Tasawuf dan Aliran Kebatinan
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Manusia merupakan makhluk yang senantiasa berusaha untuk mencari
sesuatu yang bisa memberikan ketenangan dalam jiwanya. Sehingga berbagai cara
dilakukan supaya ketenangan dan kedaimaian jiwa bisa di capai. Oleh karena itu,
aliran kebatinan juga merupakan sebuah aliran yang di akui oleh masyarakat jawa
mengajarkan tentang kesucian jiwa, kedamaian jiwa, dan bagaimana bisa dekat
dengan sang pencipta jagat raya ini. Sehingga ajaran-ajaran aliran kebatinan di
tanah jawa ini mudah untuk diterima oleh masyarakat. Hal itu karena berbagai
pendekatan aliran kebatinan sangat baik, lembut dan penuh toleransi.
Dengan demikian, aliran kebatinan merupakan aliran yang telah
melekat dan sudah beridentitas di tanah jawa ini. Dikarenakan keberadaan aliran
kebatinan merupakan kepercayaan yang
sudah mempunyai ajaran yang spesifik yang bisa dibedakan dengan aliran lainnya.
Makalah ini akan membahas tentang pola pikir dan ajaran pokok
kebatinan. Dimana di dalamnya berisi tentang pemikiran genostik (ladunni jawa),
union mistik (manunggaling kawulo gusti). Selain itu, makalah ini juga membahas
tentang kebatinan dan budi luhur. Semoga makalah ini bisa memberikan wacana dan
wawasan keilmuan kita. Sehingga kita bisa menanamkan sikap toleransi antar beragama
dan tidak mudah mengvonis dan mengklaim sesat terhadap aliran-aliran
kepercayaan.
I.2 Rumusan Masalah
A. Pola Pikir dan Ajaran Pokok Kebatinan
B. Pemikiran Gnostik (Ladunni Jawa)
C. Union Mistik (Manunggaling Kawulo Gusti)
D. Kebatinan dan Budi Luhur
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pola
Pikir dan Ajaran Pokok Kebatinan
Aliran kebatianan
merupakan aliran kepercayaan masyarakat jawa yang sudah memiliki ajaran
spesifik dan mempunyai guru atau kadang-kadang mempunyai organisasi. Bahkan
beberapa di antara ada yang sudah mempunyai kitab suci yang diyakini sebagai
wahyu dari Tuhan Yang Maha Esa dari guru yang membawanya. Berbagai corak dari
karya-karya budaya Jawa masa lalu yang menjadi sumber ajaran kebatinan terdapat
kesesuaian pendapat tentang ajaran kebatinan. Kebanyakan berpendapat bahwa
kebatinan merupakan gerakan mistik magis, yaitu suatu gerakan yang bertujuan
menciptakan hubungan yang sedekat mungkin antara manusia dan Tuhan. Bahkan
adanya manusia dan Tuhan bisa bersatu serta berusaha mengemban kekuatan daya linuwih.
Dimana kekuatan linuwih merupakan kemampuan-kemampuan di luar
kemampuan manusia biasa dalam ilmu gaib.
Dalam bahasa
Indonesia, istilah kebatinan dapat dipakai untuk aspek ruhaniah. Kebatinan
mengutamakan aspek yang batini dari ajaran agama. Dalam ilmu keislaman, aspek
ini dikenal dengan nama aspek tasawuf dari ajaran Islam. Sedangkan kalau aspek
ini adalah aspek ruhaniah dan rasa, maka tidak dibatasi dengan bentuk bersatu
dengan Tuhan. Pengalaman ruhaniah melewati dari pengalaman lahiriah. Pengalaman
lahiriah bisa di amati dan berlangsung menurut hukum-hukum alam. Akan tetapi
pengalaman batin atau ryhaniah hanya dapat dirasakan oleh orang-orang yang
mengalaminya. Namun indikator orang yang kaya akan pengalaman ruhaniah dapat
disaksikan dalam perilaku seperti tidak mau disuap, tidak dholim pada orang
lain, dan kemampuan mereka memprediksi banyak hal yang akan terjadi melalui
ilham (ilmu ladunni) yang mereka dapatkan. Sehingga aliran kebatinan
(kepercayaan) bisa mengantarkan seseorang untuk bisa mendapatkan pengalaman
ruhaniah.[1]
Menurut Prof.
Kamil Kartapraja, bahwa kebatinan (ngelmu kebatinan) dalah suatu ilmu yang
bersangkutan dengan ajaran-ajaran mistik dan tasawuf. Selain itu, kebatinan
juga di anggap sebagai ngelmu hakikat dan ngelmu sejati. Dimana ngelmu hakikat
dan ngelmu sejati merupakan ilmu yang berusaha mencari hakikat hidup, hakikat
manusia, hakikat Tuhan dan segala yang bersangkutan dengan metafisika (alam
gaib).
Sedangkan menurut
Prof. M. Djajadigoena, SH, bahwa kebatinan adalah usaha manusia untuk mencapai
kesempurnaan dirinya. Tujuan terakhir dalam bahasa jawa disebut manunggaling
kawulo gusti (bersatunya makhluk dengan khaliq) dan dilambangkan dengan “curiga
manjing rangka lan rangka maning ing curiga” (bersatuny keris dengan rangka dan
bersatunya rangka dengan keris). Dimana dalam bahasa latin disebut “Unio
Mystica” dan orang beragama Budha menyebutnya “Nirwana”. Kemudian jalan yang
digunakan untuk mencapai itu disebut samadhi atau meditasi.[2]
Menurut Prof. Djojodiguno, S.H., berdasarkan hasil
penelitian di Indonesia, aliran kebatinan dapat dibedakan menjadi:
1. Golongan yang hendak menggunakan kekuatan gaib untuk
melayani berbagai keperluan manusia (ilmu gaib).
2. Golongan yang berusaha untuk mempersatukan jiwa
manusia dengan Tuhan selama manusia itu masih hidup agar manusia dapat
merasakan dan mengetahui hidup di alam baka sebelum mengalami kematian.
3. Golongan yang berniat mengenal Tuhan (selama manusia
itu masih hidup) dan menebus dalam rahasia ketuhanan sebagai tempat asal dan
kembalinya manusia.
4. Golongan yang berhasrat untuk menempuh budi luhur di
dunia serta berusaha menciptakan masyarakat yang sling menghargai dan mencintai
dengan senantiasa mengindahkan perintah-perintah Tuhan[3].
Oleh karena itu,
kesempuranaan hidup diri manusia di ungkapkan dengan istilah manunggaling
kawulo gusti. Dikarenakan hal tersebut merupakan puncak kebahagiaan hidup.
Sebab apabila seseorang telah mencapai tingkat
tersebut, seseorang itu berarti telah mencicipi kehidupan surgawi atau
nirwana dikala masih hidup di dunia. Selain itu, banyak sekali istilah-istilah
yang digunakan untuk mengungkapkan keadaan seperti itu antara lain adalah
jumbuhing kawulo gusti, makripating makripat, tan ono, loro-loro ning atunggal
dan lain sebagainya. Beberapa aliran kebatinan mengajarkan bahwa jika manusia
tidak bisa manunggal kembali dengan Tuhan setelah matinya maka ia akan reinkarnasi
hidup kembali ke dunia dalam bentuk lain. Dalam kebatinan, istilah reinkarnasi
disebut hanyokro manggilingan,
tumimba lahir atau panitisan. Proses reinkarnasi ini
ditentukan oleh karma yaitu amal
perbuatan atau prestasi manusia dalam hidup yang akan menentukan kehidupannya
di masa yang akan datang.
Kemudian hasil
dari manunggaling kawulo gusti akan menjadikan manusia memperoleh pula kekuatan
gaib, daya linuwih diluar batas-batas kemampuan manusia biasa. Hal itu sesuai
dengan pendapat Rahmat Subaya tentang definisi kebatinan sebagai berikut:
a.
Kebatinan
merupakn suatu gerakan
b.
Kebatinan
berisi latihan-latihan agar diri manusia beralih dari kedudukan semula kepada
tingkat yang lebih sempurna
c.
Kebatinan
menyebabkan partisipasi manusia dalam daya luar biasa yang mampu mengatasi
kemampuan orang biasa
Kemudian yang termasuk kemampuan luar biasa antara lain:
1.
Hadir
dalam dua tempat dalam waktu yang sama
2.
Menyembuhkan
penyakit oleh daya budi
3.
Bisa
berhubungan dengan roh-roh halus di alam gaib
4.
Mengetahui
niat yang terkandung dalam diri orang lain
5.
Bisa
meramal nasib seseorang atau apa yang akan terjadi pada masa yang akan datang
6.
Memindahkan
benda tanpa di sentuh tangan atau di angkat
7.
Memiliki
pendengaran, penglihatan, dan penciuman gaib
2.2 Pemikiran Gnostik (Ladunni Jawa)
Pengalaman dan
pendekatan batin (mistik) pada umumnya tidak dirasakan oleh penganut agama yang
awam yang hanya melaksanaakan ajaran agama dari aspek hukum (formal saja). Akan
tetapi ketika pengalaman batin ini memuncak maka mereka akan meniru dari ajaran
agama ataun aliran. Aliran kebatinan (aliran kepercayaan) yang pada umumnya
tidak lagi merupakan suatu aliran agama di ikuti ajarannya supaya mendapatkan
npengalaman batin (mistik).
Beragam cara
dilakukan untuk mendapatkan pengalaman ruhaniah dalam berbagai agama dan aliran
kepercayaan yang mempunyai perbedaan dalam ajaran dan sosial budayanya. Aspek
kebatinan di Indonesia menjadi fokus perhatian aliran kepercayaan kepada Tuhan
Yang Maha Esa yang sebelum tahun 1970-an dinamakan dengan aliran kebatinan.
Perubahan nama ini untuk menyesuaikan dengan teks UUD 1945 “sesuai dengan agama
dan kepercayaannnya”, sehingga dalam GBHN dinyatakan bahwa pemerintah
berkewajiban membina aliran-aliran tersebut. Pengikut aliran ini banyak pula
dari kalangan berpendidikan, eksklusif dan yang masih berstatus penganut agama
resmi. Mereka masuk aliran tersebut karena merasa tidak puas secara ruhaniah.[4]
Sedangkan latihan-latihan yang dilakukan oleh manusia agar menjadi
sempurna dapat dilakukan dengan persiapan etis yaitu selalu menghiasi diri
dengan sifat-sifat terpuji dan menghindari sifat-sifat jahat, pengekangan hawa
nafsu dan membiasakan diri untuk bersemedi, atau latihan-latihan seperti
meditasi, sujud, olah rasa, tapa brata, manembah, salat daim mulat saliro,
salat makripat, panekung, eneng ening, meleng manteng, eling, tepekur, dzikir
dan lain-lain.
Pengalaman
terbang dan meninggalkan alam nyata yang hanya sebatas panca indra dan
kesadaran rasional ini dinamakan juga pengalaman transcendental.
Tarncendental mempunyai arti melewati batas, kerangka dari suatu yang
nyata. Pengaalaman transcendental adalah pengalaman religious yang dirasakan
oleh yang mengalaminya sedang berada dalam keadaan yang sangat khusyuk, asyik,
rasa nikmat, dan ikhlas yang sangat tinggi, seakan telah berada di alam ghaib,
berada dekat sekali atau bahkan telah bersatu dengan Tuhan. Pengaalaman
transcendental muncul karena adanya kecenderungan manusia yang tidak puas hanya
dengan pengalaman nyata, biasa, alamiah, kongret, dan rasional saja.
Kebahagiaan berada dia atas penbgalaman lahiriyah, dimana kebahagiaan merupakan
suatu yang ingin dirasakan oleh setiap orang. Sehingga berbagai cara dilakukan
untuk mendapatkannya dan optimism dalam segala aktivitas kehidupan sehari-hari.[5]
2.3 Union Mistik (Manunggaling Kawulo Gusti)
Konsep
manunggaling kawulo gusti adalah citra hidup yang harus di capai oleh manusia
agar mendapatkan penghayatan kesatuan dengan Tuhannya. Jalan untuk mencapai itu
adalah melakukan manekung amuntu sumadi. Selain itu juga dengan membaca
suatu rumusan kata-kata yang mengandung magis untuk mengumpulkan kawulo gusti.
Salah satu ajaran
yang melengkapi wejangan delapan orang wali pulau jawa adalah kata-kata untuk
mengumpulkan Kawulo Gusti. Rumusan kata-kata tersebut yaitu:
“Aku dzat Tuhan yang
bersifat Esa, aku meliputi hamba-Ku, manunggallah menjadi satu keadaan,
sempurna lantaran kodrat-Ku”.
Dalam rumusan
tersebut terdapatbharapan mencapai kesatuan antara manusia dengan Tuhan. Kesatuan
ini mengambil bentuk Dzat Tuhan meliputi manusia. Diibaratkan dzat Tuhan
sebagai samudra manusia adlah satu titik air di dalamnya. Gambaran semacam ini
sema halnya dengan ajaran serat dewa Ruci, dimana dikatakan Arya Sena masuk
dalam dalam tubuh dewa Ruci melalui telinga kiri. Selain itu terdapat ungkapan
yang menyatakan Tuhan bersemayam dalam diri manusia. Uangkap tersebut
dirumuskan sebagai berikut :
Jangan ada rasa khawatir dalam pikiran, karena wahananya
wahyagyatmika ada pada diri kita. Artinya lahir batin Allah telah berada pada
hidup kita pribadi.
Lahir batin Allah dinyatakan telah beraada dalam hidup manusia, dan
Allah sudah Kasarira, yaitu sudah
tercangkup dalam diri manusia. Karena Tuhan bersemayam dalam diri manusia yang
telah mencapai tingkat kesatuan Kawulagusti, maka diterangkan sebagai berikut :
Yang mengatakan sesungguhnya tidak ada Tuhan keculai Aku, Dzat yang
Mahasuci, ialah hidup kita pribadi, sungguh mengandung rahsanya dzat yang
Agung. Meluputi sifat adalah rupa kita pribadi, sesungguh mempunyai warna dzat
yang elok. Menyertai nama ialah nama kita pribadi, sungguh diakui sebagai
sebutan dzat yang kuasa. Menandai perbuatan adalah tingkah laku kita pribadi
pasti mencerminkan perbuatan dzat yang sempurna.
Uraian tersebut menjelaskan bahwa hidup manusia katitipan atau
mengandung rahsa dzat yang agung. Sehingga Dzat Tuhan bersemayam dalam hidup
manusia. Rupa manusia kawimbuhan atau mengandung warna Dzat Tuhan yang
bersifat elok. Nama manusia diakui sebagai sebutan Tuhan, dan tingkah laku
manusia mencerminkan perbuatan Tuhan. Jadi dalam kesatuan antara manusia dengan
Tuhan, diajarkan bahwa kehidupan dan tingkah laku manusia merupakan pencerminan
kehidupan dan perbuatan Tuhan. Kehidupan manusia yang ada dalam keadaan
manunggal merupakan pencerminan Tuhan di atas dunia.[6]
Pengetahuana mengenai kesatuan manusia dan Tuhan (manunggaloing kawula gusti)
merupakan puncak dari filsafat jawa.[7]
“Manunggaling kawula gusti”
dalam kebudayaan jawa dipakai dalam dua konteks, yaitu konteks sosio-kultural
dan konteks religio-spiritual (mistik). Dalam istilah jawa jawa merupakan
pengalaman pribadi yang bersifat tak terbatas (infinite) sehingga sangat sikar
digambarkan dan dijelaskan dengan kata-kata untuk dapat dimengerti oleh orang
lain. Sedangkan menurut orang jawa khususnya Yogyakarta seseorang akan memahami
“manunggaling kawula gusti”, jika seseorang itu dapat mengalami sendiri secara
langsung.
Istilah-istilah atau ungkapan-ungkapan untuk menggambarkan
pengalaman rohani dari “manunggaling kawula Gusti”, antara lain :
a.
“Pamoring
kawula Gusti” (berhimpunnya
manusia-Tuhan)
b.
“Jumbuhing
kawula-Gusti” (bersatunya
manusia-Tuhan)
c.
“Curiga
manjing warangka” (manusia masuk
ke dalam Tuhan)
d.
“Warangka
manjing curiga” (Tuhan masuk
ke dalam manusia)
e.
Unio mystica
f.
Cognitio dei esperimentalis
Jika “manunggalaing kawula Gusti” ini berhasil, maka orang akan
meningkat derajatnya menjadi :
a.
Jalma
winilis (manusia puncak)
b.
Jalma
pinilih (manusia pilihan)
c.
Manungsa
binangun (manusia yang tersadar)
d.
Manungsa
utama (manusia utama)
e.
Satriya
pinandita (manusia ksatria yang berjiwa
pendeta)
f.
Insan
kamil (manusia sempurna)
g.
Titik
omega (oleh teilhard de Chardin)
h.
Krsnajuna
samvada (oleh Radhakrishnan)
Barang siapa yang telah mencapai derajat kemanusiaan seperti itu,
dia akan mampu dan senantiasa peka terhadap apa yang disebut “memayu hayuning
bawana”, yakni senantiasa aktif menciptakan kecantikan hidup dan kehidupan
dunia yang telah cantik ini.[8]
Di Jawa
memang perpaduan antara mistik islam dengan budaya jawa cukup kental. Bahkan
ada aliran kebatinan yang cenderung menggrogoti dan menyerang umat islam dengan
karya-karya kebatinannya. Karya-karya kebatinan tersebut seperti kitab gatoloco
dan darmogandul, yang menurut T.E Behrend, kitab ini menjadi lambang
pornografi dan anti islam dalam sastra jawa pra-kontemporer.[9]
Ajaran Union-mistik
(paham mistik yang mengajarkan kesatuan manusia dan Tuhan) tidak dapat
dipisahkan dari uraian tentang manusia, khususnya dalam aliran wirid hidayat
jati. Uraian tentang Tuhan sebagai dzat mutlak yang tidak dapat diketahui oleh
akal, indra maupun dugaan (waham), tampak secara tidak langsung digugah dari
konsep ibn Arabi yang berpaham panteismonis.
Konsep manunggaling
kawula gusti menurut Syeikh Siti Jenar adalah menyatunya manusia dengan Tuhan.
Dimana kehadiran Allah dirasa sangat dekat, Allah lebih dekat dari pada urat
leher. Syeikh Siti jenar menganggap hidup adalah kemtian, sedangkan mati adalah
kehidupan. Adanya hidup yang tak tersentuh oleh kematian, itulah yang dinamakan
kehidupan sejati.
Dengan
demikian tidaklah salah jika sebagian orang ajarannya merupakan ajaran
kebatinan dalam arti luas, yang lebih menkankan aspek kejiwaan daripada aspek
lahiriyah. Sehingga konsepsi tujuan hidup manusia tidak lain sebagai bersatunya
manusia dengan Tuhan (manunggaling kawula Gusti). Dimana keberadaan Tuhan
adalah Dzat yang mendasari dan sebagai sebab adanya menusia, flora, fauna, dan
segala yang ada sekaligus yang menjiwai segala sesuatu yang berwujud, yang
keberadaannya tergantung pada adanya Dzat itu.[10]
2.4 Kebatinan dan Budi Luhur
Berdasarkan wujud
aliran-aliran kebatinan itu sendiri, aliran kebatinan ialah semacam agama orang
jawa yang bersifat mistis selsain nagama yang diakui oleh pemerintah. Secara
garis besar, aliran kebatinan merupakan kepercayaan atau seswuatu yang di
anggap agama yang ada di Indonesia agama yang diakui pemerintah.[11]
Ajaran tentang budi luhur merupakan salah satu cara untuk
menguatkan keimanan hamba kepada Allah. Sedangkan ajaran tentang budi luhur
adalah untuk membentuk jiwa agar memiliki sifat-sifat luhur dengan cara melatih
segala perbuatan, perkataan, dan hati secara moralitas agar dapat mendekati
sifat-sifat Tuhan yang Mahasuci. Ajaran budi luhur tersebut dianataranya
sebagai berikut[12]
:
a.
Bersikap
sederhana dan menarik hati
b.
Tepa
selira dan tenggang rasa terhadap sesama manusia, golongan, aliran, dan agama
c.
Berusaha
mewujudkan kesehatan, ketentraman, dan kesucian rohani
d.
Memiliki
tabiat luhur, tutur kata, dan perilaku yang baik
e.
Mempererat
persaudaraan berdasarkan cinta kasih dan suka memaafkan kesalahan orang lain
f.
Tidak
membeda-bedakan anatra sesama manusia
g.
Berusaha
untuk dapat melaksanakan kuwajiban sebagai warga negara
h.
Berperilaku
benar dengan memperhatikan dan mengutamankan kepentingan umum
i.
Sabar
dan teliti dalam menerima sesuatu, tidak gegabah dan tergesa-gesa, serta rajin
dalam menuntut ilmu
j.
Tidak
berbuat jahat, jahil, fitnah, maksiat, dan segala tingkah laku tercela
Dalam wirid
widayat jati ajaran budi luhur sebgaai washilah untuk mencapai kesempurnaan
hidup yang ada pada beberapa tempat. Ajaran ini dapat dilihat dalam beberapa
persyaratan ornag yang boleh menjadi guru dan murid ilmu ma’rifat. Sehingga
orang yang akan menjadi guru disyaratkan menjadi guru ilmu kasampunan,
ada 32 macam sifat-sifat keutamaan, seperti guru harus dari ornag yang baik
martabatnya, suka bertirakat (tapa-brata) punya berbagai kelebihan dan
kepandaian baik agamanya, cukup harta, berwatak perwira (wara’) dan sebagainya.
Demikian pula seseorang yang akan menjadi murid ilmu ma’rifat harus memenuhi 32
persyaratan dan tingkat keutamaan. Murid harus selalu teliti, telaten, sanggup
berprihatin, suka rialat (riadhah), teguh hatinya, tunduk dan hormat kepada
guru, dan lain sebagainya.
Ajaran budi
luhur merupakan suatu ajaran yang mengutamakan kesucian hati dan keluhuran budi
pekerti perornagan, tuntunan agar orang mengutamakan kesucian, suka tapa-brata,
tidak tampak dunia, berhati suci, andap asor (rendah hati), hidup prihatin, dan
sebagainya. Ajaran budi luhur mampu member pegangan batin yang mendukung
peningkatan kejiwaan, serta mempertebal ketabahan dalam melaksanakan tugas
kenegaraan.[13]
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Aliran
kepercayaan merupakan aliran yang mengajarkan bagaiamana seorang untuk bisa
mendapatkan sebuah pengalaman batin yang berbeda dengan pengalaman lahiriyah.
Dimana aliran kepercayaan merupakan suatu aliran yang diyakini dan dianut oleh
masyarakat sebelum adanya kepercayan terhadap agama. Sehingga keberadaan aliran
kebatinan sudah menyatu dan melekat secara kuat pada masyarakat jawa.
Dengan
demikian aliran kebatinan sangat didentik dengan pembinaan moral, hati,
pembentukan karakter dan adanya kedekatan antara manusia dengan Tuhan. Dalam aliran
kebatinan jiga akan ditemukan pengalaman yang melampaui batas dari pengalaman
lahiriyah (nyata) hal itu dikarenakan proses yang ditempuh dalam aliran
kebatinan untuk mencapai pengalaman tersbut mempunyai sedikit persamaan seperti
yang ada dalam agama islam.
Selain itu
dalam aliran kebatinan juga adanya ajaran manunggalaing kawula Gusti (penyatuan
antara manusia dengan Tuhan), yang juga ada dalam ajaran tasawuf islam. dimana
dalam manunggaling kawula Gusti seseorang merasakan kehadiran Tuhan snagat dekat
sekali sedekat urat leher. Bagitu juga dalam aliran kebatinan juga mengajarkan
tentang budi luhur yang implikasinya adalah untuk membentuk karakter seseirang
yang bermoral, cerdas, berakhlak, religi, dan sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
Agus,Bustanuddin,2007. Agama dalam
Kehidupan Manusia. Jakarta:Raja
Grafindo Persada
Arifin,Bambang
Samsul.2008. Psikologi Agama.Bandung:Pustaka
Setia
Damami,Mohammad.2002. Makana Agama
dalam Masyarakat Jawa.Yogayakarta:Lesfi
Manyu,Petir Abi.2014. Mistik Kejawen.Yogyakarta:palapa
Romdhon.1993. Tasawuf dan
Kebatinan.Yogyakarta:Lesfi
Sholikhin,M.2005. Melacak Pemikiran Tasawuf Di
Nusantara. Jakarta:Raja Grafindo Persada
Simuh,1988. Mistik Islam
Kejawen.Jakarta:UI Press
Tohar,R.1999. Aliran
kebatinan.Semarang:Aneka Ilmu
[1] Bustanuddin
Agus, Agama dalam Kehidupan Manusia, (Jakarta:Raja Grafindo Persada,2007),hlm.106-110.
[2] R. Tohar, Aliran
kebatinan, (Semarang:Aneka Ilmu, 1999),hlm.17-19
[3] Bambang Samsul
Arifin, Psikologi Agama, (Bandung:Pustaka Setia, 2008),hlm.211-217.
[4] Bustanuddin
Agus, Agama dalam Kehidupan Manusia, (Jakarta:Raja Grafindo
Persada,2007),hlm.108-111.
[6] Simuh, Mistik
Islam Kejawen, (Jakarta:UI Press, 1988), Hlm.289-291.
[7] Petir Abi
Manyu, Mistik Kejawen, (yogyakarta:palapa,2014), hlm. 58
[8] Mohammad
Damami, Makana Agama dalam Masyarakat Jawa, (Yogayakarta:Lesfi,2002) hlm
41-42
[9] M. Sholikhin, Melacak Pemikiran Tasawuf Di
Nusantara, (Jakarta:RajaGrafindo Persada,2005), hlm. 143
[11] Romdhon, Tasawuf
dan Kebatinan, (Yogyakarta:Lesfi,1993),Hlm.77.
[12] Petir Abi
manyu, op cit, Hlm. 272
Tidak ada komentar:
Posting Komentar