Zuhud dalam Pandangan Spiritual Quetien
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Berbagai persoalan masa kini semakin sulit untuk di cari solusi dan
jalan keluarnya. Sehingga keberadaan tasawuf dalam era kontemporer tentunya
berusaha untuk memberikan solusi terbaik tanpa ada efek sampingnya. Dimana
tasawuf berupaya menyadarkan akan pentingnya spiritual dan mendekatkan diri
kepada Allah sang Pencipta.
Oleh karena itu, manusia yang saat ini sudah tidak lagi
memperhatikan aspek-aspek batiniahnya dan tidak lagi menghidupkan aspek-aspek
spiritualnya. Dengan demikian, spiritual Quetien berusaha mengadopsi
ajaran-ajaran tasawuf, khususnya khal dan maqamat yang disinergikan dengan
permasalahan manusia modern. Begitu juga dengan keadaan manusia modern yang
mengalami kekosongan spiritual berusaha di isi dengan ajaran-ajaran tasawuf
yang di implementasikan dalam spiritual quetien.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, makalah ini akan membahas
tentang definisi zuhud, konsep zuhud, dan hubungan zuhud dengan spiritual
quetien. Hal itu diharapkan bisa menambah wacana dan wawasan kita, khususnya
tentang hal-hal yang berkaitan dengan materi yang di bahas.
1.2
Rumusan Masalah
A.
Definisi Zuhud
B.
Konsep Zuhud
C.
Hubungan Zuhud dengan Spiritual Quetien
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Definisi Zuhud
Secara termilogi
zuhud adalah mengarahkan keinginan kepada Allah SWT, menyatukan kemauan
kepadanya, dan sibuk dengan-Nya dibanding kesibukan-kesibukan lainnya agar
Allah membimbing dan memberikan petunjuk seorang zahid (orang yang
berperilaku zuhud). Al-Junaid Al-Baghdadi mengatakan “Zuhud” adalah ketika
tangan tidak memiliki apa-apa dan pengosongan hati dari cita-cita”. Di sini
seorang sufi tidak memiliki sesuatu yang berharga, tetapi merasa uhan dekat
dengan dirinya. Yahya Ibn Mu’adz menyatakan bahwa zuhud adalah meninggalkan apa
yang mudah ditinggalkan.
Sedangkan zuhud
menurut Imam Al-Ghazali adalah meninggalkan sesuatu yang dikasihi dan berpaling
darinya kepada sesuatu yang lain yang lebih baik darinya karena menginginkan
akhirat. Begitu juga dengan pendapat Ibnu Taimiyyah, bahwa zuhud adalah
meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat untuk kepentingan akhirat.[1]Terkait
dengan definisi zuhud tersebut di atas, Sufyan Tsauri mangatakan, zuhud
terhadap dunia adalah membatasi keinginan untuk memperoleh dunia, bukannya
memakan makanan kasar, atau memakai jubah dengan kain kasar. Sedangkan Sulaiman
Al-Darani mengatakan, zuhud adalah menjauhkan diri dari apapun yang memalingkan
kamu dari Allah SWT. Fudail bin Iyad mengatakan, Allah menempatkan seluruh
kejahatan dalam satu rumah dan menjadikan kecintaan terhadap dunia sebagai
kuncinya, serta meletakkan segala macam kebaikan dalam satu rumah dan
menjadikan zuhud sebagai kuncinya[2].
Para ulama salaf,
seperti Sufyan Ats-Tsauri, Ahmad Ibn Hambal, Isa Ibn Yunus dan lain-lainnya,
menegaskan bahwa zuhud adalah membatasi angan-angan dan keinginan. Zuhud
sebenarnya bukanlah mengharamkan yang hala atau sebaliknya juga bukan membenci
kekayaan duniawi. Tetapi ia justru menjadi perisai agar tidak terpesona dan
menafikan hal-hal yang penting daripada Islam (menyimpang dari ajaran Islam
yang sebenarnya). Namun demikian, persoalan zuhud tetap menampung perbedaan
dalam satu kesatuan yang utuh dengan meletakkan posisi Rabb pada tempat yang
tetap sebagai objek dari kecintaan dan harapan keridhaan-Nya.
Dengan demikian,
makna zuhud dapat dibedakan pada tiga peringkat yaitu[3]:
1.
Zuhud
dalam syubhat setelah meninggalkan yang haram, karena tidak menyukai celaan
dimata Allah, tidak suka pada kekurangan, dan tidak suka bergabung dengan orang-orang
fasik. Zuhud dalam syubhat bermakna meninggalkan hal-hal yang meragukan.,
apakah sesuatu itu halal atau haram dalam pandangan zahid. Contohnya
Kedurhakaan yang menjadi pembatas antara iman dan kufur, dan lain-lain.
2.
Zuhud
dalam perkara-perkara yang berlebihan, yaitu sesuatu yang lebih dari kelaziman
dengan melepaskan kerisauan hati dan dengan mencontoh para nabi dan Shiddiqin.
Contohnya, teladan doa dalam aspek makan, minum, pakaian, tempat tinggal,
dan lain-lain.
3.
Zuhud
dalam zuhud yang dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu menghina perbuatan
zuhud, menyeimbangkan keadaan ketika mendapat dan meninggalkan sesuatu dan
ingin memperoleh balasan. Orang yang memenuhi hatinya dengan kecintaan kepada
Allah tidak layak melihat keduniaan yang ditinggalkannya sebagai suatu
pengorbanan.
Dalam bukunya
Fethullah Gulen yang berjudul “Tasawuf untuk kita semua”, zuhud adalah
meninggalkan kenikmatan dunia dan melawan kecenderungan jasmani. Dikalangan
kebanyakan sufi, zuhud dikenal sebagai menjauhi kenikmatan dunia, menghabiskan
umur dengan menjalani kehidupan yang semirip mungkin dengan orang yang diet
sembari menjadikan takwa sebagai landasan suluk (menempuh jalan), meneguhkan
hati untuk menolak kehidupan dunia yang hadapi, dan menolak keinginan nafsu
insani.
Dari interprestasi
tersebut di atas, kita dapat menemukan sebuah pengertian lain, yaitu bahwa
zuhud adalah meninggalkan ketenangan dunia yang fana, demi meraih kebahagiaan
akhirat yang kekal.[4]
2.1 Konsep Zuhud
Dalam mizan
al-Hikmah 4:241, sebagaimana dikutip oleh Jalaluddin Rahmat, bahwa jika
merasakan kehidupan akhirat dan tidak terpakau dengan kehidupan dunia, seperti
yang telah dirasakan oleh para sahabat Nabi Muhammad SAW, maka para malaikat
akan turut menyertai. Tirai kegaipan akan disingkapkan. Mereka akan menyelami
sambil mengatakan “Kami akan melindungi kalian di dunia dan di akhirat”
(QS.41:31)[5].
Sesungguhnya langkah
pertama dari zuhud adalah adanya kepekaan yang tinggi terhadap perkara halal
dan haram. Sementara langkah kedua dari zuhud adalah sebuah tahapan sempurna,
yaitu kehidupan dengan kecermatan yang tinggi dan kepekaan yang tajam terhadap
hal-hal mubah dan hal-hal yang sesuai syari’at.
Adapun “Az-zahid”
(pelaku zuhud), adalah sosok penyabar-sabar yang sebenarnya-di hadapan berbagai
tanggungjawab yang dipikulnya; dihadapan petaka dan musibah yang menimpanya;
dan dihadapan dosa-dosa dan kemaksiatan yang menghalangi jalannya disetiap
persimpangan; dengan penuh keridhaan atas segala takdir yang ditetapkan Allah
terhadap dirinya, kecuali jika berupa kekufuran dan kesesatan. Dialah sosok
yang puncak impiannya adalah menjadikan segala yang telah Allah anugerahkan
kepadanya sebagai alat untuk meraih ridha Allah, kemenangan di akhirat, dan
untuk menuntun manusia menuju kebenaran mutlak. Di dalam hati seorang yang
zuhud selalu bergema hakikat firman Allah: “Katakanlah: kesenangan di dunia
ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertaqwa”.(QS.
Ali Imran {3}:77). Sementara itu, disetiap sudut dalam otaknya selalu terdapat
hakikat firman Allah: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah
kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan
kebahagiaanmu dari (kenikmatan) duniawi....”(QS al-Qashash {28} :77). Dan
di setiap relung cakrawala mata batinnya selalu muncul kesadaran pada firman
Allah, Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main.
Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka
mengetahui,” (QS al-ankabut {29}: 64).
Sesungguhnya hati
yang dipenuhi dengan sifat zuhud selalu merenungi nilai-nilai zuhud pada setiap
kondisi yang terkadang berlawanan antara satu dengan lainnya, baik perasaannya
berhubungan dengan kondisi itu maupun tidak, baik dalam urusan makan maupun
minum, baik dalam terjaga maupun tidur, baik ketika berkata-kata maupun diam,
baik dalam khalwat (kesendirian) maupun jalwat (keramaian). Dalam
semua kondisi tersebut, seorang zahid selalu meresapi kezuhudan, dan mewarnai
hidup dengan kezuhudan, sehingga ia akan membawa kezuhudan itu, ke alam
mimpinya. Selain itu, seorang zahid juga akan selalu mengambil posisi yang
terbaik dihadapan dunia yang menggoda hawa nafsunya dengan gemerlap
keindahannya.
Oleh karena itu,
zuhud yang sejati memiliki tiga tanda yaitu:[6]
1.
Tidak
bergembira dengan dunia atas apa yang ada, dan tidak bersedih atas apa yang
hilang
2.
Tidak
senang dengan pujian, dan tidak sedih dengan celaan
3.
Selalu
mengutamakan penghambaan diri kepada Allah dan gemar berkhalwat bersama-Nya
ketika menghadapi segala sesuatu yang selain Dia
Selayaknya bagi
seseorang yang zuhud jangan meninggalkan hal-hal yang halal karena terpaksa,
jangan mencari hal yang tidak ada faedahnya dari sesuatu yang tidak dibutuhkan,
dan hendaklah memelihara pembagian rezeki yang telah ada. Apabila Allah
memebrikan rezeki berupa harta yang halal, maka hendaklah bersyukur. Apabila
Allah memberikan reziki yang hanya sekedar cukup, maka hendaklah jangan memaksa
diri mencari harta yang tidak berfaedah. Oleh karena itu, sabar lebih baik bagi
orang yang fakir, sedangkan syukur lebih relevan (cocok, sesuai) bagi orang
yang mempunyai harta yang halal. Dengan demikian, orang yang zuhud tidak bangga
dengan kenikmatan dunia dan tidak akan mengeluh karena kehilangan dunia[7].
2.3 Hubungan Zuhud dengan Spiritual Quetien
Sebagai makhluk gaib
yang kita imani keberadaannya, seringkali kita tidak menyadari keberadaannya,
karena kita terlalu terbuai oleh hiruk pikuknya realitas material yang
melindungi. Sehingga tidak dapat merasakan kenikmatan dan keindahan yang datang
dari realitas lain yang bersifat spiritual. Lingkup kita yang terbatas pada
sesuatu yang dapat diamati, menyebabkan kita terlepas dari pengalaman gaib yang
bersifat sepiritual. Bagi Sufi, pengalaman spiritual adalah lebih bersifat
esensial dari pada kenikmatan material atau duniawi yang bersifat nisbi.
Ali bin Abi Thalib
pernah mengatakan kepada Abu Dzar, “Barang siapa yang zuhud dalam dunia, tidak
sedih karena kehinaan (dunia), tidak terlalu berambisi untuk memperoleh
keimanannya, Allah akan memberinya petunjuk tanpa melewati petunjuk
makhluk-Nya. Dia akan mengajari ilmu tanpa ia mempelajarinya, Allah akan
mengokohkan hikmah dalam hatinya dan mengeluarkan hikmah melalui lidahnya”.
(Al-Bihar 78:63).[8]
Pola hidup zuhud
tidak menjadikan seorang zahid melepaskan apa yang dimilikinya, akan tetapi
menjadikannya sebagai alat untuk membangkitkan diri dalam rangka mencapai
kebahagian spiritual. Selain itu, kebahagian seorang zahid bukan lagi
tergantung pada hal-hal yang bersifat material, tapi spiritual. Dimana dalam pandangan
psikoanalisis merupakan strata tertinggi dari perkembangan kepribadian
seseorang. Begitu juga dengan pendapanya Abu al-Wafa al-Taftazani yang
mengatakan bahwa zuhuk merupakan hikmah pemahaman yang mengarahkan pandangan
seseorang tentang duniawi secara khusus. Sehingga seorang zahid tetap
menjalankan aktivitas keduniaannya secara aktif, namun hal itu tidak
membelenggu kalbunya, sehingga membuatnya mengingkari Tuhan. Sebab ketika
seorang sufi (zahid) tidak lagi terbelenggu oleh kehidupan duniawi dan hanya
membutuhkan Allah, maka dengan sendirinya ia telah sampai pada derajat
kefakiran (al-Faqr).[9]
Abu Utsman
berpendapat, bahwa Allah akan memeberikan sesuatu kepada orang yang zuhud
melebihi apa yang di kehendaki, memberikan kepada orang yang cinta Allah,
selain apa yang ia kehendaki, dan memberikan kepada orang yang konsisten
beribadah sesuai dengan apa yang dia kehendaki. Sedangkan menurut yahya bin
Mu’adz, orang yang zuhud akan membuat cuka dan biji sawi sebagai obat,
sedangkan orang yang ma’rifat akan membuat minyak misik dan anbar sebagai
parfum[10].
Zuhud sebagai sikap
sederhana dalam kehidupan berdasarkan agama, akan bisa menanggulangi
sifat-sifat tercela. Sebab zuhud melahirkan sikap menahan diri memanfaatkan
harta untuk kepentingan produktif. Zuhud mendorong untuk mengubah harta tidak
saja aset ilahiah yang mempunyai nilai ekonomis, akan tetapi juga sebagai aset
sosial dan mempunyai tanggungjawab pengawasan aktif terhadap pemanfaatan harta
dalam masyarakat.
Dengan demikian,
zuhud dapat dijadikan benteng untuk membangun diri dari dalam diri sendiri,
terutama dalam menghadapi gemerlapnya materi. Dengan zuhud, akan tampil sifat
positif lainnya, seperti qana’ah (menerima apa yang telah daa atau
dimiliki), tawakal (pasrah kepada Allah), wara’ yaitu,menjaga
diri agar tidak makan barang yang meragukan (syubhat), sabar yaitu tabah
menerima keadaan dirinya, baik keadaan itu menyenangkan, menyusahkan dan dan
sebagainya, syukur, yaitu menerima nikmat dengan hati yang lapang dan
mempergunakan sesuai dengan fungsi dan proporsinya. Sifat-sifat irtu hrndaknya
menjadi bekal menghadapi kenyataan hidup ini, bukan menjadikan seseorang pasif,
seperti tidak mau berusaha mencari nafkah, ekslusif, dan menarik diri dari
keramaian dunia, melainkan sebaliknya. Sebab, seorang muslim hidup di dunia ini
membawa amanah, yaitu membawa fungsi kekhalifahan, yang berarti sebagai
“pengganti” Tuhan, pengelola, pemakmur, dan yang meramaikan dunia.
Sifat-sifat tersebut
merupakan sifat batin dalam menyikapi keadaan masing-masing individu. Setiap
manusia diwajibkan berikhtiar untuk menjadikan dirinya lebih baik daripada
keadaan sekarang. Setelah seseorang telah mampu menguasai dirinya, dapat
menanamkan sifat-sifat terpuji dalam jiwanya, maka hatinya menjadi jernih,
ketenangan dan ketentraman memancar dari hatinya.
Oleh karena itu,
kalau kehidupan manusia tidak menginginkan adanya ketimpangan sosial yang
menitikberatkan pada kepuasan materialitas dan mengabaikan nilai-nilai
spiritual, zuhud harus menjadi gerakan
moralitas, yang pada akhirnya dapat mengantarkan manusia menuju kebaikan dan
kebenaran sehingga tidak terjadi lagi krisis moral dan krisis kepercayaan
sperti yang terjadi sekarang ini. Dalam pengertian ini, zuhud dipandang sebagai
mentalitas yang dapat membantu mengatasi masalah-masalah sosial.[11]
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Zuhud merupakan salah satu maqamat dalam tasawuf yang menjadi awal
munculnya ajaran tasawuf para sufi dalam Islam. Dimana zuhud sendiri
mengajarkan untuk tidak memikirkan sesuatu selain Allah. Sehingga seseorang
yang zuhud tidak begitu memperhatikan kehidupan duniawi, akan tetapi Allah
adalah tujuan dari hidup di dunia ini.
Sehingga konsep dalam zuhud adalah keadaan seorang zahid yang
senantiasa peka akan segala sesuatu yang menyebabkan dirinya condong atau
tertarik dengan persoalan duniawi. Oleh karena itu, seorang zahid selain
menjaga dari sesuatu yang halal dan haram, seorang zahid juga berusaha
meninggalkan sesuatu yang syubhat (meragukan). Dengan demikian, fokus
dari seorang zahid adalah senantiasa menginngat Allah dan senantiasa menjaga
dirinya dari sesuatu yang membuat lupa (lalai) kepada Allah.
Selain itu, zuhud juga mampu menumbuhkan kecerdasan spiritual (spiritual
quetien) bagi seorang zahid. Sebab dengan perilaku zuhudnya, Zahid akan
mampu menguasai dirinya, menanamkan sifat-sifat terpuji dalam jiwanya, mampu
mencerahkan hatinya, dan lain-lain.
DAFTAR PUSTAKA
Rif’i, A. Bachrun dkk, 2010, Filsafat Tasawuf, Bandung:Pustaka
Setia.
Muhammad, Hasyim,
2002, Dialog antara tasawuf dan Psikologi, Yogyakarta:Pustaka
Pelajar.
M Gullen, uhammad,
Fethullah, 2013, Tasawuf untuk Kita Semua, Jakarat:Republika.
An Naisaburi, Al-Qusyairi, 2007, Risalah Qusyairiyah, Jakarta:Pustaka
Amani.
[1] A. Bachrun
Rif’i, dkk, Filsafat Tasawuf, (Bandung:Pustaka Setia,2010),hlm.207.
[2]
Hasyim
Muhammad, Dialog antara tasawuf dan Psikologi, (Yogyakarta:Pustaka
Pelajar,2002),hlm.35-36.
[3] Opcit,hlm.209-210.
[4] Muhammad
Fethullah Gullen, Tasawuf untuk Kita Semua, (Jakarat:Republika,2013),hlm.93.
[5] Ibid hlm. 36.
[6] Opcit,
hlm.93-95.
[7] Al-Qusyairi An
Naisaburi, Risalah Qusyairiyah, (Jakarta:Pustaka Amani,2007),hlm.154-155.
[8] Opcit, hlm.36.
[9] Opcit,
hlm.37-38.
[10] Opcit, hlm.157-157.
[11] Opcit, hlm.
304-306.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar