Rabu, 22 April 2015

FATMAWATI SANG IBU PRESIDEN PERTAMA DAN RA KARTINI SANG EMANSIPASI WANITA

Kemerdekaan Indonesia bukanlah kemerdekaan yang diperoleh oleh perjuangan para pahlawan laki-laki saja. Akan tetapi peranan dari para kaum wanita (hawa) juga banyak sekali. Sehingga keberadaan pahlawan Indonesia juga harus mengikutsertakan para pahlawan wanita. Hal tersebut terbukti dengan adanya para tokoh wanita yang menjadi pelopor bangsa.
Seingga keberadaan mereka sebagai wanita pelopor bangsa juga harus kita ketahui mulai dari kelahirannya, orang tuanya, pendidikan, dan perjalanan hidupnya serta kiprah dan sumbangsihnya kepada bangsa ini. Sehingga dua tokoh wanita pelopor bangsa ini tentunya akan menambah wacana dan wawasan kita. Dua tokoh wanita pelopor bangsa tersebut antara lain:
1.     Fatmawati
Merupakan seorang tokoh pelopor bangsa yang nama aslinya adalah Fatimah. Beliau lahir di Bengkulu pada tahun 1923, dan meninggal dunia di Jakarta pada tahun 1980 karena serangan jantung dalam perjalanan pulang ibadah umroh dari Mekkah, lalu dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta. Saat ini, nama Fatmawati dijadikan sebuah nama Rumah Sakit di Jakarta, nama Fatmawati Soekarno juga dijadikan sebuah nama Bandara Udara di Indonesia tepatnya di Bengkulu, kota kelahiran Fatmawati. Fatmawati setia menemani Bung karno selama masa perjuangan. Peranan Fatmawati dalam Proklamasi Kemerdekaan Indonesia adalah menjahit Bendera Pusaka Sang Saka Merah Putih, yang turut dikibarkan pada upacara proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, Jakarta.
 Selain itu, turut serta dan kesetiaan Fatmawati dalam mendampingi Soekarno juga sangat besar sekali. Ia senantiasa mendampingi Soekarno dalam segala aktifitas yang dilakukan Soekarno dalam acara kenegaraan dan urusan rumah tangganya. Tentunya hal itu, sudah tidak bisa diragukan lagi dan tentunya bisa menjadi cerminan bagi seluruh wanita Indonesia. Dikarenakan, hal yang dilakukan oleh Fatmawati tidaklah mudah dan tentunya banyak sekali konflik dan permasalahan yang mereka hadapi. Akan tetapi, sikap, sifat dan pantang menyerahnya menjadikan semuanya itu bisa dilalui.
Fatmawati lahir dari pasangan Hassan Din dan Siti Chadijah. Orang tuanya merupakan keturunan Putri Indrapura, salah seorang keluarga raja dari Kesultanan Jndrapura, Pesisir Selatan, Sumatra Barat. Ayahnya merupakan salah seorang tokoh Muhammadiyyah di Bengkulu. Ia menempuh pendidikannya di HIS (Hollandsch Inlandsche School) dan kemudian melanjutkan ke sekolah kejuruan yang dikelola oleh sebuah organisasi Katholik. Minat berorganisasi sudah ia miliki sejak ia berada di bangku sekolah dasar. Saat itu ia sudah aktif berorganisasi sebagai anggota Nasyiatul Aisyah, sebuah organisasi yang berada dibawah naungan Muhammadiyyah.
Tidak banyak diketahui orang bahwa sebenarnya Fatmawati merupakan keturunan dari Kerajaan Indrapura Mukomuko. Sang ayah Hassan Din adalah keturunan ke-6 dari Kerajaan Putri Bunga Melur. Putri Bunga Melur bila diartikan adalah putri yang cantik, sederhana, bijaksana. Tak heran bila Fatmawati mempunyai sifat bijaksana dan mengayomi. Jalinan cinta antara  Soekarno dan Fatmawti pada awalnya membutuhkan perjuangan yang sangat berat. Demi memperoleh Fatmawati yang begitu dicintainya, Bung Karno dengan perasaan yang sangat berat terpaksa harus merelakan kepergian Bu Inggit, sosok wanita yang begitu tegar dan tulusnya mendampingi Bung Karno dalam perjuangan mencapai Indonesia Merdeka. Pahit getir sebagai orang buangan (tahanan Belanda) sering dilalui Bung Karno bersama Bu Inggit. Namun sejarah berkata lain. Perjalanan waktu berkehendak lain, kehadiran Fatmawati diantara Bung Karno dan Bu Inggit telah merubah segalanya.
Perkenalan Fatmawati dengan Bung Karno dimulai ketika tokoh pergerakan itu dipindahkan Pemerintah Belanda ke Bengkulu dari tempat pengansingannya di Flores, Nuas Tenggara Timur. Di kota tersebut Bung Karno menjadi seorang guru dan anggota Muhammadiyyah. Hingga akhirnya pada tanggal 1 Juni 1943, Fatmawati menikah dengan Soekarno, yang kelak menjadi presiden pertama Indonesia. Dari pernikahan itu, ia dikaruniai lima orang putra dan putri, yaitu Guntur, Megawati, Rachmawati, Sukmawati, dan Guruh. 

2. RA Kartini
Raden Ajeng Kartini atau lebih dikenal Ibu Kartini merupakan seorang pejuang emansipasi perempuan. Ia merupakan keturunan keluarga terpandang Jawa. Dia lahir 21 April 1879 di Jepara, .dimana adat istiadat masih kukuh dipegang oleh masyarakat, termasuk keluarganya. Ia meninggal pada tanggal 17 September 1904 di Rembang pada usia 25 tahun. Ia dikenal sebagai pelopor kebangkitan perempuan pribumi Indonesia.
Sehingga hari kelahirannya pun selalu diperingati oleh para wanita yang memakai busana kebaya. Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Dari kesemua saudara sekandung, Kartini adalah anak perempuan tertua. Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV, diangkat bupati dalam usia 25 tahun dan dikenal pada pertengahan abad ke-19 sebagai salah satu bupati pertama yang memberi pendidikan Barat kepada anak-anaknya. Kakak Kartini, Sosrokartono adalah seorang yang pintar dalam bidang bahasa. Sampai usia 12 tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School). Di sekolah tersebut, Kartini belajar bahasa Belanda. Akan tetapi setelah usia 12 tahun, ia harus tinggal di rumah karena sudah bisa dipingit.
Kartini akhirnya menikah dengan bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, yang sudah pernah memiliki tiga istri. Kartini menikah pada tanggal 12 November 1903. Akan tetapi suaminya mengerti keinginan Kartini, kemudian Kartini diberi kebebasan dan didukung mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang, atau di sebuah bangunan yang sekarang digunakan sebagai Gedung Pramuka.
Satu hal yang diwariskan dari keluarganya adalah tentang pendidikan. Kartini pernah merasakan bangku sekolah hingga tamat pendidikan dasar. Dimana karakter dan sikap keras yang haus akan ilmu pengetahuan membuatnya ingin terus melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Sayangnya, ayahnya tidak memberikan izin Kartini melanjutkan sekolah. Mengetahui sikap ayahnya, Kartini sebenarnya merasa sedih. Namun, dia tidak bisa mengubah keputusan itu. Sebab, dia adalah anak pada zaman yang masih terbelenggu oleh keadaan. 
Kartini banyak membaca surat kabar Semarang De Locomotief yang diasuh Pieter Brooshooft, ia juga menerima leestrommel (paket majalah yang diedarkan toko buku kepada langganan). Di antaranya terdapat majalah kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang cukup berat, juga ada majalah wanita Belanda De Hollandsche Lelie. Kartini pun kemudian beberapa kali mengirimkan tulisannya dan dimuat di De Hollandsche Lelie. Dari surat-suratnya tampak Kartini membaca apa saja dengan penuh perhatian, sambil membuat catatan-catatan. Kadang-kadang Kartini menyebut salah satu karangan atau mengutip beberapa kalimat. Perhatiannya tidak hanya semata-mata soal emansipasi wanita, tapi juga masalah sosial umum.
Kartini melihat perjuangan wanita agar memperoleh kebebasan, otonomi dan persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas. Di antara buku yang dibaca Kartini sebelum berumur 20, terdapat judul Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta karya  Multatuli yang pada November 1901 sudah dibacanya dua kali. Lalu De Stille Kraacht (Kekuatan Gaib) karya Louis Coperus. Kemudian karya Van Eeden yang bermutu tinggi, karya Augusta de Witt yang sedang-sedang saja, roman-feminis karya Nyonya Goekoop de-Jong Van Beek dan sebuah roman anti-perang karangan Berta Von Suttner, Die Waffen Nieder (Letakkan Senjata). Semuanya berbahasa Belanda.
Selain itu, Kartini juga bisa berbahasa Belanda, maka di rumah ia mulai belajar sendiri dan menulis surat kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda. Salah satunya adalah Rosa Abendanon yang banyak mendukungnya. Dari buku-buku, koran, dan majalah Eropa, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa. Kemudian timbul keinginannya untuk memajukan perempuan pribumi, karena ia melihat bahwa perempuan pribumi berada pada status sosial yang rendah.
Dalam pandangannya, wanita tidak hanya harus bisa urusan “belakang” rumah tangga saja. Akan tetrapi lebih dari itu, wanita juga harus bisa dan punya wawasan dan ilmu yang luas. Dia pun mulai bergerak mengumpulkan teman-teman wanitanya untuk diajari tentang baca tulis dan pengetahuan lainnya. Semakin hari, Kartini makin disibukkan dengan aktivitas membaca dan mengajarnya. Kartini mendirikan Sekolah Wanita di berbagai daerah. Seperti Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon, dan sebagainya. Sekolah Wanita itu dikenal dengan nama Sekolah Kartini. 
Seluruh masyarakat Indonesia mengetahui bahwa Kartini merupakan seorang wanita Jawa yang memiliki pandangan melebihi zamannya. Meski dia sendiri terbelenggu oleh zaman yang mengikatnya dengan adat istiadat. Pada 17 September 1904, Kartini menghembuskan nafas terakhir di usia 25 tahun, setelah melahirkan anak pertama dan satu-satunya. Dia merupakan salah satu wanita yang menjadi pelopor emansipasi wanita di tanah Jawa. 
Surat-surat korespondensinya dengan teman-temannya di Belanda kemudian dibukukan oleh Abendanon dengan judul Door Duisternis Tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang). Buku ini telah menginspirasi banyak wanita, tidak saja wanita di zamannya tapi juga wanita sekarang dan masa depan. 
Sesuai Keppres No. 108 Tahun 1964 pada 2 Mei 1964, Kartini resmi digelari pahlawan nasional oleh pemerintah Indonesia. Keppres ini juga menetapkan tanggal 21 April sebagai Hari Kartini. Namanya kini diabadikan sebagai nama jalan. Tidak hanya di kota-kota di Indonesia saja, melainkan di kota-kota di Belanda. Seperti Kota Utrecht, Venlo, Amsterdam, dan Harleem. WR. Supratman bahkan membuatkan lagu berjudul Ibu Kita Kartini untuk mengenang jasa-jasanya.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar