Rabu, 09 Desember 2015

Zuhud dalam Pandangan Spiritual Quetien
BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Berbagai persoalan masa kini semakin sulit untuk di cari solusi dan jalan keluarnya. Sehingga keberadaan tasawuf dalam era kontemporer tentunya berusaha untuk memberikan solusi terbaik tanpa ada efek sampingnya. Dimana tasawuf berupaya menyadarkan akan pentingnya spiritual dan mendekatkan diri kepada Allah sang Pencipta.
Oleh karena itu, manusia yang saat ini sudah tidak lagi memperhatikan aspek-aspek batiniahnya dan tidak lagi menghidupkan aspek-aspek spiritualnya. Dengan demikian, spiritual Quetien berusaha mengadopsi ajaran-ajaran tasawuf, khususnya khal dan maqamat yang disinergikan dengan permasalahan manusia modern. Begitu juga dengan keadaan manusia modern yang mengalami kekosongan spiritual berusaha di isi dengan ajaran-ajaran tasawuf yang di implementasikan dalam spiritual quetien.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, makalah ini akan membahas tentang definisi zuhud, konsep zuhud, dan hubungan zuhud dengan spiritual quetien. Hal itu diharapkan bisa menambah wacana dan wawasan kita, khususnya tentang hal-hal yang berkaitan dengan materi yang di bahas.
1.2  Rumusan Masalah
A.    Definisi Zuhud
B.     Konsep Zuhud
C.    Hubungan Zuhud dengan Spiritual Quetien




BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Zuhud
          Secara termilogi zuhud adalah mengarahkan keinginan kepada Allah SWT, menyatukan kemauan kepadanya, dan sibuk dengan-Nya dibanding kesibukan-kesibukan lainnya agar Allah membimbing dan memberikan petunjuk seorang zahid (orang yang berperilaku zuhud). Al-Junaid Al-Baghdadi mengatakan “Zuhud” adalah ketika tangan tidak memiliki apa-apa dan pengosongan hati dari cita-cita”. Di sini seorang sufi tidak memiliki sesuatu yang berharga, tetapi merasa uhan dekat dengan dirinya. Yahya Ibn Mu’adz menyatakan bahwa zuhud adalah meninggalkan apa yang mudah ditinggalkan.
          Sedangkan zuhud menurut Imam Al-Ghazali adalah meninggalkan sesuatu yang dikasihi dan berpaling darinya kepada sesuatu yang lain yang lebih baik darinya karena menginginkan akhirat. Begitu juga dengan pendapat Ibnu Taimiyyah, bahwa zuhud adalah meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat untuk kepentingan akhirat.[1]Terkait dengan definisi zuhud tersebut di atas, Sufyan Tsauri mangatakan, zuhud terhadap dunia adalah membatasi keinginan untuk memperoleh dunia, bukannya memakan makanan kasar, atau memakai jubah dengan kain kasar. Sedangkan Sulaiman Al-Darani mengatakan, zuhud adalah menjauhkan diri dari apapun yang memalingkan kamu dari Allah SWT. Fudail bin Iyad mengatakan, Allah menempatkan seluruh kejahatan dalam satu rumah dan menjadikan kecintaan terhadap dunia sebagai kuncinya, serta meletakkan segala macam kebaikan dalam satu rumah dan menjadikan zuhud sebagai kuncinya[2].
          Para ulama salaf, seperti Sufyan Ats-Tsauri, Ahmad Ibn Hambal, Isa Ibn Yunus dan lain-lainnya, menegaskan bahwa zuhud adalah membatasi angan-angan dan keinginan. Zuhud sebenarnya bukanlah mengharamkan yang hala atau sebaliknya juga bukan membenci kekayaan duniawi. Tetapi ia justru menjadi perisai agar tidak terpesona dan menafikan hal-hal yang penting daripada Islam (menyimpang dari ajaran Islam yang sebenarnya). Namun demikian, persoalan zuhud tetap menampung perbedaan dalam satu kesatuan yang utuh dengan meletakkan posisi Rabb pada tempat yang tetap sebagai objek dari kecintaan dan harapan keridhaan-Nya.
          Dengan demikian, makna zuhud dapat dibedakan pada tiga peringkat yaitu[3]:
1.      Zuhud dalam syubhat setelah meninggalkan yang haram, karena tidak menyukai celaan dimata Allah, tidak suka pada kekurangan, dan tidak suka bergabung dengan orang-orang fasik. Zuhud dalam syubhat bermakna meninggalkan hal-hal yang meragukan., apakah sesuatu itu halal atau haram dalam pandangan zahid. Contohnya Kedurhakaan yang menjadi pembatas antara iman dan kufur, dan lain-lain.
2.      Zuhud dalam perkara-perkara yang berlebihan, yaitu sesuatu yang lebih dari kelaziman dengan melepaskan kerisauan hati dan dengan mencontoh para nabi dan Shiddiqin. Contohnya, teladan doa dalam aspek makan, minum, pakaian, tempat tinggal, dan lain-lain.
3.      Zuhud dalam zuhud yang dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu menghina perbuatan zuhud, menyeimbangkan keadaan ketika mendapat dan meninggalkan sesuatu dan ingin memperoleh balasan. Orang yang memenuhi hatinya dengan kecintaan kepada Allah tidak layak melihat keduniaan yang ditinggalkannya sebagai suatu pengorbanan.
          Dalam bukunya Fethullah Gulen yang berjudul “Tasawuf untuk kita semua”, zuhud adalah meninggalkan kenikmatan dunia dan melawan kecenderungan jasmani. Dikalangan kebanyakan sufi, zuhud dikenal sebagai menjauhi kenikmatan dunia, menghabiskan umur dengan menjalani kehidupan yang semirip mungkin dengan orang yang diet sembari menjadikan takwa sebagai landasan suluk (menempuh jalan), meneguhkan hati untuk menolak kehidupan dunia yang hadapi, dan menolak keinginan nafsu insani.
          Dari interprestasi tersebut di atas, kita dapat menemukan sebuah pengertian lain, yaitu bahwa zuhud adalah meninggalkan ketenangan dunia yang fana, demi meraih kebahagiaan akhirat yang kekal.[4]
2.1 Konsep Zuhud
          Dalam mizan al-Hikmah 4:241, sebagaimana dikutip oleh Jalaluddin Rahmat, bahwa jika merasakan kehidupan akhirat dan tidak terpakau dengan kehidupan dunia, seperti yang telah dirasakan oleh para sahabat Nabi Muhammad SAW, maka para malaikat akan turut menyertai. Tirai kegaipan akan disingkapkan. Mereka akan menyelami sambil mengatakan “Kami akan melindungi kalian di dunia dan di akhirat” (QS.41:31)[5].
          Sesungguhnya langkah pertama dari zuhud adalah adanya kepekaan yang tinggi terhadap perkara halal dan haram. Sementara langkah kedua dari zuhud adalah sebuah tahapan sempurna, yaitu kehidupan dengan kecermatan yang tinggi dan kepekaan yang tajam terhadap hal-hal mubah dan hal-hal yang sesuai syari’at.
          Adapun “Az-zahid” (pelaku zuhud), adalah sosok penyabar-sabar yang sebenarnya-di hadapan berbagai tanggungjawab yang dipikulnya; dihadapan petaka dan musibah yang menimpanya; dan dihadapan dosa-dosa dan kemaksiatan yang menghalangi jalannya disetiap persimpangan; dengan penuh keridhaan atas segala takdir yang ditetapkan Allah terhadap dirinya, kecuali jika berupa kekufuran dan kesesatan. Dialah sosok yang puncak impiannya adalah menjadikan segala yang telah Allah anugerahkan kepadanya sebagai alat untuk meraih ridha Allah, kemenangan di akhirat, dan untuk menuntun manusia menuju kebenaran mutlak. Di dalam hati seorang yang zuhud selalu bergema hakikat firman Allah: “Katakanlah: kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertaqwa”.(QS. Ali Imran {3}:77). Sementara itu, disetiap sudut dalam otaknya selalu terdapat hakikat firman Allah: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan kebahagiaanmu dari (kenikmatan) duniawi....”(QS al-Qashash {28} :77). Dan di setiap relung cakrawala mata batinnya selalu muncul kesadaran pada firman Allah, Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui,” (QS al-ankabut {29}: 64).
          Sesungguhnya hati yang dipenuhi dengan sifat zuhud selalu merenungi nilai-nilai zuhud pada setiap kondisi yang terkadang berlawanan antara satu dengan lainnya, baik perasaannya berhubungan dengan kondisi itu maupun tidak, baik dalam urusan makan maupun minum, baik dalam terjaga maupun tidur, baik ketika berkata-kata maupun diam, baik dalam khalwat (kesendirian) maupun jalwat (keramaian). Dalam semua kondisi tersebut, seorang zahid selalu meresapi kezuhudan, dan mewarnai hidup dengan kezuhudan, sehingga ia akan membawa kezuhudan itu, ke alam mimpinya. Selain itu, seorang zahid juga akan selalu mengambil posisi yang terbaik dihadapan dunia yang menggoda hawa nafsunya dengan gemerlap keindahannya.
          Oleh karena itu, zuhud yang sejati memiliki tiga tanda yaitu:[6]
1.      Tidak bergembira dengan dunia atas apa yang ada, dan tidak bersedih atas apa yang hilang
2.      Tidak senang dengan pujian, dan tidak sedih dengan celaan
3.      Selalu mengutamakan penghambaan diri kepada Allah dan gemar berkhalwat bersama-Nya ketika menghadapi segala sesuatu yang selain Dia
          Selayaknya bagi seseorang yang zuhud jangan meninggalkan hal-hal yang halal karena terpaksa, jangan mencari hal yang tidak ada faedahnya dari sesuatu yang tidak dibutuhkan, dan hendaklah memelihara pembagian rezeki yang telah ada. Apabila Allah memebrikan rezeki berupa harta yang halal, maka hendaklah bersyukur. Apabila Allah memberikan reziki yang hanya sekedar cukup, maka hendaklah jangan memaksa diri mencari harta yang tidak berfaedah. Oleh karena itu, sabar lebih baik bagi orang yang fakir, sedangkan syukur lebih relevan (cocok, sesuai) bagi orang yang mempunyai harta yang halal. Dengan demikian, orang yang zuhud tidak bangga dengan kenikmatan dunia dan tidak akan mengeluh karena kehilangan dunia[7].
2.3 Hubungan Zuhud dengan Spiritual Quetien
          Sebagai makhluk gaib yang kita imani keberadaannya, seringkali kita tidak menyadari keberadaannya, karena kita terlalu terbuai oleh hiruk pikuknya realitas material yang melindungi. Sehingga tidak dapat merasakan kenikmatan dan keindahan yang datang dari realitas lain yang bersifat spiritual. Lingkup kita yang terbatas pada sesuatu yang dapat diamati, menyebabkan kita terlepas dari pengalaman gaib yang bersifat sepiritual. Bagi Sufi, pengalaman spiritual adalah lebih bersifat esensial dari pada kenikmatan material atau duniawi yang bersifat nisbi.
          Ali bin Abi Thalib pernah mengatakan kepada Abu Dzar, “Barang siapa yang zuhud dalam dunia, tidak sedih karena kehinaan (dunia), tidak terlalu berambisi untuk memperoleh keimanannya, Allah akan memberinya petunjuk tanpa melewati petunjuk makhluk-Nya. Dia akan mengajari ilmu tanpa ia mempelajarinya, Allah akan mengokohkan hikmah dalam hatinya dan mengeluarkan hikmah melalui lidahnya”. (Al-Bihar 78:63).[8]
          Pola hidup zuhud tidak menjadikan seorang zahid melepaskan apa yang dimilikinya, akan tetapi menjadikannya sebagai alat untuk membangkitkan diri dalam rangka mencapai kebahagian spiritual. Selain itu, kebahagian seorang zahid bukan lagi tergantung pada hal-hal yang bersifat material, tapi spiritual. Dimana dalam pandangan psikoanalisis merupakan strata tertinggi dari perkembangan kepribadian seseorang. Begitu juga dengan pendapanya Abu al-Wafa al-Taftazani yang mengatakan bahwa zuhuk merupakan hikmah pemahaman yang mengarahkan pandangan seseorang tentang duniawi secara khusus. Sehingga seorang zahid tetap menjalankan aktivitas keduniaannya secara aktif, namun hal itu tidak membelenggu kalbunya, sehingga membuatnya mengingkari Tuhan. Sebab ketika seorang sufi (zahid) tidak lagi terbelenggu oleh kehidupan duniawi dan hanya membutuhkan Allah, maka dengan sendirinya ia telah sampai pada derajat kefakiran (al-Faqr).[9]
          Abu Utsman berpendapat, bahwa Allah akan memeberikan sesuatu kepada orang yang zuhud melebihi apa yang di kehendaki, memberikan kepada orang yang cinta Allah, selain apa yang ia kehendaki, dan memberikan kepada orang yang konsisten beribadah sesuai dengan apa yang dia kehendaki. Sedangkan menurut yahya bin Mu’adz, orang yang zuhud akan membuat cuka dan biji sawi sebagai obat, sedangkan orang yang ma’rifat akan membuat minyak misik dan anbar sebagai parfum[10].
          Zuhud sebagai sikap sederhana dalam kehidupan berdasarkan agama, akan bisa menanggulangi sifat-sifat tercela. Sebab zuhud melahirkan sikap menahan diri memanfaatkan harta untuk kepentingan produktif. Zuhud mendorong untuk mengubah harta tidak saja aset ilahiah yang mempunyai nilai ekonomis, akan tetapi juga sebagai aset sosial dan mempunyai tanggungjawab pengawasan aktif terhadap pemanfaatan harta dalam masyarakat.
          Dengan demikian, zuhud dapat dijadikan benteng untuk membangun diri dari dalam diri sendiri, terutama dalam menghadapi gemerlapnya materi. Dengan zuhud, akan tampil sifat positif lainnya, seperti qana’ah (menerima apa yang telah daa atau dimiliki), tawakal (pasrah kepada Allah), wara’ yaitu,menjaga diri agar tidak makan barang yang meragukan (syubhat), sabar yaitu tabah menerima keadaan dirinya, baik keadaan itu menyenangkan, menyusahkan dan dan sebagainya, syukur, yaitu menerima nikmat dengan hati yang lapang dan mempergunakan sesuai dengan fungsi dan proporsinya. Sifat-sifat irtu hrndaknya menjadi bekal menghadapi kenyataan hidup ini, bukan menjadikan seseorang pasif, seperti tidak mau berusaha mencari nafkah, ekslusif, dan menarik diri dari keramaian dunia, melainkan sebaliknya. Sebab, seorang muslim hidup di dunia ini membawa amanah, yaitu membawa fungsi kekhalifahan, yang berarti sebagai “pengganti” Tuhan, pengelola, pemakmur, dan yang meramaikan dunia.
          Sifat-sifat tersebut merupakan sifat batin dalam menyikapi keadaan masing-masing individu. Setiap manusia diwajibkan berikhtiar untuk menjadikan dirinya lebih baik daripada keadaan sekarang. Setelah seseorang telah mampu menguasai dirinya, dapat menanamkan sifat-sifat terpuji dalam jiwanya, maka hatinya menjadi jernih, ketenangan dan ketentraman memancar dari hatinya.
          Oleh karena itu, kalau kehidupan manusia tidak menginginkan adanya ketimpangan sosial yang menitikberatkan pada kepuasan materialitas dan mengabaikan nilai-nilai spiritual,  zuhud harus menjadi gerakan moralitas, yang pada akhirnya dapat mengantarkan manusia menuju kebaikan dan kebenaran sehingga tidak terjadi lagi krisis moral dan krisis kepercayaan sperti yang terjadi sekarang ini. Dalam pengertian ini, zuhud dipandang sebagai mentalitas yang dapat membantu mengatasi masalah-masalah sosial.[11]
         











BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Zuhud merupakan salah satu maqamat dalam tasawuf yang menjadi awal munculnya ajaran tasawuf para sufi dalam Islam. Dimana zuhud sendiri mengajarkan untuk tidak memikirkan sesuatu selain Allah. Sehingga seseorang yang zuhud tidak begitu memperhatikan kehidupan duniawi, akan tetapi Allah adalah tujuan dari hidup di dunia ini.
Sehingga konsep dalam zuhud adalah keadaan seorang zahid yang senantiasa peka akan segala sesuatu yang menyebabkan dirinya condong atau tertarik dengan persoalan duniawi. Oleh karena itu, seorang zahid selain menjaga dari sesuatu yang halal dan haram, seorang zahid juga berusaha meninggalkan sesuatu yang syubhat (meragukan). Dengan demikian, fokus dari seorang zahid adalah senantiasa menginngat Allah dan senantiasa menjaga dirinya dari sesuatu yang membuat lupa (lalai) kepada Allah.
Selain itu, zuhud juga mampu menumbuhkan kecerdasan spiritual (spiritual quetien) bagi seorang zahid. Sebab dengan perilaku zuhudnya, Zahid akan mampu menguasai dirinya, menanamkan sifat-sifat terpuji dalam jiwanya, mampu mencerahkan hatinya, dan lain-lain.







DAFTAR PUSTAKA
Rif’i, A. Bachrun dkk, 2010, Filsafat Tasawuf, Bandung:Pustaka Setia.
Muhammad, Hasyim, 2002, Dialog antara tasawuf dan Psikologi, Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
M Gullen, uhammad, Fethullah, 2013, Tasawuf untuk Kita Semua, Jakarat:Republika.
An Naisaburi, Al-Qusyairi, 2007, Risalah Qusyairiyah, Jakarta:Pustaka Amani.




















[1] A. Bachrun Rif’i, dkk, Filsafat Tasawuf, (Bandung:Pustaka Setia,2010),hlm.207.
[2] Hasyim Muhammad, Dialog antara tasawuf dan Psikologi, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2002),hlm.35-36.
[3] Opcit,hlm.209-210.
[4] Muhammad Fethullah Gullen, Tasawuf untuk Kita Semua, (Jakarat:Republika,2013),hlm.93.
[5] Ibid hlm. 36.
[6] Opcit, hlm.93-95.
[7] Al-Qusyairi An Naisaburi, Risalah Qusyairiyah, (Jakarta:Pustaka Amani,2007),hlm.154-155.
[8] Opcit, hlm.36.
[9] Opcit, hlm.37-38.
[10] Opcit, hlm.157-157.
[11] Opcit, hlm. 304-306.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar