ghazali, yaitu suatu
tasawuf yang berlandaskan kepada al-Qur’an dan al-Sunnah, mengarah pada asketisme,
pelurusan dan penyucian jiwa (tazkiyah al-nafs), dan pembinaan moral
(akhlaq),suatu tasawuf yang di nilai cukup moderat.
3.
Zuhud
tidak berarti harus menjauhi dunia karena pada dasarnya zuhud adalah
mengosongkan hati dari selain Tuhan. Dunia yang dibenci para sufi adalah dunia
yang melengahkan dan memperbudak manusia. Kesenangan dunia adalah tingkah laku
syahwat, berbagai keinginan yang tak kunjung habis, dan hawa nafsu yang tak
kenal puas. Semua itu hanyalah permainan (al-la’b),dan senda gurau (al-lahw)
yang akan melupakan Allah.
4.
Tidak
ada larangan bagi salik untuk
menjadi miliuner yang kaya raya, asalkan hatinya tidak bergantung pada
harta yang dimilikinya. Seorang salik boleh tetap mencari harta kekayaan,namun
jangan sampai melalaikan-Nya dan jangan sampai menjadi hamba dunia, tiada
kesedihan ketika harta hilang dan tiada kesenangan berlebihan ketika harta
datang.
5.
Berusaha
merespon apa yang sedang mengancam kehidupan ummat, berusaha menjembatani
antara kekeringan sepiritual yang dialami oleh banyak orang yang hanya sibuk
dengan urusan duniawi, dengan sikap pasif yang banyak dialami para salik.
Al-syadzili menawarkan tasawuf positif yang ideal dalam arti bahwa disamping
berupaya mencari “langit”, juga harus beraktifitas dalam realitas sosial di
“bumi’’ ini. Beraktifitas sosial demi
kemaslahatan umat adalah bagian integral
dari hasil kontemlasi.
6.
Tasawuf
adalah latihan-latihan jiwa dalam rangka ibadah dan menempatkan diri sesuai
dengan ketentuan Allah SWT. Tasawuf memiliki empat aspek penting yaitu,
berakhlak dengan akhlak Allah SWT, senantiasa melakukan perintah-perintah-Nya,
dapat menguasai hawa nafsu serta berupaya selalu bersama dan berkenalan
dengan-Nya secara sungguh-sungguh.
7.
Dalam
kaitannya dengan al-ma’rifah (gnosis), al-Syadzili berpendapat
bahwa ma’rifat adalah salah satu tujuan ahli tarekat atau tasawuf yang dapat
diperoleh dengan dua jalan. Pertama adalah mawahib atau ‘ain al-jud (sumber
kemurahan Tuhan) yaitu tuhan memberikannya dengan tanpa usaha dan Dia
memilihnya sendiri orang-orang yang akan diberikan anugerah tersebut. Kedua,
adalah imakasib atau badzi al-majhud yaitu ma’rifat akan dapat
diperoleh melalui usaha keras, melalui ar-riyadhah, mulazamah, al-dzikir,
mulazamah al-wudlu’, puasa, shalat sunnah dan amal shaleh lainnya.
Antara al-Ghazali dan al-Syadzili di samping memiliki beberapa
persamaan, juga memiliki sedikit perbedaan yaitu dalam hal upaya untuk
mendekatkan diri kepada Allah SWT. Apabila al-Ghazali lebih menekankan pada riyadhah
al-badan atau latihan yang berhubungan dengan fisik yang mengharuskan
adanya musyaqqah, misalnya bangun malam, lapar, dan lain-lain. Maka
al-Syadzili lebih menekankan pada riyadhah al-qulub tanpa menekankan
senang (al-farh), rela (al-ridla) dan selalu bersyukur (al-syukr)
atas nikmat Allah.[5]
C.
Pengaruh Ajaran Tarekat Abu al-Hasan al-Syadzil
Tarekat
Syadziliyah mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam alam Islam. Ia tersebar
luas di seluruh kawasan, dan sampai hingga Andalusia. Tokoh-tokoh yang paling
terkemuka adalah Ibn Ibad Randi yang meninggal tahun 7 90 H., Ia merupakan
komentator al-Hikam Ibnu
Athaillah. Di samping Mesir sebagai basis pengikutnya, ajaran tarekat ini
tersebar luas ke Timur hingga mencapai Melayu, Afrika Barat, dan Negara-negara
Islam lainnya.
Al-Syadzili
tidak meninggalkan karya-karya dalam ilmu tasawuf, begitu juga dengan murinya
Abu Abas al-Mursi. Semua perkataan-perkataan keduanya tentang tasawuf, doa-doa,
hizib-hizib, dan juga wasiat-wasiatnya, dikumpulkan oleh Ibnu Athaillah dan
sekaligus ia adalah orang yang menulis biografi keduana. Sehingga dengan cara
begitu, terjagalah peninggalan tarekat Syadzaliyah[6].
Jadi
tarekat Syadziliyah berkembang dari bentuk yang sederhana, namun lebih ecstatik
dibanding tarekat Qadhariyah. Sempalan dari tarekat ini di antaranya tarekat Isawiyah.
Dimana tarekat Isawiyah terkenal karena zikirnya disertai latihan
kekebalan, yaitu dengan goresan pedang. Abu al-Hasan al-Syadzili hanya menulis
kumpulan doa yang berjudul hizb al Bahr. Namun amalan dan kehidupan para
penganut tarekat ini sangat mengutamakan pengendalian diri dan ketenangan
batin. Hal ini nampak karya dua orang guru penganut tarekat Syadziliyah ini,
yaitu Tajudin ibnu Atha’illah al-Iskandari (w.1309 M.) yang mengarang kitab al-Hikam
dan Lathaif al-Minan, Ibnu ‘Abbad dari Ronda yang jadi pensyarah
kitab al-Hikam. Kitab al-Hikam ini juga terkenal di pondok-pondok
pesantren di Indonesia.
Kemudian
bagi mereka yang mempelajari tasawuf dan terbiasa dengan lagu-lagu penuh kata
berbunga yang mempesonakan dari penyair-penyairmistik Persia, akan menemukan
bahwa di dalam tulisan Syadzili terdapat suatu ketenangan yang merupakan
kecenderungan penyair baghdad. Hal ini dapat dimengerti apabila kita liat
sumber yang dipacu oleh anggota tarekat ini: Kitab ar-riya’ tulisan Muhasibi.
Kitab ini berisi telaah Psikologis mendalam mengenai Islam di masa awal. Acuan
berikutnya adalah Quth al-qulub karya Maki dan Ihya ‘ulum ad-din tulisan
al-Ghazali. Ciri ketenangan ini juga merupakan ciri dari dua orang guru tarekat
ini, Ibn Athaillah al-Iskandariah Ibn Abbad dari Ronda. Kedua guru ini kemudian
hari menjadi tokoh menonjol dalam sejarah tasawuf[7].
Mengenai
pengaruh al-syadzili kepada Ibn Athaillah, tampaknya dimungkinkan melalui
duacara, yaitu melalui al-Mursi dan hizb-hizb yang ditinggalkan
al-Syadzili. Melalui dua cara inilah, Ibn Athaillah mewarisi ajaran sepiritual
al-Syadzili. Secar sederhana bis adikatakan bahwa tulisan-tulisan Ibn Athaillah
pada dasarnya adalah ajaran-ajaran al-Syadzili karena ia adalah pengikut dan
pewaris al Syadzili, meski sudah tentu terdapat kekhasan tersendiri dala
uraian-uraian atau tulisan-tulisan Ibn Athaillah.
Para
tokoh Syadziliyah pada awalnya tidak hanya menaruh perhatian pada pengajaran
dan praktik tasawuf tetapi juga terhadap masalah –masalah akidah dan hukum
Islam. Hal ini karena al-syadzili sangat menekankan pentingnya pengetahuan
agama bagi para pengikutnya. Mereka bermadzhab Sunni dan sekalipun tasawuf
sendiri tidak menaruh perhatian pada dogma-dogma teologis, mereka cenderung
untuk memilih madzhab Asy’ariyyah dalam bidang ilmu kalam. Namun madzhab
Asy’ariyyah yang mereka ikuti kemungkinan besar yang sudah dipengaruhi oleh ajaran-ajaran
al-Ghazali (w.505 H/1111 M.)yang turut
memberikan konstribusi pada madzhab itu
dan mengubah watak aslinya.
D.
Perkembangan dan Aliran-aliran/Cabang-cabangnya Tarekat Syadziliyah
Dalam
perkembangannya, selanjutnya muncul cabang-cabang dalam tarekat Syadzilyah.
Pada abad ke-8 H./14 M. di Mesir muncul sebuah cabang yang akhirnya dinamakan Wafaiyyah,
yang di dirikan oleh Syams al-Din Muhammad bin Ahmad Wafa (w.760 H./1359 M.)
yang juga dikenal dengan Bahr al-Shafa, ayah dari tokoh terkenal Ali Ibn
Wafda (w.807 H/1404 M. Disamping cabang
itu, muncul cabang-cabang lainnya yaitu hanafiyyah, Jazuliyyah,
Isawiyyah, Tihamiyyah, Darqawiyyah, dan sebagainya. Mereka muncul akibat penyesuaian
dan adptasi kembali pesan-pesan asli tarekat Syadziliyyah. Kemunculan mereka
seringkali disebabkan oleh tuntutan lingkungan sosial yang membutuhkan respons
dalam hubungannya dengan para sufi[8].
Berdasarkan
ajaran yang diturunkan al-Syadzili kepada muridnya, kemudian terbentuklah tarekat
yang dinisbatkan kepadanya, yaitu tarekat Syadziliyah. Tarekat ini berkembang
pesat antara lain di Tunisia, Mesir, Al-jazair, Sudan, Suriah dan Semenanjung
Arabia, juga di Indonesia (khususnya) di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Tarekat
Syadziliyah memulai keberadaannya dibawah salah satu dinasti al-Muwahhidun,
yaitu Hafsiyyah di Tunisia. Tarekat ini kemudian berkembang dan tumbuh subur di
Mesir dan Timur Dekat di bawah kekuasaan dinasti Mamluk. Dalam hal ini yang
menarik, sebagaimana dicatat oleh Victor Danner-peneliti Tarekat
Syadziliyyah-adalah bahwa meskipun tarekat ini berkembang pesat di daerah Timur
(Mesir), namun awal perkembangannya adalah dari Barat (Tunisia). Dengan
demikian, peran daerah maghrib dalam kehidupan spiritual tidak sedikit. Menurut
Danner, perannya sejak abad ke-7 H./13 M. Sangatlah jelas. Banyak tokoh sufi
yang sezaman dengan al-Syadzili yang menetap di Timur, misalnya Abu Madyan
Syu’aib al-Maghribi (w. 594 H./1197 M.), Ibn al-Arabi (w.638 H./1240 M.) Abd
as-Salam Ibn Masyisy (w. 625 H./1228 M.) Ibn Sab’in (w. 669 H./1271 M.) dan
as-Syusyturi (w. 688 H./1270 M.) itu berasal dari daerah Maghrib. Walaupun dasar-dasar tasawuf Maghribi itu
berasal dari Timur sebagai asal muasal Islam itu sendiri, namun kecerdasan
muslim daerah Barat, gaya hidupnya, seni kaligrafinya, arsitektur masjidnya,
juga madzhab Malikinya, telah ada sejak generasi Islam awal. Ciri umum ini
mendapat penguatan bersamaan dengan berdirinya dinasti Abasiyyah pada abad ke-2
H./8 M. Dan mulai mengembangkan kebiasaannya sendiri. Inilah atsmosfir yang
melatarbelakangi berdirinya tarekat Syadziliyah pada abad ke-7 H/13 M., yang
mengembangkan kebebasan berpikir, kemajuan ilmu pengetahuan, peradaban dan
perekonomian.
Kemudian
pergerakan tarekat Syadziliyah dari maghribi ke Timur merupakan sebuah uapaya
penguatan kembali semangat tasawuf di daerah Timur, khususnya di wilayah Arab.
Ini berartitarekat Syadziliyah memerankan peranan penting di tengah kemunduran
umat Islam. Oleh karena itu, tarekat ini tumbuh dan berkembang di wilayah
perkotaan (Tunisia dan Alexandria) tetapi kemudian juga memilki pengikut yang
luas di daerah pedesaan. Bergabungnya tokoh terkenal daerah Maghribi pada abad
ke-10 H./16 M., Ali al-Shanhaji dan Muridnya Abd al-rahman al Majdzub adalah
bukti dari pernyataan tersebut. Sejak dahulu tarekat ini telah di ikuti oleh
sejumlah intelektual terkenal, misalnya ulama terkenal abad ke-9 H./15 M.,
Jalal al-Din al-Suyuti.
Sepeninggalal
al-Syadzili, kepemimpinan tarekat in i di teruskan oleh Abu al-Abbas al-Mursi
yang ditunjuk langsung oleh al-Syadzili. Nama lengkapnya adalah Ahmad Ibn Umar
ibn Ali al-Anshari al-Mursi, terlahir di Murcia, Spanyol pada 616 H./1219 M.
Dan meninggal pada 686 H./1287 M., di Alexandria[9].
BAB III
SIMPULAN
Abu
Hasan al-Syadzili adalah salah seorang tokoh sufi yang garis nasabnya sampai
kepada Rasulullah SAW. Pendidikannya Beliau mulai dari kedua orang tuanya,
kemudian kepada tokoh-tokoh sufi yang kemudian menjadikan namanya terkenal
dalam alam Islam khususnya dalam aliran Tasawuf.
Ajaran
Tasawufnya, beliau lakukan melalui tarekat yang merupakan jalan bagi seorang
Sufi dapat dekat dengan Allah SWT. Tarekat yang beliau ajarkan dikenal dengan
tarekat Syadziliyah yang tersebar luas di seluruh dunia Islam, baik Barat
maupun Timur dan bahkan di Indonesia.
3.
2 SARAN
Segala kekurangan tentunya terdapat
dalam makalah ini. Oleh karena itu, kami mengharapkan kepada teman-teman
koreksi dan sarannya terhadap makalah ini. Harapan kami semoga dengan adanya
koreksi dan saran dari teman-teman, kedepannya makalah kami lebih baik dan
lebih bermanfaat. Amin yaa Robbal ‘Aalamin.
DAFTAR PUSTAKA
Mulyati, Sri, 2004, Tarekat-tarekat Muktabarah, Jakarta
:Kencana.
Rif’i , Bahrun dkk, 2010, Filsafat
Tasawuf, Bandung:Pustaka Setia.
Ghanimi al-Taftazani Abu Wafa al-,
2008, Tasawuf Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama.
Schimmel,
Annemarie, 2000, Dimensi Mistik Dalam Islam,(Jakarta:Pustaka Firdaus,
[1] Sri Mulyati, Tarekat-tarekat
Muktabarah, (Jakarta :Kencana, 2004), hlm. 57
[2] Bahrun Rif’i
dkk, Filsafat Tasawuf, (Bandung:Pustaka Setia, 2010),hlm.233.
[3] Abu Wafa
al-Ghanimi al-taftazani, Tasawuf Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama,
2008), hlm.297-299.
[4] Annemarie
Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam,(Jakarta:Pustaka Firdaus,2000),hlm.317-318.
[5] Ibid, hlm.
73-74.
[6] Ibid, hlm. 299.
[7] Ibid, hlm. 318.
[8] Ibid,
hlm.71-72.
[9] Ibid,
hlm.65-67.
Terimakasih kak, jazakallah khoiron katsiron.. Very useful
BalasHapus