Rabu, 09 Desember 2015

Konsep Tauhid Sufistik Para Sahabat
BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Untuk membentuk akidah dalam masyarakat suatu bangsa atau merubahnya memerlukan waktu yang sangat lama sekali. Akan tetapi ketika sudah terbentuk dan berubah maka pengaruhnya juga sangat besar sekali. Sehingga adanya pemahaman akidah yang benar sangat diperlukan demi terwujudnya akidah Islam yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah.
Dengan demikian, adanya perubahan atau penyelewwngan akidah setelah wafat Rasulullah juga terjadi. Dimana para Sahabat pada waktu itu dihadapkan dengan keadaan yang memperihatinkan karena kaum muslimin banyak sekali yang akidahnya menyeleweng dan berubah tidak sesuai dengan akidah yang pernah Rasulullah ajarkan. Berbagai cara dilakukan oleh para Sahabat demi terbentuknya akidah Islam yang benar sesuai dengan ajaran Rasulullah.
Oleh karena itu, dalam makalah ini akan membahas tentang ajaran akidah (tauhid) para Sahabat Rasulullah. Sehingga adanya makalah ini bisa menambah wacana dan wawasan keilmuan kita, khususnya dalam akidah (tauhid) yang benar sesuai tuntunan (ajaran) Rasulullah.
1.2 Rumusan Masalah
·    Definisi Akidah (Tauhid)
·    Konsep Akidah (Tauhid) para Sahabat
·    Pengaruh Konsep Akidah (Tauhid) para Sahabat




 BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Akidah (Tauhid)
          Ilmu Tauhid adalah ilmu yang membicarakan tentang cara-cara menetapkan akidah agama dengan menggunakan dalil-dalil yang menyakinkan, baik dalil-dalil itu merupakan dalil naqli, adalil aqli, ataupun dalil wijdani (perasaan tulus). Ilmu tersebut dikatakan tauhid karena membahas tentang pokok ke-Esaan Allah yang merupakan asas pokok agama Islam, sebagaimana yang berlaku terhadap agama yang benar yang telah diwariskan oleh para Rasul Allah. Ilmu tauhid digunakan untuk menetapkan akidah-akidah diniyah yang di dalamnya dijelaskan segala sesuatu yang disampaikan Rasul dari Allah, tumbuh dan bekembang bersama tumbuhnya agama di dunia ini.[1]
          Oleh karena itu, akidah diniyah adalah akidah yang mempunyai hubungan yang erat dengan agama, baik merupakan hukum, pikiran taupun pendapat. Sehingga akidah menurut Gustave Le Bon Pujangga Paris adalah keimanan yang tumbuh dari suatu sumber yang tidak dapat diraskan yang memaksa manusia mempercayai sesuatu ketentuan tanpa dalil. Akidah merupakan ilham yang tumbuh dengan sendirinya yang tak dapat dirasakan, tumbuh dari sebab-sebab yang terlepas dari pengaruh kemauan. Akidah terkadang tumbuh dalam hati, kemudian berusaha mempergunakan akal untuk membenarkan akidahnya itu.[2]
2.2 Konsep Akidah (Tauhid) Para Sahabat
          Setelah Rasulullah wafat, pada masa khalifah pertama dan kedua, umat Islam tidak sempat membahas dasar-dasar akidah. Hal itu disebabkan karena mereka sibuk menghadapi musuh dan berusaha mempertahankan kesatuan dan persatuan umat. Sehingga tidak pernah terjadi perbedaan dalam bidang akidah. Mereka membaca dan memahamkan al-Qur’an tanpa mencari takwil dari ayat-ayat yang mereka baca. Mereka mengikuti perintah al-Qur’an dan mereka menjauhi larangannya. Mereka mensifatkan Allah dengan apa yang Allah sifatkan sendiri. Dan mereka mensucikan dengan apa yang Allah sifatkan sendiri. Serta mereka mensucikan Allah dari sifat-sifat yang tidak layak bagi keagungan Allah. Apabila mereka menemukan ayat-ayat mutsyabihat, mereka mengimaninya denga menyerahkan pentakwilannya kepada Allah sendiri. Permasalahan mengenai akidah mulai muncul setelah terbunuhnya khalifah yang ketiga yaitu Utsman bin Affan.[3]
A.    Konsep Tauhid Abu Bakar dan Umar bin Khatab
          Abu Bakar ash-Shidiq merupakan orang yang pertama kali membenarkan atau mengimani terhadap ke-Rasulan Nabi Muhammad. Beliau mengimani dan membernarkan dari ajaran dan setiap apapun yang dikatakan Rasulullah disaat selainnya menyalahkan Rasulullah. Bahkan beliau juga termasuk orang yang pertama kali percaya deng peristiwa Isra’ Mi’raj  yang di alami Rasulullah. Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah telah mengutusku kepada kalian semua. Namun kalian malah berdusta, ‘kamu adalah pendusta’. Sedangkan Abu Bakar membenarkan (ajaranku). Dia telah membantuku dengan jiwa dan hartanya. Apakah kalian akan meninggalkan aku (dengan meninggalkan) Sahabatku? Rasulullah mengucapkan kalimat itu dua kali. Sejak itu Abu Bakar tidak pernah disakiti (oleh seorang pun dari kaum Muslimin). (H.R. Bukhari)[4].
          Konsep tauhid dari Sahabat Abu Bakar dan Sahabat Umar sangat jelas sekali. Rasulullah pernah bersabda: “Pada umat terdahulu, terdapat orang-orang yang berhadits (berbicara/berfatwa)”. Jika salah satu dari umatku, Umar adalah orangnya. Rasulullah juga pernah bersabda: “Jika Allah mengirim lagi seorang Rasul kepada kalian, niscaya Umar orangnya”. Hal tersebut juga dikuatkan dengan perkataan Ali bin Abi Thalib :”Kami tidak meragukan bahwa ketenangan selalu keluar dari perkataan Umar”. Sedangkan konsep tauhid Abu Bakar di kuatkan oleh Umar bin Khatab dengan beliau berkata: “Demi Allah, tiada yang aku ketahui selain Allah telah melapangkan dada Abu bakar, sehingga aku mengetahui bahwa keputusannya itu adalah benar”. Sealin itu, Abu Bakar selalu berpijak dan berpedoman kepada kalimat لا اله الا الله dalam setiap perbuatan dan ucapannya. Hal itu terbukti dengan adanya Rasulullah menjadikan Sahabat Abu Bakar sebagai contoh terbaik wali Allah setelah sahabat Umar. Sebab Sahabat Abu Bakar adalah seseorang yang sangat gigih menegakkan keadilan dan memerangi penindasan.[5]
B.     Konsep Tauhid Abu ‘Ubaidah ibnu al-Jarrah
          Kewajiban yang ditetapkan  oleh Allah kepada hati adalah menetapkan, mengetahui, meyakini, rela dan menerima bahwa tidak ada Tuhan yang haq di sembah kecuali Allah, tiada sekutu bagi-Nya, tidak mempunyai isterri atau suami dan juga tidak memiliki anak.  Bersih dari apapun yang melekat dari sifat makhluk. Dan bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Kemudian menetapkan apa saja yang datang dari Allah, berupa di utusnya nabi atu kitab. Maka hal tersebutlah yang telah diwajibkan atau di tetapkan oleh Allah terhadap hati, sekaligus menjadi tugas atau pekerjaan hati yang harus dikerjakan. Allah berfirman dalam Q.S an-Nahl:106.
من كفر بالله من بعد ايمنه الا من اكره وقلبه مطمئن با الايمن
 ولكن من شرح با لكفر صدرا فعليهم غضب من الله ولهم عذاب عليم
“Barang siapa yang kafir kepada Allah setelah Dia beriman (di mendapat kemurkaan allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya adzab yang besar”.( Q.S an-Nahl:106).                     
ألا بذكر الله تطمئن القلوب
“Ingat, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tentram. (Q.S.Ar-Rad:28)
            Inilah di antara kewajiban iman yang Allah tetapkan terhadap hati, dan hal itu (keimanan hati) merupakan sesuatu yang terbesar dan terpenting bagi seorang hamba sebagai syarat untuk menggapai rahim Allah kelak di surga.[6]
C.     Konsep Akidah (Tauhid) Ja’far Shodiq
Ja’far Shodiq merupakan salah satu dari ahlulbait (keluarga) Rasulullah yang mulia. Beliau ketika menginginkan sesuatu beliau berdo’a kepada Allah dengan doa: “Ya Tuhanku saya membutuhkan sesuatu ini, maka ketika do’a tersebut belum selesai beliau ucapkan Allah telah mengabulkan do’a tersebut dengan wujudnya sesuatu di hadapannya”. Pendapat tersebut sesuai dengan apa yang dikomentarkan oleh Imam Sya’rani. Hal itu menjadi jelas bahwa adanya Tauhid atau Akidah yang dimiliki oleh sahabat Ja’far Shodiq sangat kuat sekali.[7]




[1][1] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqiy, Ilmu Tauhid, (Semarang:Pustaka Rizki Putra,2009),hlm.1-3.
[2] Ibid,hlm.31-33.
[3] Ibid, hlm.6.  
[4] Laskar Lawang Songo, Mirror, (Kediri:Lirboyo Prees,2012),hlm.1-3.
[5] Subhan Anshori, Tasawuf dan Revolusi Sosial,( Kediri:Pustaka Azhar,2011),hlm.216-218  .
[6] Laskar Lawang Songo, Opcit,hlm.28.
[7] Ahmad Ibn Asymuni Aljaruni, Fadhoil Auliyai Wakaratuhu, (Kediri:Hidayatutulab,tt). Hlm. 12

Tidak ada komentar:

Posting Komentar