SUMPAH
DALAM PERPEKSTIF ISLAM
Makalah
ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqih Ibadah
Dosen
Pengampu : Dr. H. Ade Dedi Rohayana M.Ag.

Disusun
oleh :
Aris Priyanto (2032113006)
Prodi
:
S1 Akhlak Tasawuf
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
PEKALONGAN
2014
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
latar Belakang
Realita kehidupan yang variatif dan selalu berubah sesuai dengan
perkembangan zaman, menyebabkan antara satu sama lain saling menjatuhkan dan
menindas. Hal tersebut tidak akan lepas dari adanya praktek sumpak dari
masing-masing orang yang terlibat dalam sebuah permasalahan. Sehingga sumpah
menjadi alternatif terakhir bagi setiap orang untuk menguatkan argumen dan
menyangkal sebuah tuduhan.
Oleh karena itu, peranan sumpah dalam kehidupan manusia sangat
besar sekali. Sehingga dalam setiap aktifitasnya seseorang selalu menggunakan
sumpah sebali cara untuk menyelamatkan dirinya dan terkadang sumpah digunakan
untuk menjatuhkan musuh atau lawan dalam aktifitasnya. Seringkali sumpah
mengakibatkan perpecahan, permusuhan, dan tak terkecuali sebuah adzab (siksaan)
bagi yang sumpahnya palsu (bohong).
Melihat realita tersebut, semoga adanya makalah ini bisa memberi
wacana, pengetahuan dan menambah keilmuan bagi kita semua, khususnya dalam
masalah sumpah. Sehingga praktek sumpah bisa digunakan sesuai dengan keadaan,
tepat sasaran, dan memang benar-benar diperlukan.
1.2
Rumusan Masalah
A.
Definisi Sumpah
B.
Dalil-dalil Al-Qur’an tentang Sumpah
C.
Akibat (Konsekuensi)Sumpah
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Sumpah
Sumpah
dalam bahasa arab disebut يمين jama’nya أيمن,artinya
arah kanan, yang merupakan kebalikan dari arah kiri ضد اليسار للجهة . Sedangkan secara istilah, sumpah (Yamin) adalah عبارة عن عقد قوي به عزم الحلف على الفعل أو الترك
sebuah
ungkapan (perkataan) dari sebuah aqad yang kuat dari seseorang yang bersumpah
untuk melakukan atau tidak melakukan[1]. Sumpah
tidak akan sah (terealisasikan) tanpa menyebutkan dzat (nama) atau sifat
Allah,serta lafadz-lafadz yang sinononim atau bermakna sama dengan dzat atau
sifat Allah seperti demi Allah, Demi Tuhan semesta alam, demi Tuhan yang hidup
dan tidak pernah mati.
Selain itu, sumpah menurut
Sulaiman Rasyid dalam buku Fiqih Islamnya adalah mentahkikkan sesuatu
(menguatkannya), dengan menyebut nama Allah yang tertentu dengan dia, atau
sifat-sifatnya. Sedangkan sumpah dengan tanpa menyebut nama Allah atau
sifat-Nya, seperti sumpah dengan makhluk, di anggap tidak sah, berarti tidak wajib ditepati dan tidak wajib
kifarat (denda). Begitu juga sumpah yang tidak disengaja seperti terlnjurnya
lidah umpamanya. Allah berfirman :
لا يؤاخذكم الله باللغو في أيمانكم ولكن يؤخذكم بما عقدتم الأيمن
Artinya
:
Allah
tidak menyiksa kamu karena sumpah yang tidak kamu sengaja, tetapi ia akan menyiksa
kamu karena sumpah yang kamu sengaja (Al-Maidah 89).
Menurut imam Ibnu Qasim, yang
dinamakan sumpah adalah
تحقيق ما يحتمل المخالفة أوتأكيده بذكر اسم الله أوصفة من صفا ذاته
Artinya
:
“Menyatakan
sebuah perkara yang memungkinkan salah (tidak sesuai kenyataan) atau menguatkan
sebuah perkara dengan menyebut nama Allah atau sifat-sifat Allah[2].
Sumpah menurut Imam Taqiuddin adalah
تحقيق أمر أوتأكيده بذكرالله أو من صفة كذا
Artinya
:
“Menyatakan
perkara atau menguatkan perkara dengan menyebut nama Allah atau sifat-Nya.
Definisi sumpah yang
di sampaikan Imam Taqiuddin itu sama seperti pendapatnya Imam Nawawi dan
Rafi’i. Sebagian ulama termasuk Imam Ibnu Rif’ah mendefinisikan sumpah seperti
ini:
تحقيق ما يحتمل المخالفة أو تأكيده
Artinya :
“Menyatakan sesuatu yang masih memungkin salah atau menuatkan
sesuatu.
Sehingga dalam
masalah sumpah yang menggunakan nama-nama Allah harus memahami hal-hal di bawah
ini :
·
Sesuatu
yang tertentu mengarah pada Allah (nama Allah) dan tidak di ucapkan pada
selainnya Allah, seperti Allah ((ألله, Rabbil
‘Alamin(رب العالمين )Maaliki yaumiddin (مالك يومالدين). Sehingga ketika sumpah di ucapkan baik niatnya
mengarah pada Allah atau tidak, sumpahnya tetap saja sah. Kemudian apabila
seseorang mengucapkan sumpah secara dhohir(luarnya) niat pada selain Allah maka
tidak diterima secara pasti dalam dhahirnya.
·
Sesuatu
yang mengarah pada Allah dan selain-Nya, akan tetapi lebih sering mengarah pada
Allah, seperti yang Maha Perkasa, Maha benar, Maha kauas, Maha Memaksa dll. الجبار, الحق, ألرب, المتكبر, القادر, القاهرو ونحو ذلك...
Apabila
sesorang niat dengan menggunakan nama Allah itu atau tidak niat sama sekali,
maka sumpahnya sah. Namun apabila niatnya selain pada Allah, maka sumpahnya
tidak sah.
·
Sesuatu
yang mengarah pada Allah dan selain Allah, akan tetapi dalam terlakunya sama,
seperti الحي, الموجود, الغني, الكريم, ونحو ذلك....
Ketika
seseorang bersumpah dengan tanpa niat kepada Allah atau niat pada selain Allah
maka sumpahnya tidak sah. Akan tetapi apabila niatnya pada Allah juga terdapat
perbedaan.
Terkait pendapat
yang ketiga ini, Imam Ghazali mengatakan bukan sumpah. Karena sumpah bisa sah
dengan nama-nama Allah yang di ucapkan pada Allah dan Makhluqnya itu bukan
suatu kemulyaan atau keagungan. Sedangkan menurut Imam Nawawi, ar-Rafi’i, dan
pengarang kitab Tanbih dan Al-Jurjani mengatakan bahwa hal itu termasuk sumpah.
Karena ketika nama itu di arahkan pada Allah dan selain-Nya akan tetapi
seseorang itu niat sumpah dengan nama Allah maka sumpahnya sah. Kemudian
menurut Imam Al-mawardi, bahwa penggunaan nama-nama Allah yang kebanyakan
mengarah pada Allah dan sedikit mengarah pada Allah, secara dhahir tetap
dikatakan sumpah meskipun secara batin tidak dikatakan sumpah[3].
Kalimat yang di
gunakan dalam sumpah menunut Imam Sihabuddin dalam kitab Mahalinya, beliau
mengatakan bahwa kalimat sumpah selalu dengan huruf wawu (و) , ta(ت) , ba (ب).Ketiga huruf tersebut, apabila di
sandarkan dengan nama Allah maka akan menjadi والله,تالله,بالله,. Sehingga apabila seseorang yang tidak
fasih dalam mengucapkan (red. Pelon), seperti mengucapkan تالله, tapi
mengucapkannya تالاه, maka sumpahnya tetapka dikatakan sah. Karena yang dimaksud
oleh seseorang tersebut adalah [4]تالله.
2.2 Dalil-dalil Al-Qur’an dan Hadits tentang Sumpah
Dalil-dalil yang menjelaskan tentang sumpah banyak sekali terdapat
dalam firman Allah dan sabda Rasulullah. Tentang
sumpah yang ditukarkan (dibeli) dengan uang sedikit juga terdapat dalam firman
Allah. Allah berfirman :
ان الذين يشترون بعهد الله وأيمانهم ثمنا قليلا أولئك لا خلاق لهم في
الأخرة
ولا يكلمهم الله ولا ينظر اليهم يوم القيامة ولا يزكيهم ولاهم
عذاب عليم
Artinya :
“Sesungguhnya orang-orang yang menjual (menukar) janji Allah dan
sumpah mereka dengan uang yang sedikit, tidak ada bagi mereka bagian di
akhirat, dan Allah tiada bercakap-cakap dengan mereka dan tiada memandang
mereka pada hari kiamat dan tiada pula menyucikan mereka dan untuk mereka itu
siksaan yang pedih” (Ali Imran :77).
Selain itu, Allah
juga menyuruh kita semua untuk senantiasa menjaga terhadap sumpah yang telah
kita ucapkan. Allah berfirman dalam surat al-Maidah ayat 89 :
واحفظوا أيمانكم
Artinya :
“jagalah sumpah kalian semua”(Al-Maidah :89).
Rasulullah bersabda :
والله لأغزون قريشا ثلاث مرات
Artinya
:
“Demi
Allah, sesungguhnya saya akan memerangi kaum Quraisy. Kalimat itu, Rasulullah
ulangi sampai tiga kali” (HR. Abu Daud).
Praktek sumpah yang dilakukan oleh
yang bersumpah itu tingkat kekuatan dan kebenaran sumpahnya sesuai dengan
pembenaran oleh seseorang yang diajak bersumpah. Rasulullah bersabda :
يمينك على ما يصدقك به صاحبك
Artinya:
“Sumpah
kamu itu sesuai dengan perkara yang dibenarkan teman kamu”.
Dalam riwayat lain Rasulullah
bersabda :
اليمين على نية المستحلف
Artinya
:
“Sumpah
iti sesuai dengan niatnya orang yang
bersumpah”(HR. Muslim).
Menurut Ibnu Arabi, menurut sebagian
ulama, bahwa perkataan sumpah yang di sertai kata “Insya Allah”yang langsung
bersambung(bebarengan) menyebabkan sumpah tidak sah. Sehingga menurut Ibnu
Arabi, apabila sumpah yang bersamaan “Insya Allah” akan tetapi tidak langung
sumpahnya sah, maka menurutnya tidak ada seorang pun yang melanggar sumpah dan
tidak ada kafarah sebagai akibat dari sumpah yang dilanggarnya[5].
Rasulullah bersabda :
من حلف على اليمين : ان شا الله, فلا حنث عليه
Artinya:
“Seseorang
bersumpah atas sumpahnya disertai Insya Allah, maka baginya tidak ada sumpah
yang dilanggar”(HR. Ahmad, Arba’ah, Ibnu Hiban).
Dengan adanya dalil Al-Qur’an dan Hadits tentang sumpah tersebut,
maka sifat-sifat orang yang sah sumpahnya adalah :
1.
Mukallaf
(berakal dan telah baligh), sumpahnya anak kecil dan orang gila tidak sah.
2.
Dengan
kemauan sendiri, (orang yang dipaksa tidak sah sumpahnya).
3.
Sengaja,
(orang yang lidahnya terlanjar/terlanjur tidak sah sumpahnya).
2.3
Akibat (Konsekuensi) Sumpah
Adanya sifat-sifat sumpahnya orang yang diterima, tentunya
menyebabkan adanya pelanggaran sumpah. Sehingga apabila seseorang bersumpah,
kemudian sumpahnya dilanggar, maka ia wajib membayar kifarat (denda pengampun
kesalahan). Oleh karena itu, ketika seseorang melanggar sumpah, maka ia
diperbolehkan untuk memilih di antara tiga kifarat dibawah ini :
Ø Memberi makan sepuluh orang miskin dengan makanan yang sah buat
zakat fitrah, setiap orang seperempat beras fitrah (kira-kira ¾ liter).
Ø Memberi pakaian sepuluh orang miskin, pakaian apa saja yang sesuai
dengan keadaan mereka yang diberi.
Ø Memerdekakan hamba sahaya.
Dalam membayar kafarah tersebut tidak diperbolehkan hanya memberi
makan atau pakaian hanya kepada lima orang saja. Begitu juga dalam masalah memerdekakan
budak, tidak diperbolehkan memerdekakan sebagian budak saja atau hanya memberi
makan lima orang saja.
Apabila seseorang tersebut tidak mampu membayar salah satu di
antara tiga perkara tersebut, ia boleh berpuasa selama tiga hari. Puasa yang
dilakukan tidak harus harus
berturut-turut (terpisah-pisah). Hal tersebut dikarenakan mutlaknya ayat yang
terdapat dalam surat Al-Maidah ayat 89. Allah berfirman :
فكفارته اطعام عشرة مساكين من أوسط ما تطعمون
أهليكم أوكسوتهم أوتحرير رقبة
فمن لم يجد فصيام ثلثة أيام
Artinya :
Akan tetapi menurut pendapat Ibnu mas’ud, puasa yang dilakukan
harus berturut-turut. Nabi bersabda :
ثلاثة أيام متتا بعا ت........
Artinya :
Tiga hari secara berturut-turut.
Kafarah puasa hanya terlaku bagi orang islam saja. Karena apabila orang
yang melanggar sumpah itu bukan orang Islam, karena di bukan ahli dalam puasa.
Sehingga kafarah yang dibebankannya adalah kafarah dengan menggunakan hartanya.
Maka untuk mengampuni kesalahan sumpah yang dilanggar, bersedekah
kepada sepuluh orang miskin, sedekah itu di ambilkan dari makanan yang biasa
dimakan seisi rumahnya, atau memberi pakaian kepada mereka (10 orang miskin),
atau memerdekakan hamba sahaya. Barang siapa yang tidak kuasa membayar dari
salah satu dari tiga perkara tersebut, hendaklah ia puasa tiga hari lamanya
(Al-Maidah : 89).
Orang yang bersumpah tidak akan memperkuat sesuatu, kemudian ia
suruh orang lain memperbuatnya, ia (yang bersumpah) tidak melanggar sumpah,
umpama ia berkata. Demi Allah saya tidak akan menulis hari ini, kemudian
disuruhnya orang lain menulis untuk keperluannya, ia ia tidak berarti melanggar
sumpah, maka tidak wajib atasnya kifarat. Begitu juga yang bersumpah akan mengerjakan
dua macam pekerjaan, kemudian dikerjakan salah satu dari dua macam pekerjaan
itu. Seseorang yang melanggar sumpah karena lupa, tidak berarti melanggar.
Orang yang bersumpah akan menyedekahkan hartanya, ia harus memilih antara
sedekah dan membayar kifarat[6].
Seseorang yang bersumpah dengan tanpa menyebut dzat (nama), atau
sifat Allah tidak di anggap kufur, apabila tidak ada tujuan mengagungkan selain
Allah. Akan tetapi seseorang yang bersumpah dengan tanpa menyebut nama
Allah, maka seseorang tersebut di anggap
musyrik (menyekutukan Allah)[7].
Nabi Bersabda :
ألاان الله ينهاكم أن تحلفوا بأبائكم فمن كان حا لفا فليحلف با لله أو
ليصموت (متفق عليه)
Artinya
:
Ingatlah,
Sesungguhnya Allah melarang kalian semua bersumpah atas nama ayah kalian,
kemudian siapa yang ingin bersumpah, maka bersumpahlah atas nama Allah atau
diam saja (Muttafaqun ‘Alaih).
Dalam riwayat lain, Nabi Muhammad juga bersabda :
لا تحلفوا بأبا ئكم ولابأمها تكم ولا بالأنداد, ولا تحلفوا بالله الا
وأنتم صادقون
Artinya
:
“Janganlah
kalian semua bersumpah atas nama ayah dan ibu kalian, serta berhala, dan
janganlah bersumpah atas nama Allah kecuali kalian semua termasuk orang yang
jujur”.
Dalam kitab
kifayatul Akhyar karya Imam Taqiuddin, bahwa akibat (konsekuensi)dari sumpah
itu bermacam-macam. Pendapatnya antara lain:
Ø Seseorang yang bersumpah
untuk menshodaqahkan hartanya, maka ia diperbolehkan untuk memilih antara
shadaqah dan sumpah, dan tidak ada sesuatu yang dapat menggugurkan sumpahnya
itu. Dalam masalah ini, terdapat tiga pendapat, antara lain :
o
Wajib
untuk melaksanakan sumpahnya. Karena di dalam praktek sumpah ini terdapat unsur
ibadah dan kewajiban sumpah.
o
Wajib
baginya kafarah sumpah. Karena Shadaqah adalah bentuk ibadah dan sumpah adalah
kewajiaban yang ada kafarahnya apabila tidak terlaksana. Bersabda Rasulullah :
كفارةالنذور كفارةاليمين
Artinya
:
Kafarahnya
Nadzar itu seperti Kafarahnya Sumpah (HR. Muslim).
o
Diperbolehkan
untuk melaksanakan shadaqhnya atau membayar kafarah sebagai konsekuensi dari
sumpah yang tidak terlaksana.
Ø
Seseorang
yang bersumpah untuk melakukan sesuatu, kemudian menyuruh orang lain untuk
melaksanakan sesuatu tersebut, maka ia
tidak di anggap melanggar sumpahnya. Hal itu seperti, seseorang yang bersumpah
ingin memukul budaknya, kemudian menyuruh orang lain untuk memukul budaknya,
maka ia tidak di anggap melanggar sumpahnya.
Ø Seseorang yang bersumpah ingin melakukan dua hal, kemudian ia
melakukan salah satunya, maka ia tidak di anggap melanggar sumpahnya[8].
Kehidupan manusia yang tidak lepas hubungannya dengan Allah, juga
tidak lepas dari praktek sumpah. Secara fitrah, manusia dan jin adalah makhluk
yang diciptakan tidak ada tujuan lain kecuali untuk beribadah kepada Allah sang
pencipta. Dalam permasalahan itu, Allah berfirman :
وما خلقت الجن والانس الا ليعبدون
Artinya:
“Allah menciptakan manusia dan Jin dan Manusia kecuali untuk
beribadah kepada-Nya”.
Berdasarkan ayat Al-Qur’an tersebut memberi sebuah penegasan bahwa
adanya Allah menciptakan jin dan manusia adalah untuk beribadah. Oleh karena
itu, dalam masalah ibadah, manusia juga seringkali mempraktekkan sumpah. Hal
itu seperti permasalahan di bawah ini :



Dalam permasalahan sumpah yang berhubungan dengan ibadah,
permasalahan tentang kafarat yang berupa memberi makan sepuluh orang miskin dan
puasa terdapat berbagai macam pendapat. Pendapat tersebut antara lain[9] :
ü Apabila sumpah yang dilanggar itu berupa ibadah sunnah, maka lebih
utama untuk membayar kafarat daripada puasa.
ü Apabila sumpah yang dilanggar itu berupa ibadah yang hukumnya itu
wajib atau haram, maka puasa lebih utama daripada membayar kafarat.
BAB III
PENUTUP
3.1
SIMPULAN
Sumpah merupakan suatu perkatan (ungkapan) yang disandarkan dengan
nama-nama Allah atau sifat-sifat-Nya. Keberadaan sumpah sangat menjadi sebuah
sesuatu yang tidak bisa dipisahkan dari diri manusia. Baik kehidupan manusia
yang berhubungan dengan sesamanya maupun dengan Allah sang Pencipta.
Oleh karena itu, sumpah yang selalu menghiasi kehidupan manusia ini
tidak lepas dari dalil Al-Qur’an dan Hadits yang menjadi penjelas dan penguat
sumpah yang dilakukan oleh manusia tersebut. Meski demikian, pelanggaran sumpah
sering kali terjadi, bahkan memberikan akibat (konsekuensi) baik bagi dirinya
maupun orang lain. Selain itu, perbedaan pendapat tentang akibat (konsekuensi)
dari sumpah yang di langgar juga berbeda-beda.
Akibat (konsekuensi) dari sumpah yang di langgar sangat
bermacam-macam sesuai dengan sumpah yang seseorang lakukan dan dilanggarnya.
Hal tersebut mulai dari memerdekakan budak yang Islam, memberi makan atau
pakaian kepada sepuluh orang miskin sampai dengan melakukan puasa.
3.
2 SARAN
Segala kekurangan tentunya terdapat
dalam makalah ini. Oleh karena itu, kami mengharapkan kepada teman-teman
koreksi dan sarannya terhadap makalah ini. Harapan kami semoga dengan adanya
koreksi dan saran dari teman-teman, kedepannya makalah kami lebih baik dan
lebih bermanfaat. Amin yaa Robbal ‘Aalamin.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahaman,
Bughyatul Mustarsyidin, Jiddah :Al-Haramain.
Al-Quyubi,
Sihabuddin, Qulyubu Wa’amirah, Semarang:Thaha Putra.
Hajar,
Ibnu, Hafidh, 2002, Bulughul Maram, Jakarta:Darul Kutub
Al-Islamiyyah.
Qasim,
Ibnu, Al-Bajuriy, Jiddah:Al-Haramain.
Rasyid,
Sulaiman, 1981, Fiqih Islam, Jakarta:ATHAHIRIYYAH.
Taqiudin,
Kifayatul Akhyar, Jiddah:Haramain.
[1] Hafidh Ibnu
Hajar, Bulughul Maram, (Jakarta:Darul Kutub Al-Islamiyyah, 2002), hlm.
256.
[2] Ibnu Qasim, Al-Bajuriy,
(Jiddah:Al-Haramain),hlm. 312.
[3] Taqiudin, Kifayatul
Akhyar, (Jiddah:Haramain),hlm.247-249.
[4] Sihabuddin
Al-Quyubi, Qulyubu Wa’amirah, (Semarang:Thaha Putra), hlm.272.
[5] Ibid, hlm.257
[6] Sulaiman
Rasyid, Fiqih Islam, (Jakarta:ATHAHIRIYYAH, 1981),hlm 455-456.
[7] Abdurrahaman, Bughyatul
Mustarsyidin, (Jiddah :Al-Haramain), hlm. 260-261.
[8] Ibid.
hlm.250-252.
[9] Ibid, hlm.273.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar