Rabu, 09 Desember 2015


Perkembangan Manusia dan Kepribadian dalam Psikosufistik
BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang

Pada dasarnya setiap makhluk di dunia ini pasti mengalami sebuah perkembangan, termasuk manusia. Manusia selain mengalami perkembangan juga memiliki kepribadian yang menjadi ciri khas atau karakteristik dari setiap individu. Dimana perkembangan dan kepribadian masing-masing individu berbeda-beda sesuai dengan faktor yang mempengaruhinya. Sehingga perkembangan manusia dan kepribadian manusia dalam psikosufistik tentunya berbeda pula.
Oleh karena itu, adanya hal tersebut juga mempunyai beberapa hal yang perlu untuk dikaji secara mendalam. Dengan adanya kajian yang mendalam terhadap perkembangan manusia dan kepribadian dalam psikosufistik juga akan menambah wawasan keilmuan kita.
Dengan demikian, manusia akan diketahui perkembangan dan kepribadiannya dalam psikosufistik. Dimana Psikosufistik sendiri tentunya banyak membahas tentang segala sesuatu baik secara psikologi maupun sufistik. Sehingga makalah ini juga akan membahas tentang perkembangan manusia, perkembangan kepribadian dan lain-lain.
2.2 Rumusan Masalah
A. Perkembangan manusia dalam Psikosufistik
B. Perkembangan kepribadian dalam Psikosufistik
C. Tipe Kepribadian dalam Psikosufistik
D. Perkembangan Spiritual dalam Psikosufistik


BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Perkembangan Manusia dalam Psikosufistik
Manusia seharusnya memperhatikan proses penciptaannya. Manusia diciptakan dari setetes nutfah (mani atau seperma) yang membuahi sel telur (ovum) dalam saluran indung telur hingga membentuk zigot (campuran antara sperma dan ovum) yang tersimpan dalam rahim perempuan. Secara bertahap kemudian tumbuh menjadi bagian tubuh yang tersusun dari tulang dan daging hingga menjadi sosok yang berbeda dari sebelumnya. Ada beberapa tahap yang dilalui nutfah dalam proses pembuahannya hingga menjadi organ tubuh manusia secara sempurna yang dibekali dengan panca indera, kemampuan untuk berfikir, belajar dan memahami, hingga mampu memakmurkan bumi. Manusia juga harus menyadari bahwa segala sesuatu yang tercipta di alam semesta beserta isinya hanya untuk beribadah kepada Allah SWT dan mengakui sepenuhnya akan kekuasaan-Nya yang tidak terbatas[1]. Allah berfirman:
 يُؤْمِنُ بِأَيَاتِنَا الّذِيْنَ اِذَا ذُكِّرُوا بِهَا خَرُّوا سُجَّدًا وَسَبَّحُوا بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَهُمْ لَاَيَسْتَكْبِرُوْنَاِنَّمَا
“Sesungguhnya orang yang beriman dengan ayat Kami adalah orang yang apabila diperingatkan dengan ayat (Kami), mereka bersujud dan bertasbih serta memuji Tuhannya, sedang mereka tidak menyombongkan diri (Q.S As-Sajdah:15)
Menurut Al-Qur’an, pertumbuhan dan perkembangan manusia memiliki pola umum yang dapat diterapkan pada manusia, meskipun terdapat perbedaan individual. Pola yang terjadi adalah bahwa setiap individu tumbuh dari keadaan yang lemah menuju keadaan yang kuat dan kemudian kembali melemah. Dengan kata lain, pertumbuhan dan perkembangan sesuai dengan hokum alam, ada kenaikan dan penurunan. Ketika seseorang secara berangsur-angsur mencapai puncak perkembangannya, baik fisik maupun kognitif, dia mulai menurun berangsur-angsur. Al- Qur’an menyatakan sebagai berikut:
“Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Kuas. (QS. Al-Rum[30]:54)
Allah menciptakan kamu, kemudian mewafatkan kamu, dan di antara kamu ada yang dikembalikan pada umur yang paling lemah (pikun), supaya dia tidak mengetahui segala sesuatupun yang pernah diketahuinya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. Al-Nahl[16]:30).
Al-Qur’an juga mengajarkan bahwa perkembangan manusia merupakan proses simultan dari aspek-aspek yang berhubungan. Hal ini berarti, segala aspek perkembangan fisik mental, sosial, emosional, dan moral tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Msaing-masing saling menguatkan satu sama lain. Hal ini berarti bahwa satu aspek dari perkembangan tidak dapat menunggu satu aspek lainnya berkembang penuh, ketika memulai perkembangannya. Perkembangan fisik dan mental dari seseorang, misalnya, terjadi bersama-sama dengan perkembangan sosial, emosional, dan moral. [2]
Dalam istilah psikologi, perkembangan adalah sebuah pemaparan tentang kondisi manusia yang terus menerus mengalami perubahan ke tingkat (fase) yang lebih tinggi secara alami dan terus terjadi.Sedangkan pengembangan adalah usaha memposisikan kondisi manusia kearah yang seharusnya dimiliki (terjadi) ketika seseorang sudah berada pada posisi (fase) tertentu.
Manusia memiliki sesuatu yang khas dari setiap pribadinya dan bukan kekhasan itu dijadikan generalisasi objektivitas, namun keharusan yang mesti ditempuh serta menjadi pusat penelitian (center of observatioan). Menurut Mujib, pengembangan kepribadian Islam adalah usaha sadar yang dilakukan oleh individu untuk memaksimalkan daya-daya insaninya, agar ia mampu mengaktualisasikan diri lebih baik, sehingga memperoleh kualitas hidup di dunia maupun di akhirat.  Manusia yang baik tidak dapat dilihat dari kadar (ukuran) fisik dan potensi diri berupa bakat dan kekuatan, atau sesuatu yang lain berupa kekhasannya. Namun, perjalanan arah hidup  yang difokuskan kearah kebaikan (as-shirath al-mustaqim ila al-haqq), itulah manusia yang baik.[3]
2.2 Perkembangan Kepribadian dalam Psikosufistik
Berbagai teori disusun untuk menjelaskan perkembangan kepribadian seseorang, dengan memasukkan bagaimana peran jenis kelamin dapat terbentuk dalam tahap perkembangan tersebut. Teori tersebut memiliki berbagai jenis pendekatan. Salah satu yang paling terkenal dan juga menuai banyak kritik adalah teori perkembangan seksual yang dikembangkan Sigmund Freud.
Teori perkembangan psikoseksual Sigmund Freud merupakan salah satu teori pembentukan kepribadian terkenal, namun juga merupakan salah satu yang paling kontraversial. Menurut Freud, kepribadian terbentuk melalui serangkaian tahap perkembangan anak yang berpusat pada efek dorongan mencari kesenangan (pleasure-seeking energy) pada daerah erogen atau anggota tubuh manusia yang sensitive terhadap simulasi erotic. Energi psikoseksual ini (libido)  digambarkan sebagai kekuatan yang mengendalikan perilaku. Anak memiliki kebutuhan pemuasan terhadap zone erogen tersebut. Jika kebutuhannya tidak terpenuhi secara berlebihan, maka ia akan mengalami fiksasi. Jika ia mengalami fiksasi pada tahap tertentu, maka metode memperoleh kepuasan pada tahap ini akan dominan dan mempengaruhi kepribadiannya ketika dewasa. Namun, banyak psikolog yang membuktikan teori ini keliru.
Dari perspektis Islam, manusia lahir dalam keadaan fitrah yang suci dan beriman dengan konstitusi yang diciptakan oleh Allah. Lingkungan, sesuai dengan ketentuan Allah, kemudian berperan  dalam membentuk kepribadian sesorang. Serangkaian interaksi antar stimulus lingkungan dengan manusia yang memiliki kebebesan kehendak yang terbatas, membentuk kepribadiannya setelah lahir. Landasan pemikiran teori psikoanalisis Freud bertentangan dengan perspektif Islam ini. [4]
          Dengan akal yang merupakan hidayah Allah, manusia dapat memilih apakah ia akan terbuai dalam lumpur endapan yang terdapat dalam dirinya ataukah ia akan meningkatkan dirinya menuju kutub yang mulia, yaitu menyerahkan diri kepada Allah. Dalam menentukan kehendak itu, terjadilah pertarungan terus menerus dalam diri manusia.
          Dari pertarungan “kepentingan”, yang ada dalam diri manusia itulah, lahir sikap atau kepribadian manusia. Padahal, memahami kepribadian manusia tidak mudah karena kepribadian merupakan masalah yang kompleks.  Kepribadian tidak hanya melekat pada diri seseorang, tetapi lebih merupakan hasil pertumbuhan yang lama dalam suatu lingkungan budaya. Para ahli menyebutkan bahwa kepribadian adalah kesan yang ditimbulkan oleh sifat-sifat lahiriah seseorang, seperti cara berpakaian, sifat jasmaniah, daya pikat, dan sebagainya. Disebutkan juga bahwa kepribadian adalah organisasi dinamis dalam individu sebagai makhluk yang bersifat psikofisik yang menentukan penyesuaian dirinya secara unik terhadap lingkungan. Ahli lain mengklasifikasikan seluruh ranah kepribadian dalam enam tipe yang sangat menonjol yaitu tipe realistik, tipe penyelidik atau investigatif, tipe artistik, tipe sosial, tipe perintis, atau enterpristing dan tipe konvensional.
          Kepribadian seseorang akan tumbuh dan berkembang sesuai dengan pengalaman masing-masing. Beberapa faktor yang mempengaruhi kepribadian antara lain; perasaan bersalah, benci, cemas, kepercayaan yang diemban, harapan yang dicamkan, dan kasih sayang yang diterima dari lingkungan. Dengan mencoba mengenal dan memahami istilah kepribadian, kita akan mempermudah mengenal diri sendiri baik kekuatan maupun kelemahan yang ada. Dengan begitu, keberadaan kita akan sangat bermanfaat bagi diri pribadi maupun lingkungan. Oleh karena itu, ada empat konsep asas dalam psikologi, yaitu[5]:
Ø Naluri, daalah tenaga atau kuasa awal yang mendorong seorang individu untuk bertindak dengan cara tertentu. Ia merupakan tingkah laku yang diwarisi sejak lahir dan tidak diperoleh dari pengalaman maupun pembelajaran.
Ø Keperluan, adalah keinginan memenuhi kekurangan seorang individu dari aspek fisiologi dan psikologi
Ø Desakan, adalah tingkatan atau perubahan tingkah laku akibat satu-satu keperluan fisiologi yang tidak dipenuhi. Ia merupakan kecenderungan untuk mengekalkan keseimbangan suatu keadaan fisiologi seperti lapar
Ø Motivasi, adalah perangsang yang membangkitkan dan mengekalkan minat seorang individu ke arah mencapai suatu sikap tertentu, termasuk mengubah sikap, minat, dah tingkah lakunya. Hal ini diwujudkan karena adanya keperluan fisiologi atau psikologi.
Menurut para Psikolog, istilah “kepribadian” mempunyai arti yang lebih daripada sifat menarik. Kepribadian seseorang itu tersusun dari semua sifat yang dimilikinya. Sifat itu bermacam-macam, antara lain[6]
1.      Ada yang berkenaan dengan cara orat berbuat, seperti tekun, tabah dan cepat
2.      Ada yang menggambarkan sikap, seperti sosiabilitas dan patriotisme
3.      Ada yang berhubungan dengan minat, seperti estetis, atletis, dan sebagainya
4.      Yang terpenting ialah temperamen emosional, meliputi optimisme, pesimisme, mudah bergejolak, dan tenang
Pada hakikatnya, kepribadian dapat dikatakan mencakup semua aspek perkembangan, seperti perkembangan fisik, motorik, mental, sosial, moral, tetapi melebihi penjumlahan semua aspek perkembangan tersebut. Kepribadian merupakan suatu kesatuan aspek jiwa dan badan, yang menyebabkan adanya kesatuan dalam tingkah laku dan tindkan seseorang. Ini desebut integrasi, integrasi dari pola-pola kepribadian yangt dibentuk oleh seseorang. Sedang pola pembentukan pola kepribadiaan ini terjadi melalui proses interaksi dalam dirinya sendiri, dengan pengaruh-pengaruh dari lingkungan luar.[7]
2.3 Tipe Kepribadian dalam Psikosufistik
          Sudah sejak lama para pemikir berusaha mengklasifikasikan manusia pada beberapa tipe atau bentuk yang didasari dengan ciri tertentu yang berbeda denga tipe kepribadian manusia lainnya. Klasifikasi ini mempermudah proses memahami kepribadian manusia. Sehingga, apabila kita mengetahui seseorang memiliki beberapa ciri yang dinyatakan sebagai ciri dari salah satu tipe kepribadian, maka kita menisbatkan orang tersebut ke dalam tipe tertentu sesuai ciri yang dimiliki oleh tipe tersebut.
          Al-Qur’an mengklasifikasikan manusia berdasarkan keimanannya menjadi tiga tipe. Mereka itu adalah orang mukmin, kafir dan munafiq. Rasulullah juga mengklasifikasikan manusia berdasarkan keimanannya ke dalam empat tipe. Mereka adalah orang yangb beriman, kafir, munafik dan orang yang hatinya tercampur antara keimanan dan kemunafikan. Selain itu, rasulullah juga membagi manusia berdasarkan emosinya dalam tiga tipe, yaitu:
1. Marahnya lambat dan mudah terkendali
2. Marahnya cepat dan cepat terkendali
3. Marahnya cepat dan lambat terkendali
          Pembagian manusia ke dalam beberapa tipe berdasarkan keimanan ini, baik yang tersebut dalam Al-Qur’an maupun hadits. Sejalan dengan sudut pandang Islam yang menyatakan bahwa iman adalah nilai kemanusiaan tertinggi. Atas dasar itulah, kepribadian manusia dapat di nilai sebagaimana hal-hal yang pernah terjadi dalam masalah-masalah kepribadian.
          Oleh karena itu, keimanan memiliki peran penting dalam kehidupan manusia. Keimanan dapat mengarahkan dan membatasi perilaku manusia dalam hubungannya dengan Tuhan, dengan diri sendiri dan dengan orang lain. Keimanan merupakan nilai yang dapat mengukur segala sesuatu dan aktivitas dan karena keimananlah manusia terbagi ke dalam tipe yang telah disebutkan di atas.[8]
          Dengan demikian, tipe kepribadian adalah suatu pengelompokkan tingkah laku seseorang, baik yang masih tampak atau masih dalam bentuk potensi yang menunjukkan kekhasan seseorang, sehingga dianggap berbeda dengan lainnya. Dalam konsteks stabil, kepribadian selalu berkembang dan mengalami perubahan. Namun, dalam perubahan itu ada pola-pola tertentu yang tetap. Sehingga semakin dewasa, semakin jelas polanya, maka semakin jelas pula keadaan stabilnya. Sebab  kepribadian menurut H.J Eysenk, adalah jumlah total bentuk tingkah laku yang aktual atau potensial pada organisme sebagai suatu tingkah laku individu, baik itu yang tampil maupun yang berbentuk potensi, dipengaruhi hereditas dan lingkungan atau hasil belajar dan berkembang melalui interaksi fubgsional antara aspek-aspek pembentuknya, yaitu aspek kognitif, konatif dan somatif.[9]
2.4 Perkembangan Spiriualitas dalam Psikosufistik
            Menurut kamus Webster (1936), kata “spirit” berasal dari kata benda bahasa latin “spiritus” yang berarti napas dan kata kerja “spirar” yang berarti untuk bernapas. Melihat asal katanya, untuk hidup adalah untuk bernafas dan memiliki napaas artinya memiliki spirit.  Menjadi spiritual berarti memiliki ikatan yang lebih kepada hal yang bersifat kerohanian atau kejiwaan dibandingkan hal yang bersifat fisik atau material.
            Spiritualitas memiliki ruang lingkup dan makna pribadi yang luas. Namun spiritualitas mungkin dapat dimengerti dengan membahas kata kunci yang sering muncul ketika orang-orang menggambarkan arti spiritualitas bagi mereka.[10] Sehingga esensi spiritualitas adalah keterhubungan, yaitu keterhungan diri dengan Tuhan, dengan sesama manusia, dan alam semesta. Menurut Roy, F.Baumestris & Kathleen D.Vohs (2002) dalam artikelnya The Pursuit of Meaningfulness in Life, menyebutkan bahwa keterhubungan (koneksi) merupakan esensi dari makna. Hal tersebut merupakan penemuan makna hidup dan spiritualitas merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan.
            Makna bukanlah suatu realitas fisik, sehingga hubungan  antara dua hal oleh amkna tidak berkurang oleh adanya hukum-hukum fisik. Itulah sebabnya, seseorang yang secara fisik tidak berjumpa lagi dengan orang-orang yang dicintainya (misalnya meninggal), seseorang tersebut dapat merasakan makna dari hubungannya dengan orang-orang yang dicintainya.[11]
Setiap jiwa dan raga manusia memiliki kebutuhan yang harus dipenuhi. Raga, misalnya membutuhkan makanna, air, istirahat, menghindari rasa panas, dingin, atau sakit. Raga juga membutuhkan belaian dari jenis yang lain dan kebutuhan lain yang harus dipenuhi untukn kelangsungan hidup dan kelestarian jenisnya. Disamping raga, jiwa pun memiliki kebutuhan tertentu. Misalnya jiwa cenderung ingin mengenal Tuhannya, mengabdikan diri, atau mendekatkan diri dengan penuh kepasrahan, kesetiaan dan perbuatan yang baik.
Meskipun demikian, antara kebutuhan yang menjadi tuntutan jiwa dan raga manusia kadang tidak mampu menyeimbangkan antara keduanya secara proposional. Manusia cenderung memenuhi motvasi raganya dengan mereguk kelezatan dan menikmati keindhan dunia secara berlebihan, sehingga lupa untuk memenuhi kebutuhan jiwanya. Manusia kadang berlebihan dalam memenuhi kebutuhan jiwanya (spiritualitas) sehingga kebutuhan raganya terabaikan.Sikap seperti ini mengakibatkan kecenderungan alamiah manusia akan mengalami penyimpangan. Sebagai konsekuensinya, kepribadian manusia juga akan mengalami ketidakseimbangan. Oleh karena itu, Islam beranggapan bahwa segala macam aktivitas hidup manusia adalah sebagai penghambaan diri (beribadah) kepada Tuhannya. Sehingga dalam diri manusia perlu adanya penekanan keseimbangan antara sisi material dan spiritual[12].
Rasulullah SAW, sangat memperhatikan pendidikan para sahabatnya dengan menguatkan aspek spiritualitasnya. Hal tersebut beliau lakukan dengan menanamkan iman dalam diri para sahabatnya. Jika manusia kuat imannya, maka hubungan dengan Tuhannya pun akan menjadi kuat. Kekuatan spiritual manusia juga dapat membebaskan dan menjadi kekuatan yang luar biasa pada raga dan jiwa, bahkan kekuatan tersebut dapat menyembuhkan kelemahan ataupun penyakit yang ada di dalam diri manusia[13].
Dalam kajian psikologi Islam, spiritual adalah dasar paling esensial, dan “rasa” merupakan kunci sebuah penelitian spiritual. Dorongan-dorongan berupa keinginan mendapatkan petunjuk, keselamatan, cinta, kekuasaan, balasan, pertolongan, keutuhan (persatuan), kebahagian, kemenangan, dan keinginan mendalam untuk berjumpa dengan Penciptanya, merupakan dorongan-dorongan dasar dan luas dari spiritualitas seseorang. Dari sekian banyak dorongan yang laus ini akan memunculkan dorongan-dorngan minor, berupa pencapaian kebutuhan-kebutuhan minor yang secara lahiriahakan dapat langsung dipahami oleh manusia tanpa harus mempelajarinya terlebih dahulu.[14]




BAB III
PENUTUP
3.1    Simpulan
          Manusia merupakan makhluk yang senantiasa mengalami perkembangan. Dimana perkembangan tersebut tidak hanya dalam bentuk luar (fisik), akan tetapi juga perkembangan rohaniahnya. Sehingga kepribadian yang dimiliki oleh manusia juga cenderung berbeda-beda, sesuai dengan tipe kepribadian dan faktor yang mempengaruhinya.
          Selain itu,  tipe kepribadian juga menjadi ciri khas bagi setiap individu manusia. Keberadaan tipe kepribadian juga menjadi perantara untuk mengenali diri sendiri dan mengenali orang lain. Begitu juga dengan perkembangan spiritualitas yang ada pada manusia yang senantiasa menjadi perantara untuk memahami diri sendiri dan orang lain. Sehingga semakin berkembang tingkat spiritualitasnya, maka akan semakin bertambah berkembang segala sesuatu yang ada pada diri manusia tersebut.









DAFTAR PUSTAKA
Najati, Muhammad, Utsman, 2004, Psikologi dalam Perspektif Hadits,Jakarta:Pustaka Al Husna.
Purwakania, Hasan, Aliah B., 2006, Psikologi Perkembangan Islam, Jakarta:Raja Grafindo Persada.
Sopiatin, Popi dkk, 2011, Psikologi Belajar dalam Perspektif Islam, Bogor:Ghalia Indonesia.
Jaenudin, Ujam, 2012, Psikologi Transpersonal, Bandung:Pustaka Setia.
Sobur, Alex, 2013, Psikologi Umum, Bandung:Pustaka Setia.




[1][1] Muhammad Utsman Najati, Psikologi dalam Perspektif Hadits,(Jakarta:Pustaka Al Husna,2004),hlm.242.
[2] Aliah B. Purwakania Hasan, Psikologi Perkembangan Islam, (Jakarta:Raja Grafindo Persada,2006),hlm.27-29.
[3] Popi Sopiatin, dkk, Psikologi Belajar dalam Perspektif Islam, (Bogor:Ghalia Indonesia,2011),hlm.87.
[4] Opcit, hlm.247-248.
[5] Ujam Jaenudin, Psikologi Transpersonal, (Bandung:Pustaka Setia,2012),hlm.195-196.
[6] Alex Sobur, Psikologi Umum, (Bandung:Pustaka Setia, 2013), hlm.301-302.
[7] Ibid, hlm.312-313.
[8] Opcit,hlm.285-286.
[9] Opcit,hlm.127.
[10] Ibid,hlm.288.
[11] Opcit,hlm.196-197.
[12] Opcit, hlm.267-268.
[13] Opcit, hlm.329.
[14]  Opcit, hlm172.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar