Perkembangan Manusia dan Kepribadian dalam Psikosufistik
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Pada dasarnya setiap makhluk di dunia ini
pasti mengalami sebuah perkembangan, termasuk manusia. Manusia selain mengalami
perkembangan juga memiliki kepribadian yang menjadi ciri khas atau
karakteristik dari setiap individu. Dimana perkembangan dan kepribadian
masing-masing individu berbeda-beda sesuai dengan faktor yang mempengaruhinya.
Sehingga perkembangan manusia dan kepribadian manusia dalam psikosufistik
tentunya berbeda pula.
Oleh karena itu, adanya hal tersebut juga
mempunyai beberapa hal yang perlu untuk dikaji secara mendalam. Dengan adanya
kajian yang mendalam terhadap perkembangan manusia dan kepribadian dalam
psikosufistik juga akan menambah wawasan keilmuan kita.
Dengan demikian, manusia akan diketahui perkembangan
dan kepribadiannya dalam psikosufistik. Dimana Psikosufistik sendiri tentunya
banyak membahas tentang segala sesuatu baik secara psikologi maupun sufistik.
Sehingga makalah ini juga akan membahas tentang perkembangan manusia,
perkembangan kepribadian dan lain-lain.
2.2 Rumusan Masalah
A. Perkembangan manusia dalam Psikosufistik
B. Perkembangan kepribadian dalam Psikosufistik
C. Tipe Kepribadian dalam Psikosufistik
D. Perkembangan Spiritual dalam Psikosufistik
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Perkembangan Manusia dalam Psikosufistik
Manusia seharusnya memperhatikan proses penciptaannya.
Manusia diciptakan dari setetes nutfah (mani atau seperma) yang membuahi sel
telur (ovum) dalam saluran indung telur hingga membentuk zigot (campuran antara
sperma dan ovum) yang tersimpan dalam rahim perempuan. Secara bertahap kemudian
tumbuh menjadi bagian tubuh yang tersusun dari tulang dan daging hingga menjadi
sosok yang berbeda dari sebelumnya. Ada beberapa tahap yang dilalui nutfah
dalam proses pembuahannya hingga menjadi organ tubuh manusia secara sempurna
yang dibekali dengan panca indera, kemampuan untuk berfikir, belajar dan
memahami, hingga mampu memakmurkan bumi. Manusia juga harus menyadari bahwa
segala sesuatu yang tercipta di alam semesta beserta isinya hanya untuk
beribadah kepada Allah SWT dan mengakui sepenuhnya akan kekuasaan-Nya yang
tidak terbatas[1].
Allah berfirman:
يُؤْمِنُ بِأَيَاتِنَا الّذِيْنَ اِذَا
ذُكِّرُوا بِهَا خَرُّوا سُجَّدًا وَسَبَّحُوا بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَهُمْ
لَاَيَسْتَكْبِرُوْنَاِنَّمَا
“Sesungguhnya orang yang
beriman dengan ayat Kami adalah orang yang apabila diperingatkan dengan ayat
(Kami), mereka bersujud dan bertasbih serta memuji Tuhannya, sedang mereka
tidak menyombongkan diri (Q.S As-Sajdah:15)
Menurut Al-Qur’an, pertumbuhan dan perkembangan manusia memiliki
pola umum yang dapat diterapkan pada manusia, meskipun terdapat perbedaan
individual. Pola yang terjadi adalah bahwa setiap individu tumbuh dari keadaan
yang lemah menuju keadaan yang kuat dan kemudian kembali melemah. Dengan kata
lain, pertumbuhan dan perkembangan sesuai dengan hokum alam, ada kenaikan dan
penurunan. Ketika seseorang secara berangsur-angsur mencapai puncak
perkembangannya, baik fisik maupun kognitif, dia mulai menurun
berangsur-angsur. Al- Qur’an menyatakan sebagai berikut:
“Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian
Dia menjadikan (kamu) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia
menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan
apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Kuas. (QS.
Al-Rum[30]:54)
Allah menciptakan kamu, kemudian mewafatkan kamu, dan di antara
kamu ada yang dikembalikan pada umur yang paling lemah (pikun), supaya dia
tidak mengetahui segala sesuatupun yang pernah diketahuinya. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. Al-Nahl[16]:30).
Al-Qur’an juga mengajarkan bahwa perkembangan manusia merupakan
proses simultan dari aspek-aspek yang berhubungan. Hal ini berarti, segala
aspek perkembangan fisik mental, sosial, emosional, dan moral tidak dapat
dipisahkan satu sama lainnya. Msaing-masing saling menguatkan satu sama lain.
Hal ini berarti bahwa satu aspek dari perkembangan tidak dapat menunggu satu
aspek lainnya berkembang penuh, ketika memulai perkembangannya. Perkembangan
fisik dan mental dari seseorang, misalnya, terjadi bersama-sama dengan
perkembangan sosial, emosional, dan moral. [2]
Dalam istilah psikologi, perkembangan adalah sebuah
pemaparan tentang kondisi manusia yang terus menerus mengalami perubahan ke
tingkat (fase) yang lebih tinggi secara alami dan terus
terjadi.Sedangkan pengembangan adalah usaha memposisikan kondisi manusia kearah
yang seharusnya dimiliki (terjadi) ketika seseorang sudah berada pada posisi (fase)
tertentu.
Manusia memiliki sesuatu yang khas dari setiap pribadinya
dan bukan kekhasan itu dijadikan generalisasi objektivitas, namun keharusan
yang mesti ditempuh serta menjadi pusat penelitian (center of observatioan).
Menurut Mujib, pengembangan kepribadian Islam adalah usaha sadar yang
dilakukan oleh individu untuk memaksimalkan daya-daya insaninya, agar ia mampu
mengaktualisasikan diri lebih baik, sehingga memperoleh kualitas hidup di dunia
maupun di akhirat. Manusia yang baik
tidak dapat dilihat dari kadar (ukuran) fisik dan potensi diri berupa bakat dan
kekuatan, atau sesuatu yang lain berupa kekhasannya. Namun, perjalanan arah
hidup yang difokuskan kearah kebaikan (as-shirath
al-mustaqim ila al-haqq), itulah manusia yang baik.[3]
2.2 Perkembangan Kepribadian dalam Psikosufistik
Berbagai teori disusun untuk
menjelaskan perkembangan kepribadian seseorang, dengan memasukkan bagaimana peran
jenis kelamin dapat terbentuk dalam tahap perkembangan tersebut. Teori tersebut
memiliki berbagai jenis pendekatan. Salah satu yang paling terkenal dan juga
menuai banyak kritik adalah teori perkembangan seksual yang dikembangkan
Sigmund Freud.
Teori
perkembangan psikoseksual Sigmund Freud merupakan salah satu teori pembentukan
kepribadian terkenal, namun juga merupakan salah satu yang paling
kontraversial. Menurut Freud, kepribadian terbentuk melalui serangkaian tahap
perkembangan anak yang berpusat pada efek dorongan mencari kesenangan (pleasure-seeking
energy) pada daerah erogen atau anggota tubuh manusia yang sensitive
terhadap simulasi erotic. Energi psikoseksual ini (libido) digambarkan sebagai kekuatan yang
mengendalikan perilaku. Anak memiliki kebutuhan pemuasan terhadap zone erogen
tersebut. Jika kebutuhannya tidak terpenuhi secara berlebihan, maka ia akan
mengalami fiksasi. Jika ia mengalami fiksasi pada tahap tertentu, maka metode
memperoleh kepuasan pada tahap ini akan dominan dan mempengaruhi kepribadiannya
ketika dewasa. Namun, banyak psikolog yang membuktikan teori ini keliru.
Dari perspektis
Islam, manusia lahir dalam keadaan fitrah yang suci dan beriman dengan
konstitusi yang diciptakan oleh Allah. Lingkungan, sesuai dengan ketentuan Allah,
kemudian berperan dalam membentuk
kepribadian sesorang. Serangkaian interaksi antar stimulus lingkungan dengan
manusia yang memiliki kebebesan kehendak yang terbatas, membentuk
kepribadiannya setelah lahir. Landasan pemikiran teori psikoanalisis Freud
bertentangan dengan perspektif Islam ini. [4]
Dengan
akal yang merupakan hidayah Allah, manusia dapat memilih apakah ia akan terbuai
dalam lumpur endapan yang terdapat dalam dirinya ataukah ia akan meningkatkan
dirinya menuju kutub yang mulia, yaitu menyerahkan diri kepada Allah. Dalam
menentukan kehendak itu, terjadilah pertarungan terus menerus dalam diri
manusia.
Dari
pertarungan “kepentingan”, yang ada dalam diri manusia itulah, lahir sikap atau
kepribadian manusia. Padahal, memahami kepribadian manusia tidak mudah karena
kepribadian merupakan masalah yang kompleks.
Kepribadian tidak hanya melekat pada diri seseorang, tetapi lebih
merupakan hasil pertumbuhan yang lama dalam suatu lingkungan budaya. Para ahli
menyebutkan bahwa kepribadian adalah kesan yang ditimbulkan oleh sifat-sifat
lahiriah seseorang, seperti cara berpakaian, sifat jasmaniah, daya pikat, dan
sebagainya. Disebutkan juga bahwa kepribadian adalah organisasi dinamis dalam
individu sebagai makhluk yang bersifat psikofisik yang menentukan penyesuaian
dirinya secara unik terhadap lingkungan. Ahli lain mengklasifikasikan seluruh
ranah kepribadian dalam enam tipe yang sangat menonjol yaitu tipe realistik,
tipe penyelidik atau investigatif, tipe artistik, tipe sosial, tipe
perintis, atau enterpristing dan tipe konvensional.
Kepribadian
seseorang akan tumbuh dan berkembang sesuai dengan pengalaman masing-masing.
Beberapa faktor yang mempengaruhi kepribadian antara lain; perasaan bersalah,
benci, cemas, kepercayaan yang diemban, harapan yang dicamkan, dan kasih sayang
yang diterima dari lingkungan. Dengan mencoba mengenal dan memahami istilah
kepribadian, kita akan mempermudah mengenal diri sendiri baik kekuatan maupun
kelemahan yang ada. Dengan begitu, keberadaan kita akan sangat bermanfaat bagi
diri pribadi maupun lingkungan. Oleh karena itu, ada empat konsep asas dalam
psikologi, yaitu[5]:
Ø Naluri, daalah tenaga atau kuasa awal yang
mendorong seorang individu untuk bertindak dengan cara tertentu. Ia merupakan
tingkah laku yang diwarisi sejak lahir dan tidak diperoleh dari pengalaman
maupun pembelajaran.
Ø Keperluan, adalah keinginan memenuhi
kekurangan seorang individu dari aspek fisiologi dan psikologi
Ø Desakan, adalah tingkatan atau perubahan
tingkah laku akibat satu-satu keperluan fisiologi yang tidak dipenuhi. Ia
merupakan kecenderungan untuk mengekalkan keseimbangan suatu keadaan fisiologi
seperti lapar
Ø Motivasi, adalah perangsang yang membangkitkan
dan mengekalkan minat seorang individu ke arah mencapai suatu sikap tertentu,
termasuk mengubah sikap, minat, dah tingkah lakunya. Hal ini diwujudkan karena
adanya keperluan fisiologi atau psikologi.
Menurut para Psikolog, istilah “kepribadian”
mempunyai arti yang lebih daripada sifat menarik. Kepribadian seseorang itu
tersusun dari semua sifat yang dimilikinya. Sifat itu bermacam-macam, antara
lain[6]:
1.
Ada yang berkenaan dengan cara orat berbuat, seperti
tekun, tabah dan cepat
2.
Ada yang menggambarkan sikap, seperti sosiabilitas dan
patriotisme
3.
Ada yang berhubungan dengan minat, seperti estetis, atletis,
dan sebagainya
4.
Yang terpenting ialah temperamen emosional, meliputi
optimisme, pesimisme, mudah bergejolak, dan tenang
Pada hakikatnya, kepribadian dapat dikatakan
mencakup semua aspek perkembangan, seperti perkembangan fisik, motorik, mental,
sosial, moral, tetapi melebihi penjumlahan semua aspek perkembangan tersebut.
Kepribadian merupakan suatu kesatuan aspek jiwa dan badan, yang menyebabkan
adanya kesatuan dalam tingkah laku dan tindkan seseorang. Ini desebut
integrasi, integrasi dari pola-pola kepribadian yangt dibentuk oleh seseorang.
Sedang pola pembentukan pola kepribadiaan ini terjadi melalui proses interaksi
dalam dirinya sendiri, dengan pengaruh-pengaruh dari lingkungan luar.[7]
2.3 Tipe Kepribadian dalam Psikosufistik
Sudah sejak lama para pemikir berusaha
mengklasifikasikan manusia pada beberapa tipe atau bentuk yang didasari dengan
ciri tertentu yang berbeda denga tipe kepribadian manusia lainnya. Klasifikasi
ini mempermudah proses memahami kepribadian manusia. Sehingga, apabila kita mengetahui
seseorang memiliki beberapa ciri yang dinyatakan sebagai ciri dari salah satu
tipe kepribadian, maka kita menisbatkan orang tersebut ke dalam tipe tertentu
sesuai ciri yang dimiliki oleh tipe tersebut.
Al-Qur’an
mengklasifikasikan manusia berdasarkan keimanannya menjadi tiga tipe. Mereka
itu adalah orang mukmin, kafir dan munafiq. Rasulullah juga mengklasifikasikan
manusia berdasarkan keimanannya ke dalam empat tipe. Mereka adalah orang yangb
beriman, kafir, munafik dan orang yang hatinya tercampur antara keimanan dan
kemunafikan. Selain itu, rasulullah juga membagi manusia berdasarkan emosinya
dalam tiga tipe, yaitu:
1. Marahnya lambat dan mudah terkendali
2. Marahnya cepat dan cepat terkendali
3. Marahnya cepat dan lambat terkendali
Pembagian
manusia ke dalam beberapa tipe berdasarkan keimanan ini, baik yang tersebut
dalam Al-Qur’an maupun hadits. Sejalan dengan sudut pandang Islam yang
menyatakan bahwa iman adalah nilai kemanusiaan tertinggi. Atas dasar itulah,
kepribadian manusia dapat di nilai sebagaimana hal-hal yang pernah terjadi
dalam masalah-masalah kepribadian.
Oleh
karena itu, keimanan memiliki peran penting dalam kehidupan manusia. Keimanan
dapat mengarahkan dan membatasi perilaku manusia dalam hubungannya dengan
Tuhan, dengan diri sendiri dan dengan orang lain. Keimanan merupakan nilai yang
dapat mengukur segala sesuatu dan aktivitas dan karena keimananlah manusia
terbagi ke dalam tipe yang telah disebutkan di atas.[8]
Dengan
demikian, tipe kepribadian adalah suatu pengelompokkan tingkah laku seseorang,
baik yang masih tampak atau masih dalam bentuk potensi yang menunjukkan
kekhasan seseorang, sehingga dianggap berbeda dengan lainnya. Dalam konsteks
stabil, kepribadian selalu berkembang dan mengalami perubahan. Namun, dalam
perubahan itu ada pola-pola tertentu yang tetap. Sehingga semakin dewasa,
semakin jelas polanya, maka semakin jelas pula keadaan stabilnya. Sebab kepribadian menurut H.J Eysenk, adalah jumlah
total bentuk tingkah laku yang aktual atau potensial pada organisme sebagai
suatu tingkah laku individu, baik itu yang tampil maupun yang berbentuk
potensi, dipengaruhi hereditas dan lingkungan atau hasil belajar dan berkembang
melalui interaksi fubgsional antara aspek-aspek pembentuknya, yaitu aspek
kognitif, konatif dan somatif.[9]
2.4 Perkembangan Spiriualitas dalam Psikosufistik
Menurut
kamus Webster (1936), kata “spirit” berasal dari kata benda bahasa latin
“spiritus” yang berarti napas dan kata kerja “spirar” yang
berarti untuk bernapas. Melihat asal katanya, untuk hidup adalah untuk bernafas
dan memiliki napaas artinya memiliki spirit.
Menjadi spiritual berarti memiliki ikatan yang lebih kepada hal yang
bersifat kerohanian atau kejiwaan dibandingkan hal yang bersifat fisik atau
material.
Spiritualitas
memiliki ruang lingkup dan makna pribadi yang luas. Namun spiritualitas mungkin
dapat dimengerti dengan membahas kata kunci yang sering muncul ketika
orang-orang menggambarkan arti spiritualitas bagi mereka.[10] Sehingga esensi spiritualitas adalah
keterhubungan, yaitu keterhungan diri dengan Tuhan, dengan sesama manusia, dan
alam semesta. Menurut Roy, F.Baumestris & Kathleen D.Vohs (2002) dalam
artikelnya The Pursuit of Meaningfulness in Life, menyebutkan bahwa keterhubungan
(koneksi) merupakan esensi dari makna. Hal tersebut merupakan penemuan makna
hidup dan spiritualitas merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan.
Makna
bukanlah suatu realitas fisik, sehingga hubungan antara dua hal oleh amkna tidak berkurang
oleh adanya hukum-hukum fisik. Itulah sebabnya, seseorang yang secara fisik
tidak berjumpa lagi dengan orang-orang yang dicintainya (misalnya meninggal),
seseorang tersebut dapat merasakan makna dari hubungannya dengan orang-orang
yang dicintainya.[11]
Setiap jiwa dan raga manusia memiliki
kebutuhan yang harus dipenuhi. Raga, misalnya membutuhkan makanna, air,
istirahat, menghindari rasa panas, dingin, atau sakit. Raga juga membutuhkan
belaian dari jenis yang lain dan kebutuhan lain yang harus dipenuhi untukn
kelangsungan hidup dan kelestarian jenisnya. Disamping raga, jiwa pun memiliki
kebutuhan tertentu. Misalnya jiwa cenderung ingin mengenal Tuhannya,
mengabdikan diri, atau mendekatkan diri dengan penuh kepasrahan, kesetiaan dan
perbuatan yang baik.
Meskipun demikian, antara kebutuhan yang
menjadi tuntutan jiwa dan raga manusia kadang tidak mampu menyeimbangkan antara
keduanya secara proposional. Manusia cenderung memenuhi motvasi raganya dengan
mereguk kelezatan dan menikmati keindhan dunia secara berlebihan, sehingga lupa
untuk memenuhi kebutuhan jiwanya. Manusia kadang berlebihan dalam memenuhi
kebutuhan jiwanya (spiritualitas) sehingga kebutuhan raganya terabaikan.Sikap
seperti ini mengakibatkan kecenderungan alamiah manusia akan mengalami penyimpangan.
Sebagai konsekuensinya, kepribadian manusia juga akan mengalami
ketidakseimbangan. Oleh karena itu, Islam beranggapan bahwa segala macam
aktivitas hidup manusia adalah sebagai penghambaan diri (beribadah) kepada
Tuhannya. Sehingga dalam diri manusia perlu adanya penekanan keseimbangan
antara sisi material dan spiritual[12].
Rasulullah SAW, sangat memperhatikan
pendidikan para sahabatnya dengan menguatkan aspek spiritualitasnya. Hal
tersebut beliau lakukan dengan menanamkan iman dalam diri para sahabatnya. Jika
manusia kuat imannya, maka hubungan dengan Tuhannya pun akan menjadi kuat.
Kekuatan spiritual manusia juga dapat membebaskan dan menjadi kekuatan yang
luar biasa pada raga dan jiwa, bahkan kekuatan tersebut dapat menyembuhkan
kelemahan ataupun penyakit yang ada di dalam diri manusia[13].
Dalam kajian psikologi Islam, spiritual adalah
dasar paling esensial, dan “rasa” merupakan kunci sebuah penelitian spiritual.
Dorongan-dorongan berupa keinginan mendapatkan petunjuk, keselamatan, cinta,
kekuasaan, balasan, pertolongan, keutuhan (persatuan), kebahagian, kemenangan,
dan keinginan mendalam untuk berjumpa dengan Penciptanya, merupakan
dorongan-dorongan dasar dan luas dari spiritualitas seseorang. Dari sekian
banyak dorongan yang laus ini akan memunculkan dorongan-dorngan minor, berupa
pencapaian kebutuhan-kebutuhan minor yang secara lahiriahakan dapat langsung
dipahami oleh manusia tanpa harus mempelajarinya terlebih dahulu.[14]
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Manusia merupakan makhluk yang senantiasa
mengalami perkembangan. Dimana perkembangan tersebut tidak hanya dalam bentuk
luar (fisik), akan tetapi juga perkembangan rohaniahnya. Sehingga kepribadian
yang dimiliki oleh manusia juga cenderung berbeda-beda, sesuai dengan tipe
kepribadian dan faktor yang mempengaruhinya.
Selain
itu, tipe kepribadian juga menjadi ciri
khas bagi setiap individu manusia. Keberadaan tipe kepribadian juga menjadi
perantara untuk mengenali diri sendiri dan mengenali orang lain. Begitu juga
dengan perkembangan spiritualitas yang ada pada manusia yang senantiasa menjadi
perantara untuk memahami diri sendiri dan orang lain. Sehingga semakin
berkembang tingkat spiritualitasnya, maka akan semakin bertambah berkembang
segala sesuatu yang ada pada diri manusia tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Najati, Muhammad, Utsman, 2004, Psikologi dalam Perspektif Hadits,Jakarta:Pustaka
Al Husna.
Purwakania, Hasan, Aliah B.,
2006, Psikologi
Perkembangan Islam, Jakarta:Raja
Grafindo Persada.
Sopiatin, Popi dkk, 2011, Psikologi Belajar dalam Perspektif Islam, Bogor:Ghalia
Indonesia.
Jaenudin, Ujam, 2012, Psikologi
Transpersonal, Bandung:Pustaka Setia.
Sobur, Alex, 2013, Psikologi Umum, Bandung:Pustaka
Setia.
[1][1] Muhammad Utsman Najati, Psikologi dalam
Perspektif Hadits,(Jakarta:Pustaka Al Husna,2004),hlm.242.
[2] Aliah B. Purwakania Hasan, Psikologi Perkembangan Islam, (Jakarta:Raja
Grafindo Persada,2006),hlm.27-29.
[3] Popi Sopiatin, dkk, Psikologi Belajar dalam
Perspektif Islam, (Bogor:Ghalia Indonesia,2011),hlm.87.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar