BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Kajian tentang Islam di Indonesia telah banyak dilakukan baik oleh
sarjana-sarjana Barat maupun oleh sarjana-sarjana Indonesia. Bidang-bidang yang
menjadi pusat perhatiannya pun beraneka ragam. Ada yang tertarik pada aspek
ekonomi, politik, gerakan pemikiran, pendidikan, dan bahkan ada yang mengkaji
keseluruhan bidang kehidupan umat Islam secara komprehensif. Metode
pendekatannya pun berbeda-beda , ada yang melihat dari sudut pandang
kesejarahan, sosial, budaya, filologi dan politik.[1]
Selain itu, metode-metode atau jalan yang dilakukan oleh kaum sufi
tersebut intinya adalah memperbanyak zikir (ingat) kepada Tuhan dan melakukan
perbuatan-perbuatan terpuji, menjauhi perbuatan tercela baik secara lahiriah
maupun secara batiniah. Begitu juga cara berzikir antara sufi yang satu dengan
yang lain meskipun hakikatnya sama, tetapi dalam perwujudannya berbeda. Karena
tarekat juga dapat dipandang sebagai aliran dalam tasawuf. Masing-masing aliran
selanjutnya mengembangkan doktrinnya sendiri.[2]
Oleh karena itu, Islam yang masuk pertama kali di Nusantara adalah
Islam yang bercorak sufi. Islam dengan coraknya yang demikian itu dengan mudah
diterima serta diserap ked dalam kebudayaan masyarakat setempat.[3]
Dengan demikian, makalah ini akan membahas tentang hubungan antara tarekat
dengan politik dan ekonomi yang ada di Indonesia.
1.2
Rumusan Masalah
A.
Sejarah
Perkembangan Tarekat Indonesia
B.
Hubungan
Tarekat dengan Politik Indonesia
C.
Hubungan
Tarekat dengan Ekonomi Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah
Perkembangan Tarekat Indonesia
Keberadaan tarekat
semakin banyak dan berkembang luas pada masa-masa terakhir perkembangan
tasawuf. Tepatnya pada abad keenam dan ketujuh hijriyah, tarekat tasawuf
berkembang lebih luas ketimbang abad kedua dan ketiga hijriyah. Murid-murid
yang bergabung dalam tarekat jumlahnya melebihi apa yang ada pada tarekat
sebelumnya. Begitu juga metode pelatihan jiwa semakin komplek seiring dengan
perkembangan tarekat. Nama-nama tarekat semakin beragam seiring dengan
banyaknya para sufi yang mendirikan tarekat.[4]
Pada dasarnya
tarekat para sufi berupa ibadah dzikir yang berasal dari praktik Nabi Muhammad
SAW yang kemudian diamalkan Al_Khulafa’ Ar-Rasyidin, Tabi’in, Tabi’i At-Tabi’in
dan seterusnya sampai kepada para syaikh atau mursyid secara sambung-menyambung
sampai sekarang. Dalam perjalanan sejarahnya, tarekat mengalami perkembangan
dari masa ke masa. Menurut J. Spencer Trimingham, sejarah perkembangan tarekat
secara garis besar melalui tiga tahap yaitu :
1. Tahap Khanqah
Tahap ini terjadi sekitar abad X M., dimana dapat digambarkan bahwa
pada tahap ini, tarekat berarti jalan atau metode yang ditempuh seorang sufi
untuk sampai kepada Allah secara individual. Kontemplasi dan latihan-latihan
spiritual dilakukan secara individual.
2. Tahap Thariqah
Tahap ini terjadi sekitar abad VIII M., dan pada masa ini sudah
terbentuk ajaran-ajaran, peraturan dan metode tasawuf, serta muncul pula
pusat-pusat yang mengajarkan tasawuf dengan silsilahnya masing-masing.
Berkembanglah metode-metode kolektif baru untuk mencapai kedekatan diri kepada
Tuhan dan di sini pula tasawuf telah mengambil bentuk kelas menengah.
3. Tahap Tha’ifah
Tahap ini terjadi pada abad XV M, dan pada masa ini terjadi
transisi misi ajaran dan peraturan dari guru tarekat yang disebut syaikh atau
mursyid kepada para pengikut atau murid-muridnya. Pada masa ini muncul
organisasi tasawuf yang mempunyai cabang di tempat lain. Pada tahap tha’ifah,
inilah tarekat dikenal sebagai organisasi sufi yang melestarikan ajaran
syaikh-syaikh tertentu, maka muncullah nama-nama tarekat seperti tarekat Qadiriyah,
tarekat Naqsabandiyah, dan tarekat Syaziliyah.
Dalam tradisi tarekat, sebagai organisasi tasawuf, murid-murid
biasanya berkumpul disuatu tempat yang disebut ribat, zawiyah, atau khanaqah
untuk melakukan latihan-latihan ruhani (dzikr Allah), yang materi
pokoknya adalah membaca istighfar, membaca shalawat nabi, dan membaca dzikir
isbat dan ism dzat secara bersama dibawah bimbingan para guru
(mursyid), yang di dalamnya terdapat ajaran-ajaran (amaliyah),
aturan-aturan (adab), kepimimpinan (mursyid). Dimana hubungan
antara mursyid-murid atau antara guru dengan anggota tarekat, wasilah,
rabithah, silsilah, ijazah, suluk, dan ritualritual seperti; ba’iat, atau
talqin, khususiyah, haul dan manaqib.[5]
Semakin berkembang dan banyaknya tarekat di Indonesia menjadikan
suitnya mengetahui dengan pasti jumlah tarekat di Indonesia. Menurut Jam’iyah
Ahli Thariqah al Mu’tabarah al-Nahdiyah, terdapat 45 macam tarekat di
Indonesia, belum termasuk tarekat yang tidak diakui sebagai tarekat mu’tabarah,
seperti tarekat Sidiqiyah dan tarekat Wahidiyah. Sebab tarekat bisa saja
bergabung dengan tarekat lain atau mati atau lahir tarekat baru.[6]
2.2 Hubungan
Tarekat dengan Politik
Islam di Indonesia, semula disiarkan secara perorangan tetapi
lambat laun pemerintahan atau penguasa yang telah memeluk Islam menyiarkannya
untuk kepentingan politik dan tidak semata-semata bersifat keagamaan. Kenyataan
ini terlihat antara lain pada proses Islamisasi di daerah Sulawesi Selatan dan
daerah-daerah sekitarnya yang dilakukan oleh Raja-raja Makasar. Begitu juga
dengan penyiaran Islam di Sumatera bagian selatan yang dilakukan oleh
kesultanan Banten tidaklah semata-mata bertujuan untuk dakwah tetapi lebih
bersifat politis.
Begitu juga dengan
beberapa orang pemuka tarekat di Indonesia tidak semuanya sunyi terhadap
hal-hal yang bersifat keduniaan. Adanaya gejala pertentangan paham tasawuf
seperti telah diuraikan juga menunjukkan adanya hubungan dengan soal-soal
pemerintahan dan kenegaraan. Pertentangan antara Nuruddi Ar-Raniri di Aceh dan
Hamzah Fansuri serta Samsuddin As Sumatrani sebenarnya tidak hanya soal paham “wujudiyah”,
tetapi juga berkaitan dengan soal kedudukan ulama dalam pemerintahan, atau
lebih tepat memperebutkan perhatian seorang Sultan. Tidak hanya itu saja, Syekh Yusuf
Makasarvyang juga seorang sufi besar ikut pula berperang melawan Belanda di
Banten ketika terjadi pertentangan antara Sultan Haji dengan Sultan Ageng
Tirtayasa. Ketika Sultan Ageng menyerah, Syekh Yusuf Al-Makassar lolos dan
selanjutnya selama 12 bulan memimpin perang gerilnya. Syekh Yusuf yang seorang ahli agama dan sufi
besar yang mempunyai kedudukan tertinggi dalam pemerintahan yaitu sebagai
penasehat pemerintah (mufti). Dalam kedudukannya sebagai mufti, beliau
juga membentuk pasukan penggarong yang kerjanya
merampok orang-orang Kompeni Belanda dan antek-anteknya. Usaha ini
dimaksudkan sebagai perwujudan sikap poltiknya yang anti Belanda dan semangat
jihad fisabilillah (Hawash Abdullah, 1980:72).
Keterlibatan
tokoh-tokoh sufi (tarekat) dalam bidang politik ternyata berlangsung dari
generasi ke generasi. Pada abad ke-18 di Palembang juga muncul tokoh sufi,
Syekh Abdus Samad bin Abdul Jalil yang juga mengobarkan semangat pertempuran
(jihad fisabilillah) ketika terjadi peperangan antara Kedah dan Patani melawan
kerajaan Siam. Dalam pertempuran ini, Syekh Abdus Samad hilang di daerah
Senggara. Selanjutnya, pada abad ke-19 tarekat memainkan peranan penting dalam
gerakan anti asing dan pemberontakan melawan penjajah Belanda. Pemberontakan
dengan menggunakan tarekat sebagai dasarnya juga terjadi di Lombok. Beberapa
tahun kemudian setelah pemberontakan Banten (1891), orang Sasak di Lombok
bangkit melawan kerajaan Bali yang waktu itu menguasai hampir seluruh pulau
Lombok.
Oleh karena itu,
keterlibatan pengikut tarekat dan pemimpinnya dalam berbagai peristiwa politik
rupanya merupakan hal yang umum (laten). Pada masa penjajahan maupun pada saat
mempertahankan proklamasi kemerdekaan Indonesia banyak pemimpin tarekat yang
terlibat dalam perjuangan fisik. Selain tokoh-tokoh tarekat di atas, H. Ahmad
Anwar menyebutkan bahwa Pangeran Diponegoro, Kyai Nawai banten, Kyai Saleh
Darat Semarang, Kyai Subkhi (kyai bambu runcing) Parakan, Kyai Romli Tamim
Jombang adalah para pejuang yang pantang mundur dalam membela menghadapi
kemerdekaan “hubbul watan minal iman” (cinta negara adalah bagian dari
iman) dan beliau-beliau adalah orang tarekat, kuat imannya (Dokumentasi dan
Keputusan Kongres ke-5,1975:34).
Peranan tokoh
tarekat dalam menghadapi masa-masa kritis senantiasa muncul dengan cara-cara
memberikan ijazah kekebalan dan doa-doa selamat serta senjata-senjata sederhana
yang telah diberi “asma” atau doa untuk melawan musuh atau
mempertahankan diri. Kejadian semacam
ini juga muncul pada saat terjadi peristiwa G30S/PKI pada tahun 1965 dan
waktu-waktu setelahnya. Banyak pemuda pada waktu itu mengunjungi Kyai Imam (mbah
Imam) Sarang, Rembang untuk memperoleh rotan (penjalin) yang telah dicelup
dengan air yang telah diberi “asma”, di samping ilmu-ilmu kekebalan
lain, yang dalam istilah pesantren disebut “gemblengan” untuk menghadapi
teror kaum komunis. Dari segi inilah tarekat mendapatkan tempat tersendiri
dalam kehidupan penganut Islam di Jawa, khususnya dibanding dengan organisasi
sosial keagamaan lainnya.[7]
Dalam sejarah
panjang perjalanan tarekat yang berkaitan dengan aspek sosial dan politik di
Indonesia dari sejak pertama masuk ke Indonesia, sampai dengan adanya upaya
para guru tarekat beserta muridnya yang cukup banyak dan tersebar di seluruh
Nusantara, dalam upaya mereka melakukan perlawanan terhadap kesewenang-wenangan
para penjajah asing di bumi Indonesia, telah menorehkan banyak catatan dalam
sejarah perjalanan bangsa Indonesia sampai sekarang. Kenyataan ini pada
perjalanan berikutnya khususnya pada saat Indonesia hampir mencapai kemerdekaan
sampai dengan pasca kemerdekaannya keberadaan tarekat mendapat “porsi” tersendiri di hati para petinggi NU dan
pengikutnya. Perhatian NU terhadap tarekat ini tidak serta merta terjadi begitu
saja, akan tetapi kalau diperhatikan dari aspek kesejahteraan berikut
ajarannya. Dimana perhatian ini disebabkan
oleh banyak faktor yang melatarbelanginya. Di antara faktor-faktor itu
adalah faktor pendidikan, hubungan dan keterikatan antara petinggi NU beserta
pengikutnya sebagai murid dan para pemimpin tarekat (Syekh) sebagai
guru, juga interaksi dan komunikasi mereka dalam kehidupan sosial baik dalam
konteks kemasyarakatan maupun kenegaraan, khususnya dalam komunikasi politik
antara keduanya pasca-kemerdekaan Indonesia.[8]
Selain itu,
Politisasi tarekat di Indonesia dalam segi-segi tertentu merupakan reaksi dan
respon terhadap gerakan Salafiyah dalam hal ini, terutama Muhamadiyah yang
mengecam keras berbagai ajaran dan praktek tasawuf dan tarekat. Kekhawatiran
akan tergusurnya Islam tradisional dengan tasawuf dan tarekat inilah yang
antara lain mendorong pembentukan organisai-organisasi tradisional seperti
Nahdlatul Ulama (NU) pada 1926, PERTI (Persatuan Tarbiyah Islamiyah) pada 1928,
dan bahkan PPTI (Partai Politik Tarekat Islam) pada 1940-an, yang selanjutnya
berganti kepanjangan menjadi Persatuan Pengamal Tarekat Islam. Semua organisasi
ini terlibat dalam politik praktis dan proses-proses politik, seperti pemilihan
umum (1955) dalam masa demokrasi terpimpin.
Meskipun demikian,
tarekat tetap terlibat dalam politik pada masa Orde Baru, meskipun tidak lagi
dalam kerangka partai politik independen. Pada tahun 1975, Kiai Mustain Romli
dari Rejoso, misalnya terpilih sebagai ketua Jam’iyyah Ahl al-Thariqah
Al-Muktabarah, sebuah organisasi yang menghimpun berbagai tarekat di
lingkungan kaum muslimin tradisional, khususnya NU. Tidak lama menjabat sebagai
ketu Jam’iyah, Syekh Mustain Romli yang kharismatik ini segera memaklumkan diri
mendukung Golongan Karya (Golkar) dalam pemilu 1977. Tindakan ini mengundang
kontraversi karena ia diharapkan mendukung Partai Persatuan Pembangunan (PPP),
yang pada waktu itu masih merupakan Partai Islam. Setelah itu, Jam’iyah Ahl
at-Thariqah Al-Muktabarah dipimpin oleh K.H. Idham Khalid, dan kelihatannya
berusaha menghindarkan diri dari keterlibatan langsung dalam politik praktis.
Begitu juga dengan Abah Anom, pemimpin Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah yang
berpusat di Suralaya, Tasikmalaya, yang secara terbuka mengklasifikasikan diri
dengan Paratai Golkar[9].
Dukungan para pemuka
tarekat dianggap sangat penting untuk menarik suara pengikutnya agar memihak
kepada salah satu partai tertentu dalam pemilu, termasuk partai penguasa.
Kehadiran Jendral Nasution pada Kongres Jam’iyah Ahl Al-Thariqah al_muktabarah
di Pekalongan pada tahun 1960 dan kehadiran Presiden Soeharto pada Kongres
kelima di Madiun pada tahun 1975 dapat dipahami dalam konteks hubungan saling
mendukung antara tarekat dan kekuasaan ini. Demikian pula dengan diterbitkannya
sejumlah publikasi yang menarik mengenai partisipasi tarekat-tarekat dalam usaha
pembangunan yang dilaksanakan Orde baru adalah bukti lain dari dialektika
tarekat dan politik di Indonesia.[10]
Demikian pula kiprah Ahmad Rifa’i dari
Kalisalak (1786-1875) menjadi panutan masyarakat Batang dalam hal menghadapi
tekanan politik penguasa, sebagaimana keberanian menghadapi tekanan politik
penguasa, sebagaimana tarekat Qadariyah melawan Belanda di daerah Banten.[11]
2.3 Hubungan Tarekat dengan Ekonomi
Dalam lapangan
kehidupan bermasyarakat, ulama-ulama tarekat juga memiliki andil yang cukup
besar dalam membentuk karakter masyarakat Indonesia. Ini ditunjukkan misalnya
oleh Syaikh Muhammad Arsyad al Banjari (1720-1812), penulis kitab Sabil
al-Muhtadin yang menggabungkan karakter kesufian dengan etos kerja petani
di daerah Banjar melalui pengajuan tarekat[12].
Kondisi objektif
menunjukkan bahwa kehidupan tarekat mampu menarik sebagian besar pengikut yang kurang
beruntung dalam bidang ekonomi, akan tetapi sebaliknya juga dapat menarik
sebagian kecil pengikut yang telah sukses ekonomi, pendidikan, pekerjaan dan
jabatan. Bahkan sering terjadi pada orang-orang sukses tersebut menjadi
pengikut tarekat yang pada tahap berikutnya sebagai soko guru dalam
mengembangkan organisasi tarekat.[13]
Terkait dengan
adanya hubungan tarekat dengan ekonomi, bahwa di Desa Kuanyar yang terletak di
Kecamatan Mayon, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, terdapat para penganut penganut
tarekat Syattariyah yang juga memiliki kesibukan di dalam masalah pekerjaan
seperti berdagang dan bertani. Dimana aktivitas dzikir selalu mereka lakukan
disela-sela kesibukannya sebagai petani dan pedagang. Waktu dzikir memang tidak
dapat dipastikan, sebab terkadang dilakukan malam hari dan terkadang pada
waktu-waktu yang lain. Tetapi yang sering dilakukan adalah pada malam hari
selepas mengerjakan semua pekerjaan. Apalagi ketika pekerjaan sedang sibuk,
praktis dzikir hanya dikerjakan pada malam hari, sebab selepas sembahyang
(sholat), terkadang harus secepatnya kembali ke sawah untuk mengurusi orang
bekerja. Kegiatan tersebut seperti yang dilakukan oleh Pak Surahman yang
merupakan salah satu dari penganut tarekat Syatariyah di Desa Kuanyar. Pak
Surahman pada waktu musim pekerjaan, ia sudah mengawali kerjanya pada waktu
pagi-pagi sekali. Pada saat demikian, ia sudah terlihat dengan berbagai
transaksi perdagangan atau ke sawah untuk menanti orang yang bekerja.[14]
Selain itu, ada
juga Pak Kusen yang juga berjualan jajan di pasar Welahan, merupakan salah satu
dari penganut tarekat Syatariyah yang usaianya sudah cukup tua, kira-kira 60
tahun. Akan tetapi masih sehat, walaupun sebenarnya ia mempunyai penyakit dada.
Tidak diketahui apa nama penyakitnya itu. Penyakit tersebut telah dirasakannnya
semenjak waktu yang lama. Tetapi sekarang penyakit itu sudah jarang
dirasakannya. Hanya sekali-kali saja dirasakan kumat. Keadaan Pak Kusen
kini telah berubah setelah bertemu denga Pak Masjhuri dan di beri tahu agar ke
Kia Syihabudin untuk memohon petunjuk mengenai permasalahan yang sedang di
alaminya. Bagi orang yang akan memasuki ajaran tarekat,kelihatannya proses
pertimbangan selalu terlihat, yaitu mengikuti ajaran tarekat atau tidak, begitu
juga dengan Pak Kusen. Ia juga mempertimbangkannya terhadap keadaan tersebut,
dan akhirnya ia memasukinya. Setelah masuk, ia merasakan bahwa sembahyang dan
wiridnya semakin rajin dan perasaannya juga menjadi tentram.[15]
Berbeda dari kesan
umum mengenai sikap hidup duniawi dari pengikut tarekat dalam tradisi sufi,
pengikut tarekat Syadziliyah memiliki etos kerja cukup tinggi. Mereka juga
memiliki jaringan bisnis di antara kaum pengikut tarekat tersebut. Namun
kegiatan ekonomi produktif yang mereka lakukan ternyata tidak tumbuh besar. Hal
ini terjadi berkaitan erat dengan berbagai ajaran tarekat ini mengenai fungsi
harta, kerja dan hubungan sosial yang lebih luas.
Demikian pula
halnya dengan para pengikut tarekat Syadziliyah di Damaran, dimana kehidupan
sehari-hari mereka yang menjadikan rumah tempat tinggal sebagai tempat bekerja
dan berproduksi. Oleh karena itu, rumah pengikut tarekat ini akan selalu
dipenuhi dengan barang-barang dagangan hasil produksi sendiri atau produksi
orang lain. Rumah mereka juga selalu ramai dengan para pekerja yang datang dari
desa-desa di sekitar Kudus Kulon.
Bagi yang tidak
memproduksi sesuatu di rumah, sebagian dari rumahnya dipakai untuk warung,
sehingga rumah bagi pengikut tarekat Syaziliyah mempunyai fungsi ekonomi yang
komersial. Pada saat berada dirumah, mereka selalu terlibat mengerjakan
sesuatu. Sementara bagi mereka yang memproduksi pakaian akan terlibat dalam
menentukan metode, jumlah produksi, sekaligus desain dan kegiatan
potong-memotong. Para pekerja hanya tinggal menjahit dan mengerjakan pekerjaan
akhir lainnya.
Selain rumah,
tempat penting kedua dalam kegiatan sehari-hari pengikut tarekat Syadziliyah
adalah pasar dan toko-toko Cina. Bagi mereka, pasar adalah tempat pemasaran
atau penjualan hasil-hasil produksi usahanya, sedangkan toko-toko Cina adalah
tempat mereka mendapatkan bahan-bahan baku. Hasildari apa yang mereka lakukan
di pasar dan di toko akan sanagt mempengaruhi kegiatan yang dilakukan dirumah. Bial
mereka tidak menemukanbahan yang sesuai dengan tuntutan pasar, kegiatan
produksi di rumah akan menurun. Bahkan hal itu aka mengakibatkan terhentinya
kegiatan produksi, menunggu tersedianya bahan baku. Sebaliknya, tersedianya
bahan baku akan mendorong kembali kegiatan produksi sehingga para pengikut tarekat
itu akan bekerja keras memasarkan barang produksi ke pasar Kudus atau ke
tempat-tempat lain sambil melihat-melihat perkembangan mode yang laku di
pasaran.
Bagi mereka,
melalui jalan tarekat, mereka merasa lebih aman, karena dengan itu mereka
mempunyai guru yang bisa dijadikan pegangan (gandelan) dalam segala hal.
Pekerjaan dagang adalah pekerjaan nasib-nasiban yang tidak bisa ditentukan
hasilnya, dan ini adalah masalah besar yang tiap hari mereka hadapi. Mereka
tidak bisa mengendalikan harga pasar dan tidak bisa menentukan apakah hari ini
ada pembeli atau tidak, apakah pedagang lain ada yang membanting harga atau
tidak, dan masih banyak persoalan lain yang menyangkut lapangan pekerjaan
mereka baik yang di pasar, di rumah, maupun di tempat penyediaan bahan baku.
Untuk mengatasi
persoalan-persoalan yang tidak bisa dipecahkan dengan kemampuan yang
dimilikinya, mereka memerlukan tarekat yang dapat mengurangi kegelisahan dan
memberikan ketenangan karena kepercayan atas suatu kekuatan supernatural yang
dapat membantu dalam menghadapi persoalan tersebut. Kekuatan supernatural itu
ada di tangan Allah SWT yang bisa diperoleh lewat perantara seorang mursyid.
Kepada mursyid, pengikut tarekat akan sangat hormat bahkan terkesan takut.
Mereka percaya bahwa segenap perilakunya diteropong oleh mursyidnya.[16]
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Tarekat semakin mengalami perkembangan dan semakin banyak para
pengikutnya. Sehingga keberadaan tarekat sangat mempengaruhi sekali terhadap
kehidupan manusia, khususnya para pengikut tarekat. Termasuk hubungan tarekat
dengan politik yang tentunya saat ini sudah tidak bisa diragukan lagi
kiprahnya. Dimana keberadaan tarekat ditengah-tengah kehidupan politik di
Indonesia tidak bisa di pandang sebelah mata keberadaannya, khususnya dalam
ajang pesta politik baik dalam memilih kepala daerah hingga memilih Presiden.
Tarekat ternyata
tidak hanya berhubungan dengan politik saja, akan tetapi juga berhubungan
dengan ekonomi. Hubungan tarekat dengan ekonomi juga sangat berpengaruh dengan
kehidupan perekonomian para pengikut tarekat. Para pengikut tarekat sebagian
ada yang menjadukan tarekat sebagai salah satu solusi dalam menyelesaikan
permasalahan perekonomian yang sedang hadapi. Hal itu di dukung dengan adanya
anggapan dari para pengikut tarekat terhadap seorang mursyid yang bisa
memberikan solusi atas masalahnya dan selalu mengawasi segala aktivitasnya,
khususnya dalam masalah ekonomi.
DAFTAR PUSTAKA
Anshori, Subkhan, 2011, Tasawuf
dan Revolusi Sosial, Kediri:Pustaka Azhar
Masyhuri, Aziz, 2011, 22
Aliran Tarekat dalam Tasawuf,Surabaya:Imtiyaz
Mu’tasim, Radjasa & Munir Khan, Abdul, 1998, Bisnis
Kaum Sufi, Yogyakarta:Pustaka Pelajar
Rusli, Ris’an, 2013, Tasawuf
dan Tarekat, Jakarta:Raja Grafindo Persada
Shadiq, Ja’far,
2008, Pertemuan antara Tarekat dan NU, Yogyakarta:Pustaka Pelajar
Siswa 2011, Purna, 2011, Jejak Sufi, Kediri:Lirboyo
Press
Syafi’i Mufid,
Ahmad, 2006, Tanglukan, Abangan, dan Tarekat, Jakarta:Yayasan Obor
Indonesia
Syam, Nur, 2013, Tarekat
Petani, Yogyakarta:LkiS
[1] Ahmad Syafi’i
Mufid, Tanglukan, Abangan, dan Tarekat, (Jakarta:Yayasan Obor Indonesia,
2006), hlm. 25.
[2] Ibid, hlm.24.
[3] Ibid, hlm.49-50.
[4] Subkhan
Anshori, Tasawuf dan Revolusi Sosial, (Kediri:Pustaka Azhar,2011),hlm.219.
[5] Aziz Masyhuri, 22
Aliran Tarekat dalam Tasawuf,(Surabay:Imtiyaz,2011),hlm.7-8.
[6]
Radjasa
Musta’in, Abdul Munir Mulkhan, Bisnis Kaum Sufi,(Yogyakarta:Pustaka Pelajar,1998),hlm.13.
[8] Ja’far Shadiq, Pertemuan
antara Tarekat dan NU, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2008).
[9] Purna Siswa
2011, Jejak Sufi, (Kediri:Lirboyo Press,2011),hlm.196.
[10] Subkhan
Anshori, hlm.238.
[11] Ris’an Rusli, Op
Cit ,hlm.220-221.
[12] Ibid, hlm.221.
[13] Ibid, ,hlm.216.
[14] Nur Syam, Tarekat
Petani, (Yogyakarta:LkiS,2013),hlm.155-156.
[15] Ibid,
hlm.182-183.
[16]
Radjasa
Mu’tasim & Abdul Munir Khan, Bisnis Kaum Sufi, (Yogyakarta:Pustaka
Pelajar,1998), hlm.177-181.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar