Minggu, 13 Maret 2016

pengaruh mistik

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Agama merupakan sesuatu yang mengajarkan manusia untuk bisa mengenal dan dekat dengan Tuhan sang pencipta. Keberadaan agama mempunyai peran penting dalam mengatur kelangsungan hidup manusia. Hal itu dikarekan agama menjadi pereantara bagi manusia untuk bisa hidup lebih baik dan tidak terjerumus dalam kenistaan dan dosa.
Oleh karena itu, manusia primitif merupakan manusia yang paling pertama mengetahui keberadaan Tuhan sesuai dengan kepercayaan yang dianut mereka. Kepercayaan masyarakat primitif sangat berbeda dengan kepercayaan masayarakat setelahnya (masyarakat modern). Selain itu, agama masyarakat primitif tentunya masing berhubungan dengan penyembahan terhadap roh-roh halus, upacara keagamaan, dan berbagai hal-hal magis.
Dengan demikian, makalah ini akan membahas tentang asal-usul agama primitif, teori kepercayaan masyarakat primitif, dan ciri-ciri keagamaan masyarakat primitif. Selain itu, berbagai permasalahan yang ada hubungannya dengan masyarakat primitif juga akan dibahas dalam makalah ini.
1.2  Rumusan Masalah
A.    Asal-usul Agama Primitif
B.     Teori Kepercayaan Masyarakat Primitif
C.     Ciri-ciri Keagamaan Masyarakat Primitif






BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Asal Usul Agama Primitif
Evans Pritchard, seorang antropolog yang banyak membicarakan tentang kepercayaan masyarakat primitif, menyatakan bahwa mempelajari kepercayaan masyarakat primitif memberikan dua keuntungan. Dua keuntungan tersebut meliputi:
1.      Bahwa fakta-fakta kehidupan primitif mempunyai arti penting untuk dapat memahami suatu kehidupan sosial pada umumnya.
2.      Agama-agama primitif merupakan bagian dari agama pada umumnya (species of the genus religion), dan bagi semua orang yang berminat terhadap agama haruslah mengakui bahwa suatu studi tentang pandangan dan praktik-praktik keagamaan pada masyarakat primitif akan menolong kita untuk sampai pada kesimpulan-kesimpulan tertentu tentang hakekat agama pada umumnya.
Dalam hubungannya dengan kepercayaan agama, seringkali bentuk-bentuk agama manusia paling awal selalu dicirikan kepada masyarakat primitif. Dalam lapangan antropolog, istilah masyarakat primitif sulit dibedakan dengan masyarakat ‘prasejarah’. Hanya sampai saat ini yang bisa ditemukan tentang masyarakat prasejarah adalah bahwa istilah prasejarah muncul sebagai catatan-catatan model kehidupan masyarakat primitif setelah bisa dikarakteristikkan dan dideteksi. Geradus Van Der Leeuw berpendapat bahwa istilah primitif menunjukkan kualitas berfikir manusia, atau sebagai susunan tertentu dari budi manusia. Hal ini di dasarkan pada kenyataan, bahwa ada corak-corak modern pada masyarakat primitif dan corak-corak primitif pada masyarakat modern. Oleh karena itu, primitif tidak bisa dilihat sebagai sesuatu yang ada dan hidup pada masa lampau, tetapi bahkan bisa saja terjadi pada seseorang atau masyarakat sekarang (modern), berdasarkan indikasi tertentu yang menunjukkan adanya karakteristik sebagai manusia primitif.[1]  
Masyarakat primitif adalah masyarakat yang ditandai oleh relatif tidak adanya diferensi sosial dan kebudayaan. Dimana masyarakat tersebut cenderung tidak memiliki kelompok-kelompok spesialisasi yang jelas dan kolektif-kolektif dengan tuga-tugas masalah dan kepentingan-kepentingan yang berbeda-beda, dan juga cenderung tidak adanya perangkat keyakinan yang jelas berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan sosial dan alamiah, maupun gejala fisik. Beberapa pandangan tentang mental pra-logis masyarakat primitif secara luas telah ditolak dan minat antropologi belakang ini cenderung berpusat pada cara-cara dimana individu-individu dalam masyarakat primitif berhubungan dengan masalah makna, identitas, penderitaan, sakit, dan sebagainya dalam konteks yang sesuai dengan pengkajian mengenai masyarakat. Hal itu disebabkan karena masalah-masalah ini inilah yang selalu dihadapi masyarakat. Apabila demikian, sifat primitif pada hakikatnya terletak pada ciri masyarakat yang tak berdiferensiasi.[2]
Pembahasan agama primitif sama halnya dengan pembahasan mengenai asal-usul kepercayaan masayrakat primitif yang dikemukakn oleh sejumlah ahli dari berbagai disiplin ilmu. Oleh karena itu untuk lebih memahami pendekatan yang dilakukan oleh para ahli tersebut maka perlu memahami asal-usul agama. Secara umum pada dasarnya ada dua teori pokok yang berkenaan dengan asal-usul agama :
1.      Bersumber pada ajaran-ajaran agama wahyu yang diawali oleh para teolog pada umumnya bahwa asal-usul agama adalah dari Tuhan sendiri yang diperlukan kepada manusia bersama-sama dengan penciptaan manusia pertama, yaitu Adam. Dalam perjalanannya agama mengalami pasang surut dan pada tempat dan kurun waktu tertentu, agala diselewengkan oleh para pemeluknya sehingga agama yang pada dasarnya ateis berubah menjadi politeis dan bahkan animis. Karena itu Tuhan mengirimkan para utusan-Nya untuk meluruskan kembali penyelewengan tersebut. Kehadiran agama wahyu pada hakikatnya adalah untuk membimbing umat manusia, agar memiliki akidah-akidah yang benar, yang bersih dari khurafat-khurafat yang batil dan memiliki peraturan-peraturan hidup yang luhur, demi kemaslahatan mereka.Agama wahyu telah berperan mendorong umat manusia untuk berjuang keras demi mewujudkan kemaslahatan mereka di dunia dan di akhirat.[3]
2.      Bersumber pada kajian antropologis, sosiologis, historis dan psikologis yang pada intinya sama, yaitu bahwa agama merupakan suatu fenomena sosial ataupun psiritual yang mengalami evolusi dari bentuknya yang sederhana, yang biasa dinamakan agama primitif (natural religion) kepada bentuknya yang lebih sempurna dan akhirnya sampai pada apa yang kita jumpai sekarang ini.
Berdasarkan di atas, istilah primitif dicirikan pada manusia atau sekelompok orang yang hidup pada kurun waktu lampau. Dengan ciri demikian, dapat ikatakan bahwa sesuatu yang primitif adalah sesuatu yang kuno dan tertinggal zaman. Dalam hubungannya dengan kepercayaan agama, seringkali bentuk-bentuk agama manusia paling awal selalu dicirikan terhadap masayrakat ini. Hanya saja sulit untuk dibedakan antara masayarakat yang diistilahkan primitif dengan masayrakat prasejarah. Istilah prasejarah muncul sebagai catatan-catatan model kehidupan masyarakat primitif setelah dapat dikarakteristikan dan dideteksi.
. Dengan demikian, menurut E.Pritchard agama primitif merupakan bagian dari agama pada umumnya. Bahkan semua orang yang berminat pada agama harus mengakui suatu study tentag pandangan dan praktek keagamaan masyarakat primitif yang beraneka ragam coraknya, dan hal ini menolong kita untuk sampai pada kesimpulan-kesimpilan tertntu tentang hakekat agama pada umumnya,  termasuk agama-agama wahyu. Dari pendapat tersebut jelas sekali bahwa pandangan Pritchard menunjukan bahwa agama primitif sebagai agama praagama maju atau sebagai agama kecil sebelum menjadi agama besar.  Tentu saja dilihat dari sudut pandangannya Islam, Kristen, Hindu, dan agama-agama besar lainnya dikategorikan sebagai agama primitf, atau berawal dari praktek-prakterk agama primitif.
Begitu pula apabila dijumpai adanya isme-isme atau sistem ritus, kepercayaan dan etika masyarakat primitif misalnya, dinamisme, fetitisme dan lain-lain. Kesemuanya itu adalah nama-nama ilmiah dari suatu jenis keagamaan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa agama primitif adalah isme, praktek, dan tradisi tertentu yang dianut dan diyakini oleh sekelompok masyarakat yang memiliki ciri dan karakteristik yang sama. Kesamaan karakteristik tersebut (seperti praktek-prakterk agama dan keperccayaan tertentu) merupakan hasil kajian dari para ahli.[4]
2.2    Teori Kepercayaan Masyarakat Primitif
Dalam masyarakat primitif terdapat beberpaa teori kepercayaan yang meliputi :
1.      Teori serba-jiwa
Teori ini ditemukan oleh seorang ahli antropologi asal Inggris E.B Taylor dalam bukunya Primitive Cultural (dipublikasikan pada tahun 1981). Ia mengajukan teori bahwa bentuk kepercayaan asal manusia adalah animisme  (Ninian Smart, 1960). Dimana teori inji timbul karena dua hal yaitu[5]:
1.      Adanya dua hal yang tampak, yaitu hidup dan mati. Kehidupan diakibatkan oleh kekuatan yang berada diluar dirinya.
2.      Adanya peristiwa mimpi, sesuatu yang hidup dan berada ditempat lain pada waktu tidur, yaitu jiwanya sendiri. Jiwa bersifat bebas  berbuat sekehendaknya. Alam semesta yang penuh dengan jiwa-jiwa yang merdeka itulah, yang disebut dengan soul atau atau spirit atau makhluk halus.
Pikiran manusia telah menstransformasikan kesadaran terhadap adanya jiwa menjadi kepercayaan terhadap makhluk-makhluk halus. Manusia melakukan penghormatan dan pemujaan melalui berbagai upacara berupa doa, sesaji, atau korban. Kepercayaan semacam ini oleh Taylor disebut animisme atau beliefs in spiritual beings.
Akan tetapi teori tersebut di tentang oleh E. Pritchard, menurutnya, teori ini merupakan bentuk logika pikiran sarjana yang dipindahkan kepada orang primitif dan dikemukakan sebagai penjelasan terhadap keperayaannya. Ide tentang spirit atau jiwa mungkin telah timbul, namun tidak ada bukti kebenarannya.
2.      Teori Magis (Kekuatan Gaib)
J.G Frazer, seorang antropolg asal Inggris dalam bukunya The Golden Bough, a Study in Magic and Religion memunculkan teori ini. Magis menburutnya adalah suatu penerapan yang salah dari kaidah sebab akibat yang berlaku dan dianut oleh ilmu pengetahuan manusia pada umumnya. Magis dipandang sebagai manipulasi dari suatu kekuatan misterius (Ugo Bianchi, 1975:75). Frazer mengatakan bahwa manusia memecahkan persoalan hidupnya dengan akal dan pengetahuannya, tetapi akal dan pengetahuannya terbatas. Semakin maju kebudayaan manusia, semakin luas pula batas akal itu, sedangkan pada umumnya batas akal manusia itu sangat sempit.
3. Teori Upacara Bersaji
Tokoh yang mengembangkan teori ini adalah W.Robertson Smith, seorang sastrawan, teolog dan ahli bahasa yang menyebutkan dalam bukunya  Lectures on Religion of The Semites. Menurutnya, ada tiga gagasan penting berkenaan dengan teori upacara bersaji atau dasar-dasr dari agama pada umumnya. Pertama, disamping sebagai sistem kepercayaan dan doktrin, sistem upacara merupakan perwujudan dari agama. Kedua, upacara agama memiliki fungsi sosial untuk mengintensifkan solidaritas masyarakat disamping untuk agama, juga sebagai kewajiban sosial. Ketiga, berfungsi untuk mendorong rasa solidaritas dengan dewa. Dewa dipandang sebagai warga komunitas, tetapi istimewa. Korban binatang misalnya, darahnya untuk dewa, sedangkan dagingnya untuk diri sendiri.
4. Teori Sentimen Kemasyarakatan
Teori tersebut berasal dari sosiolog asal Perancis Emil Durkheim. Ada berapa pengertian dasar dari teori ini:
1.      Makhluk manusia, sebagai yang pertama kali mengembangkan aktivitas keagamaan yang tiada lain sebagai getaran jiwa seseorang.
2.      Emosi keagamaan, rasa terikat, bakti dan cinta yang ada dalam batin manusia.
3.      Pelaku agama, sebagai wujud dari emosi keagamaan.
4.      Tujuan, yaitu yang keramat.
5.      Adanya simbol, sebagai lambang kesakralan.
5.Teori Supreme Being
Teori ini dimunculkan oleh Andrew lang, seorang sastrawan berkebangsaan Inggris. Dia menemukan berbagai mitos dari berbagai suku dan daerah di muka bumi ini. Dimana dalam mitos tersebut, ditemukan adanya tokoh dewa yang dipandang sebagai dewa tertinggi pencipta seluruh alam semesta beserta isinya. Sedangkan menurut Pettazoni, supreme being bersumberkan pada mitos dan bukan hasil pemikiran logico causal sebagaimana pandangan Schdimt. Dimana dewa tertinggi tidak timbul atas dasar keutuhan intelektualitasnya, tetapi berasal dari kebutuhan eksistensial manusia.
2.3    Ciri Keagamaan Masyarakat Primitif
1.      Pandangan tentang Alam Semesta
Masyarakat primitif berpandangan bahwa dunia dan alam sekitarnya bukanlah objek, tetapi sebagai subjek seperti dirinya sendiri. Kedudukannya sama sebagai makhluk yang berpribadi. Sebaliknya, manusia modern memandang dirinya sebagai subjek dan dunia sekitar sebagai ojek bagi perasaan, pikiran dan tindakannya. Masyarakat primitif takut akan malapetaka atau gejala alam yang mereka anggap punya kekuatan. Mereka memuja dan memuliakannya dalam aktivitas keagamaan.[6]
Penyembahan alam atau natur whorsip merupakan tahapan paling awal dari evolusi keagamaan bangsa primitif. Kekuatan-kekuatan alam serta anasir-anasir alam mereka personifikasikan menjadi dewa-dewa yang berkuasa. Pada agama Mesir Kuno, misalnya, Dewa Ra’ adalah personifikasi dari matahari, Tefnut personifikasi dari air, dan Shu personifikasi dari hawa. Oleh karena itu, berdasarkan objek penyembahannya, penyembahan kekuatan alam ada tiga bentuk yaitu sebagai berikut[7]:
1. Penyembahan terhadap gejala alam, seperti hujan, guntur, gempa bumi, dan topan.
2. Penyembahan terhadap anasir-anasir alam, seperti tanah, air, api, angin, dan udara.
3. Penyembahan kepada benda-benda alam sekeliling, yaitu dalam bentuk di bawah ini:
a. animatisme, yaitu suatu kepercayaan bahwa benda-benda dan tumbuh-tumbuhan di sekitar manusia itu berjiwa dan bisa berfikir seperti manusia. Kepercayaan ini tidak melahirkan aktivitas keagamaan guna memuja memuja benda atau tumbuh-tumbuhan, misalnya hanya menjadi unsur religi.
b. Fetishme, yaitu suatu bentuk agama yang berdasarkan kepercayaan akan adanya jiwa dalam benda-benda alam tertetntu dan mempunyai aktivitas keagamaan guna memuja benda-benda berjiwa tadi.
C. Agama penyembah binatang (animal worship), yaitu kepercayaan orang-orang kuno dan orang-orang primitif yang menganggap binatang-binatang tertentu memiliki jiwa kesucian. Jiwa kesucian binatang tersebut akan tetap hidup terus dan dapat mendatangkan kebaikan dan keburukan. Dari keyakinan ini diadakanlah aktivitas guna memujanya.
2.      Mudah Menyakralkan Objek Tertentu
Sebagai akibat dari pandangan yang tidak membedakan antara subjek dan objek dan juga antara manusia dan alam sekitarnya, masyarakat primitif memandang sakral terhadap sesuatu yang dapat menimbulkan manfaat, kebaikan, dan bencana. Hal tersebut seperti ketika seseorang mendiami sebuah rumah dan tidak lama kemudian ia sakit, ada anggapan bahwa yang menimbulkan sakit adalah penghuni lain yang selama ini terabaikan.
Berkaitan  erat dengan sakral, maka ada yang dianggap tidak suci yaitu mencakup apa saja yang dianggap dapat mencemarkan yang sakral itu. Untuk menghindari hal itu, hal-hal yang sakral dipagari dengan larangan-larangan atau tabu. Seperti benda sakral tidak boleh disentuh, dimakan atau didekati.
3.      Sikap Hidup yang Serba Magis
Dalam masyarakat primitif, kedudukan magis sangat penting,. Semua upacara keagamaan adalah bentuk magis.  Sikap hidupnya adalah magis, karena perbuatan mereka selalu dihubungkan dengan kekuatan-kekuatan yang ada din alam gaib. Manusia primitif selalu berusaha mengisi segala alat prlengkapan hidup dan kehidupannyab dengan gaya-gaya gaib. Misalnya keris dibuat dan diisi dengan daya gaib.
Oleh karena itu, masyarakat primitif menurut Malinowski, banyak menguntungkan pada hal-hal yang magis, sementara kepercayaan terhadap kebenaran pengetahuan empiris dan keahlian praktis berkurang, terutama pada kegiatan-kegiatan yang dapat menimbulkan resiko bahaya. Pada suku Tobrian misalnya, para penduduk tidak menggunakan magis untuk keselamatan mereka manakala menangkap ikan di danau. Tetapi ketika menangkap ikan dilautan yang banyak melibatkan bahaya, terdapat kegiatan ritual magis demi menjamin keselamatan dan hasil kegiatan penangkapan. Dengan demikian, sikap hidup magis berari suatu usaha perlawanan manusia terhadap kekuatan-kekuatan yang dijumpainya dan berusaha menaklukannya.[8]
4.      Hidup Penuh dengan Upacara Keagamaan
Seluruh hidup manusia primitif, diliputi oleh keagamaan dan segala perbuatannya adalah perbuatan religius. Oleh karena itu, upacara-upacara kagamaan mewarnai aktivitas kehidupan mereka. Pengerjaan sawah, ladang, perkawinan, dan perbuatan lainnya, yang oleh manusia  moden di anggap sangkut pautnya dengan kekuasaan alam, semuanya mengandung arti sebagai upacara keagamaan. Setiap upacara memiliki mite-nya sendiri, suatu naskah atau skenario dari seluruh perbuatan manusia yang harus dilakukan pada setiap upacara dalam hidupnya.
Oleh karena itu, agama-agama bangsa primitif, meskipun disana sini bersifat sinkretis,  pada hakikatnya sangat berbeda-beda karena telah bercampurnya berbagai unsur. Seperti agama yang bersifat demonistis (kepercayaan dan pemujaan terhadap roh), tetapi sebaliknya ada agama sama sekali tak mengandung unsur-unsur demonisme. Demikian pula ada daerah-daerah tertentu yang tak mengenal totemisme, tetapi didaerah lain ada sisa totemisme yang tak jelas dan sukar ditetapkan.[9]
Di dalam buku Sosiologi Agama, karya Dr. H. Dadang Kahmad M. Si, masyarakat primitif adalah masyarakat penganut agama penyembah roh, baik roh nenek moyang, roh pemimpin, atau roh nenek pahlawan yang telah meninggal. Mereka percaya bahwa yang sudah meninggal itu dapat memberikan pertolongan dan perlindungan ketika manusia mendapat kesulitan. Dimana untuk menghadirkan roh-roh tersebut mereka mengadakan upacara keagamaan khusus dan kompleks.
Agama penyembah roh dibagi dalam bentuk kepercayaan sebagai berikut[10]:
1.      Animisme, yaitu bentuk agama yang mendasarkan diri pada kepercayaan bahwa di sekeliling tempat tinggal manusia itu berdiam berbagai macam roh yang berkuasa dan terdiri atas aktivitas pemujaan atau upacara guna memuja roh tadi.
Kepercayaan Animisme dibangun berdasarkan atas dua anggapan pokok, yaitu:
Ø  Bahwa roh adalah unsur halus yang keluar dari setiap makhluk dan mampu hidup terus setelah jasadnya mati.
Ø  Bahwa makhluk halus yang jadi dengan sendirinya, seperti peri dan mambang dianggap berkuasa.
2.      Praanimisme (dinamisme), adalah bentuk agama yang berdasarkan kepercayaan pada kekuatan sakti yang ada dalam segala hal. Para penganutnya pun memiliki aktivitas keagamaan untuk menguatkan ajarannya dengan berpedoman pada ajaran kepercayaan tersebut.
Selain itu, masyarakat primitif pada umumnya meyakini adanya tiga macam kekuatan gaib, yaitu kekuata sakti (mana’), roh-roh (terutama roh-roh manusia yang telah wafat), dan dewa-dewa atau Tuhan. Sehingga mereka dapat sekaligus berpaham dinamisme, yaitu mempercayai bahwa tiap-tiap benda dapat ditempati oleh kekuatan sakti, yang bisa memberikan manfaat atau malapetaka pada manusia.  Sedangkan berpaham animisme adalah mempercayai bahwa tiap-tiap benda dapat ditempati oleh roh-roh, tertutama roh-roh manusia, yang dapat menolong atau mengganggu manusia. Dan berpaham politeisme, adalah mempercayai dan menyembah banyak Dewa yang mereka anggap mempunyai kekuatan lebih besar dari roh-roh. Kemudian berpaham henoteisme, adalah menyembah satu dewa atau satu Tuhan, tapi tidak mengingkari adanya para dewa atau Tuhan-tuhan lain yang menjadi saingan bagi Dewa atau Tuhan yang mereka sembah. Pada masyarakat primitif sebenarnya juga terdapat keyakinan tentang adanya Dewa atau Tuhan tertinggi, yang menciptakan para dewa dan alam semesta semuanya. Akan tetapi sebagian mereka cenderung menyembahnya, karena dianggap terlalu jauh untuk disembah, seperti perlakuan masyarakat Arab Jahiliyah terhadap Allah.[11]







BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
            Masyarakat primitif adalah masyarakat yang  masih terpuruk dan tertinggal dalam peradaban orang-orang lampau (kuno). Sehingga agama masyarakat primitif cenderung berupa kepercayaan terhadap hal-hal gaib, baik kepercayaan pada roh-roh, dewa-dewa atau pemujaan pada alam semesta. Kehidupan masyarakat primitif juga tidak lepas dari upacara-upacara keagamaan, ritual-ritual mistis, dan pengsakralan terhadap hal-hal (objek-objek)tertentu.
            Meskipun demikian, masyarakat primitif juga memiliki ciri-ciri khusus yang membedakan dengan masyarakat modern. Dimana mereka selalu menghiasi kehidupannya dengan hal-hal yang serba magis dan masih sangat kuat memelihara dan menjaga agama (kepercayaan) para nenek moyang. Sehingga hal-hal gaib dan roh-roh para leluhur tidak bisa dipisahkan dari kehidupan mereka.











DAFTAR PUSTAKA

Ghazali, Adeng Mukhtar,  2000, Ilmu Perbandingan Agama, Bandung:Pustaka Setia,
Ghazali, Adeng Muchtar, 2011, Antropologi Agama, Bandung:Alfabeta.
Ishomuddin, 2002, Pengantar Sosiologi Agama, Jakarta:Ghalia Indonesia.
Kahmad, Dadang,  2000, Sosiologi Agama, Bandung:Remaja Rosdakarya.
Robertson, Roland,  1995, Agama dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis, Jakarta:Raja Grafindo Persada.















Penjelasan Pak Amat Zuhri M. Ag
Ø  Kajian tentang agama-agama berdasarkan pendekatan/kajian antropologi
Ø  Pendapat Agustums : Agama yang masih percaya pada hal-hal gaib dan kepercayaan masyarakat primitif yang tidak empiris, maka semua agama tersebut termasuk bagian dari agama primitif
Ø  Masyarakat primitif belum mengangkat peradaban Humanis
Ø  Pemikiran-pemikiran primitif sampai sekarang masih ada, masing-masing tempat berbeda





[1] Adeng Muchtar Ghazali, Antropologi Agama, (Bandung:Alfabeta,2011),hlm.20-21.
[2] Roland Robertson, Agama dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis,(Jakarta:Raja Grafindo Persada,1995),hlm.81.
[3] Ishomuddin, Pengantar Sosiologi Agama, (Jakarta:Ghalia Indonesia,2002),hlm.31.
[4] Adeng Mukhtar Ghazali, Ilmu Perbandingan Agama, (Bandung:Pustaka Setia, 2000) hlm. 81-84
[5] Ibid, hlm. 85.
[6] Adeng Mukhtar Ghazali, Opcit, hlm. 85-90.
[7] Dadang Kahmad, Sosiologi Agama,(Bandung:Remaja Rosdakarya,2000),hlm. 38-39.
[8] Dadang Kahmad, Opcit, hlm.27-28.
[9] Adeng Mukhtar Ghazali, Opcit, hlm. 86-90.
[10] Dadang Kahmad, Opcit, hlm.37-38.
[11] Ishomuddin, Opcit, hlm.31.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar