Minggu, 13 Maret 2016

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Kajian tentang Islam di Indonesia telah banyak dilakukan baik oleh sarjana-sarjana Barat maupun oleh sarjana-sarjana Indonesia. Bidang-bidang yang menjadi pusat perhatiannya pun beraneka ragam. Ada yang tertarik pada aspek ekonomi, politik, gerakan pemikiran, pendidikan, dan bahkan ada yang mengkaji keseluruhan bidang kehidupan umat Islam secara komprehensif. Metode pendekatannya pun berbeda-beda , ada yang melihat dari sudut pandang kesejarahan, sosial, budaya, filologi dan politik.[1]
Selain itu, metode-metode atau jalan yang dilakukan oleh kaum sufi tersebut intinya adalah memperbanyak zikir (ingat) kepada Tuhan dan melakukan perbuatan-perbuatan terpuji, menjauhi perbuatan tercela baik secara lahiriah maupun secara batiniah. Begitu juga cara berzikir antara sufi yang satu dengan yang lain meskipun hakikatnya sama, tetapi dalam perwujudannya berbeda. Karena tarekat juga dapat dipandang sebagai aliran dalam tasawuf. Masing-masing aliran selanjutnya mengembangkan doktrinnya sendiri.[2]
Oleh karena itu, Islam yang masuk pertama kali di Nusantara adalah Islam yang bercorak sufi. Islam dengan coraknya yang demikian itu dengan mudah diterima serta diserap ked dalam kebudayaan masyarakat setempat.[3] Dengan demikian, makalah ini akan membahas tentang hubungan antara tarekat dengan politik dan ekonomi yang ada di Indonesia.
1.2  Rumusan Masalah
A.    Sejarah Perkembangan Tarekat Indonesia
B.     Hubungan Tarekat dengan Politik Indonesia
C.     Hubungan Tarekat dengan Ekonomi Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Perkembangan Tarekat Indonesia
            Keberadaan tarekat semakin banyak dan berkembang luas pada masa-masa terakhir perkembangan tasawuf. Tepatnya pada abad keenam dan ketujuh hijriyah, tarekat tasawuf berkembang lebih luas ketimbang abad kedua dan ketiga hijriyah. Murid-murid yang bergabung dalam tarekat jumlahnya melebihi apa yang ada pada tarekat sebelumnya. Begitu juga metode pelatihan jiwa semakin komplek seiring dengan perkembangan tarekat. Nama-nama tarekat semakin beragam seiring dengan banyaknya para sufi yang mendirikan tarekat.[4]
            Pada dasarnya tarekat para sufi berupa ibadah dzikir yang berasal dari praktik Nabi Muhammad SAW yang kemudian diamalkan Al_Khulafa’ Ar-Rasyidin, Tabi’in, Tabi’i At-Tabi’in dan seterusnya sampai kepada para syaikh atau mursyid secara sambung-menyambung sampai sekarang. Dalam perjalanan sejarahnya, tarekat mengalami perkembangan dari masa ke masa. Menurut J. Spencer Trimingham, sejarah perkembangan tarekat secara garis besar melalui tiga tahap yaitu :
1.      Tahap Khanqah
Tahap ini terjadi sekitar abad X M., dimana dapat digambarkan bahwa pada tahap ini, tarekat berarti jalan atau metode yang ditempuh seorang sufi untuk sampai kepada Allah secara individual. Kontemplasi dan latihan-latihan spiritual dilakukan secara individual.
2.      Tahap Thariqah
Tahap ini terjadi sekitar abad VIII M., dan pada masa ini sudah terbentuk ajaran-ajaran, peraturan dan metode tasawuf, serta muncul pula pusat-pusat yang mengajarkan tasawuf dengan silsilahnya masing-masing. Berkembanglah metode-metode kolektif baru untuk mencapai kedekatan diri kepada Tuhan dan di sini pula tasawuf telah mengambil bentuk kelas menengah.
3.      Tahap Tha’ifah
Tahap ini terjadi pada abad XV M, dan pada masa ini terjadi transisi misi ajaran dan peraturan dari guru tarekat yang disebut syaikh atau mursyid kepada para pengikut atau murid-muridnya. Pada masa ini muncul organisasi tasawuf yang mempunyai cabang di tempat lain. Pada tahap tha’ifah, inilah tarekat dikenal sebagai organisasi sufi yang melestarikan ajaran syaikh-syaikh tertentu, maka muncullah nama-nama tarekat seperti tarekat Qadiriyah, tarekat Naqsabandiyah, dan tarekat Syaziliyah.
Dalam tradisi tarekat, sebagai organisasi tasawuf, murid-murid biasanya berkumpul disuatu tempat yang disebut ribat, zawiyah, atau khanaqah untuk melakukan latihan-latihan ruhani (dzikr Allah), yang materi pokoknya adalah membaca istighfar, membaca shalawat nabi, dan membaca dzikir isbat dan ism dzat secara bersama dibawah bimbingan para guru (mursyid), yang di dalamnya terdapat ajaran-ajaran (amaliyah), aturan-aturan (adab), kepimimpinan (mursyid). Dimana hubungan antara mursyid-murid atau antara guru dengan anggota tarekat, wasilah, rabithah, silsilah, ijazah, suluk, dan ritualritual seperti; ba’iat, atau talqin, khususiyah, haul dan manaqib.[5]
Semakin berkembang dan banyaknya tarekat di Indonesia menjadikan suitnya mengetahui dengan pasti jumlah tarekat di Indonesia. Menurut Jam’iyah Ahli Thariqah al Mu’tabarah al-Nahdiyah, terdapat 45 macam tarekat di Indonesia, belum termasuk tarekat yang tidak diakui sebagai tarekat mu’tabarah, seperti tarekat Sidiqiyah dan tarekat Wahidiyah. Sebab tarekat bisa saja bergabung dengan tarekat lain atau mati atau lahir tarekat baru.[6]
2.2 Hubungan Tarekat dengan Politik
          Islam di Indonesia, semula disiarkan secara perorangan tetapi lambat laun pemerintahan atau penguasa yang telah memeluk Islam menyiarkannya untuk kepentingan politik dan tidak semata-semata bersifat keagamaan. Kenyataan ini terlihat antara lain pada proses Islamisasi di daerah Sulawesi Selatan dan daerah-daerah sekitarnya yang dilakukan oleh Raja-raja Makasar. Begitu juga dengan penyiaran Islam di Sumatera bagian selatan yang dilakukan oleh kesultanan Banten tidaklah semata-mata bertujuan untuk dakwah tetapi lebih bersifat politis.
          Begitu juga dengan beberapa orang pemuka tarekat di Indonesia tidak semuanya sunyi terhadap hal-hal yang bersifat keduniaan. Adanaya gejala pertentangan paham tasawuf seperti telah diuraikan juga menunjukkan adanya hubungan dengan soal-soal pemerintahan dan kenegaraan. Pertentangan antara Nuruddi Ar-Raniri di Aceh dan Hamzah Fansuri serta Samsuddin As Sumatrani sebenarnya tidak hanya soal paham “wujudiyah”, tetapi juga berkaitan dengan soal kedudukan ulama dalam pemerintahan, atau lebih tepat memperebutkan perhatian seorang Sultan.  Tidak hanya itu saja, Syekh Yusuf Makasarvyang juga seorang sufi besar ikut pula berperang melawan Belanda di Banten ketika terjadi pertentangan antara Sultan Haji dengan Sultan Ageng Tirtayasa. Ketika Sultan Ageng menyerah, Syekh Yusuf Al-Makassar lolos dan selanjutnya selama 12 bulan memimpin perang gerilnya.  Syekh Yusuf yang seorang ahli agama dan sufi besar yang mempunyai kedudukan tertinggi dalam pemerintahan yaitu sebagai penasehat pemerintah (mufti). Dalam kedudukannya sebagai mufti, beliau juga membentuk pasukan penggarong yang kerjanya  merampok orang-orang Kompeni Belanda dan antek-anteknya. Usaha ini dimaksudkan sebagai perwujudan sikap poltiknya yang anti Belanda dan semangat jihad fisabilillah (Hawash Abdullah, 1980:72).
          Keterlibatan tokoh-tokoh sufi (tarekat) dalam bidang politik ternyata berlangsung dari generasi ke generasi. Pada abad ke-18 di Palembang juga muncul tokoh sufi, Syekh Abdus Samad bin Abdul Jalil yang juga mengobarkan semangat pertempuran (jihad fisabilillah) ketika terjadi peperangan antara Kedah dan Patani melawan kerajaan Siam. Dalam pertempuran ini, Syekh Abdus Samad hilang di daerah Senggara. Selanjutnya, pada abad ke-19 tarekat memainkan peranan penting dalam gerakan anti asing dan pemberontakan melawan penjajah Belanda. Pemberontakan dengan menggunakan tarekat sebagai dasarnya juga terjadi di Lombok. Beberapa tahun kemudian setelah pemberontakan Banten (1891), orang Sasak di Lombok bangkit melawan kerajaan Bali yang waktu itu menguasai hampir seluruh pulau Lombok.
          Oleh karena itu, keterlibatan pengikut tarekat dan pemimpinnya dalam berbagai peristiwa politik rupanya merupakan hal yang umum (laten). Pada masa penjajahan maupun pada saat mempertahankan proklamasi kemerdekaan Indonesia banyak pemimpin tarekat yang terlibat dalam perjuangan fisik. Selain tokoh-tokoh tarekat di atas, H. Ahmad Anwar menyebutkan bahwa Pangeran Diponegoro, Kyai Nawai banten, Kyai Saleh Darat Semarang, Kyai Subkhi (kyai bambu runcing) Parakan, Kyai Romli Tamim Jombang adalah para pejuang yang pantang mundur dalam membela menghadapi kemerdekaan “hubbul watan minal iman” (cinta negara adalah bagian dari iman) dan beliau-beliau adalah orang tarekat, kuat imannya (Dokumentasi dan Keputusan Kongres ke-5,1975:34).
          Peranan tokoh tarekat dalam menghadapi masa-masa kritis senantiasa muncul dengan cara-cara memberikan ijazah kekebalan dan doa-doa selamat serta senjata-senjata sederhana yang telah diberi “asma” atau doa untuk melawan musuh atau mempertahankan diri.  Kejadian semacam ini juga muncul pada saat terjadi peristiwa G30S/PKI pada tahun 1965 dan waktu-waktu setelahnya. Banyak pemuda pada waktu itu mengunjungi Kyai Imam (mbah Imam) Sarang, Rembang untuk memperoleh rotan (penjalin) yang telah dicelup dengan air yang telah diberi “asma”, di samping ilmu-ilmu kekebalan lain, yang dalam istilah pesantren disebut “gemblengan” untuk menghadapi teror kaum komunis. Dari segi inilah tarekat mendapatkan tempat tersendiri dalam kehidupan penganut Islam di Jawa, khususnya dibanding dengan organisasi sosial keagamaan lainnya.[7]
          Dalam sejarah panjang perjalanan tarekat yang berkaitan dengan aspek sosial dan politik di Indonesia dari sejak pertama masuk ke Indonesia, sampai dengan adanya upaya para guru tarekat beserta muridnya yang cukup banyak dan tersebar di seluruh Nusantara, dalam upaya mereka melakukan perlawanan terhadap kesewenang-wenangan para penjajah asing di bumi Indonesia, telah menorehkan banyak catatan dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia sampai sekarang. Kenyataan ini pada perjalanan berikutnya khususnya pada saat Indonesia hampir mencapai kemerdekaan sampai dengan pasca kemerdekaannya keberadaan tarekat mendapat “porsi”  tersendiri di hati para petinggi NU dan pengikutnya. Perhatian NU terhadap tarekat ini tidak serta merta terjadi begitu saja, akan tetapi kalau diperhatikan dari aspek kesejahteraan berikut ajarannya. Dimana perhatian ini disebabkan  oleh banyak faktor yang melatarbelanginya. Di antara faktor-faktor itu adalah faktor pendidikan, hubungan dan keterikatan antara petinggi NU beserta pengikutnya sebagai murid dan para pemimpin tarekat (Syekh) sebagai guru, juga interaksi dan komunikasi mereka dalam kehidupan sosial baik dalam konteks kemasyarakatan maupun kenegaraan, khususnya dalam komunikasi politik antara keduanya pasca-kemerdekaan Indonesia.[8]
          Selain itu, Politisasi tarekat di Indonesia dalam segi-segi tertentu merupakan reaksi dan respon terhadap gerakan Salafiyah dalam hal ini, terutama Muhamadiyah yang mengecam keras berbagai ajaran dan praktek tasawuf dan tarekat. Kekhawatiran akan tergusurnya Islam tradisional dengan tasawuf dan tarekat inilah yang antara lain mendorong pembentukan organisai-organisasi tradisional seperti Nahdlatul Ulama (NU) pada 1926, PERTI (Persatuan Tarbiyah Islamiyah) pada 1928, dan bahkan PPTI (Partai Politik Tarekat Islam) pada 1940-an, yang selanjutnya berganti kepanjangan menjadi Persatuan Pengamal Tarekat Islam. Semua organisasi ini terlibat dalam politik praktis dan proses-proses politik, seperti pemilihan umum (1955) dalam masa demokrasi terpimpin.
          Meskipun demikian, tarekat tetap terlibat dalam politik pada masa Orde Baru, meskipun tidak lagi dalam kerangka partai politik independen. Pada tahun 1975, Kiai Mustain Romli dari Rejoso, misalnya terpilih sebagai ketua Jam’iyyah Ahl al-Thariqah Al-Muktabarah, sebuah organisasi yang menghimpun berbagai tarekat di lingkungan kaum muslimin tradisional, khususnya NU. Tidak lama menjabat sebagai ketu Jam’iyah, Syekh Mustain Romli yang kharismatik ini segera memaklumkan diri mendukung Golongan Karya (Golkar) dalam pemilu 1977. Tindakan ini mengundang kontraversi karena ia diharapkan mendukung Partai Persatuan Pembangunan (PPP), yang pada waktu itu masih merupakan Partai Islam. Setelah itu, Jam’iyah Ahl at-Thariqah Al-Muktabarah dipimpin oleh K.H. Idham Khalid, dan kelihatannya berusaha menghindarkan diri dari keterlibatan langsung dalam politik praktis. Begitu juga dengan Abah Anom, pemimpin Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah yang berpusat di Suralaya, Tasikmalaya, yang secara terbuka mengklasifikasikan diri dengan Paratai Golkar[9].
          Dukungan para pemuka tarekat dianggap sangat penting untuk menarik suara pengikutnya agar memihak kepada salah satu partai tertentu dalam pemilu, termasuk partai penguasa. Kehadiran Jendral Nasution pada Kongres Jam’iyah Ahl Al-Thariqah al_muktabarah di Pekalongan pada tahun 1960 dan kehadiran Presiden Soeharto pada Kongres kelima di Madiun pada tahun 1975 dapat dipahami dalam konteks hubungan saling mendukung antara tarekat dan kekuasaan ini. Demikian pula dengan diterbitkannya sejumlah publikasi yang menarik mengenai partisipasi tarekat-tarekat dalam usaha pembangunan yang dilaksanakan Orde baru adalah bukti lain dari dialektika tarekat dan politik di Indonesia.[10]
           Demikian pula kiprah Ahmad Rifa’i dari Kalisalak (1786-1875) menjadi panutan masyarakat Batang dalam hal menghadapi tekanan politik penguasa, sebagaimana keberanian menghadapi tekanan politik penguasa, sebagaimana tarekat Qadariyah melawan Belanda di daerah Banten.[11]
2.3 Hubungan Tarekat dengan Ekonomi
          Dalam lapangan kehidupan bermasyarakat, ulama-ulama tarekat juga memiliki andil yang cukup besar dalam membentuk karakter masyarakat Indonesia. Ini ditunjukkan misalnya oleh Syaikh Muhammad Arsyad al Banjari (1720-1812), penulis kitab Sabil al-Muhtadin yang menggabungkanb karakter kesufian dengan etos kerja petani di daerah Banjar melalui pengajuan tarekat[12].
          Kondisi objektif menunjukkan bahwa kehidupan tarekat mampu  menarik sebagian besar pengikut yang kurang beruntung dalam bidang ekonomi, akan tetapi sebaliknya juga dapat menarik sebagian kecil pengikut yang telah sukses ekonomi, pendidikan, pekerjaan dan jabatan. Bahkan sering terjadi pada orang-orang sukses tersebut menjadi pengikut tarekat yang pada tahap berikutnya sebagai soko guru dalam mengembangkan organisasi tarekat.[13]
            Terkait dengan adanya hubungan tarekat dengan ekonomi, bahwa di Desa Kuanyar yang terletak di Kecamatan Mayon, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, terdapat para penganut penganut tarekat Syattariyah yang juga memiliki kesibukan di dalam masalah pekerjaan seperti berdagang dan bertani. Dimana aktivitas dzikir selalu mereka lakukan disela-sela kesibukannya sebagai petani dan pedagang. Waktu dzikir memang tidak dapat dipastikan, sebab terkadang dilakukan malam hari dan terkadang pada waktu-waktu yang lain. Tetapi yang sering dilakukan adalah pada malam hari selepas mengerjakan semua pekerjaan. Apalagi ketika pekerjaan sedang sibuk, praktis dzikir hanya dikerjakan pada malam hari, sebab selepas sembahyang (sholat), terkadang harus secepatnya kembali ke sawah untuk mengurusi orang bekerja. Kegiatan tersebut seperti yang dilakukan oleh Pak Surahman yang merupakan salah satu dari penganut tarekat Syatariyah di Desa Kuanyar. Pak Surahman pada waktu musim pekerjaan, ia sudah mengawali kerjanya pada waktu pagi-pagi sekali. Pada saat demikian, ia sudah terlihat dengan berbagai transaksi perdagangan atau ke sawah untuk menanti orang yang bekerja.[14]
            Selain itu, ada juga Pak Kusen yang juga berjualan jajan di pasar Welahan, merupakan salah satu dari penganut tarekat Syatariyah yang usaianya sudah cukup tua, kira-kira 60 tahun. Akan tetapi masih sehat, walaupun sebenarnya ia mempunyai penyakit dada. Tidak diketahui apa nama penyakitnya itu. Penyakit tersebut telah dirasakannnya semenjak waktu yang lama. Tetapi sekarang penyakit itu sudah jarang dirasakannya. Hanya sekali-kali saja dirasakan kumat. Keadaan Pak Kusen kini telah berubah setelah bertemu denga Pak Masjhuri dan di beri tahu agar ke Kia Syihabudin untuk memohon petunjuk mengenai permasalahan yang sedang di alaminya. Bagi orang yang akan memasuki ajaran tarekat,kelihatannya proses pertimbangan selalu terlihat, yaitu mengikuti ajaran tarekat atau tidak, begitu juga dengan Pak Kusen. Ia juga mempertimbangkannya terhadap keadaan tersebut, dan akhirnya ia memasukinya. Setelah masuk, ia merasakan bahwa sembahyang dan wiridnya semakin rajin dan perasaannya juga menjadi tentram.[15]
            Berbeda dari kesan umum mengenai sikap hidup duniawi dari pengikut tarekat dalam tradisi sufi, pengikut tarekat Syadziliyah memiliki etos kerja cukup tinggi. Mereka juga memiliki jaringan bisnis di antara kaum pengikut tarekat tersebut. Namun kegiatan ekonomi produktif yang mereka lakukan ternyata tidak tumbuh besar. Hal ini terjadi berkaitan erat dengan berbagai ajaran tarekat ini mengenai fungsi harta, kerja dan hubungan sosial yang lebih luas.
            Demikian pula halnya dengan para pengikut tarekat Syadziliyah di Damaran, dimana kehidupan sehari-hari mereka yang menjadikan rumah tempat tinggal sebagai tempat bekerja dan berproduksi. Oleh karena itu, rumah pengikut tarekat ini akan selalu dipenuhi dengan barang-barang dagangan hasil produksi sendiri atau produksi orang lain. Rumah mereka juga selalu ramai dengan para pekerja yang datang dari desa-desa di sekitar Kudus Kulon.
            Bagi yang tidak memproduksi sesuatu di rumah, sebagian dari rumahnya dipakai untuk warung, sehingga rumah bagi pengikut tarekat Syaziliyah mempunyai fungsi ekonomi yang komersial. Pada saat berada dirumah, mereka selalu terlibat mengerjakan sesuatu. Sementara bagi mereka yang memproduksi pakaian akan terlibat dalam menentukan metode, jumlah produksi, sekaligus desain dan kegiatan potong-memotong. Para pekerja hanya tinggal menjahit dan mengerjakan pekerjaan akhir lainnya.
            Selain rumah, tempat penting kedua dalam kegiatan sehari-hari pengikut tarekat Syadziliyah adalah pasar dan toko-toko Cina. Bagi mereka, pasar adalah tempat pemasaran atau penjualan hasil-hasil produksi usahanya, sedangkan toko-toko Cina adalah tempat mereka mendapatkan bahan-bahan baku. Hasildari apa yang mereka lakukan di pasar dan di toko akan sanagt mempengaruhi kegiatan yang dilakukan dirumah. Bial mereka tidak menemukanbahan yang sesuai dengan tuntutan pasar, kegiatan produksi di rumah akan menurun. Bahkan hal itu aka mengakibatkan terhentinya kegiatan produksi, menunggu tersedianya bahan baku. Sebaliknya, tersedianya bahan baku akan mendorong kembali kegiatan produksi sehingga para pengikut tarekat itu akan bekerja keras memasarkan barang produksi ke pasar Kudus atau ke tempat-tempat lain sambil melihat-melihat perkembangan mode yang laku di pasaran.
            Bagi mereka, melalui jalan tarekat, mereka merasa lebih aman, karena dengan itu mereka mempunyai guru yang bisa dijadikan pegangan (gandelan) dalam segala hal. Pekerjaan dagang adalah pekerjaan nasib-nasiban yang tidak bisa ditentukan hasilnya, dan ini adalah masalah besar yang tiap hari mereka hadapi. Mereka tidak bisa mengendalikan harga pasar dan tidak bisa menentukan apakah hari ini ada pembeli atau tidak, apakah pedagang lain ada yang membanting harga atau tidak, dan masih banyak persoalan lain yang menyangkut lapangan pekerjaan mereka baik yang di pasar, di rumah, maupun di tempat penyediaan bahan baku.
            Untuk mengatasi persoalan-persoalan yang tidak bisa dipecahkan dengan kemampuan yang dimilikinya, mereka memerlukan tarekat yang dapat mengurangi kegelisahan dan memberikan ketenangan karena kepercayan atas suatu kekuatan supernatural yang dapat membantu dalam menghadapi persoalan tersebut. Kekuatan supernatural itu ada di tangan Allah SWT yang bisa diperoleh lewat perantara seorang mursyid. Kepada mursyid, pengikut tarekat akan sangat hormat bahkan terkesan takut. Mereka percaya bahwa segenap perilakunya diteropong oleh mursyidnya.[16]




BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
            Tarekat semakin mengalami perkembangan dan semakin banyak para pengikutnya. Sehingga keberadaan tarekat sangat mempengaruhi sekali terhadap kehidupan manusia, khususnya para pengikut tarekat. Termasuk hubungan tarekat dengan politik yang tentunya saat ini sudah tidak bisa diragukan lagi kiprahnya. Dimana keberadaan tarekat ditengah-tengah kehidupan politik di Indonesia tidak bisa di pandang sebelah mata keberadaannya, khususnya dalam ajang pesta politik baik dalam memilih kepala daerah hingga memilih Presiden.
            Tarekat ternyata tidak hanya berhubungan dengan politik saja, akan tetapi juga berhubungan dengan ekonomi. Hubungan tarekat dengan ekonomi juga sangat berpengaruh dengan kehidupan perekonomian para pengikut tarekat. Para pengikut tarekat sebagian ada yang menjadukan tarekat sebagai salah satu solusi dalam menyelesaikan permasalahan perekonomian yang sedang hadapi. Hal itu di dukung dengan adanya anggapan dari para pengikut tarekat terhadap seorang mursyid yang bisa memberikan solusi atas masalahnya dan selalu mengawasi segala aktivitasnya, khususnya dalam masalah ekonomi.








DAFTAR PUSTAKA
Anshori, Subkhan,  2011, Tasawuf dan Revolusi Sosial, Kediri:Pustaka Azhar
Masyhuri, Aziz,  2011, 22 Aliran Tarekat dalam Tasawuf,Surabaya:Imtiyaz
Mu’tasim, Radjasa & Munir Khan, Abdul, 1998, Bisnis Kaum Sufi, Yogyakarta:Pustaka Pelajar
Rusli, Ris’an,  2013, Tasawuf dan Tarekat, Jakarta:Raja Grafindo Persada
Shadiq, Ja’far, 2008, Pertemuan antara Tarekat dan NU, Yogyakarta:Pustaka Pelajar
Siswa 2011, Purna, 2011, Jejak Sufi, Kediri:Lirboyo Press
Syafi’i Mufid, Ahmad, 2006, Tanglukan, Abangan, dan Tarekat, Jakarta:Yayasan Obor Indonesia
Syam, Nur,  2013, Tarekat Petani, Yogyakarta:LkiS




[1] Ahmad Syafi’i Mufid, Tanglukan, Abangan, dan Tarekat, (Jakarta:Yayasan Obor Indonesia, 2006), hlm. 25.
[2] Ibid, hlm.24.
[3] Ibid, hlm.49-50.
[4] Subkhan Anshori, Tasawuf dan Revolusi Sosial, (Kediri:Pustaka Azhar,2011),hlm.219.
[5] Aziz Masyhuri, 22 Aliran Tarekat dalam Tasawuf,(Surabay:Imtiyaz,2011),hlm.7-8.
[6] Radjasa Musta’in, Abdul Munir Mulkhan, Bisnis Kaum Sufi,(Yogyakarta:Pustaka Pelajar,1998),hlm.13.
[7] Opcit, hlm.72-75.
[8] Ja’far Shadiq, Pertemuan antara Tarekat dan NU, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2008).
[9] Purna Siswa 2011, Jejak Sufi, (Kediri:Lirboyo Press,2011),hlm.196. 
[10] Subkhan Anshori, hlm.238.
[11] Ris’an Rusli, Op Cit ,hlm.220-221.
[12] Ibid, hlm.221.
[13] Ibid, ,hlm.216.
[14] Nur Syam, Tarekat Petani, (Yogyakarta:LkiS,2013),hlm.155-156.
[15] Ibid, hlm.182-183.
[16] Radjasa Mu’tasim & Abdul Munir Khan, Bisnis Kaum Sufi, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar,1998),  hlm.177-181.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar