BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Agama
merupakan sesuatu yang mengajarkan manusia untuk bisa mengenal dan dekat dengan
Tuhan sang pencipta. Keberadaan agama mempunyai peran penting dalam mengatur
kelangsungan hidup manusia. Hal itu dikarekan agama menjadi pereantara bagi
manusia untuk bisa hidup lebih baik dan tidak terjerumus dalam kenistaan dan
dosa.
Oleh
karena itu, manusia primitif merupakan manusia yang paling pertama mengetahui
keberadaan Tuhan sesuai dengan kepercayaan yang dianut mereka. Kepercayaan
masyarakat primitif sangat berbeda dengan kepercayaan masayarakat setelahnya
(masyarakat modern). Selain itu, agama masyarakat primitif tentunya masing
berhubungan dengan penyembahan terhadap roh-roh halus, upacara keagamaan, dan
berbagai hal-hal magis.
Dengan
demikian, makalah ini akan membahas tentang asal-usul agama primitif, teori
kepercayaan masyarakat primitif, dan ciri-ciri keagamaan masyarakat primitif.
Selain itu, berbagai permasalahan yang ada hubungannya dengan masyarakat
primitif juga akan dibahas dalam makalah ini.
1.2
Rumusan Masalah
A.
Asal-usul
Agama Primitif
B.
Teori
Kepercayaan Masyarakat Primitif
C.
Ciri-ciri
Keagamaan Masyarakat Primitif
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Asal Usul Agama Primitif
Evans Pritchard, seorang antropolog yang banyak membicarakan
tentang kepercayaan masyarakat primitif, menyatakan bahwa mempelajari
kepercayaan masyarakat primitif memberikan dua keuntungan. Dua keuntungan
tersebut meliputi:
1.
Bahwa
fakta-fakta kehidupan primitif mempunyai arti penting untuk dapat memahami
suatu kehidupan sosial pada umumnya.
2.
Agama-agama
primitif merupakan bagian dari agama pada umumnya (species of the genus
religion), dan bagi semua orang yang berminat terhadap agama haruslah
mengakui bahwa suatu studi tentang pandangan dan praktik-praktik keagamaan pada
masyarakat primitif akan menolong kita untuk sampai pada kesimpulan-kesimpulan
tertentu tentang hakekat agama pada umumnya.
Dalam hubungannya dengan kepercayaan agama, seringkali
bentuk-bentuk agama manusia paling awal selalu dicirikan kepada masyarakat
primitif. Dalam lapangan antropolog, istilah masyarakat primitif sulit
dibedakan dengan masyarakat ‘prasejarah’. Hanya sampai saat ini yang
bisa ditemukan tentang masyarakat prasejarah adalah bahwa istilah prasejarah
muncul sebagai catatan-catatan model kehidupan masyarakat primitif setelah bisa
dikarakteristikkan dan dideteksi. Geradus Van Der Leeuw berpendapat bahwa
istilah primitif menunjukkan kualitas berfikir manusia, atau sebagai susunan
tertentu dari budi manusia. Hal ini di dasarkan pada kenyataan, bahwa ada
corak-corak modern pada masyarakat primitif dan corak-corak primitif pada
masyarakat modern. Oleh karena itu, primitif tidak bisa dilihat sebagai sesuatu
yang ada dan hidup pada masa lampau, tetapi bahkan bisa saja terjadi pada
seseorang atau masyarakat sekarang (modern), berdasarkan indikasi tertentu yang
menunjukkan adanya karakteristik sebagai manusia primitif.[1]
Masyarakat primitif adalah masyarakat yang ditandai oleh relatif
tidak adanya diferensi sosial dan kebudayaan. Dimana masyarakat tersebut
cenderung tidak memiliki kelompok-kelompok spesialisasi yang jelas dan
kolektif-kolektif dengan tuga-tugas masalah dan kepentingan-kepentingan yang
berbeda-beda, dan juga cenderung tidak adanya perangkat keyakinan yang jelas
berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan sosial dan alamiah, maupun gejala
fisik. Beberapa pandangan tentang mental pra-logis masyarakat primitif secara
luas telah ditolak dan minat antropologi belakang ini cenderung berpusat pada
cara-cara dimana individu-individu dalam masyarakat primitif berhubungan dengan
masalah makna, identitas, penderitaan, sakit, dan sebagainya dalam konteks yang
sesuai dengan pengkajian mengenai masyarakat. Hal itu disebabkan karena
masalah-masalah ini inilah yang selalu dihadapi masyarakat. Apabila demikian,
sifat primitif pada hakikatnya terletak pada ciri masyarakat yang tak
berdiferensiasi.[2]
Pembahasan agama primitif sama halnya dengan pembahasan mengenai
asal-usul kepercayaan masayrakat primitif yang dikemukakn oleh sejumlah ahli
dari berbagai disiplin ilmu. Oleh karena itu untuk lebih memahami pendekatan
yang dilakukan oleh para ahli tersebut maka perlu memahami asal-usul agama.
Secara umum pada dasarnya ada dua teori pokok yang berkenaan dengan asal-usul
agama :
1.
Bersumber
pada ajaran-ajaran agama wahyu yang diawali oleh para teolog pada umumnya bahwa
asal-usul agama adalah dari Tuhan sendiri yang diperlukan kepada manusia
bersama-sama dengan penciptaan manusia pertama, yaitu Adam. Dalam perjalanannya
agama mengalami pasang surut dan pada tempat dan kurun waktu tertentu, agala
diselewengkan oleh para pemeluknya sehingga agama yang pada dasarnya ateis
berubah menjadi politeis dan bahkan animis. Karena itu Tuhan mengirimkan para
utusan-Nya untuk meluruskan kembali penyelewengan tersebut. Kehadiran agama
wahyu pada hakikatnya adalah untuk membimbing umat manusia, agar memiliki
akidah-akidah yang benar, yang bersih dari khurafat-khurafat yang batil dan
memiliki peraturan-peraturan hidup yang luhur, demi kemaslahatan mereka.Agama
wahyu telah berperan mendorong umat manusia untuk berjuang keras demi
mewujudkan kemaslahatan mereka di dunia dan di akhirat.[3]
2.
Bersumber
pada kajian antropologis, sosiologis, historis dan psikologis yang pada intinya
sama, yaitu bahwa agama merupakan suatu fenomena sosial ataupun psiritual yang
mengalami evolusi dari bentuknya yang sederhana, yang biasa dinamakan agama
primitif (natural religion) kepada bentuknya yang lebih sempurna dan akhirnya
sampai pada apa yang kita jumpai sekarang ini.
Berdasarkan di atas, istilah primitif dicirikan pada manusia atau
sekelompok orang yang hidup pada kurun waktu lampau. Dengan ciri demikian,
dapat ikatakan bahwa sesuatu yang primitif adalah sesuatu yang kuno dan
tertinggal zaman. Dalam hubungannya dengan kepercayaan agama, seringkali bentuk-bentuk
agama manusia paling awal selalu dicirikan terhadap masayrakat ini. Hanya saja
sulit untuk dibedakan antara masayarakat yang diistilahkan primitif dengan
masayrakat prasejarah. Istilah prasejarah muncul sebagai catatan-catatan model
kehidupan masyarakat primitif setelah dapat dikarakteristikan dan dideteksi.
. Dengan demikian, menurut E.Pritchard agama primitif merupakan
bagian dari agama pada umumnya. Bahkan semua orang yang berminat pada agama
harus mengakui suatu study tentag pandangan dan praktek keagamaan masyarakat
primitif yang beraneka ragam coraknya, dan hal ini menolong kita untuk sampai
pada kesimpulan-kesimpilan tertntu tentang hakekat agama pada umumnya, termasuk agama-agama wahyu. Dari pendapat
tersebut jelas sekali bahwa pandangan Pritchard menunjukan bahwa agama primitif
sebagai agama praagama maju atau sebagai agama kecil sebelum menjadi agama
besar. Tentu saja dilihat dari sudut
pandangannya Islam, Kristen, Hindu, dan agama-agama besar lainnya dikategorikan
sebagai agama primitf, atau berawal dari praktek-prakterk agama primitif.
Begitu pula apabila dijumpai adanya isme-isme atau sistem ritus,
kepercayaan dan etika masyarakat primitif misalnya, dinamisme, fetitisme dan
lain-lain. Kesemuanya itu adalah nama-nama ilmiah dari suatu jenis keagamaan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa agama primitif adalah isme, praktek,
dan tradisi tertentu yang dianut dan diyakini oleh sekelompok masyarakat yang
memiliki ciri dan karakteristik yang sama. Kesamaan karakteristik tersebut
(seperti praktek-prakterk agama dan keperccayaan tertentu) merupakan hasil
kajian dari para ahli.[4]
2.2
Teori Kepercayaan Masyarakat Primitif
Dalam masyarakat primitif terdapat beberpaa teori kepercayaan yang
meliputi :
1.
Teori
serba-jiwa
Teori ini ditemukan oleh seorang ahli antropologi asal Inggris E.B
Taylor dalam bukunya Primitive Cultural (dipublikasikan pada tahun
1981). Ia mengajukan teori bahwa bentuk kepercayaan asal manusia adalah animisme
(Ninian Smart, 1960). Dimana teori
inji timbul karena dua hal yaitu[5]:
1.
Adanya
dua hal yang tampak, yaitu hidup dan mati. Kehidupan diakibatkan oleh kekuatan
yang berada diluar dirinya.
2.
Adanya
peristiwa mimpi, sesuatu yang hidup dan berada ditempat lain pada waktu tidur,
yaitu jiwanya sendiri. Jiwa bersifat bebas
berbuat sekehendaknya. Alam semesta yang penuh dengan jiwa-jiwa yang
merdeka itulah, yang disebut dengan soul atau atau spirit atau
makhluk halus.
Pikiran manusia telah menstransformasikan kesadaran terhadap adanya
jiwa menjadi kepercayaan terhadap makhluk-makhluk halus. Manusia melakukan
penghormatan dan pemujaan melalui berbagai upacara berupa doa, sesaji, atau
korban. Kepercayaan semacam ini oleh Taylor disebut animisme atau beliefs in
spiritual beings.
Akan tetapi teori tersebut di tentang oleh E. Pritchard,
menurutnya, teori ini merupakan bentuk logika pikiran sarjana yang dipindahkan
kepada orang primitif dan dikemukakan sebagai penjelasan terhadap
keperayaannya. Ide tentang spirit atau jiwa mungkin telah timbul, namun
tidak ada bukti kebenarannya.
2.
Teori
Magis (Kekuatan Gaib)
J.G Frazer, seorang antropolg asal Inggris dalam bukunya The
Golden Bough, a Study in Magic and Religion memunculkan teori ini. Magis
menburutnya adalah suatu penerapan yang salah dari kaidah sebab akibat yang
berlaku dan dianut oleh ilmu pengetahuan manusia pada umumnya. Magis dipandang
sebagai manipulasi dari suatu kekuatan misterius (Ugo Bianchi, 1975:75). Frazer
mengatakan bahwa manusia memecahkan persoalan hidupnya dengan akal dan
pengetahuannya, tetapi akal dan pengetahuannya terbatas. Semakin maju
kebudayaan manusia, semakin luas pula batas akal itu, sedangkan pada umumnya
batas akal manusia itu sangat sempit.
3. Teori Upacara Bersaji
Tokoh yang mengembangkan teori ini adalah W.Robertson Smith,
seorang sastrawan, teolog dan ahli bahasa yang menyebutkan dalam bukunya Lectures on Religion of The Semites. Menurutnya,
ada tiga gagasan penting berkenaan dengan teori upacara bersaji atau dasar-dasr
dari agama pada umumnya. Pertama, disamping sebagai sistem kepercayaan dan
doktrin, sistem upacara merupakan perwujudan dari agama. Kedua, upacara agama
memiliki fungsi sosial untuk mengintensifkan solidaritas masyarakat disamping
untuk agama, juga sebagai kewajiban sosial. Ketiga, berfungsi untuk mendorong
rasa solidaritas dengan dewa. Dewa dipandang sebagai warga komunitas, tetapi
istimewa. Korban binatang misalnya, darahnya untuk dewa, sedangkan dagingnya
untuk diri sendiri.
4. Teori Sentimen Kemasyarakatan
Teori tersebut berasal dari sosiolog asal Perancis Emil Durkheim.
Ada berapa pengertian dasar dari teori ini:
1.
Makhluk
manusia, sebagai yang pertama kali mengembangkan aktivitas keagamaan yang tiada
lain sebagai getaran jiwa seseorang.
2.
Emosi
keagamaan, rasa terikat, bakti dan cinta yang ada dalam batin manusia.
3.
Pelaku
agama, sebagai wujud dari emosi keagamaan.
4.
Tujuan,
yaitu yang keramat.
5.
Adanya
simbol, sebagai lambang kesakralan.
5.Teori Supreme Being
Teori ini dimunculkan oleh Andrew lang, seorang sastrawan
berkebangsaan Inggris. Dia menemukan berbagai mitos dari berbagai suku dan
daerah di muka bumi ini. Dimana dalam mitos tersebut, ditemukan adanya tokoh
dewa yang dipandang sebagai dewa tertinggi pencipta seluruh alam semesta
beserta isinya. Sedangkan menurut Pettazoni, supreme being bersumberkan pada
mitos dan bukan hasil pemikiran logico causal sebagaimana pandangan
Schdimt. Dimana dewa tertinggi tidak timbul atas dasar keutuhan
intelektualitasnya, tetapi berasal dari kebutuhan eksistensial manusia.
2.3
Ciri Keagamaan Masyarakat Primitif
1.
Pandangan
tentang Alam Semesta
Masyarakat primitif berpandangan bahwa dunia dan alam sekitarnya
bukanlah objek, tetapi sebagai subjek seperti dirinya sendiri. Kedudukannya
sama sebagai makhluk yang berpribadi. Sebaliknya, manusia modern memandang
dirinya sebagai subjek dan dunia sekitar sebagai ojek bagi perasaan, pikiran
dan tindakannya. Masyarakat primitif takut akan malapetaka atau gejala alam
yang mereka anggap punya kekuatan. Mereka memuja dan memuliakannya dalam
aktivitas keagamaan.[6]
Penyembahan alam atau natur whorsip merupakan tahapan paling
awal dari evolusi keagamaan bangsa primitif. Kekuatan-kekuatan alam serta
anasir-anasir alam mereka personifikasikan menjadi dewa-dewa yang berkuasa.
Pada agama Mesir Kuno, misalnya, Dewa Ra’ adalah personifikasi dari matahari,
Tefnut personifikasi dari air, dan Shu personifikasi dari hawa. Oleh karena
itu, berdasarkan objek penyembahannya, penyembahan kekuatan alam ada tiga
bentuk yaitu sebagai berikut[7]:
1. Penyembahan terhadap gejala alam, seperti hujan, guntur, gempa
bumi, dan topan.
2. Penyembahan terhadap anasir-anasir alam, seperti tanah, air,
api, angin, dan udara.
3. Penyembahan kepada benda-benda alam sekeliling, yaitu dalam
bentuk di bawah ini:
a. animatisme, yaitu suatu kepercayaan bahwa benda-benda dan
tumbuh-tumbuhan di sekitar manusia itu berjiwa dan bisa berfikir seperti
manusia. Kepercayaan ini tidak melahirkan aktivitas keagamaan guna memuja memuja
benda atau tumbuh-tumbuhan, misalnya hanya menjadi unsur religi.
b. Fetishme, yaitu suatu bentuk agama yang berdasarkan
kepercayaan akan adanya jiwa dalam benda-benda alam tertetntu dan mempunyai
aktivitas keagamaan guna memuja benda-benda berjiwa tadi.
C. Agama penyembah binatang (animal worship), yaitu
kepercayaan orang-orang kuno dan orang-orang primitif yang menganggap
binatang-binatang tertentu memiliki jiwa kesucian. Jiwa kesucian binatang
tersebut akan tetap hidup terus dan dapat mendatangkan kebaikan dan keburukan.
Dari keyakinan ini diadakanlah aktivitas guna memujanya.
2.
Mudah
Menyakralkan Objek Tertentu
Sebagai akibat dari pandangan yang tidak membedakan antara subjek
dan objek dan juga antara manusia dan alam sekitarnya, masyarakat primitif
memandang sakral terhadap sesuatu yang dapat menimbulkan manfaat, kebaikan, dan
bencana. Hal tersebut seperti ketika seseorang mendiami sebuah rumah dan tidak
lama kemudian ia sakit, ada anggapan bahwa yang menimbulkan sakit adalah
penghuni lain yang selama ini terabaikan.
Berkaitan erat dengan
sakral, maka ada yang dianggap tidak suci yaitu mencakup apa saja yang dianggap
dapat mencemarkan yang sakral itu. Untuk menghindari hal itu, hal-hal yang
sakral dipagari dengan larangan-larangan atau tabu. Seperti benda sakral tidak
boleh disentuh, dimakan atau didekati.
3.
Sikap
Hidup yang Serba Magis
Dalam masyarakat primitif, kedudukan magis sangat penting,. Semua
upacara keagamaan adalah bentuk magis. Sikap
hidupnya adalah magis, karena perbuatan mereka selalu dihubungkan dengan
kekuatan-kekuatan yang ada din alam gaib. Manusia primitif selalu berusaha
mengisi segala alat prlengkapan hidup dan kehidupannyab dengan gaya-gaya gaib.
Misalnya keris dibuat dan diisi dengan daya gaib.
Oleh karena itu, masyarakat primitif menurut Malinowski, banyak
menguntungkan pada hal-hal yang magis, sementara kepercayaan terhadap kebenaran
pengetahuan empiris dan keahlian praktis berkurang, terutama pada
kegiatan-kegiatan yang dapat menimbulkan resiko bahaya. Pada suku Tobrian
misalnya, para penduduk tidak menggunakan magis untuk keselamatan mereka
manakala menangkap ikan di danau. Tetapi ketika menangkap ikan dilautan yang
banyak melibatkan bahaya, terdapat kegiatan ritual magis demi menjamin
keselamatan dan hasil kegiatan penangkapan. Dengan demikian, sikap hidup magis
berari suatu usaha perlawanan manusia terhadap kekuatan-kekuatan yang
dijumpainya dan berusaha menaklukannya.[8]
4.
Hidup
Penuh dengan Upacara Keagamaan
Seluruh hidup manusia primitif, diliputi oleh keagamaan dan segala
perbuatannya adalah perbuatan religius. Oleh karena itu, upacara-upacara
kagamaan mewarnai aktivitas kehidupan mereka. Pengerjaan sawah, ladang,
perkawinan, dan perbuatan lainnya, yang oleh manusia moden di anggap sangkut pautnya dengan
kekuasaan alam, semuanya mengandung arti sebagai upacara keagamaan. Setiap
upacara memiliki mite-nya sendiri, suatu naskah atau skenario dari
seluruh perbuatan manusia yang harus dilakukan pada setiap upacara dalam
hidupnya.
Oleh karena itu, agama-agama bangsa primitif, meskipun disana sini
bersifat sinkretis, pada
hakikatnya sangat berbeda-beda karena telah bercampurnya berbagai unsur.
Seperti agama yang bersifat demonistis (kepercayaan dan pemujaan
terhadap roh), tetapi sebaliknya ada agama sama sekali tak mengandung
unsur-unsur demonisme. Demikian pula ada daerah-daerah tertentu yang tak
mengenal totemisme, tetapi didaerah lain ada sisa totemisme yang tak jelas dan
sukar ditetapkan.[9]
Di dalam buku Sosiologi Agama, karya Dr. H. Dadang Kahmad M. Si,
masyarakat primitif adalah masyarakat penganut agama penyembah roh, baik roh
nenek moyang, roh pemimpin, atau roh nenek pahlawan yang telah meninggal.
Mereka percaya bahwa yang sudah meninggal itu dapat memberikan pertolongan dan
perlindungan ketika manusia mendapat kesulitan. Dimana untuk menghadirkan
roh-roh tersebut mereka mengadakan upacara keagamaan khusus dan kompleks.
Agama penyembah roh dibagi dalam bentuk kepercayaan sebagai berikut[10]:
1.
Animisme,
yaitu bentuk agama yang mendasarkan diri pada kepercayaan bahwa di
sekeliling tempat tinggal manusia itu berdiam berbagai macam roh yang berkuasa
dan terdiri atas aktivitas pemujaan atau upacara guna memuja roh tadi.
Kepercayaan
Animisme dibangun berdasarkan atas dua anggapan pokok, yaitu:
Ø Bahwa roh adalah unsur halus yang keluar dari setiap makhluk dan
mampu hidup terus setelah jasadnya mati.
Ø Bahwa makhluk halus yang jadi dengan sendirinya, seperti peri dan
mambang dianggap berkuasa.
2.
Praanimisme
(dinamisme), adalah bentuk
agama yang berdasarkan kepercayaan pada kekuatan sakti yang ada dalam segala
hal. Para penganutnya pun memiliki aktivitas keagamaan untuk menguatkan
ajarannya dengan berpedoman pada ajaran kepercayaan tersebut.
Selain itu, masyarakat primitif pada umumnya meyakini adanya tiga
macam kekuatan gaib, yaitu kekuata sakti (mana’), roh-roh (terutama
roh-roh manusia yang telah wafat), dan dewa-dewa atau Tuhan. Sehingga mereka
dapat sekaligus berpaham dinamisme, yaitu mempercayai bahwa tiap-tiap benda
dapat ditempati oleh kekuatan sakti, yang bisa memberikan manfaat atau
malapetaka pada manusia. Sedangkan
berpaham animisme adalah mempercayai bahwa tiap-tiap benda dapat ditempati oleh
roh-roh, tertutama roh-roh manusia, yang dapat menolong atau mengganggu
manusia. Dan berpaham politeisme, adalah mempercayai dan menyembah
banyak Dewa yang mereka anggap mempunyai kekuatan lebih besar dari roh-roh.
Kemudian berpaham henoteisme, adalah menyembah satu dewa atau satu
Tuhan, tapi tidak mengingkari adanya para dewa atau Tuhan-tuhan lain yang
menjadi saingan bagi Dewa atau Tuhan yang mereka sembah. Pada masyarakat
primitif sebenarnya juga terdapat keyakinan tentang adanya Dewa atau Tuhan
tertinggi, yang menciptakan para dewa dan alam semesta semuanya. Akan tetapi
sebagian mereka cenderung menyembahnya, karena dianggap terlalu jauh untuk
disembah, seperti perlakuan masyarakat Arab Jahiliyah terhadap Allah.[11]
BAB III
PENUTUP
3.1
Simpulan
Masyarakat primitif adalah masyarakat yang masih terpuruk dan tertinggal dalam peradaban
orang-orang lampau (kuno). Sehingga agama masyarakat primitif cenderung berupa
kepercayaan terhadap hal-hal gaib, baik kepercayaan pada roh-roh, dewa-dewa
atau pemujaan pada alam semesta. Kehidupan masyarakat primitif juga tidak lepas
dari upacara-upacara keagamaan, ritual-ritual mistis, dan pengsakralan terhadap
hal-hal (objek-objek)tertentu.
Meskipun demikian,
masyarakat primitif juga memiliki ciri-ciri khusus yang membedakan dengan
masyarakat modern. Dimana mereka selalu menghiasi kehidupannya dengan hal-hal yang
serba magis dan masih sangat kuat memelihara dan menjaga agama (kepercayaan)
para nenek moyang. Sehingga hal-hal gaib dan roh-roh para leluhur tidak bisa
dipisahkan dari kehidupan mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Ghazali, Adeng
Mukhtar, 2000, Ilmu Perbandingan
Agama, Bandung:Pustaka Setia,
Ghazali, Adeng Muchtar, 2011, Antropologi Agama, Bandung:Alfabeta.
Ishomuddin, 2002, Pengantar Sosiologi Agama, Jakarta:Ghalia
Indonesia.
Kahmad, Dadang, 2000,
Sosiologi Agama, Bandung:Remaja Rosdakarya.
Robertson,
Roland, 1995, Agama dalam
Analisa dan Interpretasi Sosiologis, Jakarta:Raja Grafindo Persada.
Penjelasan Pak Amat Zuhri M. Ag
Ø Kajian tentang agama-agama berdasarkan pendekatan/kajian
antropologi
Ø Pendapat Agustums : Agama yang masih percaya pada hal-hal gaib dan
kepercayaan masyarakat primitif yang tidak empiris, maka semua agama tersebut
termasuk bagian dari agama primitif
Ø Masyarakat primitif belum mengangkat peradaban Humanis
Ø Pemikiran-pemikiran primitif sampai sekarang masih ada,
masing-masing tempat berbeda
[1] Adeng Muchtar
Ghazali, Antropologi Agama, (Bandung:Alfabeta,2011),hlm.20-21.
[2] Roland
Robertson, Agama dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis,(Jakarta:Raja
Grafindo Persada,1995),hlm.81.
[3] Ishomuddin, Pengantar
Sosiologi Agama, (Jakarta:Ghalia Indonesia,2002),hlm.31.
[4] Adeng Mukhtar
Ghazali, Ilmu Perbandingan Agama, (Bandung:Pustaka Setia, 2000) hlm.
81-84
[5] Ibid, hlm. 85.
[6] Adeng Mukhtar
Ghazali, Opcit, hlm. 85-90.
[7] Dadang Kahmad, Sosiologi
Agama,(Bandung:Remaja Rosdakarya,2000),hlm. 38-39.
[8] Dadang Kahmad, Opcit,
hlm.27-28.
[9] Adeng Mukhtar
Ghazali, Opcit, hlm. 86-90.
[10] Dadang Kahmad, Opcit,
hlm.37-38.
[11] Ishomuddin, Opcit,
hlm.31.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar