Konsep Tauhid Sufistik Para Sahabat
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Untuk membentuk akidah dalam masyarakat suatu bangsa atau
merubahnya memerlukan waktu yang sangat lama sekali. Akan tetapi ketika sudah
terbentuk dan berubah maka pengaruhnya juga sangat besar sekali. Sehingga
adanya pemahaman akidah yang benar sangat diperlukan demi terwujudnya akidah
Islam yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah.
Dengan demikian, adanya perubahan atau penyelewwngan akidah setelah
wafat Rasulullah juga terjadi. Dimana para Sahabat pada waktu itu dihadapkan
dengan keadaan yang memperihatinkan karena kaum muslimin banyak sekali yang
akidahnya menyeleweng dan berubah tidak sesuai dengan akidah yang pernah
Rasulullah ajarkan. Berbagai cara dilakukan oleh para Sahabat demi terbentuknya
akidah Islam yang benar sesuai dengan ajaran Rasulullah.
Oleh karena itu, dalam makalah ini akan membahas tentang ajaran
akidah (tauhid) para Sahabat Rasulullah. Sehingga adanya makalah ini bisa
menambah wacana dan wawasan keilmuan kita, khususnya dalam akidah (tauhid) yang
benar sesuai tuntunan (ajaran) Rasulullah.
1.2 Rumusan Masalah
· Definisi Akidah (Tauhid)
· Konsep Akidah (Tauhid) para Sahabat
· Pengaruh Konsep Akidah (Tauhid) para Sahabat
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Definisi Akidah (Tauhid)
Ilmu Tauhid adalah ilmu yang membicarakan tentang cara-cara
menetapkan akidah agama dengan menggunakan dalil-dalil yang menyakinkan, baik
dalil-dalil itu merupakan dalil naqli, adalil aqli, ataupun dalil
wijdani (perasaan tulus). Ilmu tersebut dikatakan tauhid karena membahas
tentang pokok ke-Esaan Allah yang merupakan asas pokok agama Islam, sebagaimana
yang berlaku terhadap agama yang benar yang telah diwariskan oleh para Rasul
Allah. Ilmu tauhid digunakan untuk menetapkan akidah-akidah diniyah yang di dalamnya
dijelaskan segala sesuatu yang disampaikan Rasul dari Allah, tumbuh dan
bekembang bersama tumbuhnya agama di dunia ini.[1]
Oleh karena itu,
akidah diniyah adalah akidah yang mempunyai hubungan yang erat dengan agama,
baik merupakan hukum, pikiran taupun pendapat. Sehingga akidah menurut Gustave
Le Bon Pujangga Paris adalah keimanan yang tumbuh dari suatu sumber yang tidak
dapat diraskan yang memaksa manusia mempercayai sesuatu ketentuan tanpa dalil.
Akidah merupakan ilham yang tumbuh dengan sendirinya yang tak dapat dirasakan,
tumbuh dari sebab-sebab yang terlepas dari pengaruh kemauan. Akidah terkadang
tumbuh dalam hati, kemudian berusaha mempergunakan akal untuk membenarkan
akidahnya itu.[2]
2.2 Konsep Akidah (Tauhid) Para Sahabat
Setelah Rasulullah
wafat, pada masa khalifah pertama dan kedua, umat Islam tidak sempat membahas
dasar-dasar akidah. Hal itu disebabkan karena mereka sibuk menghadapi musuh dan
berusaha mempertahankan kesatuan dan persatuan umat. Sehingga tidak pernah terjadi
perbedaan dalam bidang akidah. Mereka membaca dan memahamkan al-Qur’an tanpa
mencari takwil dari ayat-ayat yang mereka baca. Mereka mengikuti perintah
al-Qur’an dan mereka menjauhi larangannya. Mereka mensifatkan Allah dengan apa
yang Allah sifatkan sendiri. Dan mereka mensucikan dengan apa yang Allah
sifatkan sendiri. Serta mereka mensucikan Allah dari sifat-sifat yang tidak
layak bagi keagungan Allah. Apabila mereka menemukan ayat-ayat mutsyabihat, mereka
mengimaninya denga menyerahkan pentakwilannya kepada Allah sendiri. Permasalahan
mengenai akidah mulai muncul setelah terbunuhnya khalifah yang ketiga yaitu
Utsman bin Affan.[3]
A.
Konsep
Tauhid Abu Bakar dan Umar bin Khatab
Abu Bakar ash-Shidiq
merupakan orang yang pertama kali membenarkan atau mengimani terhadap
ke-Rasulan Nabi Muhammad. Beliau mengimani dan membernarkan dari ajaran dan
setiap apapun yang dikatakan Rasulullah disaat selainnya menyalahkan
Rasulullah. Bahkan beliau juga termasuk orang yang pertama kali percaya deng
peristiwa Isra’ Mi’raj yang di
alami Rasulullah. Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah telah mengutusku
kepada kalian semua. Namun kalian malah berdusta, ‘kamu adalah pendusta’.
Sedangkan Abu Bakar membenarkan (ajaranku). Dia telah membantuku dengan jiwa
dan hartanya. Apakah kalian akan meninggalkan aku (dengan meninggalkan)
Sahabatku? Rasulullah mengucapkan kalimat itu dua kali. Sejak itu Abu Bakar
tidak pernah disakiti (oleh seorang pun dari kaum Muslimin). (H.R. Bukhari)[4].
Konsep tauhid dari
Sahabat Abu Bakar dan Sahabat Umar sangat jelas sekali. Rasulullah pernah
bersabda: “Pada umat terdahulu, terdapat orang-orang yang berhadits
(berbicara/berfatwa)”. Jika salah satu dari umatku, Umar adalah orangnya. Rasulullah
juga pernah bersabda: “Jika Allah mengirim lagi seorang Rasul kepada kalian,
niscaya Umar orangnya”. Hal tersebut juga dikuatkan dengan perkataan Ali bin
Abi Thalib :”Kami tidak meragukan bahwa ketenangan selalu keluar dari perkataan
Umar”. Sedangkan konsep tauhid Abu Bakar di kuatkan oleh Umar bin Khatab dengan
beliau berkata: “Demi Allah, tiada yang aku ketahui selain Allah telah
melapangkan dada Abu bakar, sehingga aku mengetahui bahwa keputusannya itu
adalah benar”. Sealin itu, Abu Bakar selalu berpijak dan berpedoman kepada
kalimat لا اله الا الله dalam setiap perbuatan dan ucapannya.
Hal itu terbukti dengan adanya Rasulullah menjadikan Sahabat Abu Bakar sebagai
contoh terbaik wali Allah setelah sahabat Umar. Sebab Sahabat Abu Bakar adalah
seseorang yang sangat gigih menegakkan keadilan dan memerangi penindasan.[5]
B.
Konsep
Tauhid Abu ‘Ubaidah ibnu al-Jarrah
Kewajiban yang
ditetapkan oleh Allah kepada hati adalah
menetapkan, mengetahui, meyakini, rela dan menerima bahwa tidak ada Tuhan yang haq
di sembah kecuali Allah, tiada sekutu bagi-Nya, tidak mempunyai isterri
atau suami dan juga tidak memiliki anak.
Bersih dari apapun yang melekat dari sifat makhluk. Dan bersaksi bahwa
Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Kemudian menetapkan apa saja yang datang
dari Allah, berupa di utusnya nabi atu kitab. Maka hal tersebutlah yang telah
diwajibkan atau di tetapkan oleh Allah terhadap hati, sekaligus menjadi tugas
atau pekerjaan hati yang harus dikerjakan. Allah berfirman dalam Q.S
an-Nahl:106.
من
كفر بالله من بعد ايمنه الا من اكره وقلبه مطمئن با الايمن
ولكن من شرح با لكفر صدرا فعليهم غضب من الله
ولهم عذاب عليم
“Barang siapa yang kafir kepada Allah setelah
Dia beriman (di mendapat kemurkaan allah), kecuali orang yang dipaksa kafir
padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi
orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya
dan baginya adzab yang besar”.( Q.S an-Nahl:106).
ألا
بذكر الله تطمئن القلوب
“Ingat, hanya dengan mengingat Allah-lah hati
menjadi tentram. (Q.S.Ar-Rad:28)
Inilah di antara
kewajiban iman yang Allah tetapkan terhadap hati, dan hal itu (keimanan hati)
merupakan sesuatu yang terbesar dan terpenting bagi seorang hamba sebagai
syarat untuk menggapai rahim Allah kelak di surga.[6]
C. Konsep Akidah (Tauhid) Ja’far Shodiq
Ja’far
Shodiq merupakan salah satu dari ahlulbait (keluarga) Rasulullah yang mulia.
Beliau ketika menginginkan sesuatu beliau berdo’a kepada Allah dengan doa: “Ya
Tuhanku saya membutuhkan sesuatu ini, maka ketika do’a tersebut belum selesai
beliau ucapkan Allah telah mengabulkan do’a tersebut dengan wujudnya sesuatu di
hadapannya”. Pendapat tersebut sesuai dengan apa yang dikomentarkan oleh Imam
Sya’rani. Hal itu menjadi jelas bahwa adanya Tauhid atau Akidah yang dimiliki
oleh sahabat Ja’far Shodiq sangat kuat sekali.[7]
[1][1] Teungku Muhammad Hasbi
Ash-Shiddieqiy, Ilmu Tauhid, (Semarang:Pustaka Rizki
Putra,2009),hlm.1-3.
[2] Ibid,hlm.31-33.
[3] Ibid, hlm.6.
[4] Laskar Lawang Songo, Mirror, (Kediri:Lirboyo
Prees,2012),hlm.1-3.
[5] Subhan Anshori, Tasawuf dan
Revolusi Sosial,( Kediri:Pustaka Azhar,2011),hlm.216-218 .
[6] Laskar Lawang Songo, Opcit,hlm.28.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar