FATMAWATI SANG IBU PRESIDEN PERTAMA DAN RA KARTINI SANG EMANSIPASI
WANITA
Kemerdekaan Indonesia bukanlah kemerdekaan yang diperoleh oleh
perjuangan para pahlawan laki-laki saja. Akan tetapi peranan dari para kaum
wanita (hawa) juga banyak sekali. Sehingga keberadaan pahlawan Indonesia juga
harus mengikutsertakan para pahlawan wanita. Hal tersebut terbukti dengan
adanya para tokoh wanita yang menjadi pelopor bangsa.
Seingga
keberadaan mereka sebagai wanita pelopor bangsa juga harus kita ketahui mulai
dari kelahirannya, orang tuanya, pendidikan, dan perjalanan hidupnya serta
kiprah dan sumbangsihnya kepada bangsa ini. Sehingga dua tokoh wanita pelopor bangsa ini tentunya akan menambah wacana dan
wawasan kita. Dua tokoh wanita pelopor bangsa tersebut antara lain:
1.
Fatmawati
Merupakan
seorang tokoh pelopor bangsa yang nama aslinya adalah Fatimah. Beliau lahir di
Bengkulu pada tahun 1923, dan meninggal dunia di Jakarta pada tahun 1980 karena
serangan jantung dalam perjalanan pulang ibadah umroh dari Mekkah, lalu
dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta. Saat ini, nama Fatmawati dijadikan sebuah nama Rumah Sakit di
Jakarta, nama Fatmawati Soekarno juga dijadikan sebuah nama Bandara Udara di
Indonesia tepatnya di Bengkulu, kota kelahiran Fatmawati. Fatmawati
setia menemani Bung karno selama masa perjuangan. Peranan Fatmawati dalam
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia adalah menjahit Bendera Pusaka Sang Saka Merah
Putih, yang turut dikibarkan pada upacara proklamasi Kemerdekaan Indonesia di
Jalan Pegangsaan Timur No. 56, Jakarta.
Selain itu, turut serta dan kesetiaan Fatmawati
dalam mendampingi Soekarno juga sangat besar sekali. Ia senantiasa mendampingi
Soekarno dalam segala aktifitas yang dilakukan Soekarno dalam acara kenegaraan
dan urusan rumah tangganya. Tentunya hal itu, sudah tidak bisa diragukan lagi
dan tentunya bisa menjadi cerminan bagi seluruh wanita Indonesia. Dikarenakan,
hal yang dilakukan oleh Fatmawati tidaklah mudah dan tentunya banyak sekali
konflik dan permasalahan yang mereka hadapi. Akan tetapi, sikap, sifat dan
pantang menyerahnya menjadikan semuanya itu bisa dilalui.
Fatmawati lahir dari pasangan Hassan Din dan
Siti Chadijah. Orang tuanya merupakan keturunan Putri Indrapura, salah seorang keluarga
raja dari Kesultanan Jndrapura, Pesisir
Selatan, Sumatra Barat. Ayahnya merupakan salah seorang tokoh Muhammadiyyah di Bengkulu. Ia menempuh pendidikannya
di HIS (Hollandsch Inlandsche School) dan kemudian melanjutkan ke sekolah
kejuruan yang dikelola oleh sebuah organisasi Katholik. Minat
berorganisasi sudah ia miliki sejak ia berada di bangku sekolah dasar. Saat itu
ia sudah aktif berorganisasi sebagai anggota Nasyiatul Aisyah, sebuah
organisasi yang berada dibawah naungan Muhammadiyyah.
Tidak banyak diketahui orang bahwa sebenarnya
Fatmawati merupakan keturunan dari Kerajaan Indrapura Mukomuko. Sang ayah
Hassan Din adalah keturunan ke-6 dari Kerajaan Putri Bunga Melur. Putri Bunga
Melur bila diartikan adalah putri yang cantik, sederhana, bijaksana. Tak heran
bila Fatmawati mempunyai sifat bijaksana dan mengayomi. Jalinan cinta antara Soekarno dan Fatmawti pada awalnya membutuhkan
perjuangan yang sangat berat. Demi memperoleh Fatmawati yang begitu dicintainya,
Bung Karno dengan perasaan yang sangat berat terpaksa harus merelakan kepergian
Bu Inggit, sosok wanita yang begitu tegar dan tulusnya mendampingi Bung Karno
dalam perjuangan mencapai Indonesia Merdeka. Pahit getir sebagai orang buangan
(tahanan Belanda) sering dilalui Bung Karno bersama Bu Inggit. Namun sejarah
berkata lain. Perjalanan waktu berkehendak lain, kehadiran Fatmawati diantara
Bung Karno dan Bu Inggit telah merubah segalanya.
Perkenalan Fatmawati dengan Bung Karno dimulai ketika tokoh pergerakan itu
dipindahkan Pemerintah Belanda ke Bengkulu dari tempat pengansingannya di
Flores, Nuas Tenggara Timur. Di kota tersebut Bung
Karno menjadi seorang guru dan anggota Muhammadiyyah. Hingga akhirnya pada tanggal 1 Juni 1943, Fatmawati
menikah dengan Soekarno, yang kelak menjadi presiden pertama Indonesia. Dari
pernikahan itu, ia dikaruniai lima orang putra dan putri, yaitu Guntur,
Megawati, Rachmawati, Sukmawati, dan Guruh.
2. RA Kartini
Raden Ajeng Kartini atau lebih dikenal Ibu Kartini merupakan seorang pejuang
emansipasi perempuan. Ia merupakan
keturunan keluarga terpandang Jawa. Dia lahir 21 April 1879 di Jepara, .dimana adat istiadat masih kukuh dipegang oleh
masyarakat, termasuk keluarganya. Ia meninggal pada tanggal 17 September 1904 di Rembang pada usia 25 tahun. Ia dikenal sebagai pelopor kebangkitan
perempuan pribumi Indonesia.
Sehingga hari kelahirannya pun selalu diperingati oleh para wanita yang memakai busana kebaya. Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Dari kesemua
saudara sekandung, Kartini adalah anak perempuan tertua. Kakeknya, Pangeran
Ario Tjondronegoro IV, diangkat bupati dalam usia 25 tahun dan dikenal pada
pertengahan abad ke-19 sebagai salah satu bupati pertama yang memberi
pendidikan Barat kepada anak-anaknya. Kakak Kartini, Sosrokartono adalah seorang yang pintar dalam bidang
bahasa. Sampai usia 12 tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere
School). Di sekolah tersebut, Kartini belajar bahasa Belanda. Akan tetapi setelah usia 12
tahun, ia harus tinggal di rumah karena sudah bisa dipingit.
Kartini akhirnya menikah dengan bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario
Singgih Djojo Adhiningrat, yang sudah pernah memiliki tiga istri. Kartini
menikah pada tanggal 12 November 1903. Akan tetapi suaminya mengerti
keinginan Kartini, kemudian Kartini diberi kebebasan dan didukung mendirikan
sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten
Rembang, atau di sebuah bangunan yang sekarang digunakan sebagai Gedung Pramuka.
Satu
hal yang diwariskan dari keluarganya adalah tentang pendidikan. Kartini pernah merasakan bangku sekolah
hingga tamat pendidikan dasar. Dimana karakter dan sikap keras yang haus akan
ilmu pengetahuan membuatnya ingin terus melanjutkan sekolah ke jenjang yang
lebih tinggi. Sayangnya, ayahnya tidak memberikan izin Kartini melanjutkan
sekolah. Mengetahui sikap ayahnya, Kartini sebenarnya merasa sedih. Namun, dia
tidak bisa mengubah keputusan itu. Sebab, dia adalah anak pada zaman yang masih
terbelenggu oleh keadaan.
Kartini banyak membaca surat kabar Semarang De Locomotief yang diasuh Pieter Brooshooft, ia juga menerima leestrommel (paket
majalah yang diedarkan toko buku kepada langganan). Di antaranya terdapat
majalah kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang cukup berat, juga ada majalah
wanita Belanda De Hollandsche Lelie. Kartini pun kemudian beberapa
kali mengirimkan tulisannya dan dimuat di De Hollandsche Lelie. Dari surat-suratnya
tampak Kartini membaca apa saja dengan penuh perhatian, sambil membuat
catatan-catatan. Kadang-kadang Kartini menyebut salah satu karangan atau
mengutip beberapa kalimat. Perhatiannya tidak hanya semata-mata soal emansipasi wanita, tapi juga masalah sosial umum.
Kartini melihat perjuangan wanita agar memperoleh kebebasan, otonomi dan
persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas. Di antara buku
yang dibaca Kartini sebelum berumur 20, terdapat judul Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta karya Multatuli yang pada
November 1901 sudah dibacanya dua kali. Lalu De Stille
Kraacht (Kekuatan Gaib) karya Louis Coperus. Kemudian karya Van
Eeden yang bermutu tinggi, karya Augusta de Witt yang sedang-sedang saja,
roman-feminis karya Nyonya Goekoop de-Jong Van Beek dan sebuah roman
anti-perang karangan Berta Von Suttner, Die Waffen Nieder (Letakkan
Senjata). Semuanya berbahasa Belanda.
Selain itu, Kartini juga bisa berbahasa Belanda,
maka di rumah ia mulai belajar sendiri dan menulis surat kepada teman-teman korespondensi yang berasal
dari Belanda. Salah satunya adalah Rosa Abendanon yang banyak
mendukungnya. Dari buku-buku, koran, dan majalah Eropa, Kartini tertarik pada
kemajuan berpikir perempuan Eropa. Kemudian timbul keinginannya untuk memajukan
perempuan pribumi, karena ia melihat bahwa perempuan pribumi berada pada status
sosial yang rendah.
Dalam
pandangannya, wanita tidak hanya harus bisa urusan “belakang” rumah tangga
saja. Akan tetrapi lebih dari itu, wanita juga harus bisa dan punya wawasan dan
ilmu yang luas. Dia pun mulai bergerak mengumpulkan teman-teman wanitanya untuk
diajari tentang baca tulis dan pengetahuan lainnya. Semakin hari, Kartini makin
disibukkan dengan aktivitas membaca dan mengajarnya. Kartini mendirikan Sekolah Wanita di
berbagai daerah. Seperti Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun,
Cirebon, dan sebagainya. Sekolah Wanita itu dikenal dengan nama Sekolah
Kartini.
Seluruh masyarakat Indonesia mengetahui bahwa Kartini merupakan seorang wanita Jawa yang memiliki
pandangan melebihi zamannya. Meski dia sendiri terbelenggu oleh zaman yang
mengikatnya dengan adat istiadat. Pada 17 September 1904, Kartini menghembuskan
nafas terakhir di usia 25 tahun, setelah melahirkan anak
pertama dan satu-satunya. Dia merupakan salah
satu wanita yang menjadi pelopor emansipasi wanita di tanah Jawa.
Surat-surat
korespondensinya dengan teman-temannya di Belanda kemudian dibukukan oleh
Abendanon dengan judul Door Duisternis Tot Licht (Habis Gelap Terbitlah
Terang). Buku ini telah menginspirasi banyak wanita, tidak saja wanita di
zamannya tapi juga wanita sekarang dan
masa depan.
Sesuai Keppres No. 108 Tahun 1964 pada
2 Mei 1964, Kartini resmi digelari pahlawan nasional oleh pemerintah Indonesia.
Keppres ini juga menetapkan tanggal 21 April sebagai Hari Kartini. Namanya kini
diabadikan sebagai nama jalan. Tidak hanya di kota-kota di Indonesia saja,
melainkan di kota-kota di Belanda. Seperti Kota Utrecht, Venlo, Amsterdam, dan
Harleem. WR. Supratman bahkan membuatkan lagu berjudul Ibu Kita Kartini untuk
mengenang jasa-jasanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar