Rabu, 09 Desember 2015

Tasawuf dan Aliran Kebatinan
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Manusia merupakan makhluk yang senantiasa berusaha untuk mencari sesuatu yang bisa memberikan ketenangan dalam jiwanya. Sehingga berbagai cara dilakukan supaya ketenangan dan kedaimaian jiwa bisa di capai. Oleh karena itu, aliran kebatinan juga merupakan sebuah aliran yang di akui oleh masyarakat jawa mengajarkan tentang kesucian jiwa, kedamaian jiwa, dan bagaimana bisa dekat dengan sang pencipta jagat raya ini. Sehingga ajaran-ajaran aliran kebatinan di tanah jawa ini mudah untuk diterima oleh masyarakat. Hal itu karena berbagai pendekatan aliran kebatinan sangat baik, lembut dan penuh toleransi.
Dengan demikian, aliran kebatinan merupakan aliran yang telah melekat dan sudah beridentitas di tanah jawa ini. Dikarenakan keberadaan aliran kebatinan  merupakan kepercayaan yang sudah mempunyai ajaran yang spesifik yang bisa dibedakan dengan aliran lainnya.
Makalah ini akan membahas tentang pola pikir dan ajaran pokok kebatinan. Dimana di dalamnya berisi tentang pemikiran genostik (ladunni jawa), union mistik (manunggaling kawulo gusti). Selain itu, makalah ini juga membahas tentang kebatinan dan budi luhur. Semoga makalah ini bisa memberikan wacana dan wawasan keilmuan kita. Sehingga kita bisa menanamkan sikap toleransi antar beragama dan tidak mudah mengvonis dan mengklaim sesat terhadap aliran-aliran kepercayaan.
I.2 Rumusan Masalah
A. Pola Pikir dan Ajaran Pokok Kebatinan
B. Pemikiran Gnostik (Ladunni Jawa)
C. Union Mistik (Manunggaling Kawulo Gusti)
D. Kebatinan dan Budi Luhur
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pola Pikir dan Ajaran Pokok Kebatinan
            Aliran kebatianan merupakan aliran kepercayaan masyarakat jawa yang sudah memiliki ajaran spesifik dan mempunyai guru atau kadang-kadang mempunyai organisasi. Bahkan beberapa di antara ada yang sudah mempunyai kitab suci yang diyakini sebagai wahyu dari Tuhan Yang Maha Esa dari guru yang membawanya. Berbagai corak dari karya-karya budaya Jawa masa lalu yang menjadi sumber ajaran kebatinan terdapat kesesuaian pendapat tentang ajaran kebatinan. Kebanyakan berpendapat bahwa kebatinan merupakan gerakan mistik magis, yaitu suatu gerakan yang bertujuan menciptakan hubungan yang sedekat mungkin antara manusia dan Tuhan. Bahkan adanya manusia dan Tuhan bisa bersatu serta berusaha mengemban kekuatan daya linuwih. Dimana kekuatan linuwih merupakan kemampuan-kemampuan di luar kemampuan manusia biasa dalam ilmu gaib.
            Dalam bahasa Indonesia, istilah kebatinan dapat dipakai untuk aspek ruhaniah. Kebatinan mengutamakan aspek yang batini dari ajaran agama. Dalam ilmu keislaman, aspek ini dikenal dengan nama aspek tasawuf dari ajaran Islam. Sedangkan kalau aspek ini adalah aspek ruhaniah dan rasa, maka tidak dibatasi dengan bentuk bersatu dengan Tuhan. Pengalaman ruhaniah melewati dari pengalaman lahiriah. Pengalaman lahiriah bisa di amati dan berlangsung menurut hukum-hukum alam. Akan tetapi pengalaman batin atau ryhaniah hanya dapat dirasakan oleh orang-orang yang mengalaminya. Namun indikator orang yang kaya akan pengalaman ruhaniah dapat disaksikan dalam perilaku seperti tidak mau disuap, tidak dholim pada orang lain, dan kemampuan mereka memprediksi banyak hal yang akan terjadi melalui ilham (ilmu ladunni) yang mereka dapatkan. Sehingga aliran kebatinan (kepercayaan) bisa mengantarkan seseorang untuk bisa mendapatkan pengalaman ruhaniah.[1]
            Menurut Prof. Kamil Kartapraja, bahwa kebatinan (ngelmu kebatinan) dalah suatu ilmu yang bersangkutan dengan ajaran-ajaran mistik dan tasawuf. Selain itu, kebatinan juga di anggap sebagai ngelmu hakikat dan ngelmu sejati. Dimana ngelmu hakikat dan ngelmu sejati merupakan ilmu yang berusaha mencari hakikat hidup, hakikat manusia, hakikat Tuhan dan segala yang bersangkutan dengan metafisika (alam gaib).
            Sedangkan menurut Prof. M. Djajadigoena, SH, bahwa kebatinan adalah usaha manusia untuk mencapai kesempurnaan dirinya. Tujuan terakhir dalam bahasa jawa disebut manunggaling kawulo gusti (bersatunya makhluk dengan khaliq) dan dilambangkan dengan “curiga manjing rangka lan rangka maning ing curiga” (bersatuny keris dengan rangka dan bersatunya rangka dengan keris). Dimana dalam bahasa latin disebut “Unio Mystica” dan orang beragama Budha menyebutnya “Nirwana”. Kemudian jalan yang digunakan untuk mencapai itu disebut samadhi atau meditasi.[2]
          Menurut Prof. Djojodiguno, S.H., berdasarkan hasil penelitian di Indonesia, aliran kebatinan dapat dibedakan menjadi:
1.      Golongan yang hendak menggunakan kekuatan gaib untuk melayani berbagai keperluan manusia (ilmu gaib).
2.      Golongan yang berusaha untuk mempersatukan jiwa manusia dengan Tuhan selama manusia itu masih hidup agar manusia dapat merasakan dan mengetahui hidup di alam baka sebelum mengalami kematian.
3.      Golongan yang berniat mengenal Tuhan (selama manusia itu masih hidup) dan menebus dalam rahasia ketuhanan sebagai tempat asal dan kembalinya manusia.
4.      Golongan yang berhasrat untuk menempuh budi luhur di dunia serta berusaha menciptakan masyarakat yang sling menghargai dan mencintai dengan senantiasa mengindahkan perintah-perintah Tuhan[3].

            Oleh karena itu, kesempuranaan hidup diri manusia di ungkapkan dengan istilah manunggaling kawulo gusti. Dikarenakan hal tersebut merupakan puncak kebahagiaan hidup. Sebab apabila seseorang telah mencapai tingkat  tersebut, seseorang itu berarti telah mencicipi kehidupan surgawi atau nirwana dikala masih hidup di dunia. Selain itu, banyak sekali istilah-istilah yang digunakan untuk mengungkapkan keadaan seperti itu antara lain adalah jumbuhing kawulo gusti, makripating makripat, tan ono, loro-loro ning atunggal dan lain sebagainya. Beberapa aliran kebatinan mengajarkan bahwa jika manusia tidak bisa manunggal kembali dengan Tuhan setelah matinya maka ia akan reinkarnasi hidup kembali ke dunia dalam bentuk lain. Dalam kebatinan, istilah reinkarnasi  disebut hanyokro manggilingan, tumimba lahir atau panitisan. Proses reinkarnasi ini ditentukan oleh karma  yaitu amal perbuatan atau prestasi manusia dalam hidup yang akan menentukan kehidupannya di masa yang akan datang.
            Kemudian hasil dari manunggaling kawulo gusti akan menjadikan manusia memperoleh pula kekuatan gaib, daya linuwih diluar batas-batas kemampuan manusia biasa. Hal itu sesuai dengan pendapat Rahmat Subaya tentang definisi kebatinan sebagai berikut:
a.       Kebatinan merupakn suatu gerakan
b.      Kebatinan berisi latihan-latihan agar diri manusia beralih dari kedudukan semula kepada tingkat yang lebih sempurna
c.       Kebatinan menyebabkan partisipasi manusia dalam daya luar biasa yang mampu mengatasi kemampuan orang biasa
Kemudian yang termasuk kemampuan luar biasa antara lain:
1.      Hadir dalam dua tempat dalam waktu yang sama
2.      Menyembuhkan penyakit oleh daya budi
3.      Bisa berhubungan dengan roh-roh halus di alam gaib
4.      Mengetahui niat yang terkandung dalam diri orang lain
5.      Bisa meramal nasib seseorang atau apa yang akan terjadi pada masa yang akan datang
6.      Memindahkan benda tanpa di sentuh tangan atau di angkat
7.      Memiliki pendengaran, penglihatan, dan penciuman gaib
2.2 Pemikiran Gnostik (Ladunni Jawa)
          Pengalaman dan pendekatan batin (mistik) pada umumnya tidak dirasakan oleh penganut agama yang awam yang hanya melaksanaakan ajaran agama dari aspek hukum (formal saja). Akan tetapi ketika pengalaman batin ini memuncak maka mereka akan meniru dari ajaran agama ataun aliran. Aliran kebatinan (aliran kepercayaan) yang pada umumnya tidak lagi merupakan suatu aliran agama di ikuti ajarannya supaya mendapatkan npengalaman batin (mistik).
          Beragam cara dilakukan untuk mendapatkan pengalaman ruhaniah dalam berbagai agama dan aliran kepercayaan yang mempunyai perbedaan dalam ajaran dan sosial budayanya. Aspek kebatinan di Indonesia menjadi fokus perhatian aliran kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang sebelum tahun 1970-an dinamakan dengan aliran kebatinan. Perubahan nama ini untuk menyesuaikan dengan teks UUD 1945 “sesuai dengan agama dan kepercayaannnya”, sehingga dalam GBHN dinyatakan bahwa pemerintah berkewajiban membina aliran-aliran tersebut. Pengikut aliran ini banyak pula dari kalangan berpendidikan, eksklusif dan yang masih berstatus penganut agama resmi. Mereka masuk aliran tersebut karena merasa tidak puas secara ruhaniah.[4]
Sedangkan latihan-latihan yang dilakukan oleh manusia agar menjadi sempurna dapat dilakukan dengan persiapan etis yaitu selalu menghiasi diri dengan sifat-sifat terpuji dan menghindari sifat-sifat jahat, pengekangan hawa nafsu dan membiasakan diri untuk bersemedi, atau latihan-latihan seperti meditasi, sujud, olah rasa, tapa brata, manembah, salat daim mulat saliro, salat makripat, panekung, eneng ening, meleng manteng, eling, tepekur, dzikir dan lain-lain.
Pengalaman terbang dan meninggalkan alam nyata yang hanya sebatas panca indra dan kesadaran rasional ini dinamakan juga pengalaman transcendental. Tarncendental mempunyai arti melewati batas, kerangka dari suatu yang nyata. Pengaalaman transcendental adalah pengalaman religious yang dirasakan oleh yang mengalaminya sedang berada dalam keadaan yang sangat khusyuk, asyik, rasa nikmat, dan ikhlas yang sangat tinggi, seakan telah berada di alam ghaib, berada dekat sekali atau bahkan telah bersatu dengan Tuhan. Pengaalaman transcendental muncul karena adanya kecenderungan manusia yang tidak puas hanya dengan pengalaman nyata, biasa, alamiah, kongret, dan rasional saja. Kebahagiaan berada dia atas penbgalaman lahiriyah, dimana kebahagiaan merupakan suatu yang ingin dirasakan oleh setiap orang. Sehingga berbagai cara dilakukan untuk mendapatkannya dan optimism dalam segala aktivitas kehidupan sehari-hari.[5]
2.3 Union Mistik (Manunggaling Kawulo Gusti)
            Konsep manunggaling kawulo gusti adalah citra hidup yang harus di capai oleh manusia agar mendapatkan penghayatan kesatuan dengan Tuhannya. Jalan untuk mencapai itu adalah melakukan manekung amuntu sumadi. Selain itu juga dengan membaca suatu rumusan kata-kata yang mengandung magis untuk mengumpulkan kawulo gusti.
          Salah satu ajaran yang melengkapi wejangan delapan orang wali pulau jawa adalah kata-kata untuk mengumpulkan Kawulo Gusti. Rumusan kata-kata tersebut yaitu:
          “Aku dzat Tuhan yang bersifat Esa, aku meliputi hamba-Ku, manunggallah menjadi satu keadaan, sempurna lantaran kodrat-Ku”.
          Dalam rumusan tersebut terdapatbharapan mencapai kesatuan antara manusia dengan Tuhan. Kesatuan ini mengambil bentuk Dzat Tuhan meliputi manusia. Diibaratkan dzat Tuhan sebagai samudra manusia adlah satu titik air di dalamnya. Gambaran semacam ini sema halnya dengan ajaran serat dewa Ruci, dimana dikatakan Arya Sena masuk dalam dalam tubuh dewa Ruci melalui telinga kiri. Selain itu terdapat ungkapan yang menyatakan Tuhan bersemayam dalam diri manusia. Uangkap tersebut dirumuskan sebagai berikut :
Jangan ada rasa khawatir dalam pikiran, karena wahananya wahyagyatmika ada pada diri kita. Artinya lahir batin Allah telah berada pada hidup kita pribadi.
Lahir batin Allah dinyatakan telah beraada dalam hidup manusia, dan Allah sudah Kasarira,  yaitu sudah tercangkup dalam diri manusia. Karena Tuhan bersemayam dalam diri manusia yang telah mencapai tingkat kesatuan Kawulagusti, maka diterangkan sebagai berikut :
Yang mengatakan sesungguhnya tidak ada Tuhan keculai Aku, Dzat yang Mahasuci, ialah hidup kita pribadi, sungguh mengandung rahsanya dzat yang Agung. Meluputi sifat adalah rupa kita pribadi, sesungguh mempunyai warna dzat yang elok. Menyertai nama ialah nama kita pribadi, sungguh diakui sebagai sebutan dzat yang kuasa. Menandai perbuatan adalah tingkah laku kita pribadi pasti mencerminkan perbuatan dzat yang sempurna.
Uraian tersebut menjelaskan bahwa hidup manusia katitipan atau mengandung rahsa dzat yang agung. Sehingga Dzat Tuhan bersemayam dalam hidup manusia. Rupa manusia kawimbuhan atau mengandung warna Dzat Tuhan yang bersifat elok. Nama manusia diakui sebagai sebutan Tuhan, dan tingkah laku manusia mencerminkan perbuatan Tuhan. Jadi dalam kesatuan antara manusia dengan Tuhan, diajarkan bahwa kehidupan dan tingkah laku manusia merupakan pencerminan kehidupan dan perbuatan Tuhan. Kehidupan manusia yang ada dalam keadaan manunggal merupakan pencerminan Tuhan di atas dunia.[6] Pengetahuana mengenai kesatuan manusia dan Tuhan (manunggaloing kawula gusti) merupakan puncak dari filsafat jawa.[7]
“Manunggaling kawula gusti” dalam kebudayaan jawa dipakai dalam dua konteks, yaitu konteks sosio-kultural dan konteks religio-spiritual (mistik). Dalam istilah jawa jawa merupakan pengalaman pribadi yang bersifat tak terbatas (infinite) sehingga sangat sikar digambarkan dan dijelaskan dengan kata-kata untuk dapat dimengerti oleh orang lain. Sedangkan menurut orang jawa khususnya Yogyakarta seseorang akan memahami “manunggaling kawula gusti”, jika seseorang itu dapat mengalami sendiri secara langsung.
Istilah-istilah atau ungkapan-ungkapan untuk menggambarkan pengalaman rohani dari “manunggaling kawula Gusti”, antara lain :
a.       “Pamoring kawula Gusti” (berhimpunnya manusia-Tuhan)
b.      “Jumbuhing kawula-Gusti” (bersatunya manusia-Tuhan)
c.       “Curiga manjing warangka” (manusia masuk ke dalam Tuhan)
d.      “Warangka manjing curiga” (Tuhan masuk ke dalam manusia)
e.       Unio mystica
f.        Cognitio dei esperimentalis
Jika “manunggalaing kawula Gusti” ini berhasil, maka orang akan meningkat derajatnya menjadi :
a.       Jalma winilis (manusia puncak)
b.      Jalma pinilih (manusia pilihan)
c.       Manungsa binangun (manusia yang tersadar)
d.      Manungsa utama (manusia utama)
e.       Satriya pinandita (manusia ksatria yang berjiwa pendeta)
f.       Insan kamil (manusia sempurna)
g.      Titik omega (oleh teilhard de Chardin)
h.      Krsnajuna samvada (oleh Radhakrishnan)
Barang siapa yang telah mencapai derajat kemanusiaan seperti itu, dia akan mampu dan senantiasa peka terhadap apa yang disebut “memayu hayuning bawana”, yakni senantiasa aktif menciptakan kecantikan hidup dan kehidupan dunia yang telah cantik ini.[8]
Di Jawa memang perpaduan antara mistik islam dengan budaya jawa cukup kental. Bahkan ada aliran kebatinan yang cenderung menggrogoti dan menyerang umat islam dengan karya-karya kebatinannya. Karya-karya kebatinan tersebut seperti kitab gatoloco dan darmogandul, yang menurut T.E Behrend, kitab ini menjadi lambang pornografi dan anti islam dalam sastra jawa pra-kontemporer.[9]
Ajaran Union-mistik (paham mistik yang mengajarkan kesatuan manusia dan Tuhan) tidak dapat dipisahkan dari uraian tentang manusia, khususnya dalam aliran wirid hidayat jati. Uraian tentang Tuhan sebagai dzat mutlak yang tidak dapat diketahui oleh akal, indra maupun dugaan (waham), tampak secara tidak langsung digugah dari konsep ibn Arabi yang berpaham panteismonis.
Konsep manunggaling kawula gusti menurut Syeikh Siti Jenar adalah menyatunya manusia dengan Tuhan. Dimana kehadiran Allah dirasa sangat dekat, Allah lebih dekat dari pada urat leher. Syeikh Siti jenar menganggap hidup adalah kemtian, sedangkan mati adalah kehidupan. Adanya hidup yang tak tersentuh oleh kematian, itulah yang dinamakan kehidupan sejati.
Dengan demikian tidaklah salah jika sebagian orang ajarannya merupakan ajaran kebatinan dalam arti luas, yang lebih menkankan aspek kejiwaan daripada aspek lahiriyah. Sehingga konsepsi tujuan hidup manusia tidak lain sebagai bersatunya manusia dengan Tuhan (manunggaling kawula Gusti). Dimana keberadaan Tuhan adalah Dzat yang mendasari dan sebagai sebab adanya menusia, flora, fauna, dan segala yang ada sekaligus yang menjiwai segala sesuatu yang berwujud, yang keberadaannya tergantung pada adanya Dzat itu.[10]
2.4 Kebatinan dan Budi Luhur
            Berdasarkan wujud aliran-aliran kebatinan itu sendiri, aliran kebatinan ialah semacam agama orang jawa yang bersifat mistis selsain nagama yang diakui oleh pemerintah. Secara garis besar, aliran kebatinan merupakan kepercayaan atau seswuatu yang di anggap agama yang ada di Indonesia agama yang diakui pemerintah.[11]
Ajaran tentang budi luhur merupakan salah satu cara untuk menguatkan keimanan hamba kepada Allah. Sedangkan ajaran tentang budi luhur adalah untuk membentuk jiwa agar memiliki sifat-sifat luhur dengan cara melatih segala perbuatan, perkataan, dan hati secara moralitas agar dapat mendekati sifat-sifat Tuhan yang Mahasuci. Ajaran budi luhur tersebut dianataranya sebagai berikut[12] :
a.       Bersikap sederhana dan menarik hati
b.      Tepa selira dan tenggang rasa terhadap sesama manusia, golongan, aliran, dan agama
c.       Berusaha mewujudkan kesehatan, ketentraman, dan kesucian rohani
d.      Memiliki tabiat luhur, tutur kata, dan perilaku yang baik
e.       Mempererat persaudaraan berdasarkan cinta kasih dan suka memaafkan kesalahan orang lain
f.       Tidak membeda-bedakan anatra sesama manusia
g.      Berusaha untuk dapat melaksanakan kuwajiban sebagai warga negara
h.      Berperilaku benar dengan memperhatikan dan mengutamankan kepentingan umum
i.        Sabar dan teliti dalam menerima sesuatu, tidak gegabah dan tergesa-gesa, serta rajin dalam menuntut ilmu
j.        Tidak berbuat jahat, jahil, fitnah, maksiat, dan segala tingkah laku tercela
Dalam wirid widayat jati ajaran budi luhur sebgaai washilah untuk mencapai kesempurnaan hidup yang ada pada beberapa tempat. Ajaran ini dapat dilihat dalam beberapa persyaratan ornag yang boleh menjadi guru dan murid ilmu ma’rifat. Sehingga orang yang akan menjadi guru disyaratkan menjadi guru ilmu kasampunan, ada 32 macam sifat-sifat keutamaan, seperti guru harus dari ornag yang baik martabatnya, suka bertirakat (tapa-brata) punya berbagai kelebihan dan kepandaian baik agamanya, cukup harta, berwatak perwira (wara’) dan sebagainya. Demikian pula seseorang yang akan menjadi murid ilmu ma’rifat harus memenuhi 32 persyaratan dan tingkat keutamaan. Murid harus selalu teliti, telaten, sanggup berprihatin, suka rialat (riadhah), teguh hatinya, tunduk dan hormat kepada guru, dan lain sebagainya.
Ajaran budi luhur merupakan suatu ajaran yang mengutamakan kesucian hati dan keluhuran budi pekerti perornagan, tuntunan agar orang mengutamakan kesucian, suka tapa-brata, tidak tampak dunia, berhati suci, andap asor (rendah hati), hidup prihatin, dan sebagainya. Ajaran budi luhur mampu member pegangan batin yang mendukung peningkatan kejiwaan, serta mempertebal ketabahan dalam melaksanakan tugas kenegaraan.[13]

















BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Aliran kepercayaan merupakan aliran yang mengajarkan bagaiamana seorang untuk bisa mendapatkan sebuah pengalaman batin yang berbeda dengan pengalaman lahiriyah. Dimana aliran kepercayaan merupakan suatu aliran yang diyakini dan dianut oleh masyarakat sebelum adanya kepercayan terhadap agama. Sehingga keberadaan aliran kebatinan sudah menyatu dan melekat secara kuat pada masyarakat jawa.
Dengan demikian aliran kebatinan sangat didentik dengan pembinaan moral, hati, pembentukan karakter dan adanya kedekatan antara manusia dengan Tuhan. Dalam aliran kebatinan jiga akan ditemukan pengalaman yang melampaui batas dari pengalaman lahiriyah (nyata) hal itu dikarenakan proses yang ditempuh dalam aliran kebatinan untuk mencapai pengalaman tersbut mempunyai sedikit persamaan seperti yang ada dalam agama islam.
Selain itu dalam aliran kebatinan juga adanya ajaran manunggalaing kawula Gusti (penyatuan antara manusia dengan Tuhan), yang juga ada dalam ajaran tasawuf islam. dimana dalam manunggaling kawula Gusti seseorang merasakan kehadiran Tuhan snagat dekat sekali sedekat urat leher. Bagitu juga dalam aliran kebatinan juga mengajarkan tentang budi luhur yang implikasinya adalah untuk membentuk karakter seseirang yang bermoral, cerdas, berakhlak, religi, dan sebagainya.





DAFTAR PUSTAKA
Agus,Bustanuddin,2007. Agama dalam Kehidupan Manusia. Jakarta:Raja Grafindo   Persada
Arifin,Bambang Samsul.2008. Psikologi Agama.Bandung:Pustaka Setia
Damami,Mohammad.2002. Makana Agama dalam Masyarakat Jawa.Yogayakarta:Lesfi
Manyu,Petir Abi.2014. Mistik Kejawen.Yogyakarta:palapa
Romdhon.1993. Tasawuf dan Kebatinan.Yogyakarta:Lesfi
Sholikhin,M.2005. Melacak Pemikiran Tasawuf Di Nusantara. Jakarta:Raja Grafindo Persada
Simuh,1988. Mistik Islam Kejawen.Jakarta:UI Press
Tohar,R.1999. Aliran kebatinan.Semarang:Aneka Ilmu




[1] Bustanuddin Agus, Agama dalam Kehidupan Manusia, (Jakarta:Raja Grafindo   Persada,2007),hlm.106-110.
[2] R. Tohar, Aliran kebatinan, (Semarang:Aneka Ilmu, 1999),hlm.17-19
[3] Bambang Samsul Arifin, Psikologi Agama, (Bandung:Pustaka Setia, 2008),hlm.211-217.
[4] Bustanuddin Agus, Agama dalam Kehidupan Manusia, (Jakarta:Raja Grafindo Persada,2007),hlm.108-111.
[5] Ibid, hlm.107-109
[6] Simuh, Mistik Islam Kejawen, (Jakarta:UI Press, 1988), Hlm.289-291.
[7] Petir Abi Manyu, Mistik Kejawen, (yogyakarta:palapa,2014), hlm. 58
[8] Mohammad Damami, Makana Agama dalam Masyarakat Jawa, (Yogayakarta:Lesfi,2002) hlm 41-42
[9] M. Sholikhin, Melacak Pemikiran Tasawuf Di Nusantara, (Jakarta:RajaGrafindo Persada,2005), hlm. 143
[10] Ibid, hlm. 177
[11] Romdhon, Tasawuf dan Kebatinan, (Yogyakarta:Lesfi,1993),Hlm.77.
[12] Petir Abi manyu, op cit, Hlm. 272
[13] Simuh, op cit, hlm. 342-347

Tidak ada komentar:

Posting Komentar